Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 08 Maret 2013

Kemenag Dinilai Kurang Berperan

Kementerian Agama dinilai kurang berperan dalam menyelesaikan berbagai konflik berlatar belakang perbedaan agama. Karena itu, kementerian yang memiliki jaringan di seluruh daerah di Indonesia itu harus lebih aktif lagi menangani konflik dengan langsung turun ke lapangan.
Harapan itu disampaikan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam diskusi Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan, Kamis (7/3), di Jakarta. Hadir juga pembicara lain, yakni Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag) Nur Kholis Setiawan, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Slamet Effendy Yusuf, Direktur Konferensi Waligereja Indonesia Romo Edy Purwanto, dan Redaktur Majalah Gatra Asrori S Karni.
Jusuf Kalla menjelaskan, sebenarnya fondasi kerukunan umat beragama di Indonesia sudah kuat. Kalau ada konflik agama, umumnya itu bermula dari masalah ketidakadilan politik, sosial, dan ekonomi yang kemudian menyulut sentimen keagamaan. Hal itu terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, dan Ambon, Maluku.
"Sentimen agama mudah mengundang solidaritas karena sama-sama menjanjikan surga bagi orang yang berperang atas nama agama. Ini membuat konflik sulit berakhir. Apalagi jika tokoh-tokoh agama justru memperbesar isu," katanya.
Dalam berbagai konflik berlatar agama itu, Kalla menilai, tidak ada peran kuat dari Kemenag. Kementerian yang bertanggung jawab mengurus agama ini justru hanya menjadi administrator. Jika muncul konflik, malah organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang berperan mencari jalan keluar. Namun, begitu ada proyek, itu menjadi urusan Kemenag.
"Sepanjang saya membantu mengatasi konflik agama di beberapa daerah, hampir-hampir tak pernah lihat peran besar Kemenag. Ini harus dikoreksi. Kemenag harus lebih aktif, turun ke lapangan, jangan hanya rapat dari hotel ke hotel saja," ujar Kalla.
Cukup harmonis
Dalam kesempatan itu, Nur Kholis Setiawan memaparkan Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama 2012. Survei melibatkan 3.300 responden di 33 provinsi. Hasilnya, indeks kerukunan nasional cukup harmonis, yaitu 3,67 dari rentang nilai 1-5. "Kami akui, ada kasus-kasus intoleransi, tapi secara umum kerukunan di Indonesia masih baik," tuturnya.
Slamet Effendy Yusuf menyoroti pentingnya pemahaman dari semua pihak jika ingin membangun toleransi. Tidak cukup pengertian dari satu pihak saja. Dia juga mengkritik laporan Kemenag yang tidak didasari penelitian lapangan oleh jaringan kementerian secara mandiri, melainkan lebih mengandalkan laporan dari media.
Romo Edy Purwanto berharap Kemenag lebih teliti dengan data laporan yang dianggap kurang akurat dan tidak lengkap. Perlu juga diberi catatan, beberapa lembaga binaan pemerintah justru menghambat pembangunan toleransi, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama di sejumlah daerah.
Asrori S Karni mengatakan, Kemenag memang kurang berperan dalam resolusi konflik berlatar agama. Padahal, kementerian ini memiliki jaringan pegawai yang mengerti soal agama di daerah sampai tingkat kecamatan. Mereka semestinya dibekali pemahaman dan kemampuan resolusi konflik.
"Dalam liputan konflik berlatar agama, media kerap kurang memperoleh informasi yang lengkap dari pejabat publik atau pemerintah. Media malah lebih mudah memperoleh informasi dari keluarga korban kekerasan konflik agama," katanya. (IAM)
(Kompas cetak, 8 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger