Rodion Raskorinikov (ada juga yang mengejanya dengan Raskolnikov) alias Roja—tokoh dalam novel Crime and Punishment (1866) karya Fyodor Dostoevsky—adalah pemuda pintar yang percaya bahwa dirinya seorang genius dan pahlawan.
Namun, ini yang serius dan gawat! Bagi seorang genius dan pahlawan seperti dirinya, apa saja bisa dan boleh dilakukan, termasuk membunuh orang sekalipun! Dia berpandangan, satu atau dua perbuatan jahat bisa dimaafkan kalau untuk kebaikan.
Dengan teorinya sendiri yang eksentrik seperti itu, Roja membunuh seorang nenek yang bungkuk yang berprofesi jahat sebagai rentenir. Aryanov namanya. Sebagai genius dan merasa diri pahlawan, Raskorinikov melakukan aksi jahatnya dengan dingin dan secara canggih menyembunyikan semua jejak kriminalnya.
Polisi dan detektif yang menangani kasus pembunuhan itu sama sekali tidak bisa mengendus bukti, apalagi alat bukti, perbuatan kejam dan sadis itu. Padahal, Porfili, sang detektif berpengalaman, dan Raskorinikov, sang pembunuh, itu sudah berinteraksi secara intensif! Walhasil, secara hukum perbuatan Raskorinikov tidak akan pernah terungkap karena memang tidak ada bukti sedikit pun.
Tetapi, Raskorinikov alias Roja kalah melawan hati nuraninya: pembunuhan itu menghantuinya sepanjang waktu. Hari-harinya menjadi hari-hari yang panjang dan menggelisahkannya. Pembunuhan itu menghantuinya sepanjang hidupnya. Untuk mengurangi kegelisahannya, ia memang sempat keceplosan menceritakannya kepada kekasihnya yang sangat dia cintai. Tetapi, langkah itu pun tak berhasil mengurangi tekanan batinnya.
Akhirnya dia kalah, takluk melawan nuraninya: ia datang menyerahkan diri dan mengakui seluruh perbuatannya dan motifnya kepada Porfili dan polisi, padahal tak ada bukti apa pun. Polisi pun akhirnya berpandangan: sikap Roja yang ingin menebus kesalahan harus dihargai!
Bebal dan tanpa nurani?
Cerita dalam novel itu rasanya relevan diceritakan kembali saat bangsa ini menghadapi derasnya korupsi seperti sekarang. Betapa banyak kasus korupsi yang, saking canggihnya, tidak ada alat bukti apa pun. Lebih hebat lagi, para pelaku korupsi di negeri ini setelah ditangkap—bahkan sudah diseret ke pengadilan—pun tidak ada yang terdengar mengakui perbuatannya.
Pertanyaannya, apakah mereka tidak punya nurani seperti Raskorinikov? Kita menunggu mereka mengaku dan menyerahkan diri karena dihantui kejahatan korupsinya sepanjang waktu. Itu jauh lebih baik daripada terus menyangkal perbuatannya sepanjang hidupnya.
Apalagi bangsa ini—benar atau salah—dikenal cukup religius: bangsa yang percaya kepada Tuhan. Bahkan, sila pertama dari dasar negara, Pancasila, berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan segala konsekuensi dan implikasinya. Jika pun mereka tidak percaya adanya hari pembalasan di akhirat, setidaknya mereka punya nurani seperti Roja.
Bukankah para koruptor itu adalah para penyelenggara negara dan pemerintahan, yang berarti bahwa mereka itu orang- orang yang berpendidikan, berpengalaman, dan berpengetahuan luas? Bukankah para pelaku kejahatan korupsi itu orang- orang yang justru paling mengetahui serta menguasai taksonomi dan anatomi keuangan negara? Ironisnya, justru karena pengetahuannya terhadap taksonomi atau anatomi APBN itulah mereka menggunakannya sebagai instrumen untuk melakukan tindakan kejahatan korupsi.
Pada hari-hari begini, bicara akhirat dan nurani memang terasa naif dan anakronistik. Tetapi, kalau kita mengikuti dengan saksama proses pemeriksaan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga jalannya persidangan, kita akan menyaksikan langka sekali ada tersangka, terdakwa—bahkan sudah terpidana kasus korupsi sekalipun—yang mengakui perbuatannya yang salah dan destruktif itu. Penyangkalan ini ada dua kemungkinan. Pertama, mereka memang benar-benar tidak bersalah sehingga sangkaan, dakwaan, dan vonis itu salah. Kedua, mereka itu memang bebal dan tidak punya hati nurani.
Nurani itu berasal dari kata bahasa Arab, nur, yang artinya cahaya. Hati nurani artinya hati yang bercahaya dan terang-benderang laksana cermin. Manusia bisa becermin kepada hati nuraninya. Tetapi, orang yang sudah bebal alias tebal muka hatinya sudah tak lagi bercahaya karena sudah tertutupi oleh noktah- noktah hitam akibat terlalu banyak melakukan kejahatan.
Hati yang semacam ini tidak lagi menjadi nurani, melainkan dhulmani. Kata ini pun berasal dari bahasa Arab, dhulm, yang artinya gelap. Walhasil, hati yang dhulmani sudah tidak lagi bisa digunakan untuk becermin. Orang semacam ini susah mengakui kesalahan, alih-alih selalu menyangkal perbuatan koruptifnya yang destruktif itu.
Jalan itu masih panjang
Ada seorang teman yang sangat baik, yang karena rasa kemanusiaan dan pertemanan memiliki sifat ringan kaki, suka mengunjungi teman-temannya di penjara karena tersangkut kasus korupsi. Dari cerita sang teman itu, ia heran karena tak satu pun terpidana kasus korupsi yang dia kunjungi di penjara itu mengakui perbuatannya.
Kebanyakan hanya menyatakan bahwa dirinya sedang apes atau sekadar dikorbankan karena alasan politik. Mungkin mereka sudah demikian bebalnya sehingga malu hati untuk mengakui kesalahannya dan bertobat atas dosa-dosanya kepada Tuhan.
Sungguh sangat menarik! Jangankan masih dalam status tersangka korupsi, apalagi mereka yang baru diberitakan oleh media massa yang melakukan reportase investigatif terhadap kasus-kasus korupsi, bahkan yang sudah divonis pengadilan dengan sederet bukti hukum dan alat bukti sekalipun tetap saja tidak mengakui kesalahannya. Lebih mengherankan dan mengagumkan lagi, sudah di dalam penjara sebagai na- rapidana korupsi pun mereka masih juga menyangkal perbuatannya.
Tak heran jika mereka tetap tersenyum, bahkan tertawa, ketika disorot kamera televisi. Pertanyaan teman saya itu adalah apakah mereka juga tidak mengakuinya di hadapan Tuhan Yang Maha Mengetahui itu?
Sementara di pihak lain, masyarakat pun juga bersikap sangat permisif terhadap para bekas narapidana korupsi. Kehadiran mereka di tengah masyarakat, apalagi kalau mereka bersikap "dermawan", tetap saja dielu-elukan bagaikan seorang pahlawan. Tak heran jika bekas narapidana korupsi masih juga bisa lolos dalam promosi jabatan.
Sikap masyarakat terhadap narapidana politik sangat berbeda secara diametral dengan pelaku pelanggaran kesusilaan. Walhasil, kepekaan susila masyarakat kita masih jauh lebih tinggi daripada kepekaan terhadap kasus korupsi. Pemerintah dan partai politik cenderung tegas dan tanpa ampun pada kasus pelanggaran susila, tetapi permisif dan lembut pada kasus pelanggaran pidana korupsi.
Dalam konteks dan perspektif seperti ini, tampaknya masih sangat panjang jalan Indonesia menuju negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme!
Hajriyanto Y Thohari Wakil Ketua MPR RI
(Kompas cetak, 15 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar