Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 31 Oktober 2012

Dicari, Pemimpin-pemimpin Muda

Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Senin (29/10) malam, Gerakan Indonesia Memilih diluncurkan. Bukan tanpa alasan Rumah Kebangsaan meluncurkan gerakan tersebut tepat sehari setelah perayaan Hari Sumpah Pemuda. Kali ini, kebangsaan dirayakan dengan akrab dan penuh semangat untuk menjaga kemuliaan politik.
Kutimang si buyung... ibu berdoa… ayah menjaga…. Jangan engkau lupa… tanah pusaka...," Untaian lagu "Belaian Sayang" itu pembuka acara sebagai isyarat sedang menimang calon pemimpin untuk menjaga tanah pusaka. Para tokoh nasional yang hadir malam itu pun seolah sedang bertugas menimang calon pemimpin.
Emil Salim dalam orasi politiknya menyebutkan, pemimpin untuk 2014 harus berusia muda. "Paling pol 50-lah," katanya.
Hal ini ditanggapi Burhanuddin Muhtadi dengan mengutip Tan Malaka, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki kaum muda."
Memilih pemimpin adalah memilih nasib bangsa. Dan ke depan, tantangan semakin berat. Di tengah kebangkitan Asia, bagaimana Indonesia bisa tegar, dari Sabang sampai Merauke. Dengan bahan dasar yang beraneka ragam, salah satu pertaruhan terbesar adalah menjaga keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa.
"Kita butuh pemimpin yang tidak melihat dirinya sebagai wakil golongan atau partai," kata Emil Salim.
Komaruddin Hidayat mengingatkan soal agenda besar pembangunan bangsa dan negara yang merupakan panggilan politik yang harus dijaga kemuliaannya. Ia menjelaskan, pendirian Rumah Kebangsaan didorong oleh keprihatinan sekelompok teman diskusi akan perlunya lahir banyak negarawan dan politisi yang punya karakter.
"Kita tidak hanya butuh satu presiden, tetapi juga sekian ratus bupati, gubernur, wali kota, dan wakil rakyat untuk bisa memenuhi utang janji, melindungi dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia," kata Komaruddin.
Mitra parpol
Komaruddin menyatakan, Rumah Kebangsaan bukan kompetitor partai politik, tetapi mitra parpol, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama mencari pemimpin. Ia mengundang semua pihak yang memiliki kerinduan bersama untuk bergabung.
Burhanuddin juga meletakkan harapannya kepada parpol untuk memperbaiki proses reproduksi negarawan. "Sekarang terlalu banyak dealer, bukan leader," kata Burhanuddin yang mengundang tepuk tangan penonton.
Berbagai kalangan hadir malam itu, seperti Anies Baswedan, Teten Masduki, Arifin Panigoro, Yenny Wahid, Fadli Zon, Budiman Sudjatmiko, Rosiana Silalahi, Bambang Harymurti, Ishadi, Andy Noya, Sukardi Rinakit, Romo Benny Susetyo Pr, Erry Riyana Hardjapamengkas, dan Effendi Gazali.
"Ini kemajuan besar. Aktivis biasanya bikin gerakan golput, tetapi ini gerakan aktif," kata Jusuf Kalla berseloroh membuka pidatonya.
Kalla mengungkapkan kerisauannya, betapa di hari Sumpah Pemuda, Indonesia justru ramai dengan konflik dari Lampung, Papua, Poso, dan Madura. Ia mengingatkan, tujuan bangsa adalah masyarakat adil dan makmur. Masalahnya, sekarang bagaimana tujuan itu dicapai?
"Kepemimpinan bangsa," ujar Jusuf Kalla.
Kepemimpinan bangsa harus mampu membawa dan menjadi teladan agar seluruh bangsa makmur. Bangsa yang makmur membawa pada kemajuan. Di sini pemimpin memiliki peran fundamental. "Ini bukan tempat uji coba, tetapi membawa bangsa ke arah yang benar," kata Jusuf Kalla.
Lagu "Gembira" dari Ibu Soed menutup acara malam itu. Pembawa acara, Garin Nugroho, yang sepanjang acara hadir dengan dongeng-dongengnya tentang Indonesia, mengajak semua yang hadir untuk merayakan kebangsaan dengan gembira. Karena, berbangsa itu adalah kemerdekaan yang harus dirayakan dengan gembira.(Edna C Pattisina)
Kompas cetak. 31 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Reformasi Birokrasi Butuh Pemimpin Kuat

Perkembangan negara tidak akan terjadi apabila tidak ada pimpinan kuat yang terus-menerus mengawal perubahan untuk perbaikan negeri ini, baik persepsi, struktur, nilai, maupun sikap berbangsa. Kondisi birokrasi yang sudah berlebihan, malas, dan tidak dipercayakan kepada orang muda hanya akan memakan biaya besar yang membebani negara.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar mengungkapkan hal itu dalam Konferensi Ke-58 EROPA (Eastern Regional Organization for Public Administration) bertema "Challenges to Administrative Reform: Learning from the Past and in Search of Excellence in the Future", Senin (29/10) di Jakarta. Konferensi itu menghadirkan pembicara dari 13 negara (Australia, China, Fiji, Filipina, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Nigeria, Pakistan, Thailand, Turki, dan Vietnam).
Azwar mengatakan, reformasi harus dipacu menjadi gerakan nasional. Adapun yang perlu direformasi adalah restrukturisasi standar operasional prosedur, modernisasi penyelenggaraan pemerintahan berbasis teknologi informasi, rekonfigurasi peran negara sesuai dengan undang-undang dan kebutuhan rakyat, pelibatan masyarakat terutama dalam pelayanan publik, serta peningkatan kemampuan birokrasi.
"Yang terpenting adalah komitmen politik dari pimpinan berbagai tingkatan, mulai presiden, para menteri, gubernur, hingga bupati/wali kota. Dua hari sebelum saya dilantik sebagai menteri, Presiden meminta reformasi harus dipacu," ujarnya.
Karena itu, Azwar mengimplementasikan pemindahan birokrat dari zona aman ke zona kompetitif. Apabila tidak bersedia, birokrat tersebut harus ditinggalkan. Tahun ini sudah dilakukan reformasi birokrasi di 26 kementerian/lembaga, 19 di antaranya sudah lulus kriteria masuk ke zona integritas.
Sekretaris Jenderal EROPA Orlando Mercado mengatakan, reformasi birokrasi harus mendorong kinerja yang efisien dan produktif. Untuk itu dibutuhkan ide-ide baru dari berbagai negara.
Guru Besar National University of Singapore Prof Neo Boon Siong mengatakan, butuh keterlibatan lebih besar untuk membangun dan mengimplementasikan kebijakan birokrasi. (Kompas, 31 Okt 2012)

Powered by Telkomsel BlackBerry®




Stabilitas Kawasan Timur Tengah

Broto Wardoyo
Ketegangan antara Turki dan Suriah memunculkan kekhawatiran pecahnya perang di kawasan Timur Tengah.
Setidaknya ada empat hal yang harus dipertimbangkan untuk menilai stabilitas di kawasan Timur Tengah terkait kemungkinan pecahnya perang di kawasan.
Sangat dimungkinkan
Pertama, ada dan tidaknya sengketa perbatasan antara Turki dan Suriah. Beberapa sengketa militer tercatat pernah terjadi antara Turki dan Suriah. Kedua negara pernah terlibat sengketa atas turunnya debit air Sungai Eufrat ketika Turki membangun Bendungan Ataturk. Kedua negara juga memiliki perselisihan politik ketika Suriah memberikan perlindungan kepada kelompok bersenjata Kurdi untuk melancarkan serangan gerilya ke wilayah Turki.
Sengketa-sengketa tersebut tak terkait sendiri dengan adanya perebutan teritori. Kedua negara berseteru atas kepemilikan Distrik Alexandretta/Hatay yang sebelumnya dimiliki oleh Suriah, tetapi kemudian diberikan kepada Turki oleh Perancis pada 1939. Sengketa atas wilayah Alexandretta/Hatay tidak pernah pecah sebagai konflik bersenjata antara Turki dan Suriah.
Suriah secara konsisten menentang kepemilikan Turki atas wilayah ini dan menuntut pengembalian wilayah ini ke Suriah. Selama kepemimpinan Presiden Bashar al-Assad, upaya untuk membuka sengketa atas kawasan Alexandretta/Hatay ini senantiasa ditutup. Bahkan, sebagai langkah rekonsiliasi, tahun 2009 kedua negara sepakat meniadakan penggunaan visa bagi kunjungan warga Suriah ke Hatay.
Kedua, ada atau tidaknya aliansi dan kontra-aliansi yang dimiliki kedua negara. Baik Turki maupun Suriah sama-sama memiliki aliansi strategis dengan negara-negara yang berbeda. Turki merupakan anggota NATO, sedangkan Suriah membangun aliansi strategis dengan Iran. Kedekatan Suriah dengan Iran didorong oleh adanya kesamaan persepsi ancaman yang berasal dari Israel dan sekutu Barat- nya.
Turki, meskipun dekat dengan negara-negara Barat anggota NATO dan menjadi salah satu negara di kawasan yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, tak sepenuhnya sejalan dengan negara Yahudi itu. Beberapa insiden mewarnai ketegangan hubungan Turki-Israel, termasuk salah satunya kasus penyerbuan kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza oleh tentara Israel.
Ketiga, ada atau tidaknya sejarah rivalitas antara Turki dan Suriah. Pemahaman konsep rivalitas secara teoretik dapat dibedakan jadi dua: enduring rivalries dan strategic rivalries. Enduring rivalries menekankan pada intensitas sengketa bersenjata, sedangkan strategic rivalries menekankan pada persepsi sebagai lawan yang dibangun tanpa harus mendasarkan diri pada intensitas sengketa bersenjata saja.
Dalam kedua penjelasan itu, Turki dan Suriah tidak diidentifikasikan sebagai dua negara yang memiliki rivalitas. Secara militer, Turki memiliki rivalitas dengan Inggris, Perancis (keduanya dianggap selesai dalam keterlibatan mereka di NATO), dan Yunani (secara strategis Turki juga memiliki rivalitas dengan Yunani). Sementara Suriah memiliki rivalitas dengan Israel, baik enduring rivalry maupun strategic rivalry.
Keempat, ada atau tidaknya perlombaan senjata antara Turki dan Suriah. Kemampuan militer Suriah senantiasa disebut sebagai salah satu yang terbaik di kawasan Timur Tengah selain Israel, Iran, dan Arab Saudi. Sebagian besar persenjataan yang dimiliki Suriah berasal dari Rusia dan Iran. Adapun persenjataan yang dimiliki Turki mengikuti standar NATO yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Namun, tidak ada indikasi yang jelas bahwa Turki dan Suriah melakukan perlombaan senjata.
Dari keempat faktor itu, dua faktor tak mendukung pecahnya perang dan dua lainnya mendukung pecahnya perang. Vasquez dan Henehan (2001) menjelaskan bahwa sengketa teritorial menjadi penyebab utama pecahnya perang. Vasquez dan Senese (2005) mengembangkan tesis itu dengan menambahkan, secara berurutan, faktor aliansi- kontra aliansi, rivalitas, dan perlombaan senjata.
Berkaca dari tesis tersebut, kemungkinan pecahnya perang antara Turki dan Suriah cukup terbuka. Upaya untuk meredakan ketegangan agar tidak berujung pada perang harus dilakukan salah satunya dengan tidak mengaitkan kekerasan yang terjadi dengan sengketa atas wilayah Alexandretta/Hatay.
Harus dicegah
Meskipun demikian, dalam konteks Timur Tengah ada dua faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam menilai kemungkinan pecahnya perang. Faktor pertama adalah efek bola salju perang dan faktor kedua adalah jebakan komitmen aliansi.
Efek bola salju dari pecahnya perang antara Turki dan Suriah akan menciptakan rentetan konflik bersenjata di beberapa tempat di kawasan Timur Tengah. Suriah tidak hanya membangun aliansi dengan Iran, tetapi juga jadi pelindung bagi kelompok-kelompok bersenjata di kawasan, seperti Hamas dan Hezbollah.
Keterlibatan Suriah dalam perang antarnegara akan menyeret keterlibatan kelompok-kelompok bersenjata itu. Permasalahan terbesarnya, kelompok-kelompok itu tak bersinggungan dengan Turki, tetapi bersinggungan dengan Israel. Konflik bersenjata yang melibatkan Hamas dan Hezbollah akan berdampak pada kondisi di Palestina dan Lebanon, terutama Lebanon selatan.
Faktor kedua yang harus dipertimbangkan adalah munculnya jebakan komitmen aliansi. Turki merupakan salah satu anggota NATO yang merupakan pengaturan keamanan di Eropa untuk menghadapi ancaman dari luar NATO. Keterikatan ini berpotensi membawa semua negara NATO ke dalam perang antara Turki dan Suriah. Keterlibatan NATO dalam konflik ini akan semakin memperburuk kondisi. Belum lagi jika Iran turut terlibat karena keterikatan relasi strategisnya dengan Suriah.
Skenario menggunakan Turki untuk menekan kedekatan Suriah dengan Iran pernah dikemukakan dalam laporan ICG bulan Desember 2009. Skenario yang sama dapat juga digunakan untuk memberikan tekanan terhadap rezim Assad untuk mengakhiri kekerasan terhadap kelompok oposisi.
Pilihan terhadap skenario ini juga pernah diungkapkan oleh Jon Alterman, Direktur Kajian Timur Tengah CSIS Washington, di depan Komisi Senat untuk Urusan Luar Negeri pada April 2012. Alterman mengusulkan agar Pemerintah AS menggunakan ketidakharmonisan hubungan Suriah-Turki untuk memberikan tekanan bagi rezim Assad. Apalagi, Turki juga menjadi safe-haven bagi kelompok-kelompok anti-Assad dan menampung para pengungsi Suriah. Meski demikian, patut dicatat bahwa skenario tersebut tidak diarahkan pada upaya menciptakan konflik bersenjata dalam skala serius antara Turki dan Suriah.
Dua pertimbangan tersebut harus lebih dikedepankan untuk mencegah munculnya kekerasan yang lebih serius antara Turki dan Suriah. Upaya untuk meredakan ketegangan harus dilakukan secara serius untuk menghindarkan kedua negara dalam konflik yang berkepanjangan. Upaya itu sama pentingnya dengan upaya untuk menyelesaikan konflik internal di Suriah.
Broto Wardoyo Dosen Mata Kuliah Dinamika Kawasan Timur Tengah, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, UI
(Kompas cetak, 31 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®




















Menjajaki Pemilu Serentak

EFFENDI GAZALI
Salah satu inti komunike bersama tokoh lintas agama pada September lalu adalah kemarahan terhadap korupsi politik. Mereka berpendapat bahwa pelemahan KPK dimotivasi oleh keterlenaan atau kekhawatiran politisi akan dana persiapan Pemilu 2014.
Terlena sebab politisi merasa sebelumnya cukup mudah mendapatkan dana melalui korupsi politik beramai-ramai. Khawatir karena Pemilu 2014 sudah dekat, sementara kemungkinan korupsi politik ditutup oleh KPK.
Pada negeri yang tak sungguh-sungguh memiliki semacam komisi rekonsiliasi dan kebenaran, titik nol pemberantasan ko- rupsi sering tidak jelas tegas. Aparat pene- gak hukum bisa merambah ke zona waktu sebelumnya sekaligus merangsek korupsi terbaru. Karena hanya sebagian kecil dari beban puluhan ribu laporan atau temuan yang sempat diolah, segera mencuat teri- akan tebang pilih. Mengapa orang tertentu saja? Mengapa yang jumlah uangnya hanya segini? Sebagian bilang bahwa yang terkena hukuman kebetulan sedang apes.
Di tengah kebuncahan masa lalu dan masa kini itu, tentu sorotan ke masa depan untuk mencegah atau mengurangi korupsi politik amat diperlukan. Tantangan utamanya: biaya politik dan politik uang pada pemilihan umum. Kami peneliti komuni- kasi politik serius berpikir bahwa pemilu serentak pada 2014 adalah keniscayaan yang amat perlu dijajak dan didesak secara nasional.
Cegah suap
Dengan pemilu serentak pada 2014, setiap kita akan menghadapi enam kotak di tempat pemungutan suara. Kotak pertama untuk pemilu presiden. Kotak kedua untuk pemilu legislatif (DPR) pusat. Kotak ketiga untuk pemilu legislatif tingkat satu. Kotak keempat untuk pemilu legislatif tingkat dua. Kotak kelima untuk pemilu senator (DPD). Kotak keenam untuk pemilihan kepala daerah. Tentu beberapa daerah tidak memerlukan pemilu legislatif tingkat dua sehingga kotak suara di situ hanya lima.
Terdapat beberapa manfaat pemilu serentak. Pertama, penghematan APBN dan APBD. Setidaknya efisiensi akan menca- kup tujuh hal: pemutakhiran data pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas, honorarium, dan uang lembur. Ferry Kurnia, komisio- ner KPU, memperkirakan lebih kurang Rp 22 triliun bisa dihemat. Belum lagi penghematan di tingkat daerah dengan 530 pil- kada.
Kedua, arah kaderisasi dan pembangunan kapabilitas politik lebih jelas. Dengan adanya pemilu serentak, tiap partai politik jauh-jauh hari harus memetakan siapa yang bertarung di level dan daerah mana. Jangan seperti sekarang, ada poli- tisi yang terkesan mencari peruntungan ke mana-mana. Maju ke tingkat pilpres, lalu coba lagi di pilkada di satu provinsi, terus pindah mengadu nasib ke provinsi lain. Spekulasi bahwa seorang kepala daerah akan menelantarkan rakyatnya karena bisa tiap saat sesukanya maju ke pilkada atau bahkan pilpres bisa dikurangi.
Dari kedua poin ini kita bisa pula men- cegah biaya politik dan politik uang yang telah terbukti amat ganas. Ganjar Pranowo pernah menyebut angka Rp 1,2 triliun yang dihabiskan dua kandidat pada suatu pilkada. Menyangkut pilpres, selama ini kita tak pernah meyakini berapa biaya kampanye riil. Apalagi soal politik uang yang amat kita yakini baunya, tetapi hampir tak pernah diakui. Mungkin pelaku politik uang malah menuduh lawannya lebih gila lagi melakukan politik uang.
Dari mana asal dana taktis itu? Buku se- rial Wisnu Nugroho (Gramedia, 2010- 2011) memperlihatkan secara tak langsung kedekatan para pengusaha dengan pilpres. Bahkan, terlihat gambar koper uang yang dibawa ke mana-mana. Dalam konteks kini, ada penangkapan kepala daerah karena indikasi suap menjelang pilkada. Dengan cara berpikir sederhana, pemilu serentak bisa menguras uang pengusaha yang mengharap imbalan calon kepala daerah ketika dia terpilih. Kalau dulu, misalnya, Rp 9 miliar cukup untuk tiga calon kepala daerah, bagaimana kini membagi atau menguras semua dana untuk investasi di pilpres, pemilihan legislatif, dan sekitar 265 pilkada?
Merencanakan hambatan
Apa saja hambatan pilkada serentak? Pertama, jadwal pilkada yang berbeda-beda. Sebetulnya kalau saja semua pihak memiliki niat baik, rumusannya bisa dise- pakati bersama. Usul utama berupa pelak- sanaan pilkada hanya dua kali dalam kurun lima tahun. Tepatnya, bersamaan dengan pilpres 2014, bersamaan dengan pilpres 2019, dan satu kali di tengahnya. Jadi, terdapat jarak 2,5 tahun untuk pilkada serentak. Kepala daerah yang sisa masa jabatannya kurang dari 1,25 tahun merapat ke pemilu serentak 2014. Yang lebih dari 1,25 tahun disatukan ke pilkada serentak 2016.
Apakah kepala daerah akan sangat diru- gikan? Jika Anda telah berbuat untuk rakyat dan dicintai, dimajukan kurang dari 1,25 tahun bukan masalah serius. Joko Widodo terbukti dipilih 91 persen rakyatnya pada pilkada kedua di Solo dan menang (gagasan) di Jakarta yang belum pernah dia urus.
Hambatan kedua berupa rencana penolakan dari partai politik dan DPR. Salah satu alasan yang agak bernada keilmuan adalah presiden terpilih akan lemah karena tak didukung di parlemen. Ini pun sering terbukti keliru, baik pada tatanan teoretik maupun empirik.
Dalam banyak teori, koalisi pemerintahan bisa dibangun setelah jelas siapa presiden pilihan rakyat. Lebih gamblang dari alasan teoretik, lihatlah betapa kepemimpinan presidensial mutakhir di Indonesia relatif amat lemah meski ada sekretariat gabungan dan sebagainya.
Di atas itu semua, dengan pemilu seren- tak, kita tidak buang energi ribut-ribut soal ambang presidensial. Partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu, baik sendiri- sendiri maupun bersama-sama (sesuai dengan bunyi konstitusi) bisa mengusulkan calon presiden. Hanya dengan terobosan ini, kita bisa memiliki capres alternatif. Capres yang sudah merasa memiliki elektabilitas tinggi, kalau berani dengan ambang batas 20 persen, mengapa ciut nyali dengan kompetisi lebih terbuka?
Hambatan ketiga yang bisa diembuskan adalah kekhawatiran tidak siapnya KPU dan Mahkamah Konstitusi (jika terdapat sengketa). Namun, sebagian politisi, komisioner KPU, dan Ketua MK telah menyatakan siap. Mereka yakin rakyat juga siap. Dalam komunikasi politik modern, yang diperlukan sekarang tinggal media dan tokoh-tokoh nasional menyuarakan opinionated news untuk menggulirkan informasi ini guna mendapat dukungan sikap. Khususnya melalui televisi.
Semoga pemilik dan profesional di televisi insaf bahwa menyelamatkan bangsa dengan mencekik bayang-bayang korupsi politik 2014 tak dapat dilakukan oleh sinetron galau, mistik, dan komedi fisik.
Effendi Gazali Peneliti Komunikasi Politik
(Kompas cetak, 31 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

















Bertanya-tanya tentang Pemimpin

DAVID KRISNA ALKA
"Kita tak perlu tepuk dan sorak kalau kita tak sanggup berjuang," kata Bung Hatta. Ya, kita tak ingin pemimpin yang tak sanggup berjuang, yang melulu berpijak pada teriak dan slogan, bukan pada kenyataan!
Barangkali hanya Indonesia, negara yang sudah puluhan tahun merdeka, tetapi masih bertanya-tanya pemimpin macam apa yang kita perlukan. Sebab, selama ini belum ada "tangan- tangan" keadilan dari kepemimpinan yang mewujudkan kemakmuran rakyat di Tanah Air yang berlimpah kekayaan ini.
Indonesia dihadapkan pada kenyataan lemahnya basis-basis kepemimpinan dan tiadanya kepemimpinan yang berjuang setelah menang dalam perebutan kekuasaan. Lebih banyak pemimpin yang berjuang saat berebut kekuasaan. Lantas apa yang membuat kita gelisah dan bertanya-tanya mengenai seperti apa pemimpin di republik ini?
Basis kepemimpinan
Hampir setiap hari ada saja berita tentang kebobrokan basis-basis kepemimpinan. Kerusakan mental bangsa lebih banyak diinisiasi oleh elite pemegang kewenangan/kekuasaan yang hulunya adalah partai politik, tempat bersemainya kepemimpinan politik.
Tim Litbang Kompas (24 Juli 2012) mencatat, tahun ini jumlah kepala daerah (bupati/wali kota/gubernur) yang tersangkut korupsi sebanyak 213 orang. Dari jumlah total 495 kepala daerah, berarti sekitar 43 persen kepala daerah bermasalah dengan kasus-kasus korupsi. Para kepala daerah itu jauh dari harapan tipikal pemimpin modern yang seharusnya bersih dari korupsi, berintegritas, populis, dan bekerja sepenuh hati untuk rakyat.
Itulah bukti corong-corong kepemimpinan di parpol lemah, bahkan mengalami kerusakan. Akibatnya, seperti keluhan Haji Agus Salim (1931), rakyat seolah diperbuat seperti kayu mati, yang dirundingkan bagaimana caranya harus dikerat, dipotong, dibelah, diketam, diketuk, dibentuk. Untuk keperluan siapa?
Memang, tipe masyarakat Indonesia masih sangat terpengaruh oleh para pemimpin. Kepemimpinan merupakan "jiwa politik" yang melekat dalam dinamika politik di Tanah Air. Kepemimpinan politik yang tegas, kuat, dan merakyat menjadi harapan perbaikan negara.
Seorang pemimpin pasti diperlukan. Namun, Jakob Oetama (2003) mempertanyakan, pemimpin macam apa yang semakin mendesak dibutuhkan ketika orang menengok ke kiri dan ke kanan tak pula merasa menemukan sosok yang sepadan dengan tantangan zaman.
Kepemimpinan politik yang diperlukan adalah pemimpin bangsa yang berkepribadian, berkarakter, bervisi, berkomitmen, dan menjadi suri teladan bagi bawahan dan rakyatnya. Untuk menghadapi perubahan zaman seperti sekarang, kita perlu pemimpin politik yang mampu menyelenggarakan kekuasaan secara beradab, menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, yang tidak menyalahgunakan kekuasaan, wewenang, kesempatan, dan koneksi.
Di samping itu, rakyat jangan dikondisikan membeo kepada pemimpin yang tak beradab, yang dijadikan obyek tipu-daya dan pembodohan diam-diam demi kepentingan kekuasaan. Tentang hal ini, Mestika Zed (2003) mengutip pernyataan Bung Hatta. "Negara yang rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak pernah turut memperhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya, (berarti) tidak memiliki kemauan dan tidak melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh."
Jika demikian, rakyat tidak akan pernah insaf akan harga diri dan kedaulatannya sehingga ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa saja, rakyat akan tetap tertindas oleh orang yang berkuasa.
Artinya, tugas pemimpin pertama-tama ialah mendidik rakyat, bukan memperalat rakyat. Memimpin berarti menyelami perasaan dan pikiran rakyat serta memberikan inspirasi agar rakyat bisa keluar dari kesulitan yang membebaninya.
Namun, kini kita tak punya lagi waktu untuk berandai-andai dan berkhayal menginginkan kembali sosok dwitunggal: Soekarno-Hatta. Ahmad Syafii Maarif pernah mengatakan, baiknya peradaban suatu bangsa akan dihasilkan oleh pemimpin yang berperadaban tinggi. Sebaliknya, buruknya peradaban bangsa akan dihasilkan oleh pemimpin yang berperadaban buruk.
Suluh moral
Sejatinya, karakter pemimpin lahir dari partai politik. Karena melalui partai politik akan didistribusikan kader-kader terbaik bangsa untuk menempati jabatan publik di lembaga-lembaga negara.
Kaderisasi pemimpin politik erat kaitannya dengan kesinambungan kepemimpinan bangsa. Dalam kaitan ini, membangkitkan dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila sebagai suluh moral dalam pengaderan menjadi penting. Jangan sampai setiap pemimpin yang hadir selalu dituduh sebagai pengkhianat Pancasila.
Menetas pemimpin masa depan Indonesia perlu "mengerami" calon-calon pemimpin dengan baik. Dengan begitu diharapkan muncul pemimpin yang mau, mampu, dan berani berjuang mengubah karut-marut kepemimpinan dari desa sampai istana. Begitulah kira-kira....
DAVID KRISNA ALKA Peneliti Populis Institute; Ma'arif Institute for Culture and Humanity
(Kompas cetak, 31 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

















Generasi Transformasional

Kurnia JR
Hal menarik dari Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru usai adalah ketegasan menyinggung penyakit birokrasi, khususnya dalam hal pelayanan sipil dan kebusukan proses perizinan.
Sementara kontestan lain menyodorkan janji kesejahteraan, kiat menyiasati masalah banjir dan kemacetan, juga pendidikan dan layanan kesehatan gratis tanpa kesungguhan menyinggung kelemahan utama birokrasi, Joko Widodo (Jokowi) terang-terangan mengungkapkan apa yang dia sebut negosiasi transaksional. Contohnya pembuatan KTP dan proses perizinan, yang mestinya lancar tanpa pungutan liar karena prosedurnya jelas, tetap mengisap darah rakyat dengan cara mempersulit. Birokrat besar mencaplok mangsa besar, birokrat kecil memalak rakyat kecil.
Borok birokrasi ini pula yang melukai hati kalangan minoritas pada masyarakat kita yang heterogen. Etnis atau komunitas tertentu mengalami perlakuan tidak adil ketika berurusan dengan instansi pemerintahan, tanpa bisa melawan atau memprotes, karena seakan-akan diskriminasi aparat disokong sistem dalam piramida pemerintahan.
Pada praktiknya, jajaran birokrasi menerapkan anekdot: "kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?" Kepala daerah dan seluruh jajaran aparatnya hadir bukan sebagai fasilitator warga negara, melainkan sebagai para tuan besar peminta upeti.
Puluhan tahun di bawah sistem "birokrasi pungli dan palak" yang dikukuhkan rezim Orde Baru dengan memberi gaji kecil dan celah untuk mencari duit tambahan dari aneka proyek dan "jasa pelayanan publik", bercokol di benak rakyat pemakluman bahwa pungli atau pemalakan aparat terhadap diri mereka merupakan hal yang wajar. Menjadi semacam sebagai balas jasa bagi pelayanan perizinan, pembuatan KTP, dan lain-lain.
Sudah sepatutnya tumbuh tunas-tunas baru dalam masyarakat kita yang menumpas semua takhayul, yang menganggap wajar pemalakan aparat birokrasi terhadap warga masyarakat. Kehadiran pasangan plural Jokowi dan Basuki laik dipandang sebagai simbol mewujudnya demokrasi yang sejati dalam kemajemukan publik Indonesia.
Kedewasaan kita menerima para eksponen pemimpin dari komunitas mana pun, termasuk etnis minoritas, merupakan keniscayaan buah reformasi 1998. Terlalu picik kalau kita kukuh berpegang pada kriteria sempit pemimpin daerah dan pemimpin nasional tanpa menimbang aspek kompetensi dan komitmen moral serta kematangan kepribadian figur-figur bersangkutan.
Para politikus masih berpikir rakyat gampang dibujuk untuk memilih jago mereka dalam pemilihan kepala daerah atau kepala negara dengan iming-iming kesejahteraan dan kemakmuran. Mereka belum insaf bahwa yang terutama dibutuhkan pada sebuah negara adalah fasilitator publik. Sesungguhnya, untuk urusan perut dan kebutuhan dasar lainnya, rakyat bisa mencari sendiri. Bahkan, di "negeri autopilot", rakyat jelata tetap bisa mencari makan, sementara pemerintah mungkin tidak tahu bagaimana mereka mengais rezeki dan bertahan hidup di tengah situasi dan kondisi ekstrem.
Kebobrokan birokrasi
Generasi baru dalam kepemimpinan nasional dan daerah masa kini sepatutnya bermakna dan berkonteks transformasional. Setelah berlalu hampir 15 tahun sejak rezim tua tumbang, dan negara masih dipimpin oleh eksponen-eksponen dari "generasi masa lalu", harus diproklamasikan kebangkitan generasi baru yang mengembuskan napas segar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Telah terbukti, pemerintahan yang dikelola oleh generasi yang masih memiliki hubungan dengan rezim Orde Baru gagal mengisi era reformasi guna menghabisi korupsi dan aneka kebobrokan birokrasi. Situasi dan kondisinya bahkan makin parah. Ada peralihan tongkat estafet praktik korupsi dari generasi tua ke angkatan muda di berbagai lembaga di semua jenjang. Sejak awal telah terbaca bahwa elektabilitas Jokowi-Basuki, sebagai contoh kasus, disokong oleh harapan akan perbaikan birokrasi. Sebab, aspek itulah yang diperjuangkan Jokowi semasa memimpin Solo dan dikampanyekan untuk Jakarta.
Di negara modern, rakyat tak butuh centeng atau tukang pukul pribadi, seolah-olah hidup di terminal atau pasar yang dikuasai preman dan jagoan jalanan. Gaya pemerintahan Orde Baru yang menyuburkan premanisme dalam politik dan bisnis telah menciptakan momok yang menakutkan orang-orang yang tak mampu membayar pelindung. Anasir- anasir yang merajalela di luar hukum tak mendatangkan faedah justru melembagakan ketakutan. Premanisme demikian merasuki segenap instansi pemerintah, nyaris sepanjang usia republik ini.
Orang Jawa mengenal nubuat Raden Ngabehi Ronggowarsito mengenai apa yang disebut satria boyong pambukaning gapura, pemimpin yang bakal membuka gerbang kejayaan bangsa. Satria bisa bermakna kiasan, yakni personifikasi dari kondisi ideal, atau generasi yang diidealisasi di seberang dekadensi dan keputusasaan massal.
Dengan demikian, visi pujangga abad XIX itu dapat ditafsirkan sebagai harapan besar bakal datangnya generasi transformasional. Sebuah generasi yang berkomitmen pada cita-cita reformasi, takzim pada pentingnya proses ketimbang hasil instan, memiliki kesadaran tinggi akan harga diri dan aktualisasi diri.
Generasi ini konsisten mengambil pelajaran dari banyak kekeliruan para pendahulunya. Mereka konsekuen mentransformasikan inspirasi dan gagasan mengenai pemerintahan bersih dengan tekad suci, sehingga mampu menumbangkan berhala-berhala yang dirasuki spirit jahanam penyebar kesesatan, yang membuat kaum birokrat menjadi korup.
Kurnia JR Sastrawan
(Kompas Cetak, 31 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














TKI Diobral di Malaysia

Tenaga kerja Indonesia di Malaysia kini diobral. Itu sekurang-kurangnya bunyi iklan yang menggambarkan TKI sebagai barang jualan.
Tidak tanggung-tanggung, iklan yang ditulis dalam bahasa Inggris itu berbunyi "Indonesian maids now on SALE!!!". Artinya lebih kurang "Pelayan Indonesia kini DIOBRAL!!!". Iklan itu menawarkan kemudahan mendapatkan pekerja rumah tangga asal Indonesia dengan jaminan 3.500 ringgit (sekitar Rp 10,8 juta) dan biaya 7.500 ringgit (sekitar Rp 23,2 juta) setelah diskon 40 persen. Bukan main!
Mungkin saja tidak akan menjadi heboh jika iklan itu tidak ditemukan dan dipersoalkan oleh Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah. Dari iklan yang ditemukan Hidayah pekan lalu di Kuala Lumpur itu, segera terbayang persepsi dan perlakuan masyarakat Malaysia, sekurang-kurangnya sebagian, terhadap TKI.
Seakan tidak dapat disembunyikan lagi, TKI diobral seperti barang jualan, yang sangat lazim pada zaman perbudakan dulu. Jangan-jangan pula TKI merupakan bentuk perbudakan modern, yang meredusir manusia menjadi barang dagangan. Masuk akal, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa protes keras atas iklan di Malaysia yang melecehkan TKI itu.
Pemerintah Indonesia memang harus memprotes sekeras-kerasnya dan mengecam iklan tersebut. Hanya saja berbagai kalangan berpendapat, protes memang penting, tetapi jauh lebih penting sebenarnya program nyata pemerintah untuk melindungi hak, martabat, dan kehormatan TKI di Malaysia dan sejumlah negara.
Bahkan muncul pula sinisme, tak ada gunanya hanya memprotes Malaysia jika perlakuan terhadap TKI tak juga berubah di Indonesia. Bukankah masih dikeluhkan bagaimana TKI menjadi sasaran pemerasan ketika berangkat dari Indonesia atau pulang ke Tanah Air? Banyak hal yang perlu dibenahi dan dibereskan terkait masalah TKI. Upaya perlindungan hak, martabat, dan kehormatan TKI harus dilakukan secara serius, tidak berhenti pada retorika saja.
Sudah sering dipertanyakan, mengapa bukan tenaga profesional dan terlatih saja yang dikirim ke mancanegara. Pengiriman tenaga kerja pembantu sangat berisiko karena mereka akan mudah diperlakukan sewenang-wenang oleh majikannya. Tentu saja semua wacana tentang nasib TKI tidak akan ada habis-habisnya jika lapangan kerja di dalam negeri sebagai akar terdalam persoalan tidak segera dibereskan.
Banyak orang terpaksa pergi ke mancanegara, meninggalkan sanak keluarga dan kampung halaman, karena tidak memiliki pekerjaan. Kegagalan negara menciptakan lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan, sebagaimana diamanatkan konstitusi, telah memaksa jutaan orang mengadu nasib ke negara lain meski tahu akan menghadapi berbagai risiko, seperti pemerasan, pelecehan, pemerkosaan, penganiayaan, penyiksaan, bahkan pembunuhan.
(Tajuk Rencana Kompas, 31 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®





Selasa, 30 Oktober 2012

Poso dan Poso Lagi

Hamid Awaludin
Poso kembali menyedot perhatian kita hari-hari ini lantaran kekerasan yang terus terjadi beruntun. Poso seolah menjadi palagan dan simbol kekerasan di negeri kita. Kekerasan seakan menemukan lahan persemaian abadi di Poso kendati perdamaian atas konflik horizontal telah dirajut persis sepuluh tahun silam.
Tanggal 23 Oktober 2012, saya bersama Jusuf Kalla tiba di Poso pada pagi hari. Sejam sebelumnya, bom tanpa korban, masih meledak, seolah mengirim pesan bahwa para pelaku kekerasan masih berseliweran dan tiap saat bisa beraksi.
Kami tak peduli dengan itu. Banyak rentetan kekerasan dengan menggunakan bom yang terjadi belakangan ini di Poso diarahkan kepada simbol-simbol negara: pos jaga polisi dan aparat keamanan. Bahwa ada rakyat sipil yang kena, tampaknya itu hanya dampak. Dengan potret ini, jelaslah bahwa motif kekerasan tersebut adalah anti terhadap negara.
Motif bisa jadi muncul lantaran negara berhasil menyapu, menangkap, dan menindak para pelaku kekerasan yang biasa dilabel sebagai teroris di berbagai tempat. Kesuksesan negara mengatasi tindak kekerasan ini membuat mereka meradang dan ingin membalas kepada negara. Pertanyaannya kemudian, mengapa tindakan balas dendam itu dilakukan di Poso?
Masih ada sekam
Tidak pelik menjawabnya: Poso adalah kawasan dengan sisa puing konflik horizontal yang terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu. Sekam kekerasan masih ada dan setiap saat bisa menyala lagi. Poso adalah kumpulan ilalang kering yang masih begitu mudah terbakar.
Konflik horizontal, di mana pun, selalu membutuhkan rentang waktu yang begitu panjang untuk memulihkannya. Konflik horizontal tidak hanya meninggalkan kerugian material dan luka badan, tetapi juga luka rasa dan hati.
Para teroris memahami betul psikologi ini. Karena itu, mereka menjadikan Poso sebagai tempat membalas dendam, dengan harapan sekam sisa-sisa konflik masa lalu itu bisa dengan enteng dinyalakan lagi.
Untunglah, hingga kini, kedua komunitas yang pernah bersilangan jalan dan saling menafikan itu tidak terprovokasi. Mereka sudah hidup berdampingan dan merasakan nikmatnya keteduhan dan kedamaian, yang bebas dari ingar-bingar peperangan.
Oleh karena itu, konflik vertikal—negara menghadapi kelompok pro-kekerasan—harus segera diselesaikan agar tidak merambat ke konflik horizontal—komunitas yang satu melawan komunitas lainnya—yang menguras air mata rakyat.
Bukan konflik komunal
Tesis inilah yang jelas menggugurkan anggapan bahwa kekerasan demi kekerasan di Poso yang terjadi belakangan ini bukanlah refleksi dari konflik komunal, seperti yang terjadi sepuluh tahun silam. Tidak ada dua kelompok yang saling mengapak dan membunuh di sana sekarang. Yang terjadi adalah serangan sepihak dari sejumlah orang yang mengklaim dan memutlakkan kebenaran subyektif, kepada negara.
Lepas dari itu semua, secara geografis Poso adalah wilayah dengan hutan lebat yang amat strategis untuk menyembunyikan diri dan identitas. Gunung, bukit, danau, juga sungai serta laut amat membantu para teroris berlalu lalang kapan saja untuk melakukan aksi mereka. Mereka menjadi susah terlacak, pelik terdeteksi. Kondisi alam tersebut amat pas untuk kegiatan gerilya teroris dengan pola hit and run.
Itu pula sebabnya mengapa Poso kerap ditengarai sebagai tempat pelatihan militer bagi para teroris. Faktanya, memang, Poso sekarang menjadi tempat berkumpul para pelaku kekerasan dari sejumlah daerah yang melarikan diri dari kejaran aparat negara. Maka, Poso pun dipersepsikan dan dijadikan sebagai pondok reuni yang nyaman bagi sesama pelaku kekerasan lain.
Dengan kondisi alam seperti ini, negara harus melengkapi aparat kepolisian dan TNI dengan peralatan yang memadai. Dukungan logistik juga harus berlipat ganda. Medan dengan hutan yang lebat mutlak memerlukan kehadiran perangkat helikopter yang siap beroperasi 24 jam. Ingat, kelengahan aparat adalah derita rakyat.
Ajaran ekstrem
Menurut pengakuan sejumlah orang yang kami temui di Poso, belakangan ini ajaran ekstrem kian merebak. Malah ada yang menyaksikan bahwa tempat seseorang yang telah menunaikan shalat di masjid langsung dibersihkan oleh seseorang. Orang yang membersihkan itu ternyata adalah anggota komunitas eksklusif, yang menafikan kebenaran orang lain selain dirinya dan anggota kelompoknya.
Orang atau kelompok lain dianggap tidak memiliki kebenaran dan oleh karena itu semua dianggap sebagai Toghut: iblis atau musuh besar. Inilah yang terjadi, dan inilah perang yang sesungguhnya sedang terjadi di Poso sekarang. Ini yang lebih penting. Bukan yang lain-lain.
Maka, penyelesaian kekerasan di Poso kali ini haruslah dengan ikhtiar serius untuk membendung ajaran sesat tersebut. Virus paradigma yang nyasar itu tidak boleh menular ke masyarakat. Para juru dakwah harus segera dimobilisasi dan diberi jaminan keamanan untuk menyampaikan dakwah yang lebih menghargai perdamaian dan perbedaan ke masyarakat, sekaligus mengingatkan bahwa ajaran yang disebarkan dan dipaksakan kelompok tertentu itu adalah ajaran sesat.
Biar masyarakat dengan mudah memahami bahwa para pelaku kekerasan itu justru salah. Ajaran agama yang menyesatkan harus dilawan dengan ajaran agama yang benar. Pemahaman dan praktik agama yang keliru harus dihadapi dengan pemahaman agama yang benar. Dogma mereka harus dihentikan agar tidak pelan- pelan menyusup ke dalam pikiran orang banyak.
Setelah itu, rakyat di Poso dan sekitarnya harus diberi keberanian moril untuk secara bersama memperlakukan kelompok yang memaksakan kehendak dengan kekerasan itu sebagai musuh bersama. Negara harus melindungi dan menguatkan rakyat untuk berani berteriak bila mereka melihat sosok asing di lingkungannya. Negara harus menyiapkan mekanisme agar teriakan rakyat itu tidak justru menjadi bala buat rakyat sendiri.
Jangan sampai Poso berkubang dalam kekerasan lagi. Jangan sampai kita "digiring" untuk prihatin dan berseru: "Poso, dan Poso lagi".
Saya khawatir, jika Poso dibiarkan berlarut dengan kekerasan, ucapan seorang raja 2.500 tahun silam akan menemukan kebenarannya. Sang raja berucap: "Dalam damai, anak-anak menggendong dan menguburkan ayah mereka. Dalam perang, ayah menggendong dan menguburkan anak-anaknya."
Hamid Awaludin Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar
(Kompas cetak, 30 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®






















Senin, 29 Oktober 2012

Rektor Universitas Hindu Dilaporkan ke KPK

Muhammad Hasanudin

Diduga korupsi uang negara miliaran rupiah, Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Ida Bagus Gde Yudha Triguna dilaporkan oleh sejumlah organisasi ke KPK.

Menurut pelapor dari Dewan Persatuan Pasraman Bali, Sunda Kecil Intitute, Koalisi Masyarakat Anti Korupsi dan Elemen Masyarakat Anti Korupsi, Yudha Triguna yang juga merangkap jabatan sebagai Rektor Universitas Hindu Indonesia diduga menyelewengkan anggaran dari Departemen Agama untuk kepentingan universitasnya, bukan untuk umat Hindu.

"Ada dua kasus yang kami laporkan, dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang," ujar Ketua Pembina Persatuan Pasraman Bali Acharya Agni Yogananda, di Denpasar, Senin (29/10/2012).

Dari hasil investigasi para pelapor, beberapa kejanggalan terlihat di antaranya Yudha Triguna sering memberi hadiah kepada Ketua Yayasan Universitas Hindu Indonesia untuk gratifikasi tanpa adanya audit sejak tahun 2006 lalu.

"Dugaan lainnya yakni beasiswa untuk mahasiswa tidak mampu sering jatuh ke tangan yang tidak tepat; dana pengembangan SDM dilarikan ke pembelian mobil untuk para pejabat di lingkungan universitas dan lainnya," beber Acharya.

Laporan dugaan korupsi ini sudah disampaikan ke KPK Rabu (24/10/2012) lalu dan pelapor menjelaskan langsung kepada KPK dugaan-dugaan penyelewengan yang dilakukan oleh Yudha Triguna.

Laporan dugaan korupsi ini juga dikirimkan ke Inspektorat Jenderal Kementerian Agama serta Kaukus Anti Korupsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk ditindaklanjuti oleh lembaga-lembaga yang berwenang tersebut.

Terkait laporan ini, sampai saat ini Yudha Triguna belum dapat dikonfirmasi.
(Kompas.com)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kegagalan Partai Islam

Fajar Riza Ul Haq

Partai politik Islam diprediksi akan tergusur dari pusaran politik nasional pada 2014. Kemungkinan pergeseran peta politik ini hasil jajak pendapat jika pemilu dilakukan awal Oktober 2012.

Merujuk survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network, tak satu pun partai berbasis massa Islam masuk zona aman. Justru ranking lima besar dimonopoli partai yang tidak memiliki konstituen tradisional Islam, yaitu Golkar, PDI Perjuangan, Demokrat, Nasdem, dan Gerindra. Kemunculan Nasdem yang diisi mayoritas politisi muda mengejutkan dan diyakini akan jadi penantang serius bagi dominasi Golkar, PDI-P, dan Demokrat.

Hasil survei tersebut telah memancing ragam tanggapan dari beberapa petinggi partai Islam. Hidayat Nur Wahid (PKS) menilai survei bukan realitas hasil pemilu sehingga tak boleh ditunggangi untuk mengarahkan opini bahwa partai-partai Islam tak layak dipilih. Romahurmuziy (PPP) mengkritik LSI yang mengabaikan faktor struktur dan manuver tokoh parpol Islam yang efektif bekerja jelang pemilihan. Namun, Muhaimin Iskandar (PKB) tidak terlalu merisaukan hasil survei karena masih sebatas sampling dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi partai.

Dua fenomena sosiologis

Terlepas dari faktor-faktor teknis survei yang dikeluhkan parpol Islam, ada tren perilaku pemilih yang semakin dominan: pola partisipasi politik warga lebih berpengaruh dan efektif ketimbang pola mobilisasi sentimen primordialitas. Kasus pemilihan gubernur-wakil gubernur DKI, khususnya pada putaran kedua, mencerminkan melemahnya korelasi pilihan politik dengan eksploitasi sentimen sektarian-keagamaan.

Exit poll SMRC mengungkap lumbung suara Jokowi-Basuki salah satunya bersumber dari anggota ormas Islam: Muhammadiyah (52 persen), NU (43), Persis (38), dan DDII (33). Realitas politik ini berkorelasi negatif dengan seruan dan upaya sejumlah pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar umat Islam warga Jakarta memilih pemimpin seagama.

Sebenarnya temuan kedua lembaga survei di atas kian mengokohkan tesis yang muncul pada Pilpres 2004: politik aliran, loyalitas tradisional, dan pengaruh tokoh-tokoh tradisional sudah melemah (Ricklefs, 2008). Adalah betul jika bandul perilaku pemilih sangat dinamis mengikuti interaksi bahkan ketegangan antara agensi dan struktur sosial-politik. Namun, ada perkembangan sosiologis masyarakat pasca-Orde Baru yang memungkinkan parpol-parpol nasionalis lebih memiliki kesempatan mengakomodasi perubahan perilaku masyarakat Muslim. Inilah yang menyebabkan parpol nasionalis punya daya tarik politik relatif lebih stabil dan konsisten dibandingkan dengan parpol Islam sejak Pemilu 1999 hingga 2009.

Paling tidak ada dua fenomena sosiologis saling berkelindan, yang ikut mendeterminasi melorotnya suara parpol Islam. Pertama, menguatnya "santrinisasi" di kalangan masyarakat Muslim. Santrinisasi di sini dipahami dalam semangat konservatisme. Kesalehan lebih diterjemahkan dalam bentuk keketatan menjalankan pelbagai ritual keagamaan dan penekanan ekspresi simbolik seperti pakaian serta pendirian lembaga-lembaga ekonomi berlabel Islam. Survei Goethe- Institut bersama Lembaga Survei Indonesia, 2011, menemukan konservatisme tumbuh subur di mayoritas generasi muda Muslim (Kompas, 14/6/2011).

Kebijakan deparpolisasi Islam ala Orde Baru telah memicu arus balik ikhtiar santrinisasi dari ranah politik-kenegaraan ke sosial-kemasyarakatan seperti dipelopori M Natsir. Namun, santrinisasi pasca-Orde Baru cenderung tidak meyakini korelasi kesalehan dengan pilihan politik. Menurut Platzdasch (2009), santrinisasi orientasi dan perilaku masyarakat Muslim menjadi alasan parpol-parpol nasionalis tidak lagi bersikap netral terhadap isu-isu keagamaan. Tak ada lagi parpol nasionalis yang sepenuhnya sekuler. Pendirian sayap-sayap partai keagamaan di tubuh Golkar, Demokrat, dan PDI-P merefleksikan perkembangan ini. Gejala "santrinisasi" parpol nasionalis itu berakar dari arus serupa di level masyarakat. Pergeseran sosiologis dan akomodasi parpol nasionalis tidak diimbangi ijtihad politik sepadan dari gerbong parpol Islam. Dampaknya adalah sumber elektoral parpol Islam tergerus.

Kedua, membesarnya kelas menengah yang berkarakter pragmatis. Kelompok ini tidak menempatkan nilai-nilai ataupun ideologi sebagai preferensi utama dalam pilihan politiknya. Partisipasi politik kelas menengah-pragmatis sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan dan kepentingan ekonomi-politik individu maupun kelompoknya terhadap institusi politik. Sifat pilihan politik kelas menengah labil dan tak pasti. Masuk dalam kategori ini adalah kelas menengah Muslim yang lahir pada era Orde Baru.

Pasca-reformasi, kelas menengah Muslim mengalami santrinisasi sebagai dampak dari strategi santrinisasi pada ranah non-negara di era Soeharto. Ini dicirikan kuatnya gelombang ekspresi kesalehan dan atribusi keagamaan di ruang publik, termasuk media. Dalam konteks ini, partai-partai politik berhaluan nasionalis relatif memiliki kapabilitas institusional guna menerjemahkan dan meng-"kanalisasi" aspirasi politik kelas menengah, termasuk dari segmen Muslim-santri.

Beban ideologis-historis

Membayangkan politik Indonesia pasca-Pemilu 2014 tanpa parpol Islam memang terlalu prematur. Namun, ancaman menyusutnya ceruk suara merupakan tantangan yang tak bisa dihindari. Parpol Islam tidak punya pilihan selain belajar dari para kompetitornya sembari melakukan otokritik dan keluar dari kungkungan ideologis. Daya tahan parpol Islam di pemilu nanti akan sangat ditentukan oleh sejauh mana mereka berani keluar dari beban ideologis-historis agar mampu merebut hati pemilih yang sedang berubah perilaku sosiologisnya, tidak terkecuali kelas menengah Muslim-santri.

Kini, semua partai politik dituntut bekerja efektif, proaktif dalam merespons dinamika perilaku pemilih, dan berorientasi pragmatis; berani keluar dari kesempitan ideologis demi terobosan-terobosan genuine dan memberikan manfaat untuk masyarakat. Pada akhirnya, "Setiap bentuk agenda yang dipaksakan secara ideologis pasti akan gagal dan hanya menciptakan bahaya-bahaya...," ujar Mahbubani.

Fajar Riza Ul Haq Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity
(Kompas cetak, 29 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Peraturan Penelitian

Terry Mart

Beberapa waktu lalu departemen kami kedatangan tamu seorang profesor fisika muda dengan prestasi penelitian yang cemerlang dari National University of Singapore.

Tentu saja yang menarik bukan melulu karena dia seorang profesor di NUS, singkatan universitas nasional di Singapura itu, melainkan karena dia seorang warga negara Indonesia. Ia menamatkan sarjana di salah satu perguruan tinggi di republik ini.

Dengan sederet publikasi ilmiah di jurnal papan atas berfaktor dampak sangat tinggi seperti Nature, Science, Applied Physics Letters, dan Physical Review Letters serta dana dan fasilitas penelitian yang tak terbayangkan untuk peneliti Indonesia, tentu saja anak muda ini tidak dapat dipandang enteng di komunitas ilmiahnya. Didorong rasa ingin tahu tentang sepak terjangnya di komunitas ilmiah, saya segera meramban laman tempat yang bersangkutan bekerja.

Saya terkesima, di grup penelitiannya bercokol dua profesor warga negara kita, lulusan perguruan tinggi Tanah Air, dengan segudang prestasi ilmiah seperti publikasi dan paten internasional. Saya sangat yakin, NUS bukan hanya menyimpan dua ilmuwan seperti ini. Masih banyak yang lain yang jarang terliput. Dengan prestasi yang mereka miliki, mereka bersafari ke Tanah Air mencari calon-calon mahasiswa pascasarjana cemerlang untuk diajak bergabung dengan grup mereka.

Cemerlang di luar

Jelas hal ini menjadi pertanyaan besar, mengapa anak bangsa bisa begitu cemerlang di luar negeri. Sedikit saja keluar dari peta Indonesia, prestasi dapat meningkat luar biasa. Pasti ada yang salah dengan sistem kita karena kita jelas menyimpan segudang generasi muda genius, yang dibuktikan dengan perolehan medali emas di ajang-ajang olimpiade nasional hingga internasional, baik sains maupun sosial.

Memang jumlah dana penelitian yang diinvestasikan pemerintah masih jauh dari cukup. Namun, jika dibandingkan dengan 10 tahun silam, peningkatan prestasi penelitian kita tidak seimbang dengan peningkatan dana yang terjadi. Tidak diragukan lagi, sistem yang berlaku telah memberikan andil penting pada permasalahan ini, apalagi jika dikaitkan dengan merosotnya prestasi ilmuwan kita dibandingkan dengan tetangga.

Sebenarnya, permasalahan penelitian di Tanah Air sudah cukup jelas meski sangat rumit karena terkait dengan sistem dan budaya, seperti kepangkatan dan jabatan, kegilaan akan gelar, hingga uang. Solusi yang paling ideal tentu saja "reformasi". Namun, jelas hal ini sulit dilakukan. Resistensinya mahadahsyat karena menyangkut hajat hidup banyak individu. Contoh paling sepele adalah kesadaran pentingnya publikasi internasional.

Publikasi penelitian

Publikasi internasional sebenarnya untuk menjaga kualitas penelitian agar hasil penelitian bermakna secara universal. Karena produktivitas penelitian berkaitan langsung dengan karier si peneliti, publikasi ini membuat peneliti tetap diakui sejawatnya secara global.

Selain itu, publikasi internasional juga sangat diperlukan masyarakat global karena melalui cara ini para peneliti bergotong royong menyelesaikan permasalahan sehingga hasilnya dapat lebih cepat dinikmati masyarakat. Namun, yang tidak kalah penting adalah publikasi internasional merupakan bentuk pertanggungjawaban ilmiah atas dana yang telah dipakai, yang jauh lebih berarti dari sekadar laporan keuangan karena hanya sejawat sebidang yang dapat memeriksa keabsahan hasil penelitian.

Kedua anak muda di NUS itu paham betul bahwa mereka tidak dapat mempertahankan karier jika tidak memiliki publikasi di Nature atau Science. Di republik ini, publikasi internasional malah sering dibenturkan dengan keperluan praktis sesaat atau dengan kondisi penelitian yang kurang kondusif saat ini.

Lebih tragis lagi, kewajiban publikasi internasional bagi calon doktor yang sudah sangat lazim saat ini, baik di negara maju maupun jiran, mendapat tentangan hebat di sini. Hal ini sangat menyedihkan karena selain sangat tidak tepat, pembenturan ini mencerminkan ketidakpahaman akan hakikat penelitian.

Aturan penelitian

Jika reformasi terasa mustahil dilakukan, mungkin pemerintah dapat mengawal kemajuan penelitian melalui peraturan penyelenggaraan penelitian (PPP) di perguruan tinggi. Karena PPP harus dapat memagari kualitas peneliti dan hasil penelitian melalui publikasi dan paten internasional, dalam pembuatannya kita harus belajar dari negara berkembang yang berhasil dalam hal ini. Sebutlah Singapura, Malaysia, atau Afrika Selatan. Untuk meningkatkan sinergi dan efisiensi, perlu pembagian porsi yang jelas antara perguruan tinggi dan lembaga penelitian (kementerian).

Seyogianya PPP mendorong semua perguruan tinggi mengalokasikan sejumlah dana untuk tujuan penelitian. Untuk perguruan tinggi riset, alokasi dana penelitian 10 persen dari dana operasional bukanlah hal yang tidak masuk akal, bahkan dapat dikatakan minimal. Perguruan tinggi juga dapat menugaskan sejumlah pengajar yang berprestasi untuk fokus dalam penelitian, seperti yang dilakukan Universitas Indonesia dalam empat tahun terakhir.

Sejalan dengan itu, pemerintah harus pula melakukan peningkatan investasi penelitian melalui pembangunan infrastruktur penelitian secara berkala serta pemberian insentif penelitian. Kita tahu, investasi penelitian di negara kita kalah jauh dibandingkan dengan negara jiran. Maka, PPP harus dapat mendorong tercapainya critical mass di tiap komunitas penelitian. Pada akhirnya, PPP harus berhasil mengangkat peradaban bangsa ini melalui penelitian, sesuai dengan amanat UUD 1945.

Terry Mart Dosen Fisika FMIPA Universitas Indonesia
(Kompas cetak, 29 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, 28 Oktober 2012

Kelompok Baru Mudah Terbentuk

Anggota Gegana Polri mengeluarkan tas dari lokasi penggerebekan terduga teroris di Palmerah Barat, Jakarta, Sabtu (27/10). Penangkapan terduga teroris oleh tim Densus 88 tersebut merupakan rangkaian penangkapan terduga teroris kelompok Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi).
Photo: KOMPAS/RIZA FATHONI

Jakarta, Kompas - Pemerintah harus tegas menindak mereka yang menyebarkan ideologi radikal, baik melalui dunia maya maupun dengan menebar kebencian dan permusuhan kepada orang lain. Jika tidak, jangan heran jika muncul kelompok baru terorisme seperti Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia.

Demikian dikatakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai di Jakarta, Sabtu (27/10). Ansyaad mengatakan hal tersebut menanggapi penangkapan 11 terduga teroris anggota kelompok Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi) oleh polisi antiteror di Madiun, Solo, Bogor, dan Jakarta, pada Jumat dan Sabtu kemarin.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Negara RI Irjen Suhardi Alius, didampingi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar, dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu petang, mengatakan, Hasmi merupakan kelompok baru terorisme. Mereka memiliki kemampuan merakit bom dengan kekuatan ledak tinggi.

"Polisi antiteror masih mendalami alasan berbagai sasaran yang sudah dipersiapkan oleh para terduga ini," kata Suhardi.

Dari hasil pendalaman sementara, menurut Suhardi, sasaran kelompok Hasmi adalah Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jalan Citra Raya Niaga 2, Surabaya, Jawa Timur. Sasaran selanjutnya adalah Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Plaza 89, yang di depannya terdapat Kedutaan Besar Australia dan kantor PT Freeport Indonesia, serta Markas Komando Brimob Srondol, Semarang, Jawa Tengah.

Suhardi mengatakan, polisi masih mendalami keterkaitan kelompok ini dengan jaringan teroris sebelumnya, sasaran, termasuk rencana eksekusi peledakan bom.

Mudah terbentuk

Ansyaad mengatakan, jaringan kelompok baru terorisme selalu memiliki keterkaitan dengan kelompok sebelumnya. Jaringan baru ini mudah terbentuk serta merencanakan dan melaksanakan aksi teror. Penyebabnya, penyebaran ideologi radikal yang belum tersentuh hukum.

Negara-negara lain, seperti Singapura atau Malaysia, memiliki aturan yang ketat untuk mengurangi penyebaran ideologi radikal dan terorisme. "Kita sebenarnya tahu apa masalahnya. Namun, tidak banyak yang mau peduli," tuturnya.

Penyebaran ideologi radikal tersebut, termasuk cara-cara melakukan aksi teror, banyak beredar di dunia maya. Ansyaad mengatakan, belum ada mekanisme pengawasan dan penindakan terhadap penyebaran ideologi radikal di berbagai situs.

Selain itu, menurut dia, ajakan atau hasutan dengan menyebar kebencian dan permusuhan kepada orang lain (hate speech) belum dianggap sebagai bagian dari kejahatan terorisme. "Alasannya, itu dianggap sebagai kebebasan berekspresi. Namun, tidak ada aturan," katanya.

Karena itu, menurut Ansyaad, salah satu upaya mengurangi penyebaran ideologi radikal adalah merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Harus ada ketentuan bahwa penyebaran ideologi atau paham radikal melalui internet, buku, atau dalam pertemuan-pertemuan tertentu merupakan kejahatan terorisme," katanya.

Pemberantasan terorisme saat ini, lanjut Ansyaad, seakan-akan hanya tugas kepolisian dan BNPT. Aksi terorisme baru menjadi perhatian kalau ada penangkapan atau ledakan bom. "Padahal, terorisme itu musuh negara. Semua pihak harus terlibat, termasuk pembuatan produk undang-undang yang lebih tegas," katanya.

Tanpa ketentuan hukum yang tegas, khususnya terkait sanksi hukum terhadap upaya-upaya awal melakukan terorisme, seperti menyebar kebencian serta permusuhan dan pelatihan kemiliteran, kelompok-kelompok baru akan terus terbentuk.

Oleh karena itu, menurut Ansyaad, dukungan lembaga politik, seperti DPR dan pemerintah, termasuk kementerian terkait, sangat penting untuk membuat kebijakan dan program, khususnya mengurangi penyebaran ideologi radikal melalui berbagai situs dan pembuatan produk perundang- undangan yang lebih tegas.

Barang bukti

Suhardi menambahkan, 11 terduga teroris ditangkap serentak beserta sejumlah barang bukti. Dalam penangkapan di Madiun, polisi antiteror menyita sejumlah bom yang siap ledak, bahan baku pembuatan bom yang dalam proses perakitan, serta buku panduan pembuatan bom. Suhardi mengatakan, buku panduan itu bisa diunduh dari internet.

Sambil menunjukkan sebuah foto yang tercetak di buku, Suhardi mengatakan, "Ada tabung gas 3 kilogram yang di dalamnya sudah diisi bahan peledak kategori high explosive."

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan di lapangan, terduga teroris Agus Anton berperan sebagai perakit bahan peledak, penghimpun relawan, dan penyandang dana kegiatan terorisme di Tanah Air. Sarjana strata satu Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember, ini sehari-hari menjalankan usaha perkayuan di rumahnya.

Dalam penangkapan di Solo, polisi antiteror menyita peledak baik yang sudah siap maupun sedang proses perakitan. Polisi memusnahkan dua detonator rakitan yang ditemukan di salah satu rumah di Mojosongo. Ledakan dua detonator tersebut mengagetkan warga.

Saat penangkapan di Bogor, polisi antiteror menyita bahan- bahan untuk perakitan bom, sejumlah amunisi dengan berbagai kaliber, serta detonator. Dalam penangkapan di Jakarta, polisi antiteror menyita bahan-bahan pembuatan dan perakitan bom.

Suhardi mengatakan, munculnya kelompok baru yang memiliki kemampuan merakit bom dengan kekuatan ledak tinggi ini menunjukkan semakin perlunya kewaspadaan bangsa ini terhadap aksi-aksi teror. Masyarakat pun diminta peduli terhadap kedatangan warga yang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak wajar di lingkungan mereka.

Namun, tidak selalu terduga teroris melakukan kegiatan mencurigakan di lingkungan tempat tinggalnya. Misalnya, Zainudin yang ditangkap di Bogor, oleh tetangganya dikenal sebagai guru di salah satu madrasah ibtidaiyah di Leuwiliang.

Para terduga teroris juga belum tentu pendatang baru di lingkungan tempat tinggalnya. Terduga teroris yang ditangkap di Palmerah Barat, Jakarta, Herman, menurut Udiyanto, Ketua RT 003 RW 009, Kelurahan Palmerah, sudah lama tinggal di wilayahnya. Bahkan, Herman menempati rumah milik orangtuanya.
(Kompas cetak, 28 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 27 Oktober 2012

Makna Baru Sumpah Pemuda

Oleh Puti Guntur Soekarno

Jakarta, 84 tahun silam. Sekelompok pemuda terpelajar dengan latar organisasi kepemudaan beberapa daerah dan agama mengakhiri pertemuan mereka dengan menyatakan sebuah imaji tentang tanah air, bangsa, dan bahasa: Indonesia.

Ini penanda historis suatu masyarakat yang membayangkan diri sebagai satu komunitas politik tanpa menghitung-hitung keuntungan kelompok dan pribadi ke dalam satu semangat kedaulatan politik yang kita kenal sekarang sebagai Sumpah Pemuda.

Tak tersangkal, dalam rentang 84 tahun sejak Sumpah Pemuda diikrarkan, tentu banyak hal baru dalam hidup masyarakat Indone- sia sekarang. Dalam satu dekade berselang, kita telah melampaui periode otoritarianisme dan menikmati hidup politik demokratis dengan segala catatan.

Dengan memperhatikan segala perkembangan baru yang terjadi dalam lingkungan hidup kita, pertanyaan penting adalah bagai- mana kita memberikan makna historis terhadap peristiwa yang terjadi 84 tahun lalu yang sekaligus jadi pijakan normatif bagi hidup kita sekarang.

Konteks baru

Segala yang terjadi dalam hidup kita saat ini memberikan petunjuk bahwa tekad tentang tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu memerlukan makna baru atas situasi yang kita hadapi. Sejarah layak menjadi penerang masa depan, tetapi tidak untuk membebani kita dengan masa lalu.

Merayakannya dengan sekadar mengangkat simbol masa lalu dan menempatkannya sebagai kritisisme atas kehidupan masa kini hanya akan menempatkan kita pada bayangan romantisisme sejarah berhadapan dengan realitas kekinian yang memiliki tantangan lebih besar dan kompleks.

Perlu kita melihat masa lalu dan melihat apa yang kurang dan tak sesuai dengan cara serta metode hidup kita sekarang. Menu- rut pemikir Thomas Paine, satu generasi baru selayaknya mampu membebaskan diri dari ikatan mitos dan traktat-traktat kuno yang sudah tak relevan dengan kondisi dan suasana hidup gene- rasi itu. Setiap generasi baru harus mampu menciptakan cara dan metode baru dalam hidup mereka yang sesuai dengan kondisi zaman dibandingkan dengan sekadar mengutip dan mengikat diri pada apa yang pernah terjadi. Kita anak zaman kita.

Dengan meletakkan Sumpah Pemuda dalam pandangan seper- ti itu, banyak soal sudah pasti muncul berkait dengan serangkaian ironi zaman kita: hidup yang seperti berjalan terbalik dengan tekad yang dicetuskan tentang tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu itu. Hal-hal sederhana yang terjadi dalam kehidupan kontemporer kita di Indonesia sekarang membuktikan hal ini.

Demokrasi yang kita alami sebagai bagian penting dari politik Indonesia pascareformasi hendaknya memberikan pelajaran bagaimana pandangan yang menekankan serangkaian perbedaan, baik asal-usul, agama, etnisitas, budaya, dan pengalaman sejarah sering kali jadi komoditas politik yang memungkinkan satu kelompok atau perseorangan dapat untung dari perbedaan itu.

Sebuah kisah yang belum lama terjadi dalam pemilihan gubernur Jakarta memberikan pelajaran bagaimana seseorang bisa dihakimi tak layak tampil sebagai pemimpin karena latar ras dan agamanya dianggap berbeda dengan mayoritas penduduk yang menghuni provinsi itu. Namun, kita patut bersyukur, kesadaran politik yang berkembang di lingkungan populasi Jakarta, mulai dari penghuni permukiman kumuh di bantaran kali sampai dengan para pekerja profesional di gedung perkantoran modern, menegaskan metode dan sikap para politisi dalam arah itu sebagai gaung tanpa suara yang tidak cukup layak diperhatikan.

Perkembangan lain dalam globalisasi dunia saat ini adalah terjadinya persinggungan langsung dunia antarbangsa yang seakan melipat jarak. Kenyataan yang kita hadapi saat ini adalah hu- bungan dan kerja sama yang sering timpang secara ekonomi, politik, budaya, dan sosial, termasuk secara militer. Padahal, seharusnya tak demikian. Mekanisme dan sistem yang saling berhubungan dan saling bekerja sama harusnya saling menguntungkan.

Hilangnya beberapa pulau di wilayah perbatasan terpencil di Indonesia menunjukkan konsekuensi hubungan dan kerja sama yang timpang itu. Kian terpinggirkannya petani kita karena lahan dikuasai korporasi besar memunculkan penderitaan petani.

Kebijakan impor yang dipuja- puja mematikan hidup petani kita. Tambang nasional dan aset ke- kayaan nasional semakin jauh dari pengelolaan oleh negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Ini semua tantang- an yang tak dapat kita hindarkan memperingati Sumpah Pemuda.

Sebagai bagian dari generasi yang hidup saat ini, tak ada kata yang layak disandingkan dengan tekad masa lalu: keadilan yang menjadi impian seluruh rakyat Indonesia. Kemakmuran dan kemajuan ekonomi Indonesia boleh jadi membanggakan kita. Namun, bila itu hanya dinikmati se- gelintir saja dari ratusan juta rakyat Indonesia dan hanya terpusat di salah satu tempat, tentu akan menciptakan masalah. Ketimpangan itu terang-benderang jadi akar sekian masalah yang mendera Indonesia saat ini.

Sekarang kita boleh kecut bila di suatu waktu dalam perjalanan di negeri asing, seseorang berta- nya: mengapa di negeri Anda an- tara satu tetangga berkelahi karena beda keyakinan dan latar suku? Mengapa jarak antara mereka yang menikmati kekayaan dan yang terjerembap dalam kemiskinan begitu timpang di negeri Anda?

Saatnya kita berharap mendengar pernyataan bahwa meski tak kaya raya dan menghasilkan produksi melimpah ruah, Indonesia adalah negeri yang adil dengan kualitas peradaban dan mentalitas kewargaan yang tinggi di dunia. Saatnya kita memasuk- kan wacana keadilan dalam memberi makna penting terhadap Sumpah Pemuda dan menegaskan sumpah baru bagi hidup kita sekarang di Indonesia.

Puti Guntur Soekarno Anggota DPR Fraksi PDI-P
(Kompas cetak 27 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Masa Depan Politik Kaum Muda

Oleh Umar Syadat Hasibuan

Bangsa Indonesia akan kembali memperingati momentum bersejarah perjalanan bangsa, yakni Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2012.

Sumpah Pemuda yang lahir sebagai rumusan Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928, menjadi titik pijak formulasi kepemimpinan pemuda pada masa perjuangan. Soegondo, Muhammad Yamin, dan Mr Sunario menjadi pencetus ide dasar Sumpah Pemuda, yang kemudian tercatat dalam tinta emas kepemimpinan nasional pada 20-30 tahun setelahnya.

Bagaimana dengan era Reformasi? Catatan penting bagi era Reformasi 1998 disampaikan oleh Komaruddin Hidayat. Bahwa, Reformasi 1998 telah melahirkan barisan tokoh muda, tetapi mereka kembali tergilas dengan pola pikir lama (Kompas, 29 Mei 2012). Sinyalemen ini tampaknya sejalan dengan gejala politik aktual di mana Pemilihan Umum Presiden 2014 tampaknya hanya akan menjadi ajang bagi politisi tua.

Dari sejumlah wacana yang dimunculkan oleh (elite) parpol dan juga dari hasil survei yang disajikan oleh sejumlah lembaga survei tampak bahwa wajah-wajah politisi tua terus mendominasi panggung politik Indonesia. Pasca-Reformasi 1998, negeri ini tetap saja gagal melahirkan kepemimpinan politik yang berasa, dari kaum muda.

Reformasi Mei 1998 sempat memunculkan harapan besar, yaitu adanya perubahan kepemimpinan politik, sistem politik dan budaya politik baru yang lebih menjanjikan. Di atas kertas, gerakan Reformasi 1998 tampak berhasil dengan gemilang. Reformasi seakan telah membawa angin segar di mana kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pemilu yang demokratis.

Kendati demikian, Reformasi 1998 sesungguhnya telah gagal melahirkan kepemimpinan politik kaum muda. Terbukti, beberapa periode pilpres dan pilkada, kepemimpinan politik kaum tua masih sangat dominan. Mereka, di antaranya, merupakan kelompok elite yang pernah tercatat sebagai penentang kekuasaan rezim Orde Baru. Namun, sebagian di antaranya juga pernah menjadi bagian dari kekuasaan rezim Orde Baru.

Jejak kaum muda

Lalu, di manakah peran kepemimpinan kaum muda? Pasca-Reformasi 1998, jejak peran kaum muda sebenarnya mulai terlihat dalam dua pilar kekuasaan. Pertama, kekuasaan eksekutif. Pasca-Pilpres 2004, sejak era kepemimpinan Presiden SBY, sejumlah kaum muda mulai masuk dalam sirkulasi kekuasaan eksekutif.

Meski tidak menduduki posisi inti dalam kekuasaan istana, banyak kaum muda mantan aktivis 1998 mulai mendapatkan tempat untuk berkiprah dalam dunia politik nasional. Selain itu, Presiden SBY juga mulai memberikan tempat kepada beberapa tokoh politisi muda untuk menduduki jabatan menteri.

Kedua, kekuasaan legislatif. Jejak kepemimpinan kaum muda sebenarnya mulai terasa di beberapa parpol sejak pasca-Orde Baru. Partai Keadilan Sejahtera, sebelumnya bernama Partai Keadilan, termasuk salah satu parpol yang paling pionir dalam mempromosikan kepemimpinan para kaum muda. Sejumlah mantan aktivis gerakan mahasiswa 1998 tampak mendapatkan tempat dan kemudian sebagian di antaranya mampu duduk dalam lembaga legislatif. Mereka bahkan sangat getol dalam mempromosikan kadernya masuk dalam bursa pilkada tingkat kabupaten/kota dan provinsi.

Political heavy yang menghinggapi kaum muda direspons positif oleh partai politik, sebagai bagian dari kaderisasi kepemimpinan yang digagas oleh parpol. Sejak Pemilu 2004, PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa mulai rajin menjaring mantan aktivis 1998 dan kaum muda profesional masuk dalam bursa pemilu legislatif. Banyak di antara aktivis 1998 ikut berduyun-duyun memasuki parpol tersebut. Kendati demikian, mayoritas parpol tersebut belum banyak mempromosikan kaum muda dalam bursa pilpres dan pilkada.

Menjelang Pemilu 2009, Partai Gerindra dan Partai Hanura juga mulai merekrut para mantan aktivis 1998. Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, Partai Gerindra bahkan mulai menempatkan kaum muda mantan aktivis 1998 sebagai kader inti dari partai tersebut. Partai Demokrat juga tak mau ketinggalan. Sejak tahun 2007, arus kaum muda yang bermigrasi ke partai ini juga sangat kuat dari level pusat hingga daerah.

Terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, sejak 2010, sempat mengundang harapan lahirnya era kepemimpinan kaum muda dalam panggung politik Indonesia. Sejak tahun 2010, Partai Demokrat diisi barisan kaum muda di jajaran inti kepengurusannya.

Bahkan, jabatan ketua umum, para ketua, bendahara, dan sekjen serta wakil sekjen di partai ini tampak dipenuhi barisan kaum muda. Namun, kembali lagi, harapan emas kepemimpinan politik kaum muda kemudian makin menyurut ketika para politisi muda—khususnya di jajaran Partai Demokrat—satu demi satu mulai terseret dalam skandal kasus korupsi.

Kehilangan momentum

Hemat saya, saat ini kaum muda kembali kehilangan momentum untuk memimpin karena beberapa alasan. Pertama, menguatnya pola pikir lama dan warisan budaya politik lama yang kemudian merusak citra dan kredibilitas politik kaum muda. Agenda Reformasi 1998 yang menuntut pemberantasan korupsi ternyata menjebak sejumlah politisi muda.

Kedua, konsolidasi oligarki kekuasaan ekonomi-politik warisan Orde Baru menempatkan kaum tua terus berkuasa di posisi puncak partai politik.

Ketiga, momentum kepemimpinan politik kaum muda kian menipis seiring menguatnya hegemoni para pemegang dinasti politik. Hanya kaum muda yang didukung sumber daya warisan dinasti politiknyalah yang tampaknya masih berpeluang kuat memasuki panggung kepemimpinan politik nasional.

Kooptasi dinasti politik dan dominasi kuasa oligarki ekonomi politik politisi tua terhadap parpol kian menyebabkan peluang kepemimpinan kaum muda lenyap. Analog dengan pernyataan Jenderal Douglas MacArthur (1951): politisi tua tak pernah mati.

Oleh karena itu, peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober ini, sekaligus kita jadikan refleksi bersama. Bagaimanapun jika kondisi yang demikian terus dipertahankan, bukan tidak mungkin pemuda yang notabene adalah penerima tongkat estafet penerus cita-cita dan tujuan pembangunan nasional akan tergerus dan terdegradasi dalam pusaran dinasti politik.

Alhasil, kerinduan akan kepemimpinan nasional yang mampu mengayomi, melindungi, dan membawa perubahan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya akan menjadi utopia. Sebab itu, merumuskan formulasi kepemimpinan nasional yang mampu menjawab tuntutan globalisasi dan perubahan sosial dipastikan akan mubazir jika tanpa melibatkan kaum muda sebagai bagian penting dari formulasi itu.

Umar Syadat Hasibuan Dosen IPDN
(Kompas cetak, 27 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sumpah Pemuda di Sekolah Kita

Oleh Henny Supolo Sitepu

Delapan puluh empat tahun silam Sumpah Pemuda diikrarkan. Sumpah untuk setia pada satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia.

Namun, menguatnya gejala sosial anti-keberagaman memunculkan pertanyaan: bagaimana mengajarkan semangat itu di sekolah, tempat kaum muda menempa ilmu. Apalagi, justru kenyataan memprihatinkan yang muncul di sekolah terkait penghayatan Sumpah Pemuda.

Ahli pendidikan Connely dan Clandinin (1988) menekankan pentingnya pemahaman dalam proses pembelajaran siswa. Oleh karena itu, pemahaman dan penjiwaan guru atas Sumpah Pemuda akan sangat memengaruhi pilihan kegiatan di kelas.

Dalam diskusi para guru di Yayasan Cahaya Guru soal Sumpah Pemuda, beberapa kata kunci muncul sebagai hakikat Sumpah Pemuda, misalnya "keberagaman", "kesatuan", dan "kebangsaan". Namun, saat ditanya sejauh mana kelas mereka mencerminkan ketiga kata kunci itu, muncul kebimbangan. Bagaimana memaknai keberagaman? Bagaimana membangun kesatuan di atas perbedaan agama, etnis, kelas sosial, dan jender?

Dalam pendidikan, ada tiga jenis kurikulum yang diajarkan guru. Kurikulum eksplisit yang tertulis, kurikulum implisit atau tersembunyi (hidden curriculum) "diajarkan" tetapi tidak tertulis, dan null curriculum yang sengaja dihilangkan dari proses pembelajaran (Eisner, 1979).

Minat guru

Maka, pemilihan dan penggunaan buku teks tidak sepenting yang diyakini guru mengenai bahan ajarnya. Minat dan kepedulian guru jauh lebih menentukan pendekatan materi ajar. Dalam tujuan kurikulum nasional yang kini dipakai, disebutkan potensi sosial, budaya, dan alam sebagai dasar pembelajaran yang kontekstual.

Jika potensi yang pasti beragam menjadi dasar kegiatan, semangat Sumpah Pemuda tentu mudah ditangkap. Masalahnya, seberapa jauh tujuan kurikulum dipahami sebagai bagian penting proses pembelajaran?

Kurikulum tersembunyi berpengaruh kuat melalui contoh sehari-hari yang tertangkap indera siswa. Oleh karena itu, penting untuk menemukan kembali kegiatan sekolah yang mencerminkan pemahaman "bersatu dalam perbedaan" atau perspektif keberagaman itu.

Sekolah-sekolah homogen dalam status sosial-ekonomi, etnis, atau agama perlu dengan kesadaran penuh menciptakan berbagai kesempatan itu. Beberapa sekolah mewujudkannya melalui kegiatan kesenian dan olahraga. Sekolah lain memiliki program tinggal bersama (live in) berbagai kelompok masyarakat.

Sejumlah LSM mengupayakan ajang berbagi bersama guru seperti dilakukan oleh Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia, Rahima dan Association for Critical Thinking, Paras Foundation, Persekutuan Sahabat Gloria, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, ataupun Lembaga Bantuan Hukum Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Cahaya Guru melalui Komunitas Guru, Kebangsaan dan Keberagaman.

Memahami keberagaman

Ada banyak keberagaman di sekolah. Perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, agama, budaya, intelektual, mental, dan fisik hanya sebagian di antaranya. Akan tetapi, apakah siswa sudah mendapatkan perspektif keberagaman sebagai bagian dari kebangsaan mereka? Sudahkah sekolah menyuburkan keberagaman sebagai kekayaan bangsa?

Sebenarnya sekolah negeri bisa diandalkan sebagai tempat pendidikan heterogenitas yang tak terbatas. Namun, kenyataannya saat ini justru sekolah negeri cenderung meninggalkan semangat Sumpah Pemuda.

Di beberapa sekolah negeri muncul keharusan menggunakan jilbab dan baju koko pada hari Jumat. Doa saat upacara pun dalam bahasa Arab. Akibatnya, makin sedikit siswa non-Muslim masuk ke sekolah negeri.

Pemerintah justru tidak mengajarkan keberagaman karena tidak mengakomodasi siswa atau guru dengan berbagai latar berbeda untuk berperan di sekolah. Mata kita akan segera menangkap makin berkurangnya warna-warni pemangku kepentingan melalui pemilihan seragam, upacara bendera, kesempatan berdoa, kesempatan menjadi ketua kelas, dan berbagai kesempatan lain. Sekolah negeri tidak lagi merengkuh seluruh anak bangsa untuk belajar di lingkungan ini.

Kompetensi "pengembangan budaya" ternyata hanya selintas dalam Dimensi Kepribadian Kepala Sekolah yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan serta diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah. Tidak ada tuntutan untuk memiliki perspektif keberagaman dalam menjalankan tugas sehari-hari.

Maka, harapan bahwa kegiatan di sekolah mencerminkan kebinekaan kita dan semangat bersatu dalam satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa hanya terletak di tangan guru. Inikah sekolah Indonesia kita?

Henny Supolo Sitepu Ketua Yayasan Cahaya Guru
(Kompas cetak 27 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Merawat Pohon Kebangsaan

Oleh Suwidi Tono

Dari Sumpah Pemuda 1928 kita mewarisi semangat bersatu dalam keragaman, kesetaraan, martabat luhur. Maklumat penegasan satu bangsa-negara dan menjunjung bahasa persatuan dari generasi avant- garde Indonesia itu juga mengusung keyakinan tinggi: Ibu Pertiwi dapat dan memiliki semua syarat menjadi bangsa besar.

Bagaimana Indonesia hari ini? Kita belajar dari 15 tahun perjalanan reformasi, kehidupan bermasyarakat, dan bernegara. Kesimpulannya: tidak menggembirakan. Kita terus-menerus menyia-nyiakan peluang dan harapan.

Dari kinerja dan hubungan antarlembaga negara, mengemuka komplikasi dan oligarki. Belum terbangun simbiosis eklektik: saling memajukan-memampukan. Yang mencuat politik transaksional sesaat. Masing-masing sibuk pada agenda sendiri, alpa membereskan aneka malapraktik kewenangan.

Korupsi tidak menunjukkan gejala surut meski banyak pejabat, pengusaha, kader partai, aparat dipenjarakan. Konflik suku, agama, ras, antargolongan (SARA) dan vertikal-horizontal: tawuran pelajar, ormas, antarwarga, massa-aparat, kerap timbul. Pertanda agregasi sosial melemah.

Korelasi fakta ini jelas tecermin dari memburuknya posisi Indonesia dalam Indeks Negara Gagal yang dirilis organisasi nirlaba Fund for Peace (Kompas, 20/6). Juga merosotnya kualitas pemerintahan sebagaimana laporan lembaga riset terkemuka Freedom House (Kompas, 19/9).

Kita terinspirasi Peter F Drucker: Tak ada negara terbelakang, yang ada hanyalah salah urus! Agar tak keliru mengelola masa transisi yang rawan konflik kepentingan, Seymour M Lipset (1993) mengingatkan: "Perlu waktu cukup untuk melembagakan komitmen, pekerjaan, nilai-nilai, pada fase transformasi menuju negara demokratis dan maju." Jadi, kita harus sabar dan cermat mengawal tahap kritis reformasi.

Miskin karakter

Kita perlu menjejak hakikat persoalan. Salah satu sumber utama "penyakit" bangsa adalah miskin karakter. Di sini dikemukakan tiga biang keladinya.

Pertama, pendidikan yang melumpuhkan nalar. Atas nama standardisasi, ruang untuk kreatif dan kritis dibatasi. Pelajaran mengarang lenyap dari kurikulum, melengkapi rendahnya tradisi baca masyarakat. Penyair Taufiq Ismail (1997) masygul ketika mendapati wajib baca sastra di SMA negeri adalah nol, bandingkan dengan enam judul buku per tahun di Malaysia dan 32 judul di Amerika Serikat. Kegenitan mengejar sukses menurut ukuran kekinian pernah disindir budayawan Kuntowijoyo ("Mentalitas Bangsa Klien", Kompas, 23/12/2004) dan Umar Kayam (novel Jalan Menikung, 2000).

Humaniora tersisih, dikalahkan ilmu-ilmu praktis untuk bekal kerja di sektor modern. Ujian nasional jadi satu-satunya kriteria sukses belajar-mengajar, mengingkari realitas ketidakmerataan dan kemajemukan. Paradigma pendidikan kita mengabaikan esensi kebutuhan sejati manusia: keseimbangan olah akal-budi, otak dan watak.

Orientasi pada hasil menabrak kaidah paedagogik, menyuburkan mentalitas menerabas, mengagungkan gelar dan pangkat. Penghayatan berbangsa pudar. Banyak sekolah berlabel khusus meniadakan upacara bendera, tak menyanyikan "Indonesia Raya" dan berkhidmat kepada Pancasila dan Mukadimah UUD 1945.

Hasilnya adalah miskin budi pekerti. Petunjuknya: disiplin sosial rendah, emosional, intoleran, dan kekerasan marak. Tayangan bermacam peristiwa dan tragedi mengiris hati dan laporan di media massa yang mengusik nurani cukup menjelaskan kerusakan ini.

Yang juga menyedihkan adalah hampa rasa hayat sejarah. Banyak pernyataan elite mengingkari kebinekaan. Sebagian sibuk berdebat untuk perkara-perkara situasional dan sudah jelas duduk-soalnya. Sebuah indikasi kedangkalan peradaban ketika wacana publik ingar-bingar oleh kegaduhan kering makna.

Kedua, meluasnya hipokrisi. Mentalitas hipokrit yang meluas menumbuhkan berbagai paradoks. Bahkan, semarak beragama belum melansir kesalehan sosial, tapi tidak mampu mendarahdagingkan moralitas agama pada sistem sosial. Ekspresi beragama lebih simbolik-politik ketimbang substansi esoterik. Disorientasi nilai ini jadi petunjuk suburnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di kancah politik- ekonomi. Juga tergerusnya ketulusan menghargai perbedaan yang demikian indah diteladankan para Bapak Bangsa.

Indonesia turut meratifikasi Konvensi HAM PBB, tapi upaya menuntaskan kasus pembunuhan Munir, aktivis hilang, dan aneka tindak penistaan kemanusiaan tidak mencerminkan penghormatan atas konsekuensi itu. Pembiaran sejumlah rekomendasi Komnas HAM menunjukkan absennya kuasa negara.

Ketiga, langka keteladanan otentik. Sekarang, menjadi pemimpin harus punya modal besar. Kota-desa dipenuhi spanduk, baliho wajah para calon pembesar. Pemimpin bukan tumbuh bersemi dan beroleh pengakuan dari rakyat, tapi dimunculkan partai.

Tatkala pohon kebangsaan terusik, kita sadar telah kehilangan pribadi-pribadi besar, kukuh prinsip, dengan erudisi mengagumkan seperti Gus Dur dan Cak Nur. Belum muncul lagi tokoh otentik untuk mendobrak kebuntuan dialog, mengawal persatuan dalam keberbedaan.

Pohon yang perlu dirawat

Kondisi darurat sejak reformasi hingga kini merupakan tantangan bersama. Dari keprihatinan, kita berharap muncul kesadaran, bermuara pada resonansi gerakan menuju ikhtiar besar bersama.

Sejarah Indonesia kaya riwayat kepeloporan kaum terdidik dalam memanggul perubahan. Intelektual selalu lekat dengan tugas sejarah. Mereka terpanggil bila mendapati situasi membahayakan kelangsungan regenerasi dan kemanusiaan. Kaum ini umumnya berbuat cerdas pada tiga sendi peradaban: pendidikan, kebudayaan, kedaulatan politik-ekonomi. Semua bangsa maju memfokuskan energinya untuk ini.

Mazhab ketergantungan Timur-Barat rontok berkat fenomena kemajuan sejumlah negara bekas jajahan: Korsel, Hongkong, Taiwan, Malaysia, Singapura, China, yang berbalik ikut menentukan dunia. Sementara Indonesia rentan pengaruh global (ideologi radikal, investasi, utang). Artinya, sejak dulu kebutuhan mendasar bangsa ini tetap sama, yaitu mandiri, tahan banting gejolak internal-eksternal.

Mandiri adalah kemampuan memproduksi barang, jasa, dan industri kreatif unggul, sekaligus menegaskan identitas. Cadangan nasional berupa daya cipta dan modal terus bertumbuh. Rakyat dan negara bukan sekadar pasar produk asing. Harga diri bangsa terangkat lewat visi melenting jauh ke depan yang menjadi panduan bersama.

Pohon kebangsaan perlu diruwat dan dirawat agar mengayomi semua warga bangsa. Setiap merenungkan Sumpah Pemuda, kita seperti diingatkan lagi bahwa generasi pendahulu telah mewariskan legacy, pusaka yang kokoh: prinsip-prinsip dasar dan tujuan asasi bernegara. Tugas nasional kita memelihara dan menguatkan fondasi sangat berharga ini.

Suwidi Tono Koordinator Forum "Menjadi Indonesia"
(Kompas cetak, 27 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 25 Oktober 2012

Patriotisme Pemuda

Oleh Puan Maharani

Menyambut 84 tahun Sumpah Pemuda, kita jadi ingat lirik lagu Alfred Simanjuntak, "Bangun Pemudi Pemuda".

 

Satu baris di situ mengingatkan pemuda Indonesia tentang tanggung jawabnya: "masa yang akan datang kewajibanmulah". Saat mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928, pemuda Indo- nesia berkumpul dengan satu spirit menunaikan kewajiban mereka sebagai anak bangsa untuk merumuskan jawaban atas tantangan zaman: penjajahan atas bangsa Indonesia.

Atas dasar kesadaran kolektif dan semangat kebersamaan, mereka sepakat bahwa untuk menghapus penjajahan di bumi Indonesia, persatuan Indonesia adalah sebuah kemutlakan. Tak ada jalan lain. Rumusan satu tumpah darah, satu bangsa, dan menjunjung bahasa Indonesia menjadi prasasti sekaligus tonggak kebangkitan pergerakan nasional melawan penjajah.

Kiprah dan peran pemuda Indonesia pada 1928 itu drastis mengubah pola perjuangan pergerakan nasional dari yang bersifat kedaerahan menjadi nasional. Kini, 84 tahun kemudian, pertanyaan yang relevan untuk kita jawab: apakah peran pemuda yang, menurut data BPS, sekitar 168 juta orang (di bawah umur 40 tahun) sebagai penggerak peru- bahan bagi bangsanya? Perubahan seperti apa yang dibutuhkan Indonesia masa kini?

Di segala lini

Jika dulu tantangan nyata pemuda Indonesia melawan penjajahan fisik, sekarang pemuda Indonesia menghadapi tantangan yang tak kalah besar, yaitu krisis multidimensi yang menempatkan Indonesia "terjajah" oleh bangsa lain dalam bentuk baru: ekonomi, sosial, dan budaya. Dahulu pernah berwibawa dan mandiri, Indonesia kini menjadi negeri bergelimang produk impor. Bukan hanya impor barang, melainkan juga impor pemikiran dan kebudayaan.

Pada akhirnya arus impor berkecepatan tinggi di segala lini itu memadamkan spirit dan kemampuan kita sebagai bangsa untuk mampu memproduksi barang, ide, dan kebudayaan karena terlena oleh produk impor tadi.

Di sektor ekonomi, produksi dalam negeri sudah kalah bersaing dengan produk bermerek mancanegara. Di bidang pemikiran, intelektual muda lebih merasa gagah mengutip kearifan tokoh bangsa lain ketimbang mengutip kearifan tokoh nasional. Padahal, pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur, dan banyak tokoh lagi sudah diakui di dunia internasional.

Bahkan, dalam tataran praktis, gaya demokrasi yang dianut lebih berorientasi Barat ketimbang Indonesia. Bukan demokrasi yang berjiwa nilai luhur bangsa Indonesia yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Kini perbedaan pendapat lebih cenderung diselesaikan dengan mekanisme voting daripada dengan musyawarah untuk mufakat.

Sementara itu, dari sisi kebu- dayaan, arus budaya pop impor semakin memudarkan kecintaan pemuda-pemudi Indonesia melestarikan warisan budaya nasional, seperti wayang, sastra, dan tari-tarian daerah. Padahal, tidak sedikit orang asing yang justru kemudian mempelajari dan membawa warisan budaya leluhur ke pentas internasional.

Saya percaya bahwa keberhasilan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan pemuda- pemudinya dalam berkiprah di bidang keahliannya masing-masing. Negeri ini sesungguhnya dilimpahi tunas-tunas bangsa yang punya potensi besar membawa kejayaan bangsa di pentas internasional.

Kami mencatat begitu banyak prestasi yang telah diraih pemuda-pemudi Indonesia di pentas dunia. Keberhasilan pelajar-pelajar Indonesia asuhan Profesor Yohanes Surya menjadi juara Olimpiade Fisika tingkat dunia menjadi bukti bahwa pemuda- pemudi Indonesia punya kualitas yang tak kalah dari kualitas pemuda-pemudi negara lain.

Publik kebudayaan sangat bersemangat ketika menyaksikan pertunjukan Matah Ati. Bagi kami, Matah Ati adalah sebuah pertunjukan budaya sangat indah dan kuyup dengan nilai-nilai filosofis. Pengakuan batik Indonesia dari UNESCO juga bukti bahwa jika dikembangkan secara sungguh-sungguh, karya budaya asli Indonesia berpotensi besar dikembangkan jadi soft power Indonesia di kancah internasional.

Pengakuan komunitas perfilman internasional yang memuji film "Denias, Senandung di atas Awan" karya sutradara Ari Sihasale dan kiprah para ilmuwan muda Indonesia di lembaga-lembaga riset internasional dengan berbagai temuan penting mereka adalah cermin bahwa sejatinya pemuda-pemudi Indonesia punya potensi besar membawa bangsa kita jadi bangsa maju.

Bayangkan, jika setiap bidang dan sektor kehidupan di negeri ini dipenuhi dengan pemuda beretos baja seperti contoh-contoh sukses tadi, niscaya Republik ini akan lebih cepat bangkit dan melesat sejajar dengan bangsa-bangsa maju lain di dunia.

Keteladanan

Memang, untuk mengaktualkan potensi-potensi besar itu dibutuhkan sebuah keteladanan yang mampu menggelorakan patriotisme kaum muda dalam konteks kekinian. Namun, jika keteladanan itu tak kunjung datang, semangat Sumpah Pemuda 1928 bisa menjadi teladan bahwa kaum muda bisa menjadi teladan untuk kaumnya sendiri. Bahkan, kaum muda bisa menjadi pelopor atas kebangkitan bangsa di te- ngah-tengah krisis multidimensi yang mendera di semua lini.

Ingat, kepemudaan berarti spirit. Ia adalah personalisasi dari sosok bersemangat baja: si pantang menyerah, si pekerja keras, si cerdas, dan si pemilik penguasaan terhadap sejumlah keterampilan yang diperlukan. Bila pemuda bangsa pada 1928 menjawab tantangan penjajahan dengan persatuan, pemuda Indonesia masa kini bisa menjawab tantangan krisis multidimensi dengan tampil sebagai pionir-pionir penuh prestasi di bidang keahlian dan bidang kecakapannya masing-masing.

Pemuda Indonesia yang memilih dunia olahraga sebagai atlet, jadilah atlet yang mendalami keatletannya sehingga berprestasi di pentas dunia. Begitu pula pemuda yang berkiprah di bidang kesenian dan kebudayaan, apakah sebagai penari, penyanyi, pelukis, penulis, dan sebagainya, jadilah seniman dan budayawan yang mendalami secara utuh di bidangnya masing-masing hingga diakui dunia.

Juga pemuda yang berprofesi sebagai peneliti, ilmuwan, politisi, dan birokrat hendaknya menekuni profesi masing-masing secara utuh, tulus, dan ikhlas demi kemajuan bangsa dan negara. Seperti kata Bung Karno, "Karmane Vadni Adikaraste Maphalessu Kada Chana" (Laksanakan kewajibanmu dengan ikhlas dan rela tanpa bertimbang sebab jika bukan engkau yang memetik buahnya, maka anakmu yang akan memetik; jika bukan anakmu, pastilah cucumu yang akan memetiknya).

Itulah redefinisi partriotisme pemuda Indonesia masa kini yang tidak kalah agung dari patriotisme pemuda Indonesia pada 1928 ketika mencetuskan Sumpah Pemuda. Melalui redefinisi tersebut, Indonesia akan selangkah lebih dekat mewujudkan impian menjadi bangsa yang besar di pentas dunia dengan berpijak pada kearifan nasional dan keahlian putra-putri bangsa sendiri.

Puan Maharani Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR; Ketua Bidang Politik dan Hubungan Antarlembaga DPP PDI-P
(Kompas cetak, 25 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jatuh karena Berulat

Oleh Tamrin Amal Tomagola

Jumat, 5 Oktober 2012 malam, merupakan puncak paling dramatis dari tumpukan kegalauan publik dan keputusasaan rakyat yang benar-benar kehilangan pemimpinnya, ketika ratusan personel Polri mengepung gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di Kuningan, Jakarta. Demikian putusasanya rakyat sampai-sampai secara simbolis sebagian mereka memanfaatkan bantuan anjing pelacak mengendus keberadaan pemimpin mereka.

Seperti layaknya anak-anak ayam yang kehilangan induk, rakyat menggedor seluruh pojok Tanah Air, memanggil-manggil nama presiden: "SBY di mana engkau, rupa tiada suara sayup, hanya citramu yang bergentayangan memenuhi kehampaan harapan!"

Sesungguhnya sudah cukup lama rakyat Indonesia diterpa kegalauan, seperti menanti Godot, terus berharap-harap cemas menantikan tibanya seorang "Pemimpin Sejati". Rakyat terus menanti di setiap ti- kungan sejarah seorang pemimpin yang betul-betul memberikan seluruh potensi serta gairah kepemimpinannya menakhodai mereka keluar dari kemelut dan keterpurukan martabat dalam pergaulan dunia.

Silih-berganti penghuni Merdeka Utara dan Senayan bersemayam di sana, tetapi yang tiba justru kekecewaan yang beruntun tak henti-hentinya. Mereka yang berseliweran di dua tempat terhormat itu, meminjam jargon Rocky Gerung, filosof muda UI, justru bukan political leaders, melainkan hanya political dealers tunamartabat!

Fenomena Jokowi-Basuki

Di tengah-tengah kegalauan, keputusasaan, dan kehausan dalam penantian panjang tak berujung akan hadirnya pemimpin sejati itu, tiba-tiba seorang dengan postur ringkih, seperti almarhum Panglima Besar Soedirman, dengan ditemani oleh seorang pencinta rakyat berkarakter seperti Laksamana Cheng-Ho, melangkah mantap memasuki arena kontestasi kepemimpinan Ibu Kota Jakarta. Publik terkesima.

Secercah cahaya di ujung lorong penantian membersitkan harapan. Masih ada orang-orang baik, berintegritas, dengan rekam jejak konkret meniti dari bawah berhasil merebut simpati dan dukungan mayoritas pemilih Pilkada 20 Oktober 2012 di ibu kota negara, etalase utama perpolitikan nasional. Mereka berhasil mekar karena memar!

Peristiwa dan fenomena pada titik-titik sejarah yang menentukan hanya dimungkinkan bila keadaan obyektif bertemu-buku, saling bersambut dengan karakter subyektif kepemimpinan yang dimiliki seseo- rang. Itulah yang terjadi dalam fenomena Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama. Parpol pengusung hanya sekadar pemberikan tiket politik dan elite politik hanya sekadar berperan sebagai faktor lantaran, bukan faktor penyebab.

Fenomena Jokowi-Basuki tiba pada momen sejarah yang tepat. Pasangan ini betul-betul merupakan kebalikan, antitesa dari dan sekaligus jawaban atas kebobrokan elite politik nasional. Paling kurang ada lima kebobrokan yang, terhadap elite politik nasional di Jakarta, melahirkan atmosfer kemuakan yang meluas dan menyeluruh.

Pertama, kemuakan terhadap elite politik Jakarta yang penuh dengan penga- turan simsalabim dagang-politik transaksional tanpa malu.

Kedua, kemuakan rakyat terhadap elite parpol nasional dan elite politik lokal yang bertingkah ajimumpung, memaksimalkan pengurasan dana negara demi kas parpol dan keuntungan pribadi para politisi secara vulgar tak terkendali.

Ketiga, kemuakan publik terhadap ko- rupsi yang mewabah ke seluruh relung-relung kehidupan bangsa, khususnya di lembaga pilar-pilar utama hukum, politik, dan ekonomi.

Keempat, kemuakan rakyat sudah begitu menggunung terhadap politisasi agama yang sudah sampai pada titik membahayakan keutuhan bangsa dan negara.

Akhirnya, kelima, rakyat sudah letih dan muak pada kekerasan premanisme yang mengancam rasa aman dalam masyarakat dan terus dibiarkan dan, malah dalam beberapa kasus, dimanfaatkan aparat hukum yang berlagak pilon.

Daerah: rahim kepemimpinan baru

Ada lima pesan pelajaran utama yang dikirim oleh fenomena kemenangan pasangan Jokowi-Basuki di Ibu Kota pada 20 Oktober lalu kepada elite parpol nasional dan lokal. Pertama, "Hentikan rekayasa dagang sapi politik yang diatur-atur dari atas, drop-dropan oleh pusat, Jakarta". Kedua, "Jangan pernah lagi menyepelekan kemelekan dan kecerdasan politik rakyat!"

Ketiga, berupa pesan wanti-wanti, peri- ngatan, "Rakyat hanya menghargai dan siap memberikan mandat kepada pemimpin yang mumpuni berdasarkan rekam jejak pengabdian tanpa pamrih, yang mekar karena memar dari bawah, dan akan segera mencabut mandat dan menjatuhkan secara demokratis para pemimpin berulat yang sudah kronis membusuk. Rakyat seakan berkata: Kami tahu yang kami mau!"

Keempat, proses menjadi matang sebagai pemimpin bukan proses instan, sak dheg sak nyet! Pemimpin tidak bisa diangkat dan direstui layaknya putra/putri mahkota atau dicari lewat survei dan atau bertanya kepada dukun politik mana pun hatta dengan sederet gelar akademis sepanjang apa pun.

Yang terakhir, tetapi sangat sarat makna dan menjanjikan: kini terbuka jalur alternatif perekrutan pemimpin nasional dari kawah Candradimuka daerah. Suatu proses pelembagaan proses penggodokan dan perekrutan calon pemimpin nasional terkuak dan terbuka lebar.

Sejak awal abad lalu hingga kini negeri ini melahirkan sejumlah angkatan kepe- mimpinan dari beberapa "rahim tradisio- nal".

Pertama, angkatan para pemimpin nasional produk politik etis kolonial Belanda yang kemudian bergerak dalam berbagai organisasi kedaerahan, keagamaan, dan kebangsaan. Mereka ini dikenal sebagai "Kaum Pergerakan".

Mereka tidak ujuk-ujuk muncul sebagai pemimpin. Secara perlahan, bertahap, dan mengalir alamiah, kaum pergerakan ini digodok estafet berkesinambungan kemampuan intelektual mereka di bangku-bangku pendidikan dan kelompok-kelompok diskusi politik kebangsaan dan di rumah-rumah pondokan politik, seperti kediaman HOS Tjokroaminoto di Surabaya.

Rahim tradisional kedua dari kepemimpinan nasional adalah berbagai organisasi pelajar dan mahasiswa nasional yang berhasil melembagakan proses pengaderan bertahap lewat kerja-kerja dan kiprah-kiprah konkret dalam pendalaman masalah-masalah kemaslahatan publik, magang administrasi organisasi, dan latihan-latihan kepemimpinan secara teratur berkala.

Dari rahim organisasi pelajar/mahasiswa inilah lahir tokoh-tokoh muda nasional pada zamannya, seperti almarhum Nurcholis Madjid, Cosmas Batubara, dan Akbar Tandjung. Mereka merayap dari bawah secara bertahap dan kenyang dengan pengalaman berorganisasi secara membumi.

Rahim tradisional ketiga adalah para perwira Tentara Nasional Indonesia, khususnya Angkatan Darat, godokan militer di Lembah Tidar. Lembah ini juga menyumbang secara signifikan pemimpin-pemimpin nasional yang mumpuni secara birokratis militer, tetapi banyak yang gagap secara sipil-demokratis. Tampuk kepemimpinan nasional didaku oleh lulusan akademi militer ini sebagai "hak-sejarah" mereka yang sudah seharusnya demikian karena pernah punya "peran-sejarah" yang menentukan dalam pencapaian kemerdekaan bangsa.

Klaim itu jelas sepihak dan kebablasan menonjolkan peran yang tidak seluruhnya putih-bersih. Banyak yang berlumuran merah-darah, menyakitkan, dan traumatik bagi rakyat. Sesudah 1965, sukar menemukan seorang jenderal yang bersih dari pelanggaran hak-hak asasi manusia di salah satu pojok Tanah Air.

Namun, banyak dari mereka sukses dalam karier militer dan jabatan pemerintahan. Walau sebagian dari mereka tercatat sebagai pembunuh, penculik, dan penyiksa pihak-pihak yang tidak berdaya, ada yang berhasil jadi gubernur, menteri, bahkan presiden.

Rahim kontemporer

Sesudah Reformasi 1998, muncullah sejumlah kader pemimpin bangsa dari rahim kontemporer, dunia bisnis, swasta, ataupun badan usaha milik negara. Mereka terkenal andal dan mumpuni dalam manajemen mikro-perusahaan yang kemudian secara salah kaprah menerapkan prinsip-prinsip mikro itu dalam lingkup pengelolaan makro nasional.

Mereka tidak sekadar melakukan silent take over dari pengelolaan negara, baik di legislatif maupun di eksekutif, tetapi secara demonstratif mengedepankan sepak terjang transaksional yang penuh dengan perhitungan profit making, bukan service delivery yang dituntut dalam birokrasi publik. Mereka sangat terlambat menyadari bahwa negara bukanlah perusahaan! Lobi-lobi dan ulah mereka dalam mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 secara terang-terangan dan legal telah menjarah, baik tanah-tanah rakyat maupun kekayaan alam Nusantara.

Akhirnya, kini, terbukalah rahim alternatif kontemporer, baik proses maupun perekrutan calon pemimpin nasional: dari kawah Candradimuka daerah-daerah. Pasangan Jokowi-Basuki menjadi pionir-pionir dari para putra/putri terbaik bangsa yang merayap dari bawah. Selain pasangan Jokowi-Basuki, ada juga pemimpin daerah sukses yang patut dikedepankan, seperti mantan Bupati Solok dan mantan Gubernur Sumatera Barat yang sekarang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi.

Ada pula mantan wali kota Bitung, spesialis pembenah provinsi-provinsi pascakonflik, Dr Sarundeng dari Sulawesi Utara. Jalur Rahim alternatif kontemporer dari daerah inilah yang perlu ditoleh dan dibuka kesempatan secara melembaga seluas-luasnya agar kita tidak lagi dipimpin oleh para penyamun politik dari Jakarta.

Semoga bangsa ini dapat memetik harum manis pemimpin yang matang di pohon, yang mekar karena memar, dan bukan pemimpin instan, busuk berulat ataupun yang karbitan drop-dropan dari Jakarta. Amin.


Tamrin Amal Tomagola Sosiolog
(Kompas cetak, 25 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger