Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 29 Desember 2012

Darurat Kekerasan di Papua

Cypri Jehan Paju Dale
Kekerasan semakin menambah berat derita Papua. Di pengujung tahun ini, kontak senjata menewaskan 3 anggota polisi dan 2 warga sipil di Lani Jaya.
Di Manokwari, seorang warga sipil meregang nyawa di ujung laras aparat, memicu amuk massa yang melumpuhkan kota. Di Merauke, seorang pendeta perempuan ditembak anggota TNI. Rangkaian insiden itu menambah panjang catatan kekerasan tahun 2012.
Tahun ini juga terjadi eskalasi benturan horizontal antarberbagai kelompok, baik antarsesama Papua, seperti di Timika, maupun antara Papua dan non-Papua, seperti di Abepura pada Juli 2012. Marak pula kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkup domestik. Secara keseluruhan korban langsung kekerasan mencapai ribuan orang, tidak kurang dari 100 orang meninggal dunia.
Rentetan kekerasan itu merusak sendi tatanan sosial dan relasi antarmanusia, kelompok, dan institusi. Kekerasan itu bukan lagi berupa insiden sporadik yang terpisah satu sama lain, melainkan rangkaian berpola umum (sistemik), berwujud dalam perilaku dan tindakan aktor-aktor individual, sosial, dan politik. Itu terjadi pada level rumah tangga (domestik), antarkelompok masyarakat berbeda klan, suku, agama, kelas ekonomi, dan orientasi politik (sosial), serta antara masyarakat dan negara (politik).
Situasi Papua mengarah ke darurat kekerasan. Dalam istilah Hobbes, bellum omnium contra omnes, kekerasan semua melawan semua.
Multidimensi kekerasan
Konstruksi segitiga kekerasan Johan Galtung membantu kita memahami multidimensi kekerasan di Papua dan memikirkan solusinya secara baru. Galtung dalam Theory of Violence membagi kekerasan atas tiga tingkat: kekerasan langsung, struktural, dan kultural.
Kekerasan langsung, mulai dari kekerasan di dalam rumah tangga hingga perang atau operasi militer, adalah wujud kasatmata dari kekerasan. Kekerasan struktural tertanam dalam struktur-struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Kekerasan model ini termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, eksploitasi, represi, dan marjinalisasi. Kekerasan kultural ada dalam pola perilaku, kerangka berpikir, ideologi, bahasa, dan falsafah. Kekerasan jenis ini, walau tak kasatmata, melegitimasi kekerasan langsung dan struktural.
Masyarakat asli/adat yang termarjinalisasi dalam proses pembangunan dan eksplorasi sumber daya alam adalah contoh kekerasan struktural. Tengoklah kondisi hidup orang Amungme di Mimika atau orang Waris-Senggi-Web di Keerom. Ketika korporasi tambang, kayu, dan perkebunan mengeruk untung di tanah leluhur mereka, mayoritas orang asli hidup dalam kemiskinan, tanpa pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai, tanpa akses pada listrik, air bersih, dan jalan.
Pada aras horizontal, masyarakat asli dipaksa bersaing dengan "pendatang" yang jumlahnya kini melebihi penduduk asli. Penduduk non-Papua umumnya mendiami kota dan menguasai sentra-sentra ekonomi. Kombinasi berbagai faktor, seperti keterampilan, etos, modal, dan jejaring, menyebabkan pendatang lebih menikmati kesempatan dan hasil pembangunan. Kesenjangan ekonomi asli dan pendatang, selain persoalan politik, jadi sumber ketegangan baru di Papua.
Dua wujud kekerasan itu dilegitimasi dan dilanggengkan oleh kekerasan kultural. Dalam kaitan dengan konflik politik, relasi pemerintah pusat dengan elemen masyarakat Papua masih diwarnai ketidakpercayaan. Orang Papua yang kritis langsung digeneralisasi sebagai separatis dan dihabisi aparat negara, sementara desakan mereka untuk dialog yang jujur tak kunjung ditanggapi.
Secara ekonomi, ideologi kapitalis-liberal membuka Papua bagi investasi berbasis eksploitasi SDA dan membiarkan masyarakat adat yang polos bersaing dengan pemodal dalam pertarungan yang asimetris. Secara sosial budaya, kekerasan kultural mewujud dalam budaya patriarkat untuk kekerasan domestik serta mentalitas sukuisme-rasisme untuk konflik sosial. Inilah akar kultural rangkaian kekerasan di Papua.
Jadi, kekerasan di Papua bukanlah semata-mata insiden, melainkan kondisi darurat lingkaran setan yang brutal, bersumber pada komplikasi kekerasan langsung, struktural, dan kultural.
Pembangunan transformatif
Tak ada cara lain menghentikan kekerasan selain dengan menghentikan kekerasan. Mengutip Gandhi, tidak ada jalan menuju perdamaian, damai itulah jalannya. Konkretnya?
Pertama, potong mata rantai kekerasan dengan stop kekerasan politik. Semakin banyak aktivis Papua disiksa dan dibunuh, makin dalam antipati mereka terhadap Indonesia. Semangat Papua merdeka tidak sekadar hidup di hutan gerilya, tetapi juga dalam sanubari korban kekerasan aparat dan kekejaman pembangunan.
Kedua, tegakkan hukum sipil serta perbaiki kapasitas aparat untuk mengelola konflik sosial dan mengatasi amuk massa. Di tengah komplikasi konflik vertikal dan horizontal, pemerintahan pada semua level di Papua semestinya dibekali kemampuan fasilitasi dan resolusi konflik.
Ketiga, wujudkan pembangunan yang transformatif. Salah satu akar konflik Papua adalah paradoks pembangunan. Jangan percepat atau perpanjang pembangunan eksploitatif dan represif. Sejumlah agenda pembangunan transformatif itu sudah sering disuarakan, di antaranya "selamatkan manusia dan alam Papua"; penuhi hak-hak dasar, kontrol migrasi; laksanakan kebijakan afirmatif dalam UU Otonomi Khusus; dan stop eksploitasi alam, ibu bumi mereka.
Keempat, hentikan diskriminasi dan memandang rendah orang asli Papua. Pengalaman pahit orang Papua selama 50 tahun melahirkan apa yang disebut memoria passionis, pengalaman penderitaan kolektif. Butuh pengalaman manis, solidaritas, keadilan, dan empati untuk memulihkannya. Selain itu, akar lain dari budaya kekerasan di Papua juga harus direfleksikan dan diubah oleh orang Papua sendiri. Orang Papua mesti belajar hidup dalam keberagaman dengan berbagai kelompok suku bangsa, sambil dengan penuh percaya diri membangun masa depan mereka sendiri.
Cypri Jehan Paju Dale Direktur Sunspirit for Justice and Peace
(Kompas cetak, 29 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Intoleransi Agama

Zuly Qodir
Kita hampir memasuki tahun 2013 dan meninggalkan tahun 2012 yang disinyalir penuh rapor merah dalam hal kehidupan beragama. Sejumlah survei memberikan rapor merah atas kebebasan beragama, khususnya terkait kaum minoritas, seperti jemaah Ahmadiyah, jemaah Syiah Indonesia, minoritas Kristen di daerah tertentu, sampai minoritas penghayat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Survei The Wahid Institute November 2012 menyebutkan, terdapat 193 kasus pelanggaran atas kebebasan beragama yang dilakukan dengan bentuk-bentuk kekerasan, pemaksaan, dan pelarangan.
Sementara itu, Setara Institute menyebutkan, terdapat 103 kasus pelanggaran kebebasan beragama dengan berbagai ancaman, perusakan, kekerasan, bahkan penghilangan nyawa.
Hal yang juga menarik, survei LSI dan Yayasan Denny JA menyebutkan, tahun 2012 masyarakat kehilangan kepercayaan dan kepuasan terhadap lembaga negara. Ketidakpuasan masyarakat atas lembaga kepresidenan mencapai 62,7 persen, ketidakpuasan terhadap polisi 64,7 persen, dan ketidakpuasan terhadap partai politik 58,1 persen.
Rendahnya kepuasan masyarakat atas tiga lembaga negara tersebut disebabkan kerja lambat, terkesan apatis, dan membiarkan dalam pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, kebebasan beragama, di Indonesia.
Berdasarkan survei yang dilakukan di atas, kita dapat mengambil banyak pelajaran yang berharga untuk tahun mendatang. Tentu jika negara ini benar benar hendak melakukan perubahan secara fundamental dalam hal kebebasan kehidupan beragama.
Pendidikan inklusif
Salah satu penyebab menguatnya intoleransi beragama diduga keras karena kurangnya pemahaman keagamaan yang memadai dari masyarakat kita sehingga masyarakat mudah "terjerumus" dan diprovokasi untuk berbuat melawan hukum serta tindak intoleran. Beberapa perbuatan melanggar hukum yang dilakukan masyarakat adalah melakukan perusakan fasilitas umat beragama: membakar, menyegel, dan atau melemparinya.
Sementara perbuatan dan tindakan intoleransi agama yang dilakukan masyarakat, di antaranya dalam wujud melarang jemaah umat beragama beribadah di tempat yang telah didirikan dan tersedia dengan alasan mengganggu ketertiban dan harmoni dalam kehidupan beragama.
Bahkan, tindakan intoleransi juga dilakukan oleh umat beragama dengan melakukan aksi-aksi teror, baik atas umat beragama yang satu keyakinan maupun yang beragama lain.
Pertanyaan tentu dapat diajukan di sini, mengapa umat demikian mudah "terjerumus" dan terprovokasi oleh orang yang mengarahkan kebencian kepada orang yang berbeda?
Bukankah perbedaan merupakan kondisi obyektif dan tidak bisa dihilangkan? Apakah perbedaan berarti harus dihilangkan dan dijadikan arena perkelahian dan pembunuhan? Bukankah Tuhan sendiri yang menciptakan perbedaan tersebut sebagai sunah-Nya?
Jika benar dugaan kita bahwa salah satu penyebab utama faktor pemahaman agama yang "dangkal" dan kurang, terutama berkaitan dengan paham keragaman, terbuka dengan umat lain, pendidikan inklusif merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang memberikan pemahaman kepada publik bahwa perbedaan merupakan keniscayaan (sunatullah). Perbedaan adalah berkah bangsa ini bukan petaka. Negeri ini lahir karena adanya perbedaan dan sekaligus keragaman.
Dengan demikian, perbedaan merupakan hal yang tidak boleh menjadikan kita membenci pihak lain yang berbeda dengan kita. Perbedaan tidak perlu menghalangi kita untuk berbuat baik dan saling menghargai. Bahkan, dengan perbedaan kita harus memiliki kehausan untuk saling menghormati sebab di situ akan semakin tampak derajat keimanan seseorang.
Pendidikan yang semacam itu harus digagas dan dijalankan oleh setiap pendidik, baik formal ataupun nonformal. Pendidik formal adalah mereka yang memang menjadi guru dari taman kanak- kanak sampai perguruan tinggi. Sebab, mereka berhadapan langsung dengan peserta didik yang sangat beragam kemampuan dan latar belakang.
Sementara itu, pendidik nonformal adalah mereka yang berposisi sebagai juru dakwah, pengkhotbah, ustaz, guru mengaji, serta sejenisnya yang juga memiliki jemaah dan sering kali berpengaruh di depan jemaahnya.
Pendidik nonformal ini harus memiliki "bahasa publik", bukan sekadar bahasa domestik (khusus kelompoknya), sebab dampaknya jika salah bersabda akan memakan korban.
Oleh karena itu, para pendidik formal dan nonformal harus memiliki kemampuan bahasa domestik sekaligus bahasa publik sehingga yang disampaikan akan sesuai konteks sosial yang dihadapinya. Pendidik harus memiliki kemampuan multidisiplin dalam memahamkan agama kepada jemaahnya, tidak sekadar pemahaman tunggal yang sifatnya dogmatik.
Memaknai demokrasi
Dalam bahasa yang lebih longgar, pendidik harus mampu memahami dan memaknai demokrasi. Demokrasi yang menghadirkan keragaman dan perbedaan. Pendidik tidak bisa hadir sebagai sosok yang angkuh, tiran, dan memberi napas kebencian kepada pihak lain.
Demokrasi dipahami sebagai arena untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna, lebih sejahtera, dan kenyamanan. Demokrasi dipahami sebagai arena menyemaikan kedamaian dan keadaban sehingga demokrasi menjadi bermakna tanpa kekerasan dan penuh kesantunan.
Kita tentu saja tidak berharap pada tahun 2013 kehidupan keagamaan Indonesia mendapatkan rapor merah karena umat beragama yang beragam saling membenci, melakukan teror, serta melakukan tindak kekerasan yang disebabkan oleh para pendidik dan absennya aparat negara.
Semua tindakan kebencian, teror, dan perusakan harus mendapatkan perhatian serius dari aparat negara yang dinilai oleh publik lemah sehingga publik tak dapat kepuasan atas pelayanan yang dilakukan selama ini.
Zuly Qodir Sosiolog UMY; Jemaah Muhammadiyah
(Kompas cetak, 29 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®























Mencegah Radikalisme

Mohammad Mahpur
Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran bangsa karena praktik keberagamaan tersebut merapuhkan kebinekaan dan kedamaian.
Radikalisme ini membawa gerakan purifikasi: mengingkari unsur lokalitas yang turut membentuk Islam Indonesia. Oleh karena itu, praktik keberagamaan semacam ini pada praksisnya menafikan pluralisme sedemikian rupa sehingga cenderung bersikap intoleransi dalam beragama, menjadi eksklusif, anti-keragaman, dan pada titik kritis dihipotesiskan melahirkan terorisme.
Said Aqil Siroj berpendapat dalam artikel berjudul "Kebutaan Budaya" (Kompas, 10/12/2012), bahwa puritanisme yang akhirnya membibit radikalisme agama dan terorisme terkait dengan polarisasi keberagamaan berangkat dari sentimen antibudaya. Mereka tidak melihat bahwa persenyawaan Islam Indonesia adalah metamorfosis yang tidak bisa terlepas dari khazanah lokalitas keindonesiaan. Inilah yang disebut Said sebagai kebutaan budaya. Sentimen antibudaya inilah yang mengikat psikologis mental keagamaan kalangan radikalis menjadi tertutup (eksklusif) dan garang. Mereka mudah terkontaminasi oleh induksi teror dalam bentuk stimulasi semangat jihad perang dan martir bom bunuh diri sebagai dampak pesan subliminal mati syahid.
Sebagai langkah mengantisipasi perkembangan radikalisme dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme telah mengagendakan perspektif afirmatif dengan memperkuat program-program deradikalisasi. Ini untuk memicu praksis keberagamaan yang lebih ramah bagi kehidupan kebangsaan dan mencegah lahirnya martir terorisme. Namun, jika mengacu ke historisitas keberagamaan Nusantara, program deradikalisasi itu sebenarnya tidak terlalu mengakar ke basis komunitas beragama tanpa memahami bahwa rentang perkembangan dan peradaban Nusantara telah memiliki akar antroposentris bagaimana Islam menjadi agama Nusantara yang berkembang secara evolusioner.
Jejak historis
Tulisan ini ingin memantik kembali gagasan Gus Dur tentang "Pribumisasi Islam" yang muncul tahun 1980-an dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Anwar, 2006, The Wahid Institute). Gagasan itu merupakan jawaban yang mampu memberikan perspektif pencegahan praktik radikalisme agama. Gus Dur sangat menghargai metamorfosis Islam Nusantara dengan menempatkan Islam secara kontekstual, yaitu sebagai bagian dari proses budaya. Meskipun sedikit terlambat, inilah cara pandang futuristis Gus Dur (suara langit beliau) tentang Islam Indonesia ke depan agar tidak terperangkap dalam radikalisme dan terorisme yang mencerabut Islam dari akar Nusantara.
Pribumisasi Islam menekankan bahwa praksis keislaman "tidak selalu identik" dengan pengalaman Arab (Arabisme). Ia adaptif dengan lokalitas. Akar "Pribumisasi Islam" sebenarnya tidak asing jika dilihat dari historisitas NU. Pribumisasi merupakan semangat lanjutan dari perjuangan kakek Gus Dur, KH Hasyim Asy'ari, yang berusaha tetap mempertahankan praktik ritual dan beragama mazhab Syafi'i Indonesia dengan corak tradisional. Perjuangan ini membidani kelahiran NU (1962) karena tidak sejalan dengan kaum modernis yang mendukung kepemimpinan baru Wahabi di Mekkah di bawah reformis Ibnu Saud. Naiknya Saud dikhawatirkan akan merongrong keberagamaan mazhab Syafi'i.
Gerakan ini tidak semata-mata aksi untuk pembelaan kaum tradisionalis dari serangan modernis yang mengatakan kaum tradisionalis musyrik karena praktik TBK (takhayul, bidah, dan khurafat). Kelahiran NU telah mengilhami praktik kultural Islam Nusantara yang menyelamatkan Indonesia ketika puritanisme dihipotesiskan melahirkan gerakan Islam radikal dan terorisme.
Menyelamatkan Indonesia
Gus Dur lebih eksplisit lagi mentransformasikan perlawanan kakeknya melalui gagasan "Pribumisasi Islam". Gerakan melawan puritanisme telah menyadarkan kita bahwa pilihan perjuangan tersebut tidak semata-mata demi kalangan tradisionalis (NU). Di hari ini ketika Islam Indonesia di bawah ancaman radikalisme dan terorisme, gerakan itu justru dapat dikatakan menyelamatkan Indonesia.
Pribumisasi adalah cara mujarab untuk memerangi radikalisme agama. Pribumisasi menjadi entitas genuine yang mengembalikan Islam Indonesia menjadi lebih membudaya, rahmatan li al 'alamin, sesuai konteks keindonesiaan. Islam kultural inilah yang sebenarnya telah dipelihara NU sebagai bagian dari upaya pendekatan keberagamaan. Dalam konteks ini, NU memahami bahwa nilai-nilai historis perkembangan Islam tidak bisa lepas dari konstelasi dan persinggungan dengan budaya. Ambil contoh Sunan Bonang dan Kalijaga, yang menggunakan seni lokal sebagai instrumen dakwah.
Perspektif Walisanga ini selain melestarikan budaya Nusantara juga mengembangkan Islam dengan menggunakan "kecerdasan artistik". Islam dikomunikasikan ke orang lain dengan makna keindahan. Doktrin digubah menjadi spirit yang dapat dengan mudah dipahami oleh orang awam dengan cara persuasif. Spirit itu telah menyinari alam bawah sadar masyarakat. Islam seperti ini menambah eksotisme kemanusiaan dan mampu mereduksi (menghindari) konstruksi jihad sebagai eskalasi psikologis-mental perang. Islam mengedepankan kehalusan budi dalam membawa pesan-pesan doktrin dan tetap menghidupkan ekspresi lokalitas.
Pribumisasi Islam memungkinkan praksis keberagamaan mengambil sisi kearifan lokal. Islam dapat ditafsirkan untuk memaknai kearifan lokal, bahkan mampu menghidupkan komoditas budaya lokal menjadi semangat zaman di tengah liberalisasi budaya dan komoditas "Arabisme". Pribumisasi Islam adalah psikologi indigenous yang mengembangkan spiritualitas keberagamaan berangkat dari akar kearifan lokal. Khazanah kearifan lokal ditafsirkan untuk membentuk variasi keberagamaan ke dalam anasir budaya yang dapat dimaknai.
Islam ditafsirkan ke dalam jantungnya kearifan lokal. Ia mampu menggubah substansi spiritualitas (tauhid) tanpa mengubah bentuknya. Tanpa berteriak Allahu Akbar, tauhid mampu dibangun bersama narasi-narasi lokalitas. Inilah Islam yang telah menyatu ke jantung masyarakat dengan beragam latar budaya. Di sinilah Islam rahmatan li al-'alamin dipraktikkan tanpa menyakiti manusia.
Dengan demikian, praksis keberagamaan untuk mencegah lahirnya kader radikalisme dan teroris pada akhirnya akan jauh lebih mengakar ketika gagasan "Pribumisasi Islam" dilestarikan sebagai praksis Islam Nusantara. Ia menjadi pendidikan kultural yang disebarluaskan melalui langgar, surau, mushala, dan masjid di desa-desa. Ia mewadahi dinamika kolektif masyarakat lokal, diwariskan dari generasi ke generasi, dikonservasi melalui praktik budaya lokal.
Mohammad Mahpur Dosen Psikologi Sosial UIN Maliki Malang; Sekretaris Lakpesdam NU Kota Malang
(Kompas cetak, 29 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Jumat, 28 Desember 2012

Prahara Promosi Hakim

Achmad Fauzi
Patogen birokrasi akibat ambruknya kerangka regulasi sistem karier dan ketidakjelasan kriteria perekrutan pejabat menjadi persoalan sistemik lembaga pemerintahan kita.
Alih-alih menciptakan pemerintahan yang bebas dari unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme, pascareformasi penyalahgunaan wewenang dan jual-beli jabatan justru menggurita dan menegasikan asas umum tata kelola yang baik. Temuan populer terkait patogen birokrasi adalah para pegawai negeri sipil yang bermasalah dengan hukum tetapi memegang jabatan strategis.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mencatat, 474 PNS tersangkut kasus hukum dan menduduki jabatan pemerintahan daerah di 19 provinsi. Mereka berstatus tersangka, terdakwa, bahkan terpidana (Kompas, 22/11). Dalam hal ini, pemerintah perlu membangun sistem pengangkatan pejabat birokrasi berbasis rekam jejak, kompetensi, dan integritas.
MA terjangkit
Patogen birokrasi juga menjangkiti Mahkamah Agung (MA). Beberapa hakim yang pernah terlibat pelanggaran berat terkait etika profesi justru dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Kejadian hakim "sakti" yang seharusnya didemosi tetapi justru mendapat promosi terus berulang. Setidaknya ada dua peristiwa anomali promosi yang bisa menjadi batu uji.
Pertama, terkait peristiwa promosi hakim XX yang berdasarkan hasil rapat Tim Promosi dan Mutasi (TPM) MA pada 29 November 2012 menduduki jabatan sebagai wakil ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Padahal, Komisi Yudisial (KY) memiliki catatan hitam tentang perbuatan tercela yang bersangkutan empat tahun silam.
Hakim XX pernah berkomunikasi dengan pihak beperkara, yaitu Artalyta Suryani alias Ayin, perihal keinginannya untuk bermain golf di Shanghai, China, bersama teman-temannya. Percakapan itu mengandung unsur mengharapkan sesuatu sehingga melanggar prinsip persamaan dan imparsialitas.
Keputusan mempromosikan hakim XX menjadi preseden buruk dan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Jabatan strategis yang idealnya diisi hakim bersih justru dimandatkan kepada oknum hakim dengan reputasi buruk. Keputusan itu harus dievaluasi karena mencederai asas kepatutan dan norma kesusilaan. Pejabat publik harus menjadi figur panutan bagi bawahannya.
Proses evaluasi mencakup desain ulang kriteria penerapan sistem promosi secara lebih jelas dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Parameter promosi harus meliputi aspek kualitas, integritas, dan prestasi hakim, bukan semata-mata berdasarkan senioritas/pangkat.
MA saat mempromosikan hakim XX memberikan beberapa alasan. Pertama, "pemutihan" cacat integritas telah dilakukan dengan mencopot hakim XX dari jabatannya kala itu, yaitu sebagai ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kedua, hakim XX telah menjalani etape uji kelayakan dengan predikat baik.
Namun, pertimbangan itu mengandung polemik karena yang terkesan uji kelayakan dan kepatutan justru mengalpakan aspek integritas. Padahal, tak sukar mencari hakim dengan reputasi cemerlang untuk jabatan tertentu. Jika iktikad tulus untuk bersih-bersih MA benar-benar menjadi napas para pengambil kebijakan, anomali mutasi dan promosi macam ini tidak terjadi.
Kedua, pada saat pertemuan bersama empat lingkungan peradilan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, pimpinan MA memberikan pengarahan agar warga peradilan senantiasa menjaga citra dan keagungan MA. Jangan sampai kesetiaan terhadap institusi justru menjelma menjadi kayu bakar dan membakar institusi sendiri.
Menggugat promosi
Seorang peserta menanggapi dengan kritis bahwa idealnya citra MA harus dipelihara. Namun, jika sistem mutasi dan promosi MA terus mengoyak rasa keadilan, ia siap menjadi kayu bakar dan akan membakar MA. Peserta tersebut tidak sedang bercanda. Ia menggugat promosi seorang mantan pimpinan pengadilan sebagai wakil ketua pengadilan kelas IA. Padahal, yang bersangkutan sedang menjalani hukuman disiplin hingga Maret 2013 berupa penurunan pangkat dan pemotongan remunerasi.
Merespons pertanyaan itu, pimpinan MA mengatakan akan mengeceknya. Tak lama berselang hakim yang dimaksud dicopot dari jabatannya meski yang bersangkutan baru saja dilantik.
Jelas bahwa perbaikan sistem menjadi mutlak. Ke depan pengembangan sistem rotasi, mutasi, dan karier hakim perlu terus disempurnakan parameter yang obyektif. Dengan demikian, sistem reward and punishment bisa diterapkan dan menekan unsur nepotisme. Promosi hakim yang (pernah) melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim perlu dipertimbangkan matang dan penuh kehati-hatian.
Catatan buruk sepak terjang seorang hakim tak boleh diabaikan begitu saja. Kelak ketika yang bersangkutan mendaftar sebagai hakim agung di KY, rekam jejak itu sangat memengaruhi penilaian. Itulah dasar filosofis mengapa hakim yang cacat reputasi tidak punya ruang yang luas untuk dipromosikan. Jabatan harus diemban oleh orang yang berintegritas tinggi, berprestasi, dan memenuhi standar kompetensi.
Begitu juga hakim yang berprestasi bisa mendapat reward dalam bentuk peningkatan karier. Hakim berprestasi yang terlalu lama bertugas di daerah terpencil, misalnya, akan mengalami keterbatasan akses pengetahuan dan kesempatan melanjutkan studi dibandingkan dengan mereka yang bertugas di kota besar. Karena itu, asas pemerataan—dengan menempatkan hakim ke sejumlah daerah— jangan sampai mengalahkan porsi penilaian kemampuan seorang hakim dalam menentukan mutasi.
Ukuran hakim berprestasi bukan semata-mata karena berani menjatuhkan hukuman berat atau putusannya tidak pernah dibatalkan di tingkat banding ataupun kasasi. Hakim yang berprestasi adalah hakim yang gigih menggali norma yang hidup dalam masyarakat dan memunculkan teori baru sebagai pedoman bagi hakim lain sehingga menjadi yurisprudensi.
Standar baku
Sistem mutasi dan promosi memang merupakan bagian dari upaya pembinaan dan peningkatan kapabilitas/keahlian hakim. Namun, diperlukan standar baku yang transparan agar proporsionalitas perjalanan karier hakim bisa dipantau. Sistem mutasi dan promosi yang ideal berbasis pada tiga hal: database rekam jejak, manajemen putusan dan berorientasi pada peningkatan kualitas hakim.
Selama ini MA kecolongan mempromosikan hakim bermasalah karena kurang mengoptimalkan integrasi data sumber daya manusia dengan pengawasan, sistem karier, promosi, dan mutasi. Keterlibatan KY yang terkait langsung dengan pengawasan hakim sangat diperlukan.
KY dan MA seyogianya menjalin kerja sama dalam proses penilaian kinerja hakim karena keduanya memiliki keterkaitan dalam tugas dan pelaksanaan fungsi sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Achmad Fauzi Hakim Pengadilan Agama Kota Baru, Kalimantan Selatan
(Kompas cetak 28 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®






















Pendidikan di Pusaran Kerawanan

Hafid Abbas
Menarik direnungkan apa yang pernah dikemukakan oleh Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi. Bagi Malaysia, kata Badawi, pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia bukan sekadar sesuatu yang mutlak atau sangat vital, melainkan persoalan hidup matinya Malaysia.
Jika Indonesia berpandangan sama, bahwa pendidikan adalah persoalan hidup matinya bangsa ini di masa depan, maka sudah waktunya bangsa ini membenahi pendidikan secara sungguh-sungguh pada semua dimensi persoalan pendidikan. Beberapa waktu lalu (27/11/2012) harian ini melaporkan peringkat pendidikan Indonesia pada urutan terendah di dunia. Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat pertama dan kedua diraih Finlandia dan Korea Selatan.
Tiga titik rawan
Jika wajah pendidikan kita seperti itu, proses perjalanan peradaban modern bangsa ini ke masa depan akan bergerak di atas pelataran yang amat rapuh. Berikut ini titik-titik rawan itu. Pertama, pada 21 Maret 2011, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR melaporkan, 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal.
Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal, 48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal, dan 10,15 persen yang memenuhi standar nasional pendidikan. Sekolah-sekolah yang dinilai mampu bersaing dengan mutu pendidikan negara-negara lain, yang disebut rintisan sekolah bertaraf internasional, hanya 0,65 persen.
Jika potret suram itu tidak segera berubah, di masa depan pendidikan kita hanya akan menghasilkan bangsa kuli yang tidak mampu bersaing dengan bangsa lain. Lebih mengkhawatirkan lagi, pada 2015 kita akan memasuki satu komunitas masyarakat tunggal ASEAN. Namun, sayang sekali, hingga kini belum terlihat adanya tanda-tanda perubahan secara signifikan pembenahan pendidikan nasional memasuki era baru itu. Dengan mutu pendidikan yang rendah, Indonesia sesungguhnya akan memasuki era kolonialisme baru dari bangsa lain yang kualitas pendidikannya lebih maju. Terdapat sekitar 2,7 juta buruh migran Indonesia bekerja di Malaysia, diperkirakan 60 persen bekerja sebagai pekerja rumah tangga, buruh perkebunan, dan buruh konstruksi.
Kerawanan kedua, saat ini tercatat sekitar 3.600 perguruan tinggi swasta dan hanya ada 92 perguruan tinggi negeri. Dari jumlah itu terdapat 6.000 program studi yang belum terakreditasi atau tak legal (Kompas, 18/5/2012), 42 persen dari semua tenaga pengajarnya masih berpendidikan S-1. Hanya 6-7 persen dari semua program studi yang berjumlah 1.7000- 18.000 yang terakreditasi A.
Gambaran ini kelihatannya jauh lebih suram jika dibandingkan dengan wajah pendidikan dasar dan menengah. Jika ditambah dengan jumlah akademi komunitas yang akan segera dikembangkan di semua provinsi yang tersebar di 300 kabupaten/kota, Indonesia akan tercatat sebagai negara dengan jumlah perguruan tinggi terbanyak di dunia.
Sekadar perbandingan, China dengan penduduk mendekati 1,4 miliar atau sekitar enam kali lebih besar daripada Indonesia hanya memiliki 2.263 perguruan tinggi (Fact about China Education, 2011). Lebih menarik lagi, China menggalakkan kebijakan penggabungan perguruan tinggi yang kecil-kecil menjadi perguruan tinggi besar dengan pengelolaan yang lebih profesional. Pada 2011 terdapat sekitar 900 perguruan tinggi kecil-kecil yang dikelola dengan pendekatan seperti itu.
Moratorium pembukaan program studi dan perguruan tinggi baru yang dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bukanlah solusi, bahkan akan menciptakan masalah baru yang lebih rumit. Perguruan tinggi harus terus-menerus berubah dan berkembang seirama dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan dinamika perubahan masyarakat. Sungguh satu kekeliruan jika tuntutan itu harus dihalangi.
Kerawanan ketiga, sejak lebih dari satu dekade terakhir terdapat pergeseran kebijakan pengelolaan pendidikan secara keseluruhan—baik di pusat maupun di daerah—dari pendekatan teknis profesional ke kepentingan politik praktis. Padahal, UNESCO dan ILO (1966) telah mengeluarkan rekomendasi tentang pengembangan profesi guru dan jabatan apa saja yang terkait dengan pendidikan. Pada butir 43 rekomendasi tersebut disebutkan, posisi pengawas, kepala dinas pendidikan, inspektur jenderal, direktur jenderal, termasuk menteri pendidikan atau jabatan apa saja yang memerlukan tanggung jawab khusus yang terkait dengan urusan pendidikan, haruslah diprioritaskan pada urutan pertama kepada guru yang sudah berpengalaman.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, urusan pendidikan telah dikavling menjadi jatah politik dari Muhammadiyah dan kementerian agama jatah NU. Akibatnya, kementerian pendidikan telah didominasi oleh mereka yang didukung oleh kepentingan Muhammadiyah, mulai dari menteri hingga jabatan-jabatan lain. Latar belakangan keahlian di jajaran struktural cukup variatif, mulai dari dokter, ahli batuan, ahli rayap, hingga listrik arus lemah. Ironisnya, terabaikan adalah bidang yang disarankan UNESCO, yaitu keguruan dan ilmu pendidikan. Hal ini terus terpelihara hingga sekarang. Pengkavlingan seperti itu hasilnya ternyata adalah keadaan pendidikan Indonesia dinilai terburuk di dunia.
Demi politik pencitraan
Keadaan yang lebih rawan lagi terjadi di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga ke pranata-pranata unit birokrasi pendidikan paling bawah. Dengan otonomi daerah, para bupati/wali kota terpilih dengan bebas menempatkan orang-orang dekatnya yang telah dinilai berjasa atas kemenangannya di proses pilkada untuk mengisi semua pos di dinas pendidikan daerah. Ada daerah yang mempromosikan seseorang yang mengurus urusan pasar ke urusan pendidikan, ada pula yang berasal dari urusan pemakaman ke dinas pendidikan. Pertimbangan-pertimbangan ilmiah seperti saran UNESCO sudah kering di dada elite politik negeri ini.
Elite-elite kepemimpinan pendidikan di pusat dan daerah kelihatannya baru mencari bentuk karena umumnya tidak tumbuh di ranah pendidikan dan keguruan. Mereka umumnya mementingkan pencitraan. Misalnya, jika ada 2-3 anak menang di olimpiade sains, misalnya, itulah yang dibesar-besarkan untuk memberikan kesan bahwa mereka telah berhasil luar biasa memajukan pendidikan. Mereka tidak menyadari bahwa mafia penyelenggara olimpiade seperti itu tersebar dan menjamur di berbagai belahan dunia.
Dengan kepentingan pencitraan, keputusan strategis pun sering kali diambil tanpa melalui hasil penelitian ilmiah. Ada tawuran antarsiswa, solusinya adalah perubahan kurikulum. Apa benar semua itu disebabkan oleh kurikulum? Menyalahkan kurikulum adalah modus paling aman. Sebab, kalau sang pengambil kebijakan keliru, hasilnya baru diketahui 10-20 tahun kemudian. Lagi pula, satu lembar yang berubah dalam kurikulum dapat melahirkan sekian ribu proyek baru yang dapat memberi lahan baru bagi mitra-mitra luar untuk membantu meningkatkan daya serap anggaran di kementerian pendidikan.
Semoga bangsa kita segera terbebas dari belenggu kepentingan politik pencitraan dan bangkit dari keterpurukannya dari posisi yang terendah di dunia, seperti yang dilaporkan oleh Pearson baru-baru ini.
Hafid Abbas Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta
(Kompas cetak, 28 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Kurikulum "Berpikir" 2013

RHENALD KASALI
Di banyak negara, saya sering menyaksikan siswa sekolah atau mahasiswa yang aktif berdiskusi dengan guru atau dosennya. Persis seperti yang dulu sering kita lihat dalam iklan margarin pada tahun 1980-an, atau gairah siswa Wellesley College yang kita lihat dalam film Monalisa Smile.
Sewaktu mengajar di University of Illinois, saya kerap berhadapan dengan anak-anak seperti itu. Karena materi yang harus diajarkan begitu banyak, saya menjawab seperti kebiasaan guru di sini. "Sebentar ya. Biar saya selesaikan dulu." Namun, anakanak itu tetap tak mau menurunkan tangannya sebelum dilayani berdiskusi.
Belakangan saya diberi tahu bahwa pendidik yang baik harus cekatan melayani diskusi, bukan meringkas isi buku. Seorang guru besar senior mengingatkan, "Ka - mi bersusah payah mengubah satu generasi, dari TK hingga SLTA, mengubah kebiasaan siswa yang malas berpikir menjadi aktif mengeksplorasi dengan lebih percaya diri."
Mengapa tradisi seperti itu tidak terjadi di sini? Bahkan di perguruan tinggi semakin banyak dosen mengeluh bahwa anakanak sekarang tidak gemar membaca sehingga tidak bisa diajak berdiskusi.
Dihafal, bukan dipikir
Anak-anak kita punya tradisi belajar yang sangat berbeda, yang mengakar sejak taman kanak-kanak. Mata ajaran yang dipelajari jauh lebih banyak, tetapi tidak mendalam. Kalau sulit, rumus yang sangat banyak dibuatkan jembatan keledai atau singkatansingkatan agar mudah dikeluarkan dari otak.
Cara belajar yang demikian berpotensi menghasilkan "pe - numpang" ketimbang "penge - mudi". Karena itu, banyak orang yang lebih senang duduk menunggu, hidup "menumpang", "dituntun", atau diarahkan ketimbang menjadi pengemudi yang aktif dan dinamis.
Seperti tampak di angkutan umum, penumpang boleh mengantuk, tertidur, terdiam, sibuk sendiri, tak perlu tahu arah jalan, dan praktis kurang berani mengambil risiko. Sementara pengemudi adalah sosok yang sebaliknya. Karena orangtua juga dibesarkan dalam tradisi belajar yang sama, tradisi serupa ada di rumah. Dengan jumlah mata ajaran yang semakin hari semakin banyak, jumlah yang dihafal siswa di sini juga semakin memberatkan.
Perhatikanlah bagaimana siswa berikut ini belajar. Siswa kelas I SD yang ibunya bekerja mengucapkan kalimat ini: "Ke l u a r g a inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak. Ayah ke kantor mencari nafkah, ibu merawat anak-anak di rumah." Anak itu sempat protes karena ibunyalah yang bekerja, tetapi ibu guru menyatakan "Dihafal saja karena bukunya berkata demikian". Ibu di rumah berkata serupa: "Kalau engkau mau naik kelas, dihafal saja."
Daya kritis tidak diberi ruang, pertanyaan-pertanyaan penting yang diperlukan manusia untuk bernalar dimatikan sedari muda. Sementara mata ajar kesenian yang diadakan untuk merangsang daya kreasi juga distandarkan dan dihafal. Seperti yang dialami anak-anak yang menggambar pemandangan: gunung dua berjajar, matahari di tengah, dan seterusnya.
Hafalan diperlukan untuk mengikuti ujian nasional dan agar diterima di perguruan tinggi atau menjadi pegawai negeri sipil. Bahkan untuk diterima di jurusan seni rupa sebuah perguruan tinggi negeri terkenal, ujian masuknya juga ujian menghafal, bukan portofolio karyakarya calon mahasiswa.
Demikianlah penumpang, sekolahnya menghafal tetapi tidak berani berbuat, apalagi menyatakan identitas diri atau berpikir. Ini ditambah lagi tradisi membesarkan anak yang sejak lahir tubuh dan kedua kaki-tangannya dibedong lalu digendong. Sekalipun sudah bisa berjalan, kita selalu dituntun orang dewasa. Beda benar dengan tradisi belajar di negara-negara yang mendorong manusianya berpikir dan bertindak. Di negeri penumpang, wacana berlimpah, gagasan hebat mudah ditemui di televisi, tetapi sedikit sekali kaum elite yang bergerak.
Kurikulum berpikir
Gagasan merampingkan jumlah mata ajaran tentu saja tak boleh diikuti oleh rasa takut yang berlebihan di kalangan para pendidik. Sebab, sebagaimana layaknya setiap perubahan, maka tak pernah ada perubahan yang langsung berakhir dengan kesempurnaan. Namun, satu hal yang pasti, seperti orang yang berfoto bersama, maka setiap orang akan selalu melihat pada wajahnya masing-masing. Ia akan mengatakan fotonya bagus, semata-mata kalau dirinya tampak bagus.
Bagi saya perubahan kurikulum yang ramai diperbincangkan seharusnya dapat dilihat pada aspek lebih luas daripada sekadar merampingkan mata ajaran. Perubahan ini seharusnya dapat dijadikan momentum untuk melakukan transformasi diri manusia Indonesia dari tradisi mindset "penumpang" menjadi cara berpikir "peng emudi". Transformasi ini berdampak sangat luas yang sudah pasti membutuhkan penyempurnaan bertahap hingga ke tingkat pendidikan tinggi.
Riset-riset terbaru menunjukkan, betapa banyak cara kita belajar sudah harus diubah. Daniel Coyle (2010), misalnya, menunjukkan kemajuan yang dicapai dalam neuroscience yang menemukan bahwa manusia cerdas tidak hanya dibentuk oleh memori otak, tetapi juga memori otot (myelin ). Sementara Carol Dweck dan Lisa Blackwell (2011) menemukan bahwa anak-anak yang secara akademik dianggap cerdas berpotensi menyandang mindset tetap sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat.
Keduanya menunjukkan cara- cara baru membentuk mental pengemudi yang sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan generasi baru di abad ke-21. Jadi, terimalah perubahan dan persiapkan lebih baik.
RHENALD KASALI Guru Besar FE-UI
(Kompas cetak, 28 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Kamis, 27 Desember 2012

Presiden Diminta Bertindak Nyata

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mengambil sikap tegas atas kasus ibadah Natal jemaat HKBP Filadelpia. Jemaat HKBP tidak bisa melakukan ibadah akibat adanya intimidasi massa intoleran.
Demikian diungkapkan Direktur Wahid Institute, Yenny Zannuba Wahid melalui pesan singkat kepada SH di Jakarta, Selasa (25/12).
"Ibadah Natal jemaat HKBP Filadelpia hari ini yang berencana digelar di depan lokasi gereja yang disegel kembali dijaga satpol PP dan kepolisian di bawah intimidasi massa intoleran. Semalam, jemaat yang datang ke gereja juga diintimidasi, dilempari telur busuk, dan kotoran sapi," kata Yenny.
Putri KH Abdurahman Wahid yang kerap disapa Yenny Wahid itu berharap ada tindakan nyata Presiden Yudhoyono dan mendesak aparat menjamin keamanan jemaat HKBP Filadelpia yang merayakan Natal.
"Termasuk menindak pelaku yang jelas-jelas melakukan tindakan melawan hukum seperti ujaran kebencian, melempar telor busuk dan kotoran sapi. Tanpa tindakan tegas dan pembiaran, aksi itu bisa berbuah aksi kekerasan lebih parah sebab hukum disepelekan," ujar Yenny Wahid.
Lebih lanjut, Wahid Institute seperti dikemukakan Yenny Wahid meminta berbagai pihak untuk saling menghormati dan menghargai perayaan Natal yang tengah dilakukan umat nasrani. "Jangan mudah terprovokasi pada tindakan-tindakan yang bisa mengancam kehidupan beragama," kata dia.
"Kami meminta masyarakat jernih berpikir dan tidak terprovokasi tindakan sekelompok orang," imbuhnya.
Sekretaris Komisi Hak Konferensi Wali Gereja Indonesia Romo Benny Susetyo pada SH menilai insiden yang terjadi di HKBP Filadelpia karena tidak ada ketegasan dari pemerintah, sehingga muncul dan terjadi pelanggaran atas hak dasar seseorang untuk beribadah.
"Ini karena pemahaman tentang SKB 2 Menteri yang tidak pernah disosialisasikan di tingkat akar rumput. Tidak pernah ada ketegasan pemerintah sehingga terjadi pelanggaran HAM," kata Romo Benny.
Bukan hanya itu, kata Benny, yang turut menjadi problem ada pada kepala daerah yang justru takut dengan massa dengan kelompok yang cenderung menggunakan kekerasan.
"Seharusnya Mendagri memberikan sosialisasi pada bupati, wali kota, dan gubernur. Itu (SKB Dua Menteri) harusnya dijadikan aturan main bersama-sama. Jangan seperti ini penafsirannya berbeda-beda atau karena tekanan politis. Kepala daerah wawasannya harus NKRI, bukan ekbisitas," ujar Romo Benny.
Karena dengan sama-sama memahami dan menyepakati, itu bisa jadi aturan main bersama. Persoalan yang mengancam kebebasan beragama tidak terjadi dan berkembang terus, ia menambahkan.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan, Bineka Tunggal Ika bisa menjadi alat pemersatu. "Intimidasi dalam bentuk apa pun dan oleh siapa pun tidak dibenarkan," kata Djoko dalam pesan singkatnya yang diterima SH tadi malam.
Menurut Djoko, berbekal semangat persatuan dan kebersamaan serta saling menghormati di antara umat beragama maka asas kebinekaan yang dianut Indonesia bisa menjadi alat pemersatu membangun bangsa.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengatakan, Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo harus mengevaluasi sistem pengamanan Natal dan Tahun Baru. Menurut Tubagus, beberapa kepolisian daerah tertentu masih kurang cermat dalam menilai situasi atau gagal membuat perkiraan intelijen.
"Akibatnya ada objek yang seharusnya mendapat pengamanan yang cukup malah lolos, seperti di gereja HKBP Filadelpia Bekasi. Situasi seperti ini sangat disesalkan karena terkesan tidak serius, sementara di tempat lain malah berlebihan," ujarnya.
(Sinar Harapan, 26 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®




Prospek Konsolidasi Demokrasi

Munafrizal Manan
Setelah menggelar tiga kali pemilihan umum sejak era Reformasi bergulir, dan kini tengah menyongsong pemilu keempat pada 2014, Indonesia masih berkutat pada ketidakmenentuan prospek konsolidasi demokrasi.
Konsolidasi demokrasi tak hanya mencakup dimensi liberalisasi politik dan kontestasi elektoral. Jika hanya dua aspek ini sebagai barometer konsolidasi demokrasi, tak ada keraguan mengatakan demokrasi Indonesia telah terkonsolidasi. Sebab, sejauh ini masih ada ruang kebebasan politik dan ritual pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara periodik. Praktik demokrasi pasca-rezim Orde Baru didominasi gegap gempita dua dimensi ini.
Lantas, mengapa setelah dua kebutuhan dasar berdemokrasi itu terpenuhi praktik demokrasi Indonesia masih terperangkap dalam pusaran masalah? Menurut hemat saya, ini terjadi karena demokrasi dipahami dan dihayati sekadar "demokrasi", bukan demokrasi konstitusional".
"Demokrasi" mengagungkan liberalisasi politik dan kontestasi elektoral. "Demokrasi konstitusional" menjunjung tegaknya konstitusi dalam semua aspek kehidupan bernegara dan berbangsa. Titik lemah praktik demokrasi kita pada dimensi "konstitusional" ini. Kita belum serius berkonstitusi!
Keseriusan berkonstitusi adalah esensial bagi demokrasi baru seperti Indonesia. Studi tentang demokratisasi menggarisbawahi pentingnya konstitusionalisme dalam setiap fase demokratisasi. Mulai dari fase transisi, fase instalasi, hingga fase konsolidasi demokrasi, konstitusionalisme adalah batu uji kualitas demokratisasi.
Juan J Linz, Alfred Stepan, dan Richard Gunther (1995: 83-84) menekankan pentingnya konstitusionalisme dalam berdemokrasi. Larry Diamond (1999: 67-69) meyakini bahwa salah satu indikator konsolidasi demokrasi adalah ketika semua komponen dalam negara setuju mematuhi konstitusi. Dalam studi lain, Linz dan Stepan (1996: 5-10) menyimpulkan, dimensi konstitusional merupakan salah satu prasyarat penting mewujudkan demokrasi terkonsolidasi.
Menghidupkan teks mati
Dalam kasus Indonesia, negara dan masyarakat sama-sama mengidap problem berdemokrasi konstitusional. Gurita korupsi di kalangan elite hingga intoleransi terhadap kaum minoritas adalah contoh bahwa konstitusionalisme belum memiliki roh dalam praktik kenegaraan dan kebangsaan kita sehari-hari. Negara dan masyarakat masih berjarak dengan demokrasi konstitusional. Ini merintangi laju demokrasi menuju konsolidasi demokrasi.
Konstitusionalisme sebagai bagian inti dari demokrasi konstitusional senantiasa menyertai perjalanan sejarah Indonesia modern. Konstitusionalisme menjadi unsur penting sejak ide dan konsep Indonesia merdeka mulai dirumuskan oleh para pendiri negara. Debat sengit dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika merumuskan UUD 1945, kemudian pengesahannya pada 18 Agustus 1945, membuktikan para pendiri negara memancang itikad menjunjung konstitusionalisme. Konstitusionalisme juga menjadi bagian penting dalam proses demokratisasi Indonesia pasca-Orde Baru, yang diwujudkan melalui empat kali amandemen/ perubahan UUD 1945.
Masalahnya, sejak Indonesia merdeka hingga kini, kita belum bersungguh melaksanakan semua isi konstitusi. UUD 1945 pra-amandemen yang tidak demokratis pun dulu tak diterapkan secara murni dan konsekuen. Konstitusi ditegakkan secara selektif, distortif, dan manipulatif.
Pasca-amandemen UUD 1945 kita punya momentum mewujudkan the living constitution, yaitu konstitusi yang bisa diterapkan sehingga konstitusi tidak menjadi kabur dan bisu (Balkin, 2009) serta tidak ada kesenjangan antara teks konstitusi dan praktik konstitusi (Lane, 1996). UUD 1945 pasca-amandemen relatif memenuhi prinsip-prinsip konstitusionalisme modern yang demokratis. Di dalamnya ada prinsip supremasi konstitusi, pemisahan kekuasaan, checks and balances, dan jaminan hak-hak konstitusional warga negara.
Ironisnya, dengan konstitusi seperti itu pun, kita masih belum juga serius berkonstitusi. Legislator tetap sering membuat undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi sehingga banyak undang-undang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah belum sepenuhnya memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara yang dijamin konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi pun tak mampu memastikan semua isi konstitusi ditegakkan dan putusannya dipatuhi.
Maka, agenda tersisa dari demokratisasi Indonesia adalah membuat teks mati dalam UUD 1945 menjadi teks hidup pada semua aspek kehidupan bernegara dan berbangsa. Di situlah prospek konsolidasi demokrasi Indonesia bergantung.
MUNAFRIZAL MANAN Dosen FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia
(Kompas cetak, 27 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®












Menuju Pendangkalan Nalar

Terry Mart
Rencana pemerintah untuk mengintegrasikan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah dasar ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia membuat cemas para praktisi ilmu pengetahuan dasar. Mereka membahasnya dalam Forum Diskusi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia di Jakarta, seperti yang diberitakan Kompas, Kamis, 8 November 2012.
Dalam diskusi Dewan Pendidikan Tinggi, terutama Majelis Penelitian, para pemerhati ilmu-ilmu sosial dan humaniora pun turut mencemaskan hal ini.
Hitung-hitungan pemerhati pendidikan Prof Yohanes Surya memperlihatkan, jika pelajaran IPA dan IPS jadi diintegrasikan ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia, porsi IPA yang dapat dipertahankan dalam pelajaran baru tersebut akan kurang dari 30 persen. Padahal, kita sering mendengar bahwa isi dan cara pengajaran IPA di SD masih jauh dari ideal sehingga sering dituding menjadi penyebab rendahnya penguasaan IPA.
Guru Besar Matematika ITB Prof Iwan Pranoto menyatakan bahwa apa yang diajarkan saat ini adalah IPA dan Matematika semu karena tidak merangsang daya nalar siswa. Sangat ironis jika dikaitkan dengan cita-cita luhur bangsa ini untuk menjadi bangsa mandiri yang menguasai iptek dan tidak bergantung atau tidak dapat dikuasai bangsa lain.
Lebih ironis lagi jika kita mendengar bahwa rencana penghapusan IPA dilatarbelakangi oleh perilaku negatif siswa-siswa kita saat ini, seperti maraknya tawuran antarsiswa, yang korelasinya dengan pelajaran IPA jelas sangat sayup. Bukankah tawuran itu juga diakibatkan kurangnya daya nalar? Mohammad Abduhzen dalam tulisannya (Kompas, 12/12/2012) juga menyayangkan penghapusan ini mengingat sifat bangsa kita yang masih sangat mitis dan mistis.
Nalar kita kalah
Bukan rahasia lagi jika daya nalar siswa kita kalah dibandingkan dengan siswa negara jiran atau negara maju. Meski dalam olimpiade sains atau sosial siswa kita sering menggondol medali emas, secara rerata daya nalar siswa kita rendah. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dari laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), sebuah pusat studi yang mengakses kemajuan matematika dan sains siswa kelas empat SD dan kelas dua SMP setiap empat tahun. Hasil TIMSS 2011 yang baru saja dilaporkan
memutarbalikkan keyakinan sebagian masyarakat, bahwa siswa-siswa kita jauh lebih unggul dibandingkan siswa negara lain.
Untuk bidang sains, Indonesia menempati tiga urutan terendah bersama Maroko dan Ghana. Ironisnya, prestasi siswa Indonesia bahkan kalah dibandingkan dengan siswa Palestina, Lebanon, dan hampir semua negara Timur Tengah (Tabel 3.2 TIMSS 2011 Science). Singkat cerita, laporan TIMSS menguak bahwa siswa kita tidak unggul dalam memecahkan soal-soal sains dan matematika yang membutuhkan daya nalar tinggi ketimbang kepiawaian menghafalkan rumus-rumus kompleks.
Di lain pihak, kita juga tahu persis bahwa usia SD merupakan usia emas saat rasa ingin tahu (curiosity) seorang anak sangat tinggi, terutama terhadap fenomena-fenomena alam dan sosial di sekitarnya. Sebagai seorang ayah yang memiliki dua anak di tingkat SD, saya sendiri sering kewalahan menjelaskan fenomena-fenomena alam dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap daya nalar anak berusia kurang dari 10 tahun.
Untunglah, beberapa fenomena alam seperti turunnya hujan serta konservasi energi dijelaskan di pelajaran SD saat ini meski saya merasa pembahasannya kadang-kadang terlalu dalam untuk tingkat SD. Mungkin terasa aneh jika saya saja merasakan hal ini tidak mudah. Saya dapat membayangkan betapa sulitnya para orangtua yang tidak memiliki latar belakang atau pengetahuan mendalam tentang IPA dalam hal ini. Akan lebih parah lagi jika orangtua yang bersangkutan memiliki bekal pendidikan relatif kurang.
Kondisi di atas akan semakin runyam jika pelajaran IPA di SD jadi dihapus. Kepiawaian dalam bernalar jelas sangat diasah di dalam pelajaran IPA di samping Matematika. Inilah yang membuat keresahan para pemerhati pendidikan sangat beralasan. Penghapusan ini tentu saja akan menurunkan daya nalar siswa. Mungkin, sejatinya, apa yang menjadi keprihatinan pemerintah adalah terlalu tingginya level materi IPA dan IPS sehingga kurikulumnya terlihat terlalu gemuk.
Pada kenyataannya, hampir semua materi pelajaran SD saat ini memiliki tingkat yang terlalu tinggi dan terlalu gemuk. Bahkan, boleh dikatakan berlebih-lebihan. Tidak heran jika saat ini muncul pula usulan penghapusan pelajaran Bahasa Inggris di SD karena dianggap terlalu tinggi dan mengganggu konsentrasi siswa pada pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, entah karena kebanggaan orangtua atau tuntutan sekolah berbasis internasional, pelajaran Bahasa Inggris di SD sudah menjadi mahapenting dan sakral.
Perlu hati-hati dan saksama
Kurikulum SD boleh-boleh saja diperbaiki dari masa ke masa. Namun, penghilangan mata pelajaran tertentu harus didasari pada hasil penelitian yang sangat hati-hati dan saksama. Kurikulum yang ada saat ini tentu merupakan hasil evolusi puluhan tahun. Pasti ada argumen kuat di balik adanya mata pelajaran IPA dan IPS di tingkat SD. Selain itu, penggabungan IPA dan IPS menjadi satu mata pelajaran tampaknya juga kurang masuk akal karena domain kedua mata pelajaran sangat berbeda. Keduanya mungkin baru menyatu atau konvergen di ranah penelitian yang sangat frontiers, seperti quantitative sociology dan quantitative psychology, yang saat ini tampaknya hanya dipahami oleh para peneliti bidang tersebut.
Ada satu hal lain yang mungkin luput dari pemikiran para pengambil keputusan di tingkat pendidikan dasar, yaitu penalaan halus (fine tuning) pada program pendidikan dasar dapat berakibat besar dan fatal pada kinerja siswa ketika dia duduk di bangku kuliah, seperti cerita efek kupu- kupu dalam teori chaos. Apa yang tersurat di media massa saat ini, yaitu pemerintah sudah memperhitungkan dan mempersiapkan secara matang penghapusan IPA ini, mungkin perlu dikoreksi.
Pihak perguruan tinggi yang akan mengambil alih tugas mendidik siswa-siswa SD tersebut paling lama 10 tahun lagi tidak diminta masukannya. Padahal, pihak ini juga akan menanggung akibatnya jika penghapusan IPA ini berdampak negatif kepada siswa-siswa tersebut.
Terry Mart Dosen Fisika FMIPA UI
(Kompas cetak, 27 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Rabu, 26 Desember 2012

Uskup Agung Jakarta Kritik Sulitnya Izin Pendirian Gereja

Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo mengatakan, hingga saat ini, pendirian gereja di Indonesia mengalami kendala perizinan. Hal ini dialami sejumlah gereja ketika mengurus izin ke pemerintah daerah. Persoalan yang sama dihadapi Gereja HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin yang akhirnya menimbulkan konflik. Suharyo menekankan, hal ini merugikan bangsa Indonesia sendiri.

"Karena tidak diberi izin mendirikan tempat ibadah, lalu beribadah di tempat seadanya. Tetapi, itu juga dilarang. Kita tidak mengerti lagi mau berkata bagaimana lagi," ujar Suharyo di Gereja Katedral, Jakarta Pusat, Selasa (25/12/2012).

Ia mengatakan, seharusnya setiap umat beragama bisa menjalankan ibadahnya dan tak ada yang bersikap individualistis. "Rumah ibadah (gereja) yang diberi izin di Karawaci itu menunggu izinnya saja bukan main, butuh 24 tahun menunggu," kata Suharyo.

Oleh karena itu, ia berharap, persoalan perizinan pendirian rumah ibadah tidak semakin meluas. Pemerintah, tegasnya, wajib menyelesaikan masalah itu dengan mengambil langkah strategis. Akan tetapi, ia menilai, hingga saat ini, belum ada langkah pemerintah untuk menyelesaikannya.
(Kompas.com 25 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 21 Desember 2012

Upeti, Korupsi dan Kebebalan Anak Bangsa

Oleh Virna Puspa Setyorini
Upeti adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta "utpatti". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, upeti adalah kata benda yang memiliki dua arti.
Arti pertama,  uang (emas dan sebagainya) yang wajib dibayarkan (dipersembahkan) oleh negara (-negara) kecil kepada raja atau negara yang berkuasa atau yang menaklukkan. Arti kedua,  uang dan sebagainya yang diberikan (diantarkan) kepada seorang pejabat dan sebagainya dengan maksud menyuap.
Dalam sejarah, upeti memang diberikan dari pihak yang lebih lemah kepada pihak yang lebih kuat sebagai bentuk penghormatan atau kesetiaan dari sebuah aliansi.  Selain itu, upeti dari pihak yang lemah ini sering diberikan untuk membiayai proyek-proyek yang menguntungkan kedua belah pihak.
Athena diketahui menerima upeti dari kota-kota lain di Liga Delian. Kekaisaran Assyria, Babylon, dan Roma mendapat upeti dari setiap provinsi. Kekaisaran Cina kuno menerima upeti dari banyak kerajaan seperti Jepang, Korea, Vietnam, Kamboja, Borneo, Indonesia, Asia Selatan, dan Asia Tengah.
Dalam dunia modern, upeti diberikan secara formal atau seremonial, seperti hadiah pada pelantikan seorang presiden, pernikahan seorang anak presiden, pernikahan seorang anggota kerajaan, atau terkait pernikahan bisnis.
Celakanya, tradisi ini masih berjalan meski sistem kerajaan dan era kolonial sudah lewat.
Kata upeti belakangan ini menjadi akrab di telinga masyarakat karena berita berkelanjutan pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan soal permintaan upeti oknum anggota dewan kepada sejumlah direktur perusahaan plat merah di Indonesia.
Dahlan bolak-balik memenuhi panggilan Badan Kehormatan DPR untuk mengklarifikasi nama-nama anggota dewan yang diduga meminta upeti kepada sejumlah direktur BUMN.  Dalam satu kesempatan Menteri BUMN ini menyebut besaran upeti yang diminta mereka bervariasi, bisa lima hingga 10 persen dari nilai proyek yang mencapai ratusan miliar rupiah.
Menurut Dahlan, oknum anggota dewan meminta upeti kepada BUMN yang memperoleh suntikan modal (PMN). Penerima PMN tahun 2012 antara lain PT PAL sebesar Rp648 miliar, PT Merpati Nusantara Airlines Rp561 miliar, PT Askrindo Persero Rp800 miliar, dan PT Jamkrindo sebesar Rp1,2 triliun.
Tapi Badan Kehormatan DPR hanya menyimpulkan ada pelanggaran kode etik ringan oleh para oknum anggota dewan yang meminta upeti kepada sejumlah badan usaha plat merah tersebut.
Sementara itu, dalam kesaksiannya untuk terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan dua pesawat Boeing yang menjerat Hotasi Nababan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, mantan Menteri BUMN Sofjan Djalil mengatakan memang selama ini banyak perusahaan berplat merah yang menjadi sapi perah oknum anggota dewan.
Sudah menjadi tradisi perusahaan-perusahaan BUMN memberi upeti kepada oknum anggota dewan demi memperoleh proyek. "Itu cerita lama. Cuma selama ini tidak ada orang seperti Dahlan (Iskan) yang membongkar semua."
Sofjan menilai tradisi upeti perusahaan BUMN terjadi karena lingkungan kerja yang dinilainya brengsek. "Ini kan lingkungan yang buruk sekali. Melakukan itu (memberi upeti) karena lingkungan yang brengsek".
Akibat upeti
Pengakuan salah seorang pensiunan BUMN karya tentang sulitnya mendapatkan proyek pemerintah jika tidak "berani" mengikuti tender adalah gambaran tentang rahasia umum pemberian upeti yang sudah berlangsung lama.
 Ia mengungkapkan betapa perusahaannya sulit memperoleh proyek pembangunan jalan, jembatan, atau gedung karena hampir selalu kalah bersaing dari perusahaan kontraktor besar yang bermodal lebih besar.
Saking sering  kalah tender, gaji seluruh karyawan BUMN tempatnya bekerja pernah harus dipangkas 50 persen setiap bulan selama beberapa tahun demi keberlangsungan perusahan itu.
Oleh karena itu, dia tidak heran oleh pemberitaan upeti yang bersumber dari BUMN.
Apa yang terjadi jika pemberian upeti-upeti tersebut berlanjut?
Perusahaan pemberi upeti yang akhirnya memenangkan tender tentu tidak ingin merugi. Salah satu solusi menghidari rugi adalah mengurangi "cost production" proyek pembangunan.
Menurut dia, jika proyek ini proyek jalan, biasanya kualitasnya akan diturunkan, misalnya dari semula anggaran jalan kelas A, maka akan turun ke kelas B.
Biasanya jenis batu yang akan digunakan berbeda atau jumlahnya dikurangi, sehingga konstruksi jalan di bawah lapisan aspal yang seharusnya dapat menguatkan, mnalah akan mudah bergeser sehingga jalan lebih cepat rusak.
"Saya tidak paham terlalu detil perhitungan untuk material ini, biasanya yang menghitung orang-orang teknik sipil di bagian perencanaan. Batu itu ada banyak jenisnya walau kelihatannya sama, pasir juga begitu, koral juga sama, harganya pun berbeda-beda. Kalau ada yang diganti tentu itu berpengaruh," ujar dia.
Saat tragedi jembatan gantung Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur terjadi dan hasil tim investigasi dalam soal ini belum selesai, sejak awal dia telah meragukan komponen jembatan yang digunakan telah sesuai dengan spesifikasi yang seharusnya.
Menurut dia, jembatan gantung seperti di Kutai haruslah menggunakan jenis konstruksi baja tertentu yang dia tidak tahu Indonesia sudah bisa memproduksinya.
"Saya tidak tahu apakah Krakatau Steel mampu membuatnya, seharunya mampu. Jerman masih yang paling baik memproduksi baja seperti itu, kalau pun (Krakatau Steel) mampu mungkin harganya pun akan mahal," ujar dia.
Berdasarkan hasil investigasi Kementerian Pekerjaan Umum, jembatan Kutai Kartanegara ambruk akibat akumulasi ketidaksempurnaan sejak awal perencanaan hingga perawatannya.
Ketua Tim Investigasi tragedi ambruknya jembatan gantung Kutai Kartanegara Iswandi Imran mengatakan ketidaksempurnaan sudah terjadi dari awal pembangunan jembatan pada 1995 saat masih dalam tahap perencanaan. Bentuk jembatan didesains tidak streamline sehingga banyak perubahan geometri yang mendadak pada setiap sambungan.
Jembatan banyak memiliki patahan dan seharusnya diaplikasikan radius, diberi jari-jari sehingga ada media peralihan dari satu bentuk ke bentuk lain. Tidak adanya proses peralihan bisa menimbulkan konsentrasi tegangan berlipat ganda.
Ketidaksempurnaan lain, lanjutnya, adalah pemilihan konstruksi. Dari investigasi, ternyata konstruksi jembatan Kutai Kartanegara yang seharusnya menggunakan baja cor hanya menggunakan besi cor Ductile Cast Iron FCD 60.
"Materinya (besi cor) sangat getas, bisa pecah seketika. Kami menyebutnya 'patah getas'. Besi cor seperti itu tidak memperlihatkan gejala atau tanda akan pecah, sangat berbeda dengan baja yang akan menggalami proses ulur terlebih dulu sehingga akan terlihat gejala pecahnya," ujar dia.
Jembatan Kutai Kartanegara memiliki area gantung tanpa penyangga mencapai 270 meter, sedangkan total panjang  710 meter. Jembaran ini dibangun mulai 1995 hingga 2001 oleh PT Hutama Karya, sedangkan pemeliharaan rutin diserahkan kepada PT Bukaka.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo kala itu mengatakan tidak akan terburu-buru memberi penilaian dalam peristiwa ambruknya jembatan yang menghilangkan nyawa lebih dari 17 orang tersebut November 2011 lalu.
Meski demikian, Hadi mengaku BPK sedang "mengincar" jembatan-jembatan di seluruh Indonesia yang panjangnya lebih dari 400 meter.
Kesaksian di persidangan
Begitu banyak kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa yang masih dalam tahap telaah, pengumpulan data, penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan di negeri ini.
Bahkan dugaan tindak pidana pun berlangsung pada saat proyek pengadaan barang dan jasa itu ada, ketika anggaran baru diajukan oleh pemerintah ke DPR.
Kasus yang saat ini masih bergulir di tahap penuntutan seperti dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigarasi tahun 2008 dengan terdakwa Neneng Sri Wahyuni, kasus dugaan suap pengurusan Hak Izin Usaha perkebunan sawit di Buol dengan terdakwa Bupati Buol Amran Batalipu dan Presiden Direktur PT Hardaya Inti Plantation Hartati Murdaya Poo, kasus dugaan penggiringan anggaran proyek Wisma Atlet Jakabaring Palembang dan beberapa universitas di Indonesia dengan terdakwa Angelina Sondakh.
Dugaan korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang dengan tersangka Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Dedy Kusdinar dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng selalu kuasa pengguna anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga, dugaan korupsi pengadaan Alquran di Kementerian Agama dengan tersangka anggota DPR Fraksi Partai Golkar Zulkarnaen Djabar, dan dugaan korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas Polri dengan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo.
Hampir senada dengan kesaksian mantan Menteri BUMN Sofjan Djalil dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, mantan Direktur Pemasaran PT Anugerah Nusantara Mindo Rosalina Manulang yang bersaksi untuk terdakwa Angelina Sondakh mengungkapkan adanya penghubung (calo) di setiap Komisi di DPR untuk menggiring anggaran di Kementerian.  Dan pemberian fee untuk penggiringan anggaran untuk satu kementerian di DPR tersebut biasa terjadi.
Ia mengaku sudah pernah berhubungan dengan "calo-calo" di setiap Komisi DPR tersebut terkait penggiringan anggaran kementerian untuk meloloskan proyek tertentu, seperti yang ia lakukan dalam proyek pembangunan Wisma Atlet Jakabaring di Palembang dan proyek pengadaan barang dan jasa di beberapa universitas.
Sayang, Rosalina tidak berani mengungkap siapa saja yang biasa menjadi "calo" anggaran itu.
Kesaksian mantan staf Muhammad Nazaruddin masih berlanjut, bagaimana kelanjutan dari penggiringan anggaran proyek dari satu kementerian di Komisi DPR hingga akhirnya disetujui dan menang dalam tender.
Untuk proyek Wisma Atlet Jakabaring, Rosa mengaku berkomunikasi dengan mantan Sesmenpora Wafid Muharam yang kemudian menyarankan untuk menghubungi pengusaha lain bernama Paul Nelwan.
Menurut Rosalina, PT Anugerah Nusantara harus mengeluarkan sejumlah uang kepada Paul Nelwan untuk bisa mendapatkan proyek wisma atlet di Palembang itu karena dia lah yang "memegang proyek" di Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Sementara Paul Nelwan dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor menolak disebut terlibat dalam sejumlah proyek di Kementerian Pemuda dan Olahraga.  Dia mengaku hanya dimintai tolong oleh Rosalina untuk dikenalkan kepada Sesmenpora Wafid Muharam.
Sedangkan dari kesaksian mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai untuk terdakwa Angelina Sondakh, Yulianis, terlontar beberapa nama anggota dewan yang kerap menjadi perantara untuk menggiring proyek di DPR.
"Untuk di Kejaksaan itu Pak Azis Syamsuddin dari Komisi III. Pak Zulkarnain Djabbar dan Pak Abdul Kadir Karding untuk di Kementerian Agama," kata Yulianis.
Muhammad Nazaruddin pun saat membela diri pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta dari tuntutan kasus korupsi Wisma Atlet Jakabaring berulang kali menyebut tidak tahu menahu soal proyek fasilitas olahraga di Palembang tersebut. Ia justru mengetahui soal proyek Hambalang.
"Kalau proyek Hambalang saya tahu Yang Mulia karena Mas Anas (Ketua Umum DPP Partai Demokrat) yang menugaskan saya, tapi kalau Wisma Atlet mana ada saya menerima uang, saya tidak tahu apa-apa soal Wisma Atlet," ujar dia.
Soal menggiring anggaran di Gedung DPR diperkuat pula oleh kesaksian-kesaksian dalam kasus suap yang melibatkan mantan anggota Badang Anggaran DPR Wa Ode Nurhayati dan pengusaha Fadh El Fouz. Keduanya menyebut ada keterlibatan para pimpinan Badan Anggaran DPR yang kini telah banyak mengundurkan diri dari jabatannya tersebut.
Entah berapa banyak lagi yang akan "tersentuh" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena lembaga antikorupsi ini berkomitmen mengembangkan penyelidikan baru terkait kasus pembahasan alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) berdasarkan fakta yang muncul dalam persidangan Wa Ode Nurhayati.
Yang jelas, pembersihan negeri dari oknum-oknum korup yang tidak mau mengambil pelajaran dari kasus korupsi yang telah ada dan tidak jera merugikan negara terus dilakukan KPK di tengah gencarnya "gempuran" terhadap lembaga antikorupsi yang diduga dilakukan koruptor-koruptor.
(Antaranews.com Jumat, 21 Desember 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®



















































Kamis, 20 Desember 2012

PETISI MENOLAK KURIKULUM PENDIDIKAN 2013

Jakarta, 17 Desember 2012
Kepada Yth.
Prof. Dr. Ir. KH. Mohammad Nuh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Negara Republik Indonesia
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Negara Republik Indonesia
Tembusan:
Wakil Presiden Negara Republik Indonesia
Ketua DPR Negara Replublik Indonesia
Dengan hormat,
Melalui surat ini, kami warga negara Indonesia sebagai wakil orangtua siswa menyampaikan penolakan terhadap pelaksanaan dan penerapan Kurikulum Pendidikan Nasional 2013 yang akan diberlakukan pada tahun ajaran 2013, sesuai dengan informasi yang kami dapatkan secara resmi pada materi rujukan Kurikulum 2013 pada situs Uji Publik Kurikulum 2013" dengan alamat:
http://kurikulum2013.kemdikbud.go.id/main/pengantar
Kami sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, sebagai orangtua dan sebagai pelindung anak menggugat kebijakan Pemerintah Republik Indonesia atas rencana pemerintah untuk mengganti Kurikulum Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dengan Kurikulum Pendidikan Nasional 2013. Kurikulum Pendidikan Nasional 2013 adalah sebuah kurikulum baru yang belum tervalidasi efektivitasnya untuk diterapkan pada lingkup pendidikan di Indonesia.
Adapun yang menjadi latar belakang Petisi Penolakan atas pemberlakuan Kurikulum Pendidikan Nasional 2013 di tahun 2013 adalah :
1. Dasar pemikiran perubahan kurikulum juga tidak jelas, karena belum ada kajian ilmiah yang mendalam dan sahih tentang keunggulan Kurkulum Pendidikan Nasional 2013 dibandingkan dengan kurikulum yang berlaku saat ini. Kami tetap menyadari bahwa Kurikulum yang berlaku sekarang memang perlu dilakukan penyempurnaan agar sesuai dengan perkembangan jaman, akan tetapi perubahan dan penyempurnaan kurikulum tanpa memiliki landasan kajian mendalam berbasis metoda ilmiah dan tanpa berlandaskan "Master Plan" jangka panjang Pendidikan Nasional NKRI adalah salah
2. Kami memandang Kurikulum Pendidikan Nasional 2013 akan mengalami masalah besar dalam penerapannya, karena di sisi lain terlihat bahwa penguatan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia yaitu guru sebagai ujung tombak di lapangan belum disiapkan secara maksimal. Perlu diingat bahwa di Indonesia terjadi kesenjangan kualitas yang lebar antar sekolah, antar pengajar, dan juga fasilitas serta sarana pendukung. Masih banyak sarana prasarana atau fasilitas pendidikan utama dan pendukung yang masih jauh dari layak. Perubahan kurikulum juga berarti perubahan tata cara belajar mengajar yang perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang sesuai ( misalnya buku, alat peraga, dan lain-lain).
3. Lingkungan akademis membutuhkan waktu minimal 3 tahun (seperti tertera pada slide presentasi uji publik kurikulum 2013) untuk dapat melatih semua guru di Indonesia, supaya penerapan kurikulum baru dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Apabila seluruh proses transisi dilakukan mulai 2013, sarana dan prasarana yang diperlukan paling cepat akan tersedia pada tahun 2016, sementara pemerintah sudah memutuskan untuk menerapkan kurikulum baru dimulai tahun 2013.
4. Pada tahun 2014, bangsa Indonesia akan kembali melaksanakan Pemilihan Umum dan - berdasarkan Undang-Undang - Presiden yang menjabat saat ini tidak dapat dipilih kembali. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa akan terbentuk pemerintah baru yang mungkin memiliki perbedaan kebijakan dengan pemerintah saat ini dan karena itu tahun 2013 bukanlah saat yang tepat untuk melakukan perubahan bermakna pada kurikulum pendidikan.
5. Pembuatan Kurikulum Pendidikan harus mengacu kepada suatu "'Master Plan' Pendidikan Nasional NKRI" jangka panjang yang meliputi semua jenjang pendidikan di Indonesia. Kurikulum baru dapat diberlakukan jika telah melewati kajian/studi berbasis metodologi ilmiah dan mengacu kepada 'Master Plan' Pendidikan Nasional NKRI jangka panjang tersebut. Apabila suatu kurikulum baru diterapkan tanpa pendekatan tersebut di atas, maka pemerintah bagaikan menerapkan pola uji coba (trial and error) terhadap kurikulum baru tersebut. Penggunaan pendekatan uji coba untuk suatu kurikulum berskala nasional adalah salah dan memiliki resiko yang tinggi terhadap kualitas dan pelaksanaan pendidikan di seluruh Indonesia.
6. Hal lain yang tidak kalah penting perlu diingat adalah sejauh ini belum terbentuknya suatu jaringan rujukan pedagogi klinis dan psikologis sebagai sarana penunjang terbentuknya sistem pengajaran yang adaptif dan sesuai dengan karateristik kondisi anak.
Landasan Petisi Penolakan atas pemberlakuan Kurikulum Pendidikan Nasional 2013 di tahun 2013 tersebut adalah sebagai berikut :
I. UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 UUD 1945 Bab X Pasal 28C.
II. UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 UUD 1945 Bab XIII Pasal 31.
III. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Bagian Ketiga Pendidikan)
IV. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (BAB IV, Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat, Pasal 8)

TUNTUTAN DAN SARAN
1. Pembuatan sistem pendidikan, pembuatan kurikulum, dan pembuatan standarisasi pendidikan nasional Indonesia harus mengacu pada Master Plan Pendidikan Nasional Indonesia. Sebagai wakil orangtua murid, kami menuntut pemerintah (dalam hal ini adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan NKRI sebagai pemangku jabatan), untuk membuat 'Master Plan' Pendidikan Nasional Indonesia jangka panjang yang masa berlakunya lebih panjang daripada satu periode pemerintahan terpilih.
Penerapan kurikulum baru secara nasional juga harus melalui tahap uji coba dan evaluasi dalam skala yang lebih kecil. Untuk itu, kami menuntut kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk membentuk dan membuka jaringan sekolah uji ("lab-school") untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah di seluruh provinsi di Indonesia.
Sekolah uji tersebut sebaiknya dikelola secara langsung oleh Universitas Pendidikan untuk menguji kurikulum dan sistem pendidikan, Pengujian kurikulum baru di sekolah uji tersebut akan menghasilkan data yang akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Data tersebut seyogyanya mencakup seluruh seluruh provinsi dan mampu menggambarkan hal-hal berikut ini :
a. pengaruh perubahan metoda pembelajaran terhadap murid,
b. pengaruh perubahan tata cara belajar-mengajar antara murid dan guru
c. pengaruh atas kompetensi dan keahlian yang diperlukan para guru,
d. pengaruh sistem evaluasi terhadap murid dan guru,
e. pengaruh partisipasi orangtua terhadap proses belajar murid,
f. pengaruh terhadap proses kelulusan dan penerimaan siswa baru,
g. kebutuhan sarana pendukung atau infrastruktur pendukung.
2. UUD 1945 sebagai dasar hukum Republik Indonesia menjelaskan sebagai berikut: Pasal 28B Ayat 2
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.** )
Pasal 28C Ayat 1
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.** )
Berdasarkan kutipan di atas, anak-anak dengan kekhususan membutuhkan strategi pendidikan yang khusus, dan anak-anak tersebut mempunyai hak yang sama dan dijamin oleh UUD 1945, dengan demikian kami menuntut pemerintah untuk memasukkan masalah penanganan untuk anak-anak dengan kekhususan ke dalam "Master Plan" Pendidikan Nasional Indonesia.
3. Kami menuntut pemerintah agar membentuk suatu jaringan rujukan pedagogi klinis dan psikologis sebagai sarana penunjang terbentuknya sistem pengajaran yang adaptif dan sesuai dengan karateristik serta kondisi anak termasuk anak-anak dengan kekhususan.
4. Kami menuntut transparansi penggunaan biaya untuk perubahan kurikulum 2013.Kami mendapatkan informasi bahwa biaya tersebut hamper mencapai Rp 180 milyar (Seratus Delapan Puluh Milyar Rupiah), Mengingat bahwa biaya ini sangat besar, maka sebagai sebagai pembayar pajak di Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami berhak mempertanyakan aliran dana serta efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran pada perubahan kurikulum 2013.

Demikian petisi ini kami ajukan sebagai bentuk upaya dari pemerhati pendidikan, orangtua dan anggota masyarakat dalam mendukung langkah bangsa untuk menuju VISI RPJPN NKRI 2005-2025.
Secara umum, kami menginginkan sistem pendidkan nasional yang berkesinambungan dan sesuai dengan arah menuju VISI NKRI 2005-2025.
Kami yang bertanda-tangan dibawah ini, mengajukan petisi mewakili sejumlah pendukung perwakilan orangtua murid, pendidik dan masyarakat pada umumnya,
Yang mengajukan
PETISI: MENOLAK KURIKULUM PENDIDIKAN 2013.

Nama lengkap :
Syanaz Nadya Winanto Putri, SH.MDM .Orangtua Siswa, Penggiat Sosial.
Nama lengkap : 
Dr. drg. Julia Maria Van Tiel, MS.Pembina kelompok diskusi Orangtua
Anak Gifted Indonesia anakberbakat@yahoogroups.com Penulis buku Anakku
terlambat bicara.
Nama lengkap :
Koeshartati Saptorini, ST. Orangtua Siswa, Pendidik, Pembina Kelompok
Diskusi  Komunitas Mari Saling Bantu ABK dan Orangtua ABK (CP dan DAKSA).
Nama lengkap :
Lies Dahlia, ST. MM. Orangtua siswa, Pendidik. Pembina Yayasan Pendidikan Sosial.
Nama lengkap :
Septi Peni Wulandani Orangtua Siswa, Pembina Komunitas Ibu Profesional.
Nama lengkap :
Nien Yudanto, orangtua siswa, penggiat sosial.
Nama lengkap :
Adi D. Adinugroho - Horstman Ph.D. SpecEd. Specialist. Dosen, Researcher, Praktisi
dan Pemerhati Pendidikan. Founder : VEN (Volunteer Educator Network) Indonesia.
Nama lengkap :
Deddy Arifin, S.Kom. Dosen, orangtua siswa.
link sumber
http://www.ipetitions.com/petition/petisi-menolak-kurikulum-pendidikan-2013/

Powered by Telkomsel BlackBerry®




























Rabu, 19 Desember 2012

Tunda Dulu Kurikulum 2013

Sepuluh hari menjelang berakhirnya masa uji publik Kurikulum 2013, dihitung sejak 29 November menurut Kemdikbud, terlihat berbagai alternatif.
Alternatif pertama, jalan terus sesuai rencana. Alternatif kedua, jalan sesuai rencana, dengan perbaikan mencerap masukan masyarakat. Alternatif ketiga, tunda saja sebab infrastruktur belum siap.
Mana yang terbaik? Kita sepakat kurikulum harus berubah. Kapan? Secepatnya, tetapi jangan asal cepat tanpa pertimbangan matang. Dengan rambu itu, alternatif ketiga yang terbaik. Kurikulum 2013 jalan terus sesuai rencana, tetapi penuhi syarat minimal dan pokok, infrastruktur yang menopang penerapan yang tidak kebat kliwat.
Niscaya masukan masyarakat cermat didaftar. Di antaranya kesiapan guru dan ketersediaan buku. Faktor guru, jumlah dan kompetensi, selama ini hanya ditempatkan sebagai pelaksana. Padahal, merekalah ujung tombak. Kalau tidak disiapkan, guru bersikap masa bodoh. Terjadi kesenjangan kurikulum di atas kertas dan kurikulum yang dipraktikkan di lapangan.
Kita tidak pernah belajar dari kekeliruan. Ketika kurikulum diterapkan—sejak Indonesia merdeka sudah tujuh kurikulum—masalah ketersediaan buku tidak dipersiapkan. Padahal, buku pelajaran merupakan prasyarat integral kegiatan belajar-mengajar. Dengan tidak ada buku—salah satu infrastruktur—penerapannya timpang. Buku kurikulum sebelumnya, bahkan di beberapa daerah dari kurikulum jauh sebelumnya, dipakai sebagai rujukan.
Selain faktor infrastruktur guru dan buku sebagai prasyarat pertama dan kedua, tak kalah menarik masalah jumlah mata pelajaran dan jumlah jam pelajaran.
Sejak digagas tiga tahun lalu dan dipertegas pernyataan Wakil Presiden Boediono, April lalu—menyangkut kompetensi dan karakter—muncul gagasan model pembelajaran tematik integratif. "Penghilangan" jurusan IPA dan IPS, tetapi digabung dalam pelajaran Bahasa Indonesia sebagai bentuk konkretnya, memicu wacana baru.
Sebab, bukankah setiap mata pelajaran memiliki karakter sendiri? IPA dan IPS punya karakter dan logika masing-masing. Padahal, masalahnya tidak terletak di sana, tetapi pada kegagalan mengangkat kegiatan menulis menjadi menulis untuk belajar. Dari learning to write menjadi writing to learn. Itulah kasmaran berbahasa, mengutip Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB.
Diterapkan secara bertahap mulai ajaran 2013/2014 bukanlah uji coba, kebiasaan baik yang selama ini dilakukan. Dengan uji coba dimaksudkan agar sekecil mungkin memakan korban. Niscaya dengan mempersiapkan sematang mungkin kurikulum dan infrastruktur praksisnya, penerapannya jauh dari sikap anak didik sebagai kelinci percobaan. Lantas, apa saran kita? Melihat faktor ketidaksiapan infrastruktur, mengingat juga Indonesia bukan hanya Jakarta, alternatif ketiga barangkali yang terbaik. Artinya, selagi tidak serba siap, menunda penerapan Kurikulum 2013 lebih besar manfaatnya.
(Tajuk Rencana, Kompas, 19 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®






Sabtu, 15 Desember 2012

Keriuhan Pemberantasan Korupsi

Bambang Kesowo
Kini orang mencari-cari, apa gerangan kata yang tepat untuk menggambarkan salah satu sumber keriuhan suasana pemberantasan korupsi dewasa ini?
Media massa dengan gencar menyuguhi masyarakat dengan berita dan wacana sekitar ributnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan. Selain tiga institusi itu, ada lagi DPR. Kenapa DPR? Selain kesan kelewat reaktif berkenaan banyaknya anggota DPR yang terlibat kasus korupsi, lembaga perwakilan yang sesungguhnya melahirkan KPK itu justru ditengarai sering mengambil berbagai langkah yang dinilai bertujuan "memperlemah" KPK.
Bukankah DPR sendiri yang sedari awal juga bertekad mempercepat dan menggelorakan pemberantasan korupsi? Bukankah DPR pula yang dalam UU yang dibuatnya telah mempersenjatai KPK dengan berbagai keistimewaan, baik kedudukan maupun kewenangan, demi efektivitas pemberantasan korupsi? Benarkah bila dikatakan bahwa dahulu semua itu terjadi karena rasa "geregetan" yang berlebihan terhadap masa lalu, dan waktu itu, yang kini berbalik bagai senjata makan tuan?
Mumpung kini semua sudah mulai mengendap, sekaranglah waktunya kita bersikap berani menata ulang segala wujud konsep serta aspek kelembagaan dalam pemberantasan korupsi. Tentu saja dengan hati dan pikiran yang lebih tenang.
Aspek psikologis
Pemberantasan korupsi memang harus didukung dan terus ditingkatkan. Soal itu sama sekali tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun membangun sesuatu yang berlebihan kadangkala juga menghadirkan lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.
Coba mari kita longok sejenak Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Harus diakui, beberapa aspek dalam pemberantasan korupsi yang diatur dalam UU itu dapat dikatakan luar biasa, utamanya dalam keistimewaan kedudukan, tugas, dan kewenangannya.
Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK memiliki tugas menyelidiki, menyidik, dan sekaligus menuntut di pengadilan khusus untuk tindak pidana korupsi. Di samping itu, lembaga ini juga mengoordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam pelaksanaan tugas mereka dalam pemberantasan korupsi.
Lebih dari sekadar mengoordinasi, KPK juga menyupervisi kedua lembaga tadi. KPK bahkan berwenang mengambil alih penanganan kasus korupsi yang sedang ditangani kedua institusi penegak hukum tadi. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, lembaga ini dapat melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan bahkan tanpa izin pengadilan negeri. Sekali masuk ke ranah penyidikan, KPK harus terus menuntut. Komisi ini tidak boleh menghentikan kasus dan tak boleh mengeluarkan perintah penghentian penyidikan dan penuntutan seperti halnya kepolisian dan kejaksaan.
Dengan tugas dan kewenangan yang demikian hebat, KPK tidak bertanggung jawab ke lembaga mana pun kecuali kepada publik. Bagaimana cara dan bentuk pertanggungjawaban tidak diatur jelas dalam UU tersebut. Bahkan kepada Presiden sebagai kepala negara pun, pertanggungjawaban itu tak diberikan kecuali hanya laporan. Dalam suatu negara, adanya lembaga tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas sungguh luar biasa.
Sebesar dan sekuat apa pun keinginan membuat lembaga, akhir-akhir ini segalanya bagai dimungkinkan dan dapat diwujudkan. Namun, kewenangan menyupervisi dan mengambil alih penanganan kasus—walau secara politis dikehendaki dan secara teknis dimungkinkan—bisa jadi lain jalan ceritanya. Sebab, hal ini lebih berkaitan dengan aspek psikologis. Kalau tak hati- hati, malah menjadi sumber ketersinggungan dengan rasa dan sikap kebanggaan korps, baik di kepolisian maupun kejaksaan.
Perlu diingat, kebanggaan korps itu justru sesuatu yang— kapan, dalam satuan apa pun, dan di mana pun—selalu dibangun. Sedikit atau banyak, hal itu juga akan bersinggungan dengan apa yang disebut kehormatan atau harga diri profesi.
Kalau soal berkuasa atau bergengsi mungkin tidak seberapa. Namun, kalau kemudian menyangkut soal kebanggaan korps, kehormatan atau harga diri profesi tadi, bisa panjang ceritanya. Bukan mustahil rentetan kasus "cicak-buaya", simulator SIM, penarikan tenaga penyidik yang menjadi pangkal keributan KPK dan kepolisian akhir-akhir ini jadi pemicu pertikaian karena merasa tercorengnya kehormatan dan kebanggaan korps.
Kembalikan ke Presiden
Lantas apa yang sebaiknya ditimbang untuk menghentikan keriuhan yang tidak perlu tanpa mengganggu kelanjutan kerja yang masih jauh dari usai ini?
Tidak usah banyak mengubah, nanti malah menjadikan heboh. Sedikit saja. Hilangkan ketentuan yang menyangkut aspek psikologis tadi. Tak usah lagi KPK menjadi koordinator dan supervisor kepolisian dan kejaksaan.
Koordinasi tetap perlu, tetapi tanpa salah satu harus menjadi koordinator. Dalam kultur yang sakit, yang berkembang bukan fungsi kerja sama dan kesetaraan. Adapun yang berkembang justru adanya anggapan: "dalam koordinasi, ada pihak yang dikoordinasi dan yang mengoordinasi. Yang dikoordinasi lebih rendah daripada yang mengoordinasi".
Tak perlu pula ada supervisor kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Biarlah kembali ke "khitah"-nya: bahwa, baik sesuai UU Kejaksaan ataupun UU Kepolisian, Presiden-lah sesungguhnya supervisor kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian adalah kepolisian negara. Kejaksaan adalah aparat negara di bidang penuntutan. Presiden adalah juga kepala negara.
Pengendalian Presiden atas kedua institusi itu berada di tataran kebijakan dan strategis. Presiden tidak semestinya khawatir dituding melakukan "intervensi hukum" hanya karena melakukan kewajiban UU. Turun tangan adalah tugas UU dan berbeda dari "intervensi". Turun tangan meluruskan hal-hal yang bersifat strategis dan menyimpang dari kebijakan adalah kewajiban.
Di sini, yang penting, Presiden tidak masuk ke tataran proses dan teknis yustisial. Kurang apa lagi? Bila DPR tidak puas dengan kualitas supervisi oleh Presiden, DPR dapat mempertanyakannya kepada Presiden. Dengan fungsi pengawasannya, DPR pun dapat mengundang kedua institusi tadi dan menanyakan langsung penanganan tindak pidana korupsi yang mereka tangani. Para politisi tersebut pastilah paham batas antara mana yang campur tangan dan mana yang bukan.
Tak usah lagi KPK mengambil alih penanganan kasus yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan. Masyarakat sudah cerdas dan sangat kritis. Media massa juga sudah demikian bebas menulis apa yang dirasanya janggal. Bila KPK bisa berjalan dengan tumpuan, antara lain, laporan lembaga-lembaga swadaya, bukankah Presiden dan DPR juga dapat menggunakan laporan masyarakat dan media massa sebagai bahan supervisi? Kalau penanganan kasus dinilai tidak beres di kedua institusi tadi, mekanisme supervisi oleh Presiden dan DPR yang mestinya berjalan.
Begitu pula dengan soal pertanggungjawaban institusi. Jangan biarkan KPK terus hidup sebagai lembaga yang tidak bertanggung jawab kepada siapa pun dalam ketatanegaraan ini. KPK tidak menjadi hebat, gagah, dan dikagumi dengan status seperti itu. Jangan-jangan malah KPK sesungguhnya yang menjadi "bancakan" banyak pihak. Mudah-mudahan kita semua dapat melihatnya.
Bagaimana halnya dengan tugas dan kewenangan KPK selebihnya? Tidak usah diutak-atik. Biarkan saja dahulu menjadi tugas dan kewenangan KPK.

Bambang Kesowo Pengajar Program Pascasarjana FH UGM
(Kompas cetak, 15 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®






















Moralitas Ekonomi

Ahmad Erani Yustika

Dua data berikut ini barangkali menarik disandingkan untuk membingkai pola pembangunan ekonomi nasional. Forbes (2012) baru saja melansir kekayaan para taipan Indonesia dan memperkirakan harta 40 orang terkaya mencapai Rp 850 triliun.

Jumlah kekayaan itu kira-kira setara dengan 10 persen produk domestik bruto (PDB) dan 60 persen APBN Perubahan 2012. Pada 1993, ekonomi nasional juga pernah heboh karena kekayaan 300 konglomerat paling top di Indonesia setara 75 persen APBN (saat itu). Data berikutnya, presiden mengumumkan pendapatan per kapita juga terus meningkat, di mana pada 2011 mencapai 3.450 dollar AS, meningkat lagi menjadi 5.000 dollar AS pada 2015, dan naik enam kali lipat pada 2030 menjadi 30.000 dollar AS.
Kedua data itu mewartakan berita bahagia: pembangunan ekonomi terus melaju sehingga memproduksi orang-orang dengan kekayaan yang luar biasa. Namun, data itu juga menyimpan bara: ketimpangan pendapatan yang tak terperi.

Menyusun anak tangga

Secara teoretis dan empiris telah disampaikan argumen fakta pertumbuhan kesejahteraan ekonomi nasional yang diiringi ketimpangan pendapatan. Pandangan paling terkenal, globalisasi dan liberalisasi ekonomi menghasilkan kesempatan baru dan luas sehingga terbuka lebar bagi pelaku ekonomi untuk mengambil aneka peluang ekonomi tersebut. Liberalisasi dipandang telah menghancurkan tembok pembatas yang menghalangi individu masuk ke pasar sehingga semua potensi ekonomi dapat dioptimalisasikan.
Dengan demikian, liberalisasi dianggap sebagai instrumen paling ampuh untuk mewujudkan ekualisasi (persamaan) kesempatan bagi semua warga berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi dan menjadi sumber penting pertumbuhan ekonomi. Namun, akibat perbedaan yang sangat besar dalam derajat pengetahuan, kepemilikan kapital, dan intensitas prakarsa antarindividu menyebabkan hanya warga paling kompetitif yang dapat meraup berkah liberalisasi ekonomi.
Sudut pandang yang lain, pembangunan ekonomi itu dikiaskan seperti orang membangun anak tangga hingga mencapai ketinggian yang diharapkan. Anak tangga itu tak lain adalah level pembangunan yang terdiri dari banyak batu bata (kebijakan ekonomi) yang disusun satu demi satu hingga mencapai puncak tertentu.
Namun, umumnya para penyusun anak tangga itu alpa mendesain tata kelola yang lain: siapa yang berhak dan diprioritaskan menaiki anak tangga tersebut? Itulah yang menjadi problem kekinian ekonomi nasional, di mana pembangunan ekonomi telah sampai pada level ketinggian tertentu (misalnya, lewat ukuran pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita), tetapi cuma sedikit anak bangsa yang bisa menapakinya. Data yang dilansir Forbes di atas hanyalah sedikit petunjuk saja terhadap penguat argumen ini sebab di luar itu masih banyak data lain yang memiliki karakteristik sama.
Sekadar contoh, di sektor keuangan proporsi kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terhadap PDB di Indonesia hanya 0,67 persen; bandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing 17,43 persen dan 30,67 persen. Demikian pula persentase kredit UMKM terhadap total kredit perbankan nasional yang cuma 21,6 persen; jauh di belakang Malaysia dan Thailand yang 39 persen dan 35 persen (Siregar, 2012). Pola sama dapat dilihat dari alokasi fiskal untuk sektor yang terkait nasib petani, nelayan, sektor informal, dan usaha mikro/kecil yang anggarannya amat jauh dari jumlah cicilan utang sekalipun. Kebijakan serupa juga terjadi dalam kepemilikan lahan (perkebunan), penguasaan eksplorasi SDA, regulasi sektor perdagangan, dan lain-lain. Susunan kebijakan seperti inilah yang (tak) disadari mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu untuk turut menaiki anak tangga pembangunan ekonomi.
Dunia yang terpisah
Di luar pilihan strategi dan kebijakan pembangunan, kebijakan ekonomi sebetulnya juga diukur dan dihidupi oleh imperatif moral. Moralitas ekonomi mengangkat kepatutan sosial atas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil. Di Amerika Serikat hari ini muncul keprihatinan yang luar biasa soal pemusatan aset dan kekayaan ekonomi kepada segelintir orang akibat kebijakan ekonomi sesat ataupun moral hazard yang tak bisa dibendung.
Salah satu sumber pemusatan itu berasal dari praktik kebijakan penggajian pada level korporasi. Pada 1970-an, rata-rata pembayaran 100 CEO (chief executive officer) paling top di AS hanya 40 kali dari rata-rata pekerja, tetapi pada tahun 2000 rata-rata pembayaran CEO itu melesat menjadi 1.000 kali lipat! Secara ekonomis kenyataan itu absah, tetapi sesungguhnya secara moral telah bangkrut. Itulah yang kemudian mengilhami Jeffrey Sachs (2012) menggunakan istilah the devided workplace (dunia yang terpisah) untuk menjelaskan keganjilan fenomena ekonomi tersebut. Tidak susah untuk mengatakan bahwa hal serupa juga terjadi di sini, bahkan mungkin dengan intensitas yang lebih tinggi. Upah minimum diregulasi (meskipun menjadi kontroversi tiap waktu) untuk membantu buruh bisa mencukupi kebutuhan laik, tetapi batas atas gaji/bonus/pembayaran tak diatur.
Garis kemiskinan dibikin untuk menunjukkan penduduk yang masih berada dalam kondisi kenestapaan ekonomi, tetapi garis atas kekayaan diserahkan berjalan sesuai diktum pasar: dibiarkan sampai menyundul langit. Obama hari ini tengah berjuang mengembalikan moralitas ekonomi AS dengan menaikkan pajak bagi orang kaya, demikian pula yang telah dilakukan oleh Presiden Perancis, Hollande. Mereka adalah pemimpin yang memiliki keyakinan bahwa ekonomi tak boleh menyimpang dari imperatif moral agar tidak menciptakan kerusakan dan kerakusan. Sebaliknya, hari ini pemerintah kita masih saja sibuk membanggakan prestasi penciptaan the devided workplace.
Ahmad Erani Yustika Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
(Kompas cetak 15 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®












Jumat, 14 Desember 2012

Kasmaran Berilmu Pengetahuan

Iwan Pranoto
Sesudah perang dan Belanda memegang kekuasaan, pengikut setia Pangeran Diponegoro yang bernama Kiai Song memilih mengasingkan diri di dekat Yogyakarta, sekarang dikenal sebagai daerah Kasongan.
Dalam bukunya Surat Malam untuk Presiden, Acep Iwan Saidi menulis tentang Kiai Song yang menetap dan mengajari para ibu cara membuat gerabah. Gerakan belajar membuat gerabah tampak sebagai gerakan "produktivitas" untuk bertahan hidup secara ekonomi dan politik.
Namun, sebenarnya kegiatan ini mengajarkan semangat perlawanan dan keteguhan. Masyarakat yang semula sekadar belajar membuat gerabah, meningkat menjadi belajar nilai dan sikap mulia manusia. Seperti orang kasmaran, pembuatan gerabah kemudian melibatkan rasa takjub, kesungguhan, dan gairah total. Tataran berkegiatan pembelajaran inilah yang disebut kasmaran berilmu pengetahuan.
Semula produknya benda mati, kemudian menjadi pengembangan diri dengan pencerahan pada nilai-nilai luhur manusia. Membuat gerabah menjadi kegiatan yang mulia.
Membuat kurikulum
Bagaimana mereplikasikan gerakan kebudayaan Kiai Song pada persekolahan saat ini? Bagaimana bentuk kurikulumnya?
Di sini terletak pentingnya memahami bahwa dalam pendidikan ada tiga jenis kurikulum dengan tiga tataran berbeda: written, taught, dan learned curriculum. Terjemahannya: kurikulum tertulis, kurikulum yang diajarkan guru, dan kurikulum yang dipelajari siswa.
Dalam kasus Kiai Song, justru yang paling menentukan pengembangan nilai-nilai luhur dan sikap mulia kemanusiaan, terletak pada dua hal terakhir, yakni kurikulum yang diajarkan dan kurikulum yang dipelajari. Sayang, justru di dua tataran itu pendidikan kita bermasalah.
Kurikulum tertulis adalah hal paling kecil dan sederhana. Maka membenahi benda mati seperti dokumen kurikulum tertulis itu adalah bagian paling mudah dalam kebijakan pendidikan. Memang kurikulum nasional dan juga dokumen standar sekarang tidak sempurna. Namun, ketidaksempurnaan ini bukan satu-satunya sumber masalah. Permasalahan persekolahan kita adalah kegagalan mengangkat kegiatan belajar menulis menjadi menulis untuk belajar (berpikir). Dari learning to write menjadi writing to learn (and think).
Menulis untuk belajar adalah tanda kasmaran berbahasa. Hal yang sama terjadi pada hampir semua mata pelajaran. Dalam Matematika terjadi kegagalan mengangkat kegiatan belajar berhitung menjadi berhitung untuk belajar sebagai tanda kasmaran bermatematika.
Analoginya dalam cerita Kiai Song ialah pendidikan saat ini gagal karena masih berkutat di jenjang belajar membuat gerabah. Persekolahan gagal mengangkat kegiatan membuat gerabah untuk belajar nilai dan sikap-sikap luhur manusia.
Para peserta didik sekarang umumnya belum di jenjang kasmaran berilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan baru sekadar obyek yang dipelajari, terlepas dari diri pemelajar. Siswa yang berfisika belum takjub dan kasmaran terhadap rumus F>ma. Kebanyakan siswa belum mencapai jenjang kasmaran terhadap rumus sederhana yang memodelkan pena jatuh sampai pergerakan benda di angkasa itu.
Kebanyakan siswa belum kasmaran terhadap rumus Bernoulli yang memungkinkan sayap sederhana berpenampang gemuk di tengah dapat mengangkat pesawat dengan beban berton-ton. Ilmu pengetahuan masih sekadar dikumpulkan, disimpan, dan ditumpahkan lagi saat ujian. Belum mengubah jati diri pemelajar dalam berperilaku dan berpikir.
Betul bahwa semua harus mulai belajar menulis dulu sebelum dapat menulis untuk belajar. Harus dapat membuat gerabah dulu sebelum dapat memahami pembuatan gerabah untuk belajar sikap dan nilai-nilai luhur. Para pengikut Kiai Song harus cakap membuat celengan dulu sebelum memaknai nilai "menahan hasrat" dari sebuah celengan.
Maka kurikulum yang baik harus merumuskan sebuah rekacipta tahapan pembelajaran yang terstruktur jelas guna memungkinkan siswa berkembang: dari proses menyerap pengetahuan dan keterampilan hingga mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan memekarkan sikap serta nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Relevan zaman
Oleh karena itu, para siswa yang mempelajari mata pelajaran berdasarkan kurikulum baru harus berproses menjadi memahami mata pelajaran itu untuk mengembangkan keterampilan yang relevan dengan zaman sekarang. Misalnya mampu berpikir kritis dan merumuskan pertanyaan ataupun menyampaikan argumen secara runtun, tertata, dan meyakinkan orang lain.
Peserta didik juga perlu mengembangkan sikap-sikap universal, seperti gigih, berpikir luwes, dan menghargai hak orang lain untuk berbeda pendapat. Inilah jenjang kasmaran berilmu pengetahuan yang harus direkacipta dalam kurikulum baru.
Pernyataan Wakil Presiden Boediono tentang Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) yang akan masuk kurikulum mendatang tentu sangat tepat. Hanya saja, permasalahannya kembali pada kurikulum yang diajarkan dan kurikulum yang dipelajari, bukan pada kurikulum tertulis.
Memasukkan atau menuliskan Empat Pilar Kebangsaan dalam dokumen kurikulum itu mudah, tetapi tidak akan serta-merta gagasan itu subur bermekaran di sanubari anak didik. Belajar matematika dan sains jika dilaksanakan seperti pada kebanyakan persekolahan sekarang, mustahil akan sampai pada tataran kasmaran berilmu pengetahuan. Hampir mustahil pula dengan sistem persekolahan sekarang para siswa sanggup berkontemplasi dan menghayati Empat Pilar Kebangsaan itu.
Di sini pentingnya peran guru. Keadaan anak didik yang sampai tataran kasmaran berilmu pengetahuan hanya mungkin terwujud jika gurunya sudah mengalami kasmaran berilmu pengetahuan. Tak mungkin guru dapat menularkan kecintaan pada kegiatan bernalar jika dirinya belum piawai bernalar serta belum menghargai proses bernalar.
Upaya membenahi dokumen kurikulum tanpa dibarengi pembenahan pendidikan keguruan (pre-service) dan program pengembangan profesi guru (in-service), akan sia-sia memperbaiki pendidikan. Upaya merampingkan kurikulum untuk meningkatkan kedalaman proses belajar siswa, belum tentu mencapai tujuan jika taught and learned curriculum tidak berubah.
Yang tak kalah penting ialah dua kurikulum terselubung lain. Yang pertama buku. Kenyataannya, dokumen kurikulum lebih sedikit dibaca dibanding buku. Banyak guru mengajar mengikuti buku semata. Perilaku tidak ideal ini dapat dibenahi melalui pembuatan buku yang baik.
Buku pelajaran tak perlu tebal, tetapi harus dirancang agar memicu siswa kasmaran berilmu pengetahuan. Paradigma pada kehidupan sekarang bukan tahu banyak, melainkan berhasrat belajar. Penguasaan kumpulan fakta dan prosedur memang masih dibutuhkan, tetapi buku harus fokus pada pengetahuan esensial saja.
Kurikulum terselubung lainnya ialah Ujian Nasional. Kurikulum sebaik apa pun jika kelulusannya masih dipengaruhi oleh UN seperti sekarang, anak didik akan tetap belajar untuk ujian. Kurikulum tinggal kurikulum karena guru dan bahkan birokrasi pendidikan diukur performanya berdasarkan nilai UN.
Bukankah sudah jamak program kurikulum SMP dan SMA yang seharusnya enam semester, diajarkan hanya dalam lima semester atau kurang. Sisanya khusus untuk menghafal rumus cepat dan latihan soal UN. Pelanggaran kolektif seperti ini dibarengi rendahnya mutu soal UN akan merusak itikad baik yang mendasari perancangan kurikulum baru. Maka, berbarengan dengan kurikulum baru, harus ada reposisi menyeluruh terhadap fungsi UN sebagai pemetaan dan diagnostik semata.
Satu catatan akhir yang juga sangat penting adalah penyerasian kembali ilmu pengetahuan alam dan ilmu kemanusiaan. Pemisahan satu disiplin dengan disiplin lain sungguh tak sesuai.
Kebijakan penjurusan IPA- IPS-Bahasa di SMA harus ditinjau ulang. Kehidupan modern ini membutuhkan lintas disiplin. Selain itu, pendewaan IPA yang berlebihan seperti sekarang juga sangat merugikan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan nasional.
Semua disiplin dalam ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika perlu dikembangkan bersamaan. Semua disiplin butuh siswa-siswa terbaik untuk mengembangkannya.
Jika hal-hal di atas diperhatikan, bukan mustahil dalam 12 tahun mendatang tiap pelajar di Republik Indonesia berhasrat mengembangkan sikap dan nilai-nilai luhur kemanusiaan serta kasmaran berilmu pengetahuan.
Iwan Pranoto Guru Besar ITB
(Kompas cetak, 14 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®





























Powered By Blogger