Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 April 2011

Bangsa yang Tak Merawat Diri

OLEH MUHIDIN M DAHLAN

Soekarno bilang, Indonesia adalah bangsa kuli dan kuli dari bangsa-bangsa. Menurut saya, Indonesia bangsa perusak. Bangsa yang tak punya mental merawat. Apa pun akan dirusaknya jika itu tak memberi keuntungan pragmatis. Tak peduli, bahkan milik berharga Proklamator Indonesia. Dua warisan dari dua bapak pendiri bangsa (founding fathers) itu, sepanjang reformasi, terkubur satu-satu.

Alkisah, Perpustakaan Idayu menyatu menjadi tanah di Sentul pada 2006. Perpustakaan yang berdiri tahun 1966 ini menyimpan koleksi bibliografi Indonesia sejak 1955; pertama oleh PT Gunung Agung (penerbit dan toko buku) kemudian dialihkan ke Idayu tahun 1966, termasuk koleksi kliping koran dari tahun 1960-an, koran-koran daerah dari seluruh daerah yang selalu diterima Idayu secara gratis.

Ada juga koleksi Books on Indonesia sebanyak 3.000 judul. Pidato Bung Karno mulai dari yang terpendek (1949) hingga terakhir, termasuk saat menerima gelar doktor honoris causa dari lebih 20 universitas di dalam dan luar negeri. Ada pula foto dan film revolusi 1945 yang diperoleh dari IPPHOS. Dokumen Petisi 50 yang terkoleksi lengkap. Buku atau artikel terlarang juga ada dalam rangkaian koleksi.

Koleksi-koleksi itu berubah menjadi tanah, dimakan rayap Sentul. Menurut Murtini Pendit, yang 15 tahun mengurus dokumentasi Idayu, mereka sudah berupaya agar warisan itu mendapat tempat layak.

Setelah Gedung Kebangkitan Indonesia (STOVIA) yang dipakai Idayu diambil alih pemerintah, Idayu terusir. Mereka membujuk Perpustakaan Nasional memberi ruang khusus untuk bibliografi, tetapi ditolak. Universitas Indonesia juga menolak.

Terakhir, mereka menyewa gedung di Sentul. Gudang itu sekaligus menjadi kuburan akhir koleksi bibliografi Idayu.

Sepanjang reformasi, stempel "bukan bangsa (bermental) perawat" ini mendapat legitimasinya. Selain Idayu di Jakarta, Pemerintah Kota Bandung juga pernah ambil ancang-ancang menghabisi Gedung Landraad, tempat di mana Soekarno diadili pada 1930. Untunglah ada sekelompok kecil budayawan memperjuangkannya habis-habisan hingga gedung itu kini menjadi pusat kebudayaan yang aktif.Pada bulan Agustus 2010 mencuat peristiwa miris. Para ahli waris Inggit menjual surat nikah berikut surat cerai Soekarno dan Inggit Garnasih karena ketiadaan dana merawat barang-barang peninggalan keduanya, museum dan rumah sakit bersalin Inggit Garnasih di Kota Bandung.

Di Yogyakarta, Perpustakaan Hatta, rumah bernaung buku-buku yang dibeli dan dikumpulkan Hatta sepanjang hayatnya, akhirnya "rebah" tahun 2007. Koleksinya dijual ke Perpustakaan Universitas Gadjah Mada.

Rahzen (2000) pernah cerita, puluhan ribu koleksi buku Perdana Menteri Ali Sastro Amidjojo justru didapatkannya tak sengaja di rumah jagal buku dan bersiap dibuburkan. Demikian juga koleksi Adam Malik mblusuk-mblusuk di pasar gelap buku bekas. Dan kita masih bisa menderetnya sepanjang-panjangnya.

Merawat memori

Mental merawat memori adalah salah satu modal dasar peradaban besar. Pada abad ke-10—bahkan sebelumnya—Nuswantara mengalami puncak kejayaannya. Relief Candi Cetho, Sukuh, dan Panataran, misalnya, menggambarkan relief-relief peradaban dunia yang mengukuhkan Nuswantara sebagai pusat peradaban. Tesis ini yang diyakini dua akademisi yang belum pernah ke Indonesia sekalipun, Stephen Oppenheimer (Eden in the East) dan Arysio Santos (Atlantis, The Lost Continent Finally Found).

Ditengarai, saat itu pemerintah sadar bahwa semangat global harus diikuti fondasi dasar bagaimana mengadopsi peradaban itu dengan semangat mendokumentasikan seluruh khazanah keilmuan dunia yang puncaknya berlangsung pada abad ke-14.

Seusai menyelesaikan proyek kolektif gigantik, Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009), Henri Chambert-Loir (2010) menyimpulkan, mental (dukungan dan kebijakan) pemerintahlah kuncinya. Pada masa Dharmawangsa Teguh dan beberapa generasi setelahnya, hampir semua bahasa dunia digunakan di Nusantara karena kerajaan mendukung penuh proyek itu.

Kini, jangankan mendokumentasikan ilmu-ilmu di dunia, merawat warisan intelektual dua Proklamator Indonesia saja pemerintah tersaruk-saruk. Jangankan mengumpulkan buku/dokumen dari peradaban global secara sistematis seperti dilakukan Library of Congress Amerika Serikat dengan bergerilya hingga ke kabupaten-kabupaten kecil mencari dokumen berbahasa Indonesia, merawat rumah peradaban yang ada saja tak sanggup.

Tumbuhlah padi

Ini soal mental merawat yang tak dipunyai. Tanpa mental merawat, jangan harap ada visi yang menurun ke kebijakan. Mental merawat bukan retorika. Ia bersemayam dalam sikap budaya. Bentuk mental merawat itu terangkum dalam sebait kalimat Multatuli seperti dikutip Mohammad Hatta pada halaman akhir pleidoi Indonesia Merdeka: "Onhoorbaar goeit de padi (tak terdengar tumbuhlah padi)".

Kekuatan kebudayaan yang terpendam dalam memori sejarah, dengan berbagai bentuk medianya, sesungguhnya tak lain adalah kekuatan inti dari negara dan bangsa yang dibangun ini. Kekuatan yang menegaskan "jati diri", hal yang hanya ribut di mulut para petinggi. Dengan pelalaian sekaligus perusakan—disengaja atau tidak— kekuatan itu penanda kuat hilangnya diri dalam kolektivitas kita sebagai bangsa juga individualitas kita sebagai manusia.

Oleh karena itu, jangan pernah mimpi memanen kejayaan peradaban (Indonesia Jaya 2030) jika tak siap berjalan dalam kesunyian merawat, memupuk, dan menjaga warisan masa silam dengan segenap kesadaran. Bila tidak, aparat pemerintah hari ini akan dikutuk generasi berikutnya sebagai kutu bagi buku, rayap bagi dokumen, dan hama bagi padi yang menghancurkan harapan "petani-petani" peradaban. - MUHIDIN M DAHLAN Kerani di Indonesia Buku (IBOEKOE), tinggal di Yogyakarta

(Kompas, 23 April 2011)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 07 April 2011

Pemerintah Diminta Cabut SKB Tiga Menteri

Amnesty International bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat di Indonesia meminta pemerintah untuk segera mencabut Surat Keputusan Bersama Nomor 3 Tahun 2008 dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan masyarakat.

SKB yang ditandatangani Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri itu dinilai membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan Ahmadiyah dan telah menumbuhkembangkan sebuah iklim yang mendukung kekerasan dan perbuatan main hakim sendiri.

"Kekerasan di Indonesia menunjukkan situasi yang makin memburuk dan pemerintah tidak segera menyelesaikan persoalan. Ini bukan arah yang kami harapkan. Indonesia melangkah ke arah yang salah," kata Direktur Asia Pacific Amnesty International Samanzia Zarifi di Jakarta, Rabu (6/4).

Amnesty International bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Imparsial, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Setara Institute, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Human Right Working Group (HRWG), Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Wahid Institute, dan Indonesian Legal Resource Centre (ILRC) kemarin menyuarakan kekhawatiran terkait dengan menguatnya diskriminasi dan pengusikan terhadap kaum minoritas beragama, terutama warga Ahmadiyah.

Kontras mendokumentasikan sedikitnya 62 peristiwa kekerasan terhadap warga Ahmadiyah sepanjang Januari-Maret 2011. Data yang dikumpulkan HRWG tersebut menunjukkan, serangan semacam itu terus meningkat dengan tajam pada 2011 dibandingkan dua tahun sebelumnya.

Negara membiarkanMenurut Musdah Mulia dari ICRP, terkait dengan penghancuran kelompok Ahmadiyah dan aset-asetnya, ICRP berkesimpulan bahwa kekerasan tersebut merupakan proyek negara.

"Semua itu nyata dan direkayasa. Pembiaran negara adalah bukti yang tidak bisa dibantah. ICRP sudah mendampingi Ahmadiyah selama 10 tahun, ternyata kekerasan tidak berkurang, malah makin bertambah dan makin biadab. Bagi ICRP, agama seharusnya menjadi sumber inspirasi perdamaian dan ini tidak terbangun di Indonesia. Kalau Indonesia mau mengikuti Pakistan, yang ada adalah kehancuran," kata Musdah Mulia.

Oleh karena itu, Amnesty International dan LSM di Indonesia meminta agar pemerintah memenuhi kewajibannya untuk memastikan bahwa semua warga negara, tidak peduli keyakinan keagamaannya, mendapatkan perlindungan hak-hak manusia. (Kompas, 7 April 2011)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 06 April 2011

Tokoh Agama: Tindakan Tak Beradab

Polemik pembangunan gedung baru DPR terus menuai kritik. Setelah masyarakat dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menolak pembangunan tersebut, kali ini sejumlah tokoh lintas agama turut angkat bicara mengenai rencana pembangunan gedung yang memakan biaya hampir Rp 1,138 triluin itu.

"Kita menghimbau kepada SBY, untuk bisa menghentikan pembangunan gedung itu. Karena siapapun yang mendukung pembangunan tersebut, adalah golongan manusia yang tidak beradab," ujar badan pekerja tokoh lintas agama Dedi Julianto, di Maarif Institute, Jakarta, Selasa (5/4/2011).

Selain itu, ia menilai Ketua DPR Marzuki Alie hanya mementingkan kebutuhan kelompoknya, tanpa melihat terlebih dahulu situasi di masyarakat yang sebagian besar menolak pembangunan tersebut. Menurutnya, akan lebih baik jika dana pembangunan tersebut digunakan untuk memperbaiki infrastruktur yang saat masih jauh dari kelayakan.

"Saudara Marzuki Alie (Ketua DPR), tidak pernah melihat kondisi yang ada dimasyarakat saat ini. Lebih baik kan dana itu digunakan untuk membangun sekolah-sekolah yang rusak," tambahnya.

Sementara itu, menurut Romo Benny, pembangunan gedung baru DPR merupakan bentuk pengkhianatan konstitusi. Ia menilai saat pemerintah lebih tunduk kepada institusi hukum, daripada rakyatnya sendiri.

"Negara saat ini tidak tunduk kepada rakyat. Ini adalah sebuah kebohongan. Saatnya kita stop pembangunan gedung DPR, demi tegaknya nurani dan konstitusi publik," tegasnya.

Sebelumnya, Senin (4/4/2011) kemarin, Laskar Gerindra juga telah menggugat pembangunan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan tersebut dimaksudkan agar pembangunan gedung DPR dapat segera dihentikan.

"Akan menjadi preseden yang buruk, jika DPR merengek-rengek membutuhkan ruang yang baru, dengan sepihak, diputuskan sendiri, dan menggunakan uang negara. Kita lihat sendiri instansi-instansi pemerintah banyak yang gedungnya tidak sebesar dan senyaman gedung DPR, tapi, mereka tidak merengek-rengek meminta gedung baru," ujar Ketua Lembaga Advokasi Hukum Indonesia Raya (Laskar) Partai Gerindra Habiburokhman, di PN Jakarta Pusat.
(Kompas.com)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger