Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 31 Maret 2013

Allah Yang Hidup (Garin Nugroho)

Garin Nugroho
Di tengah kesibukan berlatih musikal Opera Jawa dengan tema "dunia jungkir balik, semua tidak pada tempat dan perannya", banyak dering telepon meminta menjadi anggota legislatif. Saya lebih tertarik mendengarkan gamelan maestro Rahayu Supanggah sembari membuka catatan harian saya berkait politik, seni, dan religiusitas. Terlebih di tengah situasi Paskah dan pemilihan legislatif. Timbul pertanyaan: apa guna perayaan agama di situasi sosial politik hari ini?
Saya membuka catatan harian beberapa tahun lalu ketika diundang mengikuti upacara Paskah di Pulau Procida, Italia, dan memenuhi undangan Paus Benediktus XVI bersama 100 seniman dunia, untuk memperingati 45 tahun pertemuan Paus Paulus VI dengan seniman dunia.
Upacara Paskah Procida, pulau kecil di depan Napoli, dipenuhi ratusan ribu manusia layaknya sebuah teater besar. Saya berjalan mengikuti tubuh Kristus mengelilingi pulau kecil itu, di tiap lintasan, ratusan ribu manusia sejenak sunyi, diam, dan khusyuk. Catatan harian saya memberi garis bawah pertanyaan: di era teater besar politik sekarang ini, masihkah kita punya kepemimpinan politik yang memberi warga aulia khusyuk, khidmat, dan hormat?
Kenyataan menunjukkan, teater besar politik hanya memunculkan politik serba cemas, hiruk-pikuk yang tidak membangkitkan, menyisakan politik banal saling serang tanpa panduan kepemimpinan.

Paskah sebagai teater tubuh Kristus selalu menyisakan inspirasi tentang satu hal: Allah Yang Hidup. Yakni bahwa ukuran politik dalam negara ber-Tuhan dan ber-Kepercayaan, selalu pada kerja pelayanan memberi kebangkitan manusia sekitarnya. Inilah model politikus yang ditunggu hari ini.
Celakanya, politik layaknya kondisi keagamaan dewasa ini. Ukuran keagamaan lebih pada hubungan simbolis dengan Tuhan, warga diajak pemimpin ramai-ramai menggerakkan tangan memohon, tetapi tangan tidak lagi melayani kehidupan manusia sekitarnya. Demikian juga dalam politik, politikus lebih pada pelayanan kekuasaan politik untuk keselamatan diri. Alhasil, bangsa dipenuhi politik kekuasaan dan doa, tetapi kemanusiaan kehilangan daya hidup
Mengikuti upacara Tubuh Kristus, terasa mengisyaratkan bahwa para pemimpinlah yang seharusnya melakukan jalan salib memikul beban. Namun, simaklah berita hari ini, dipenuhi politik kasus, DPR berebut fasilitas, perkelahian aparat, hingga kecemasan kekuasaan. Pada akhirnya, politikus tidak lagi memikul beban, tetapi membebani rakyat. Sebuah ironi demokrasi.

Dalam pertemuan dengan Paus Benediktus XVI, Paus berpesan bahwa seni bukanlah kebutuhan ketiga, tetapi seperti kebutuhan lain, seni mengelola keindahan lewat rasa halus kemanusiaan, pendorong daya hidup dan kesadaran pelayanan meski lapar sekalipun.
Buku harian saya di tanggal itu mencatat: "Pancasila lahir karena pemimpin yang berbudaya. Sebutlah, Muhammad Yamin yang dijuluki Bapak Soneta, atau simaklah kecintaan Soekarno pada seni dan senimannya. Sesungguhnya, bapak bangsa yang melahirkan Pancasila tidak hanya politikus, tapi juga budayawan. Menjadikan mereka mempunyai rasa susastra tinggi. Rasa halus terhadap kemanusiaan".
Hari ini, sambil menikmati foto-foto Michelangelo di atap kapel Sinista tentang derita dan keselamatan, saya merasa gelisah karena tak cukup banyak politikus yang menonton seni kualitas tinggi, kecuali seni massal untuk popularitas. Maka, saya yakin pula, dengan kualitas politikus seperti ini, sekiranya Pancasila ditawarkan hari ini, dia tak akan pernah lahir.
"Allah Yang Hidup" hanya lewatkah Engkau?
(Kompas cetak, 31 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®











Santet (Bre Redana)

Bre Redana
Serasa absurd membayangkan apa yang dilakukan para anggota DPR tatkala mereka melakukan yang disebut studi banding ke Eropa untuk urusan santet—sama absurdnya membayangkan pasal santet dalam KUHP sendiri. Eropa, santet. Apakah mereka rapat di ruang-ruang parlemen di Eropa? Atau membongkar arsip-arsip di perpustakaan-perpustakaan kuno? Atau termangu-mangu di depan etalase Louis Vuitton, sembari mencoba menembus waktu, untuk melihat penampakan sesuatu yang telah ditinggalkan Eropa selama ribuan tahun?
Ah, ada-ada saja. Zaman gelap atau Dark Ages Eropa sudah lama ditinggalkan. Bahkan di awal zaman pertengahan, mengenai runtuhnya Roma pada sekitar 400 tahun Masehi, Agustinus berujar: Roma runtuh bukan karena munculnya keyakinan baru, melainkan karena dosa-dosa lama yang terus berlanjut, yakni percabulan dan korupsi di kalangan politisi. Interregnum Roma adalah masa terburuk bagi imajinasi, serebral (maksudnya otak), serta mereka yang tidak beruntung. Ia hanya menguntungkan bagi yang kuat, punya senjata, sentosa, manipulator, dan makmur kurang lebih bisa berbelanja barang-barang mewah di Eropa, seperti para anggota DPR kita.
Ruang dan waktu. Ini perlu disinggung lagi. Zaman sebelum Galileo yang ada hanya keyakinan terhadap kalender. Tentang ruang, karena dunia dipercaya sebagai datar, kalau pergi kejauhan kita akan sampai ke tubir laut, tubir jurang: hati-hati, di sana banyak makhluk aneh siap memangsa manusia. Kesadaran akan ruang yang dibawa oleh para kartografer modern memberikan dimensi baru bagi manusia: mitos, takhayul, klenik, gugontuhon, mulai ditinggalkan.
Para anggota DPR sebenarnya tak perlu sampai ke Eropa—cukup ke taman bacaan desa saya—untuk mengetahui, bagaimana kemudian Eropa masuk ke zaman Renaisans. Selain perkembangan ilmu pengetahuan dan intelektualitas, para humanis pada abad ke-16 meletakkan dasar bagi perkembangan dunia ke depan: rasionalisme pada abad ke-17; Enlightenment pada abad ke-18; Marxisme pada abad ke-19; pragmatisme, determinisme, empirisme pada abad ke-20; dan seterusnya. Anda silakan tanya Rocky Gerung, Tommy Awuy, Romo Mudji, atau entah siapa. Bagi saya pribadi, zaman multikonduktor dan globalisasi di depan lebih dekat daripada zaman takhayul pada abad-abad yang lewat.
Pengertian sivilisasi sekarang ini adalah masyarakat yang secara relatif mencapai tingkat kebudayaan dan teknologi yang tinggi. Bahkan di lingkungan perguruan silat di Bogor yang mendalami mind-body-spirit, kalau mind diterjemahkan sebagai pikiran, body sebagai tubuh, spirit tidak serta-merta diterjemahkan "roh".
"Kita harus hati-hati," kata guru silat Gunawan Rahardja. "Kita ini kalau bicara spirit mudah tergelincir menjadi roh halus, hantu, pocong. Kita melatih tubuh dan otak untuk mencapai kesadaran," tambahnya. Tak ada tempat bagi irasionalitas.
Benar-benar absurd membayangkan pasal santet, yang konsekuensinya tentunya adalah hakim santet, hukum santet, pendidikan santet, komisi santet—para anggota komisi santet siapa saja nanti? Mbah, eyang, mbak, atau jeng siapa? Pakai jubah hitam seperti di televisi? Dilengkapi dengan sumpah pocong, tuyul, film-film hantu, mistik Cipularang, perdukunan para artis, televisi yang hidup di alam gaib, hendak kita kemanakan sebenarnya negeri ini? Ingat, bahkan salah satu Bapak Bangsa kita di zaman susah dulu pun telah menulis tentang materialisme, dialektika, logika. Madilog.
Ada yang berujar, nyatanya di kampung-kampung sering terjadi penganiayaan terhadap orang yang diduga melakukan santet, teluh. Kalau itu yang terjadi, yang dibutuhkan bukan pasal santet, melainkan pendidikan rakyat semesta.
 (Kompas cetak, 31 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®







Sabtu, 30 Maret 2013

Keras, Perang Kata-kata Korut (Tajuk Rencana Kompas)

Dunia dikejutkan lagi oleh ancaman Korea Utara untuk menggempur dengan rudal atas daratan utama dan pangkalan militer Amerika Serikat.
Perang kata-kata yang terdengar keras itu disampaikan pemimpin Korut Kim Jong Un hari Jumat kemarin. Hal itu merupakan reaksi atas manuver pesawat siluman AS, B-2, dan pengebom B-52 yang berkemampuan senjata nuklir, yang terbang di atas wilayah Korea Selatan dalam latihan perang tahunan yang bersifat rutin.
Tanggapan Korut atas latihan perang tahunan AS-Korsel yang melibatkan pesawat siluman B-2 dan pengebom B-52 tampak sangat keras. Sumber intelijen Korsel menyatakan, Korut langsung memobilisasi pasukannya. Lebih dari itu, Jong Un mengadakan pertemuan darurat dengan para petinggi militer hari Kamis larut malam, beberapa jam setelah pesawat siluman B-2 dan pengebom B-52 beraksi di atas wilayah udara Korsel. Hasil pertemuan antara lain perintah menyiagakan berbagai satuan rudal dan melakukan perhitungan untuk menggempur AS.
Bagi Korut, manuver pesawat B-2 dan B-52 merupakan ultimatum yang memprovokasi perang. Jong Un mengancam akan menggempur tanpa ampun wilayah daratan utama AS, dan beberapa pangkalan militer AS di Pasifik, termasuk Hawaii dan Guam, dan yang berada di Korsel. Meski dipertanyakan kemampuan militer Korut untuk melaksanakan ancamannya, AS tidak bersikap meremehkan. Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel menyatakan tidak tunduk terhadap ancaman Korut dan selalu siap menghadapi "apa pun yang akan terjadi".
Secara teknis, kemampuan militer Korut sesungguhnya tidak menggetarkan. Namun, siapa pun, terutama AS dan lebih-lebih Korsel, selalu dibayangi kecemasan tentang kemungkinan Korut bertindak nekat dengan senjata nuklirnya. Program senjata nuklir Korut yang menguras dana sudah merupakan bukti kekonyolan. Semestinya program senjata berbahaya itu bukan menjadi prioritas karena dana lebih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang menderita kelaparan dan kekurangan gizi.
Pengembangan senjata nuklir juga kontraproduktif karena membuat Korut semakin dikucilkan dari pergaulan internasional. Dunia Barat menjatuhkan sanksi ekonomi, yang semakin menciptakan kesulitan ekonomi bagi negeri yang tergolong miskin itu. Juga tidak rasional jika Korut mengembangkan senjata nuklir dengan tujuan perang. Bukankah Korsel yang menjadi seterunya dalam konflik di Semenanjung Korea justru mendorong unifikasi damai, menentang permusuhan dan peperangan.
Masyarakat global secara tegas pula menolak pengembangan senjata nuklir, yang sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Atas pertimbangan apa pun, program senjata Korut dinilai mubazir dan hanya menakutkan dari kepentingan kemanusiaan.
(Tajuk Rencana Kompas, 30 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®




Keserakahan Berhala Modern (Tajuk Rencana Kompas)

Sisi negatif reformasi berbiak dalam berbagai bentuk. Keserakahan yang didukung kekuasaan. Saat itu, harapan perbaikan bersuara nyaring.
Perubahan macam apa, siapa, bagaimana dilaksanakan, dari mana dimulai? Wacana perlunya perubahan lama digulirkan, mulai dari pendasaran ideologi dan konsep strategisnya hingga segala kebutuhan persyaratannya. Masa kerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang tinggal setahun lebih menjadi isu sensitif dan semakin luas digulirkan.
Di lapangan, kekerasan sepertinya menjadi cara baru menyelesaikan soal. Kapolsek Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Ajun Komisaris Andar Siahaan tewas dikeroyok massa saat akan membubarkan perjudian. LP Cebongan dimasuki gerombolan liar dan empat tahanannya dieksekusi. Peristiwa yang pertama kali dalam sejarah. Sebelumnya, Markas Polres Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, diserbu dan dirusak tentara. Gedung Utama Sekretariat Negara terbakar 21 Maret lalu, juga yang pertama kali dalam sejarah.
Di tengah kegalauan bangsa itu, berhala modern yang berupa keserakahan terus membiak, isu perubahan terus subur menghinggapi (baca: merecoki) praksis menyelesaikan sisa pemerintahan SBY-Boediono. Konflik dan aksi kekerasan sering terjadi, menguji kadar wibawa hukum.
Dalam kondisi lingkungan demikian, praksis pemerintahan tak akan fokus mengakhiri etape terakhirnya dengan mulus. Tidak saja oleh kerepotan SBY mengurusi Partai Demokrat dari pengeroposan intern, elite politik yang tersandera kasus kelas kakap masing-masing, tetapi juga oleh pesaing politisnya yang siap menerkam kursi kekuasaan. Tahun 2013 yang riuh proses pencarian elite politik, praktik korupsi yang satu per satu terbongkar dan membuat rakyat kecil tertegun-tegun, diisi dengan kerepotan memadamkan api ketidaksabaran. Dan bukan tidak mungkin di tahun 2014, ketika pemilu diselenggarakan, yang terjadi adalah antiklimaks.
Dalam kondisi demikian, selain turunan klasik berupa kemiskinan, umat Kristiani Indonesia merayakan Paskah 2013. Lilin Paskah yang dinyalakan dengan api baru selalu disertai pesan: perayaan Paskah bermakna khususnya pada tahun ketika dirayakan. Paskah sebagai kenangan pembebasan dari perbudakan dan kemenangan kehidupan atas kematian, menawarkan ajakan perubahan.
Perubahan tidak dalam arti fisik sebatas mencegah meruyaknya berhala modern, tetapi dalam arti membangun niat dan tindakan untuk hidup berlandaskan kode moral dan hukum sehingga menjadi manusia yang bermartabat. Tema beriman, bersaudara, dan berbela rasa menjadi aktual dan bermakna manusiawi perlu diselenggarakan dalam satu tarikan napas. Perubahan menjadi lebih bermakna ketika dilandasi semangat berubah menjadi manusia bermartabat, yang dikembangkan dan dipersubur dalam kolegialitas masyarakat manusia, selain tentu saja konstitusional.
Selamat Paskah 2013 bagi yang merayakan!
(Tajuk Rencana Kompas Cetak, 30 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®





Bangsa Penonton (Budiarto Shambazy)

Oleh Budiarto Shambazy
Beberapa hari terakhir, media massa sering memberitakan soal "pasal santet" yang bikin heboh. Padahal, ini hanya salah satu dari ratusan pasal yang sedang dalam proses penyusunan RUU KUHAP dan RUU KUHP.
Ketentuan Pasal 293 Ayat (1) RUU KUHAP menyebutkan, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang...."
Jadi, tidak ada kata "santet". Yang ada hanya kata "kekuatan gaib". Namun, kita keburu histeris karena terkesan DPR membahas santet, urusan yang mengada-ada, alias tidak substantif.
Terlebih lagi, Komisi III DPR akan melakukan studi banding ke Rusia, Inggris, Perancis, dan Belanda untuk belajar santet. Menurut pernyataan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, studi banding itu menghabiskan uang negara sekitar Rp 6,5 miliar.
Tidak heran sebagian dari kita gusar. Seperti biasa, DPR kembali menjadi sasaran kritik dan cemooh dari delapan penjuru mata angin.
Padahal, kalau saja mau sedikit memahami, kedua RUU itu diajukan pemerintah kepada DPR, dan persoalan santet atau kekuatan gaib itu bukanlah isu baru. Sesungguhnya, pemerintah sekitar 20 tahun lalu berupaya memasukkan pasal ini ke DPR. Keinginan itu bersumber dari keresahan masyarakat yang marah terhadap praktik-praktik kekuatan gaib yang ditawarkan dukun-dukun.
Dukun-dukun itu sering menjadi korban main hakim sendiri.
Jadi, bukan kekuatan gaibnya yang merupakan subyek hukum, melainkan dukun-dukun itu yang menyalahgunakan kekuatan gaib.
Setelah sekitar 20 tahun, pembahasan diajukan lagi oleh pemerintah kepada DPR. Berhubung kita masyarakat "main pukul rata", DPR menjadi sasaran kembali alias menjadi kambing hitam.
Contoh kekeliruan persepsi dapat dilihat juga dari fenomena fanatisme publik terhadap tim nasional sepak bola. Dalam pertandingan babak penyisihan Piala Asia melawan Arab Saudi akhir pekan lalu, GBK dipadati puluhan ribu penonton.
Nah, sebagian pemain timnas melakukan tindakan kurang senonoh ketika menolak berlatih di bawah asuhan Pelatih Luis Manuel Blanco. Padahal, pelatih asal Argentina ini salah satu buah kerja sama bilateral Indonesia-Argentina.
Ulah pemain-pemain itu jelas menampar wajah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta bantuan kepelatihan dari Presiden Argentina Cristina de Kirchner. Tidak ada yang ribut saat Rahmad Darmawan muncul sebagai "pahlawan".
Jangan lupa, sebagian dari pemain ini menolak dipanggil masuk timnas asuhan Pelatih Nil Maizar. Berbeda dengan Bambang Pamungkas yang berani menentang klubnya memenuhi panggilan timnas.
Padahal, di sejumlah negara Barat, nasionalisme pemain digugat cuma karena tidak menyanyikan lagu kebangsaan saat akan bertanding. Di sini, lambang Garuda dan Merah-Putih dilecehkan.
Akan tetapi, sebagian besar penggemar tak peduli. Nasionalisme sebagian besar pencinta sepak bola kita memang masih bersifat "flag-waving".
Mispersepsi terhadap pasal santet dan timnas memprihatinkan. Hal itu menunjukkan karakter masyarakat yang hidup dalam kebimbangan.
Pada dasarnya, masyarakat memang naif. Mungkin saja karena mereka kurang well-informed atau cuma memedulikan urusan masing-masing.
Namun, apatisme merupakan penyebab utama rasa bimbang yang berkepanjangan itu. Sikap masa bodoh pada sejumlah kalangan kini tampak dalam skala yang cukup massal dan bersifat sistemik.
Ternyata, Reformasi 1998 dapat dikatakan gagal karena demokrasi kita berubah menjadi "democrazy". Demokrasi menjadi ajang untuk ngomong dan berbuat seenaknya saja oleh siapa saja.
Ciri utama "sukses" demokratisasi ala Reformasi 1998 tak lain adalah perilaku korupsi. Sama seperti sikap masa bodoh, korupsi berlangsung cukup massal dan bersifat sistemik.
Bayangkan saja, sekitar sepertiga dari gubernur diperiksa KPK. Sekitar seperempat dari hampir 500 pemimpin daerah idem dito.
Sama seperti sikap masa bodoh dan korupsi, kecurangan dalam pilkada juga berlangsung dalam skala cukup massal dan bersifat sistemik. Lebih dari tiga perempat dari 500-an pilkada selama beberapa tahun terakhir disengketakan.
Kalau ada partai/politisi yang menggugat hasil pilkada, hampir dipastikan mereka dituduh ngambek. Jika petahana mengerahkan dana dan aparatnya untuk menang kembali, itu hal biasa.
Rasa bimbang berkepanjangan yang disebabkan oleh apatisme itu masih berlangsung sampai saat ini. Kita tidak tahu lagi mau memercayai siapa yang memiliki otoritas informasi-informasi vital setiap kali ada masalah berskala nasional.
Itu terjadi ketika negeri agraris ini dilanda krisis kelangkaan komoditas, mulai dari kacang kedelai sampai bawang. Sungguh menyeramkan menyimak siapa gerangan yang bertanggung jawab atas serangan terhadap LP Cebongan.
Mungkin salah satu krisis laten yang membuat kita mundur sebagai bangsa: kian tampaknya fenomena "too dumb to be governed and too dumb to govern". Ibaratnya, ini mempertanyakan mana yang lebih dulu: ayam atau telur?
Kita berharap krisis laten ini berakhir ketika ada perubahan baru pada tahun 2014 setelah Pemilu-Pilpres 2014. Di satu pihak, masih banyak yang pesimistis dan mungkin lebih memilih golput, di lain pihak tetap ada yang berharap masih ada sinar di ujung terowongan sana.
Untuk sementara, kita masih "bangsa penonton" (a nation of spectators) saja. Kita masih belum lulus menjadi "bangsa pemaham" demokrasi, apalagi "bangsa penikmat" demokrasi.
(Kompas cetak, 30 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


























Bebas dalam Kasih (Franz Magnis-Suseno SJ)

Oleh Franz Magnis-Suseno SJ
Bagi umat Kristiani di seluruh dunia, hari Paskah, yang oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan tahun ini dirayakan pada tanggal 1 April, pada hari minggu pertama sesudah bulan purnama musim semi pertama, merupakan hari gembira. Pada hari itu, mereka memperingati momen Yesus dibangkitkan Allah dari kematian-Nya di salib.
Dengan demikian, hari Paskah merupakan hari kemenangan atas kematian, tetapi bukan kemenangan dengan tari gembira, bukan kemenangan yang menghancurkan musuh. Tidak ada musuh yang mau dikalahkan Yesus.
Di salib, Yesus memaafkan mereka yang membawanya ke tempat itu. "Bapak, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan." Kemenangan Yesus bukan kemenangan balas dendam, melainkan kemenangan cinta kasih. Mereka yang memusuhi-Nya pun masih dirangkul.
Jadi, kemenangan Paskah adalah kemenangan kebaikan hati terhadap kebencian, kemenangan pengampunan terhadap balas dendam, kemenangan hati yang baik terhadap hati yang keras. Dalam kemenangan Paskah, mereka yang sesat hatinya pun dirangkul dan dicintai.
Waktu masih mengajar di Palestina, Yesus mengalami saat tidak dipercayai, ditolak, dicurigai, dibenci, mengalami kekerasan, siksaan, dan akhirnya dibunuh.
Waktu Yesus mau ditangkap dan murid-Nya, Petrus, menarik pedang, Yesus menegur, "Masukkan pedangmu ke tempatnya. Bukankah Bapak-Ku dapat mengirim kepada-Ku dua belas pasukan malaikat untuk menyelamatkan Aku? Tetapi, bagaimana lantas Kitab Suci akan terpenuhi?"
Membebaskan
Dari sikap Yesus, kita dapat mengetahui bahwa Allah tidak membenci pendosa, tidak membalas, melainkan bersedia mengampuni. Di hadapan Allah, tak ada orang yang perlu putus asa. Di hadapan Allah, segala-galanya dapat menjadi baik karena Allah adalah cinta kasih.
Terlalu sering kita, manusia, sudah menjadi tawanan ketertutupan hati kita sendiri. Begitu kita sedikit saja dicurigai atau tidak disukai, kita menutup diri dan menjadi curiga juga.
Dari curiga, hati kita menjadi keras. Dan, kekerasan hati akan semakin memperkuat sikap negatif mereka yang dianggap lawan. Kita terbelenggu dalam lingkaran setan ketakutan, kecurigaan, dan kebencian yang dapat melibatkan kita dalam permusuhan dan kekerasan.
Dari Yesus kita boleh memperoleh keberanian untuk keluar dari lingkaran setan itu. Kita mengalami kebebasan hati orang yang bersikap baik terhadap siapa pun, termasuk terhadap musuhnya. Pepatah Jawa mengatakan dengan bagus, sing becik dibeciki, sing ala dibeciki (yang baik kita perlakukan dengan baik, yang tidak bersikap baik kita perlakukan dengan baik juga).
Dengan demikian, kita menjadi bebas. Kita tidak lagi terbelenggu otomatisme benci melawan yang membenci. Kita dapat berhadapan dengan siapa pun dengan hati yang baik. Kita menjadi bebas dari rasa-rasa yang membuat gelap hati kita, yang membuat kita keras, terbelenggu dalam kepicikan kita sendiri yang meracuni hati kita, dari belenggu dendam kesumat.
Kita tak lagi di bawah hukum "gigi lawan gigi, mata lawan mata". Sekarang kita mengerti kata Yesus: "Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu." Sikap ini bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan.
Tentu kita tidak selalu boleh "memberikan pipi kiri" juga. Sikap "menyerahkan pipi kiri" adalah tanda kebebasan kita dari hukum balas dendam.
Agar kebebasan itu mungkin, masyarakat-masyarakat dunia sejak ribuan tahun membangun struktur-struktur yang menunjang hubungan antarmanusia: segala macam adat istiadat, aturan sopan santun, hukum, peraturan dan norma, serta sistem peradilan yang bertugas menjamin keadilan. Melalui struktur itu, masyarakat mengatur agar pemukulan pipi tidak gampang terjadi, dan kalau terjadi agar ada cara penyelesaiannya. Karena itu, kita tentu boleh menuntut, seperlunya di depan pengadilan agar hak-hak kita itu dihormati.
Kita bahkan sering wajib membela diri karena kita tidak hidup sendirian. Dari kita bergantung orang lain, ruang kebebasan hidupnya, kita tidak boleh membiarkan mereka yang berada dalam tanggung jawab kita diperlakukan tidak adil.
Yang dapat diberikan oleh kegembiraan Paskah, kegembiraan bahwa cinta dan kebaikan menang atas kebencian dan kejahatan, adalah kebebasan hati mendalam yang tidak lagi tergerogoti nafsu kebencian gelap, yang dengan senyum kebaikan menawarkan pipi kiri untuk dipukul juga.
Suatu kebebasan hati dari keprihatinan terhadap diri sendiri, suatu kebebasan yang membuat kita juga bebas dari rasa resah. Bebas mencintai, bebas membuka hati, bebas mengharapkan biji kebaikan bahkan di hati mereka yang memusuhi kita.
Seperti ditulis seseorang yang mengalami pembaruan dalam harapan kebangkitan, "Cinta buah kebangkitan itu sabar, murah hati, tidak cemburu. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Cinta percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Cinta tidak berkesudahan."
Sepintas cinta macam itu kelihatan bodoh. Namun, kalau kita bersentuhan dengannya, kita tahu bahwa cinta itulah kekuatan yang sebenarnya.
Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
(Kompas cetak, 30 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®




















Memidana Kekayaan Koruptor (Febri Diansyah)

Oleh Febri Diansyah
Saya teringat Hoegeng, mantan Kapolri era 1968-1972, yang dengan amarah pernah bicara, "Memangnya gaji polisi bisa untuk bermewah-mewah?" Di sisi lain yang sangat kontras, puluhan aset yang diduga dimiliki Irjen Djoko Susilo disita KPK.
Menurut estimasi KPK, DS yang berstatus tersangka korupsi dan pencucian uang ini memiliki kekayaan Rp 100 miliar. Sementara laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) DS per 2010 ketika menjabat Kepala Korlantas Polri "hanya" Rp 5,62 miliar.
Angka yang tidak wajar dan sederet aset yang telah disita itu tentu masih harus dibuktikan di pengadilan. Namun, butir menarik dari serangkaian tindakan hukum yang dilakukan KPK adalah ketika penyitaan mulai dilakukan sistematis setelah DS ditetapkan sebagai tersangka dugaan pencucian uang. Dengan demikian, DS menyandang sekaligus dua "jabatan" tersangka, yakni tersangka korupsi dengan dasar UU No 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 dan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang.
Pemiskinan koruptor
Ini tentu bukan kasus pertama di KPK. Sebelumnya, politisi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, bahkan dijatuhi vonis enam tahun oleh hakim pengadilan tipikor. Wa Ode didakwa korupsi Rp 6,25 miliar dan dijerat dengan UU Pencucian Uang terkait transaksi senilai Rp 50 miliar di rekeningnya.
Dalam proses penyidikan di KPK, tercatat kasus Nazaruddin dan kasus suap daging sapi impor juga dikenakan UU Pencucian Uang. Polri dan kejaksaan bahkan lebih dahulu menerapkan jurus beleid antikorupsi dan pencucian uang ini. Sebut saja para petugas pajak Bahasyim Assifie dan Gayus HP Tambunan. Bahasyim bahkan "hanya" dijerat korupsi Rp 1 miliar, tetapi pencucian uang senilai Rp 64 miliar. Di Mahkamah Agung, Bahasyim divonis 12 tahun penjara dan perampasan kekayaan.
Dengan kata lain, peristiwa hukum terhadap Djoko sesungguhnya punya dasar kuat. Yang menjadikan kasus ini menarik agaknya karena posisi Djoko sebagai salah satu perwira tinggi Polri yang biasanya nyaris tidak tersentuh hukum. Apalagi, kita ingat bagaimana resistannya Polri ketika KPK memulai penyidikan kasus ini dan menggeledah Korlantas Polri. Bahkan, "penyerbuan" sempat terjadi terhadap Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK yang dianggap berperan signifikan dalam membongkar skandal ini.
Jika penanganan kasus ini berhasil, tidak berlebihan kita mengatakan bahwa upaya pemiskinan koruptor akan menemui titik terang. Selama ini, banyak pihak masih meragukan efektivitas pemenjaraan terhadap koruptor. Selain persoalan vonis yang amat rendah, diskon hukuman melalui remisi, dan pembebasan bersyarat, kekayaan koruptor yang masih lebih dari cukup sering kali membuat mereka tetap punya posisi sosial yang kuat. Karena itu, memidana kekayaan yang tidak wajar dibandingkan penghasilan sah adalah sebuah keniscayaan yang dibutuhkan.
Pemidanaan harta kekayaan juga tidak sepenuhnya isu baru. Di Amerika Serikat, penerapan pertama kali UU Anti Pencucian Uang bahkan memosisikan pemerintah melawan dana jutaan dollar yang tidak bertuan. Dengan terminologi illicit enrichment, United Nation Convention Against Corruption (UNCAC, 2003) telah merekomendasikan pemidanaan terhadap peningkatan kekayaan pejabat publik yang tidak wajar tanpa mampu membuktikan bahwa kekayaan diperoleh secara sah dan bukan dari tindak pidana. Bahkan, Inter American Convention Against Corruption sejak 1996 telah mengenal istilah yang sama dengan UNCAC.
Hal ini berarti apa yang dilakukan KPK terhadap Irjen Djoko bukankah sesuatu yang mengada-ada, bahkan menjadi standar internasional yang kuat dan diterima di sistem hukum puluhan negara. Meskipun Indonesia belum mengadopsi secara utuh Pasal 20 UNCAC tentang Illicit Enrichment tersebut, kombinasi UU Antikorupsi dan UU Pencucian Uang dapat digunakan.
Salah satu ketentuan yang dinilai cukup mumpuni adalah adanya kewajiban terdakwa untuk membuktikan kekayaannya bukan berasal dari korupsi, juga penegasan bahwa dalam proses hukum pencucian uang tak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Sebab, memang, pencucian uang adalah pidana yang terpisah. Dengan basis kekayaan yang diduga dari kejahatan, proses penempatan, penyembunyian, dan penggunaannya masuk dalam kualifikasi pencucian uang.
Asumsi menyesatkan
Penegasan ini penting karena belakang mulai muncul asumsi hukum yang bisa menyesatkan, yaitu seolah-olah pidana asal (korupsi) dalam kasus pencucian uang yang ditangani KPK harus dibuktikan barulah hasil kejahatannya dapat dijerat pencucian uang. Rezim anti-pencucian uang di Indonesia dan di banyak negara dunia tidaklah demikian. Pasal 77 UU No 8 Tahun 2010, misalnya, meletakkan kewajiban pembuktian kekayaan bukan dari kejahatan pada terdakwa. Hal ini adalah bentuk murni dari prinsip pembalikan beban pembuktian khusus terhadap asal-usul harta kekayaan. Memang, untuk pemenuhan unsur pasal pidana, jaksa penuntut tetap harus membuktikan unsur-unsur lain. Artinya, perdebatan apakah pembuktian terbalik ini melanggar prinsip-prinsip HAM tidak relevan.
Salah satu pijakan penting dalam pemidanaan harta kekayaan ini adalah kewajaran kekayaan pejabat publik dibandingkan penghasilan yang sah. Sejumlah aturan hukum seperti Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Tahun 1958 sebenarnya pernah mengatur proses hukum terhadap kepemilikan harta benda dari korupsi. Kemudian, pasca-Reformasi kita memiliki UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Salah satu indikator bersih adalah kewajaran kekayaan pejabat negara yang wajib dilaporkan dan kemudian diverifikasi Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.
Dengan kata lain, kecurigaan awal penegak hukum terhadap pejabat negara yang memiliki kekayaan melimpah, apalagi sebagian besar tidak dilaporkan resmi di LHKPN, penting dirawat. Merujuk putusan kasasi kasus Bahasyim di MA, kesenjangan LHKPN dengan kekayaan yang kemudian ditemukan penyidik menjadi satu bagian pembuktian yang penting.
Selain itu, KPK tentu patut mempertimbangkan serius melapis sejumlah pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang tak hanya terkait kasus simulator, tetapi juga dapat menggunakan Pasal 12B tentang gratifikasi yang dianggap suap. Selain tak pernah dilaporkan kepada KPK—padahal pelaporan merupakan kewajiban penyelenggara negara, ketentuan Pasal 12B ini juga menganut prinsip pembuktian terbalik untuk gratifikasi di atas Rp 10 juta.
Tentu kita berharap kombinasi penerapan UU Anti Korupsi dan UU Pencucian Uang dapat menjadi standar yang berlaku untuk semua kasus yang ditangani KPK. Demikian juga upaya membongkar skandal "rekening gendut" 23 perwira Polri ataupun 2.000 transaksi keuangan mencurigakan di Badan Anggaran DPR. Sudah saatnya KPK membidik kekayaan haram para koruptor dan memiskinkan mereka melalui proses hukum.
Febri Diansyah Pegiat Antikorupsi; Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
(Kompas cetak, 30 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Jamu sebagai Warisan Budaya Dunia (Jaya Suprana)

Oleh Jaya Suprana
Hati saya berbunga-bunga ketika mendengar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan resmi mempersiapkan jamu untuk diajukan ke UNESCO, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB. Diharapkan, jamu menjadi warisan budaya dunia karya bangsa Indonesia.
Perjuangan mengusung jamu menjadi intangible cultural heritage barulah awal perjalanan panjang untuk meyakinkan panitia penilai UNESCO. Di samping harus menempuh antrean panjang karena setiap tahun UNESCO hanya mengakui maksimal satu warisan kebudayaan tak-benda dari setiap negara anggota, ikhtiar Kemdikbud juga akan sia-sia tanpa dukungan terpadu segenap pelaku dan pemerhati jamu, dari penjaja jamu gendong, peramu jamu, petani tanaman jamu, pengusaha jamu, hingga pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan.
Para pelaku usaha jamu harus mampu meyakinkan UNESCO, jamu benar-benar bagian integral kebudayaan bangsa Indonesia di bidang kesehatan, kecantikan, dan kebahagiaan sehingga layak dinobatkan sebagai salah satu intangible cultural heritage setara dengan keris, batik, angklung, tari saman, dan lain-lainnya. Para penyaji jamu gendong harus benar-benar disiplin menjaga kebersihan dan keamanan produknya. Para pelaku industri jamu harus menjunjung tinggi hak konsumen untuk memperoleh informasi produk yang benar.
Para pelaku industri jamu wajib menghentikan angkara murka memproduksi dan memasarkan produk jamu yang dicampur bahan-bahan farmasi dan kimiawi karena membahayakan konsumen! Segenap perilaku buruk yang mencemarkan citra jamu harus dilenyapkan.
Dokter dan apoteker
Para dokter dan apoteker Indonesia yang masih antijamu seyogianya menahan diri dalam melecehkan jamu sebagai sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan "keilmiahan"-nya. Mereka sebaiknya membuka nurani untuk lebih mau memahami dan menghargai jamu sebagai karsa dan karya kebudayaan bangsa Indonesia.
Para dokter dan apoteker tidak perlu memaksakan diri menggunakan jamu dalam penunaian tugas pelayanan kesehatannya. Cukup tak merendahkan harkat dan martabat jamu sudah sangat membantu. Sama halnya para musisi Indonesia yang dididik secara akademis musik Barat sehingga kadang kurang menghargai para musisi tradisional.
Mahakarya lukisan Raden Saleh, yang sempat menempuh pendidikan seni rupa di Eropa, tidak lebih adiluhung dibandingkan relief-relief di Candi Borobudur ataupun Prambanan. Para antropolog dan ilmuwan kebudayaan masa kini menyadari, di marcapada ini sebenarnya tidak ada kebudayaan suatu bangsa yang bisa dinilai lebih unggul atau lebih rendah ketimbang kebudayaan bangsa lain.
Paham diskriminasi mutu kebudayaan hanya dijabarkan kaum imperialis dan kolonialis demi meruntuhkan ketahanan kebudayaan bangsa yang mereka jajah agar lebih mudah dijajah. Industri farmasi di Indonesia tidak perlu khawatir tersaingi sehingga tidak perlu menghambat pengakuan UNESCO.
Jamu sama sekali bukan ancaman bagi industri farmasi. Seyogianya pembuktian ilmiah terhadap jamu tidak dipaksakan dengan hanya menggunakan kaidah kebudayaan asing, tetapi dengan lebih memperhatikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia.
Pembuktian ilmiah bisa lebih difokuskan kepada upaya mengeliminasi risiko dan dampak buruk produk jamu dan pengobatan tradisional Indonesia terhadap kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan bisa memosisikan jamu setara dengan farmasi dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Jamu bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, dan tak secara langsung dimusnahkan dengan mengganti nama menjadi herbal.
Kebudayaan
Para cendekiawan dan budayawan bisa berperan dalam menjalin kesepakatan mengenai definisi jamu. Memang, jamu akan diajukan ke UNESCO bukan dalam bentuk terpenggal-penggal, misalnya hanya jamu jawa atau jamu bali, tetapi benar-benar dalam satu kenusantaraan.
Mari kita bersama-sama menginventarisasi seluruh jenis jamu dari barat sampai ke timur, mulai dari jamu aceh, jamu padang, jamu palembang, jamu sunda, jamu jawa , jamu madura, jamu bali, dan seterusnya sampai jamu papua.
Perbendaharaan jamu di segenap pelosok Nusantara berpotensi memperkokoh landasan dan pilar kebudayaan yang menopang dan melandasi jamu, seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika, beraneka tetapi bersatu-padu sebagai suatu kesatuan mahakarsa dan mahakarya kebudayaan bangsa Indonesia. Inilah yang dipersembahkan bagi kesehatan, kecantikan, dan kebahagiaan umat manusia sehingga meyakinkan panitia penilai UNESCO.
Jaya Suprana Pencinta Kebudayaan Indonesia
(Kompas cetak, 30 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Optimisme dalam Kewaspadaan (Mirza Adityaswara)

Oleh Mirza Adityaswara
Pasar keuangan sedang bergairah. Per 6 Maret, dibandingkan awal tahun, indeks bursa saham Indonesia mencetak rekor, meningkat 12 persen ke 4.825.
Demikian pula halnya di pasar dunia. Indeks bursa saham New York meningkat 9 persen ke 14.296. Ini artinya telah menembus tingkat tertinggi yang pernah dicapai tahun 2007.
Indeks bursa saham Nikkei Jepang juga naik 15 persen sejak awal tahun ke 11.932. Indeks bursa saham Financial Times London membukukan keuntungan 9 persen ke 6.428 pada periode yang sama.
Apakah ekonomi dunia memang sedemikian cemerlang sehingga investor pasar modal juga menjadi sedemikian optimistis?
Perlu diketahui, harga di pasar modal bergerak karena ada ekspektasi. Pergerakan harga di pasar modal cenderung overshoot (berlebihan), yaitu saat kondisi positif akan optimistis berlebihan dan saat kondisi negatif akan pesimistis berlebihan.
Apakah indeks bursa saham sudah melebihi nilai fundamental ekonomi dan melebihi kinerja fundamental korporasi Indonesia? Sulit menjawabnya.
Masih wajar
Valuasi saham saat ini dengan metode price to earning ratio (PER) adalah 15 kali. Nilai ini bukan lagi murah, melainkan juga belum sangat mahal. Berhubung momentum laju pertumbuhan ekonomi dan kinerja laba korporasi Indonesia masih menunjukkan angka pertumbuhan lebih tinggi daripada tahun lalu, kenaikan harga saham saat ini tampaknya masih wajar.
Realisasi pertumbuhan ekonomi serta laba korporasi Indonesia pada kuartal IV tahun 2012 serta ekspektasi kinerja pada semester I-2013 masih menunjukkan tren yang mendukung optimisme tersebut. Data ekonomi dunia juga menunjang ekspansi ekonomi di Amerika, Jepang, dan stabilisasi di Eropa.
Di Amerika, jumlah orang yang mendapatkan pekerjaan pada Februari meningkat menjadi 238.000. Padahal, dalam enam bulan terakhir, penambahan tenaga kerja hanya 187.000 per bulan. Angka pengangguran di Amerika terus membaik menjadi 7,7 persen.
Meskipun demikian, kondisi ini masih jauh dibanding kondisi ekonomi Amerika saat booming tahun 2005, dengan angka pengangguran hanya 5,3 persen. Optimisme ini membuat para ekonom memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika tahun ini bisa mencapai 3 persen: jauh lebih tinggi daripada prediksi IMF yang hanya 2 persen.
Data ekonomi Jepang juga menunjukkan penguatan. Pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal IV-2012 tumbuh 0,2 persen, padahal sebelumnya diprediksi minus 0,4 persen. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Jepang secara keseluruhan pada 2012 adalah 2,0 persen dan diprediksi tumbuh 2,5 persen tahun 2013. Ini suatu tingkat yang baik untuk ekonomi yang selama dua dekade dilanda resesi.
Pasar keuangan bergairah dengan arah kebijakan Perdana Menteri Jepang yang baru, Shinzo Abe, yang menginginkan kebijakan moneter longgar serta mata uang yen lemah untuk menunjang ekspor Jepang.
Di Eropa tampaknya situasi ekonomi mulai stabil, tetapi masih jauh dari memuaskan. Kepercayaan di Eropa masih bergantung pada injeksi likuiditas bank sentral. Jerman, dengan kondisi ekonomi terbesar di Eropa setelah pertumbuhan negatif 0,6 persen kuartal terakhir tahun 2012, diperkirakan akan mulai pulih dengan tumbuh surplus 0.4 persen pada kuartal pertama tahun ini dan tumbuh 0,9 persen pada keseluruhan tahun 2013.
Adapun Perancis, sebagai ekonomi kedua terbesar di Eropa, diperkirakan mencetak pertumbuhan surplus, tetapi hanya 0,1 persen di kuartal I tahun ini setelah mengalami kontraksi pada kuartal IV tahun lalu.
Masih berat
Negara dengan krisis ekonomi seperti Yunani masih mengalami periode sangat berat, yaitu pertumbuhan ekonomi negatif 6,4 persen tahun 2012. Ini pun setelah kontraksi ekonomi 7,1 persen tahun 2011. Bahkan, pada tahun 2013, ekonomi Yunani diperkirakan akan mengalami pertumbuhan minus 4,5 persen.
Walaupun ekonomi di Yunani, Portugal, dan Spanyol masih sulit, investor melihat kondisi tidak akan lebih buruk lagi sehingga beberapa investor sudah berani berinvestasi di pasar keuangan. Itu terbukti dengan membaiknya imbal hasil (yield) surat utang jangka 10 tahun Yunani, dari 30 persen pada April 2012 menjadi 11 persen pada Maret 2013. Pembaikan signifikan juga terjadi pada yield obligasi Pemerintah Portugal dan Spanyol.
Negara kita pernah mengalami periode sulit seperti Yunani, yaitu saat krisis ekonomi 1998-1999. Terpuruknya ekonomi Eropa disebabkan oleh pengelolaan ekonomi buruk, yaitu banyak utang, defisit anggaran, dan perbankan yang terlalu agresif. Kita jangan bermain-main dengan pengelolaan stabilitas ekonomi makro karena jika suatu negara tidak dipercaya oleh pasar keuangan, harga yang harus dibayar sangat mahal.
Yunani perlu waktu sekitar 10 tahun agar ekonominya dapat kembali pada kondisi sebelum 2008. Hal yang sama dialami Indonesia setelah krisis ekonomi tahun 1998. Jadi, kita tetap harus waspada.
Kondisi Indonesia
Saat ini ekonomi Indonesia melaju cukup kencang (6,2 persen) meski di semester II tahun lalu terjadi perlambatan kinerja sektor komoditas tambang dan perkebunan. Harga ekspor komoditas tambang dan perkebunan tahun lalu menurun, yang kemudian berakibat pada penurunan penerimaan pajak nonmigas tahun 2012.
Namun, seiring pemulihan ekonomi China, diharapkan permintaan terhadap komoditas tambang dan energi akan meningkat meski sulit kembali cemerlang seperti 2005-2007. Saat itu ekonomi China tumbuh di atas 10 persen per tahun.
Di tengah situasi ekonomi negara maju yang belum optimal dan pemimpin China generasi baru yang tidak ingin menciptakan gelembung ekonomi (bubble), maka ekonomi China diperkirakan cukup nyaman dengan pertumbuhan 8,5-9,5 persen lima tahun ke depan.
Karena sektor komoditas tambang dan perkebunan mengalami moderasi, agar neraca perdagangan tetap surplus, Indonesia harus mendiversifikasi produk ekspor dan menekan impor yang tidak perlu. Impor barang modal diperlukan, impor bahan mentah dan bahan penolong juga masih diperlukan karena kita tidak mampu memproduksi dengan cukup di dalam negeri.
Namun, masalah serius adalah impor minyak. Meningkatnya konsumsi BBM di dalam negeri akibat terlalu murahnya harga BBM bersubsidi telah membuat neraca perdagangan dan neraca barang serta jasa mengalami defisit sehingga menyedot cadangan devisa. Kenaikan signifikan di subsidi BBM telah membuat utang pemerintah meningkat, padahal konsumsi BBM sebagian besar oleh golongan mampu. Tanpa koreksi, pasti akan jadi beban pemerintah pasca-2014.
Untungnya aliran modal asing langsung (PMA) mengalami peningkatan dan aliran modal portofolio tetap mengalir masuk ke Indonesia. Namun, agar kita tidak mengalami krisis ekonomi seperti Yunani, sebaiknya subsidi BBM dikurangi agar defisit di neraca perdagangan dan neraca fiskal dapat segera teratasi.
Mirza Adityaswara Ekonom, Pengurus ISEI Pusat
(Kompas cetak, 30 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


























Salah Persepsi Otonomi Perguruan Tinggi (Herry Suhardiyanto)

Oleh Herry Suhardiyanto
Opini Thee Kian Wie di Kompas (21/3) menyebutkan keberatan Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro dan Prof Sofian Efendi terhadap RUU yang menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Sebetulnya keberatan mereka adalah ketika RUU tersebut belum mengakomodasi kebutuhan otonomi perguruan tinggi badan hukum. Setelah RUU tersebut disempurnakan dan disahkan oleh DPR menjadi UU yang mencantumkan opsi Perguruan Tinggi Negeri badan hukum (PTN bh) justru mereka sangat mendukung UU tersebut.
Sebetulnya, Kompas (6/3) tepat menurunkan Tajuk Rencana tentang otonomi perguruan tinggi dengan mengusulkan agar UU tersebut tidak dibatalkan. Memang opini tentang otonomi perguruan tinggi sedang menghangat, tetapi sering diwarnai dengan persepsi yang salah.
Kesalahan persepsi
Mengapa otonomi perguruan tinggi dipersoalkan? Jawabannya adalah karena salah persepsi tentang otonomi perguruan tinggi. Salah persepsi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat, tetapi juga pimpinan PTN. Masyarakat mengira implementasi otonomi perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan PTN menganggap otonomi perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana peningkatan mutu dengan menggalang dana dari mahasiswa.
Otonomi bukanlah komersialisasi. Karena itu, hal-hal yang dapat membuat masyarakat salah paham, seperti formulir kesanggupan menyumbang, harus ditiadakan. Orangtua
mencantumkan kesanggupan membayar yang lebih besar karena beranggapan bisa membuka peluang lebih besar agar anaknya diterima sebagai mahasiswa baru.
Calon mahasiswa yang tidak diterima pun bisa berpersepsi bahwa angka sumbangan yang diisikan dalam formulir terlalu kecil. Padahal, sangat boleh jadi dia tidak diterima memang karena nilai ujiannya tidak masuk nilai persyaratan terendah program studi pada PTN yang bersangkutan.
Kebijakan pemerintah tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan jawaban atas persoalan ini. Dengan UKT, tidak ada lagi uang pangkal atau sebutan lain yang harus dibayar mahasiswa pada proses penerimaan mahasiswa baru. Kebijakan ini menentukan bahwa jumlah dana pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa setiap semester adalah sama selama studi.
Akses dan mutu
Mengenai akses dan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, bangsa kita dapat memilih satu dari empat pilihan, yaitu (1) akses sempit dan mutu rendah, (2) akses luas dan mutu rendah, (3) akses sempit dan mutu tinggi, dan (4) akses luas dan mutu tinggi. Pilihan 1, 2, dan 3 tidak sesuai dengan UUD 1945.
Pilihan 2, yaitu membuka akses yang seluas-luasnya tanpa peningkatan mutu pendidikan, merupakan pilihan yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menghasilkan lulusan sebanyak-banyaknya, tetapi tidak kompeten. Pilihan 3, mencapai mutu tinggi dengan cara menggantungkan pendanaan dari mahasiswa, mempersempit akses pendidikan. Pilihan ini akan mengakibatkan pendidikan tinggi di PTN hanya dinikmati kaum elite secara ekonomi.
Pilihan yang sesuai konstitusi adalah pilihan 4, yaitu akses yang luas pada pendidikan bermutu tinggi. Pilihan ini sejalan dengan cita-cita kemerdekaan para pendiri negara kita sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini sejalan dengan pandangan peran perguruan tinggi sebagai wahana penempaan calon pemimpin bangsa.
Otonomi sebagai solusi
Tujuan perluasan akses adalah semangat mewujudkan pendidikan untuk semua. Masalah yang sering dihadapi adalah persoalan keterjangkauan. Solusinya adalah komitmen pemerintah dalam menetapkan alokasi anggaran memadai sebagaimana sudah dilaksanakan dengan program Bantuan Pendidikan untuk Mahasiswa Miskin (Bidikmisi), Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri, beasiswa, dan sebagainya.
Selain itu, perlu ada peraturan tegas tentang kontribusi maksimum biaya pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Karena itu, cara pandang menangani persoalan akses dengan menghapus otonomi PTN badan hukum adalah tidak relevan dan salah alamat. Hal ini seperti memanen padi dengan peniti.
Tujuan peningkatan mutu adalah terwujudnya keunggulan akademik dan relevansi terhadap kebutuhan masyarakat. Tantangan yang harus dihadapi adalah proses transformasi PTN dalam membangun atmosfer akademik yang baik, tata kelola yang sehat, dan penerapan prinsip-prinsip manajemen modern yang berlaku universal. Otonomi memungkinkan terjadinya perubahan budaya kerja yang berorientasi pada peningkatan mutu untuk melahirkan prestasi tinggi dan kinerja unggul.
Kunci keberhasilan PTN adalah proses pengambilan keputusan secara bermartabat dan partisipatif berdasarkan kebenaran yang berbasis data dan fakta. Dalam PTN bh, terbuka kesempatan bagi masyarakat untuk berperan dalam proses tata kelola melalui anggota Majelis Wali Amanat (MWA). MWA memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan penting, seperti Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan, termasuk mengangkat dan memberhentikan rektor.
Lalu, mengapa harus ada opsi PTN bh? Jawabannya adalah karena peran masyarakat hanya mungkin terwujud bila ada opsi PTN bh sebagaimana dinyatakan dalam UU. Badan hukum dimaknai sebagai fungsi dan bukan bentuk, sebagaimana amar putusan MK yang membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan.
Herry Suhardiyanto Rektor Institut Pertanian Bogor; Sekretaris Jenderal Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI)
(Kompas cetak, 30 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Kamis, 28 Maret 2013

Keberpihakan Pemerintah (Tajuk Rencana Kompas)

Perkeretaapian menjadi berita. Lebih dari 2.000 orang memblokade jalur kereta api di Stasiun Bekasi. Mereka menolak penghapusan KRL Ekonomi.
Blokade pada Senin lalu mengakibatkan perjalanan kereta api dari Bekasi batal. Pengunjuk rasa menolak rencana direksi PT KAI menghapuskan KRL ekonomi lintas Bekasi-Serpong per 1 April 2013 dan KRL ekonomi lintas Bogor pada 1 Juni 2013. Direksi PT KAI memang berencana menghapuskan KRL Ekonomi karena kondisi armadanya sudah tidak memadai. Tarif KRL ekonomi Rp 1.000-Rp 2.000, sedangkan tarif KRL nonsubsidi Rp 7.000-Rp 9.000. Kebijakan inilah yang diprotes pengguna KRL ekonomi. Berpindah dari KRL ekonomi ke KRL nonsubsidi memang berat bagi penumpang dengan penghasilan pas-pasan.
Setelah diberitakan media, protes itu ditanggapi sejumlah komentar. Sayangnya, sikap pejabat pemerintah yang seharusnya satu itu tak satu pandangan. Kita kutip pernyataan Dirjen Perkeretaapian Tundjung Inderawan di media massa. Tundjung meminta PT KAI menunda lebih dahulu penghapusan KRL ekonomi sampai kebijakan tiket elektronik berjalan.
Di sisi lain, Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) melalui Deputi V UKP4 Nirarta Samadhi justru mendukung kebijakan PT KAI menghapus KRL ekonomi karena armadanya sudah tidak memadai.
Direktur PT KAI Ignasius Jonan patuh atas permintaan Dirjen Perkeretaapian untuk menunda penghapusan KRL ekonomi. Namun, Jonan meminta agar permintaan Dirjen Perkeretaapian itu disampaikan tertulis kepada PT KAI. Permintaan Jonan masuk akal karena PT KAI sebenarnya hanya menjalankan kontrak penugasan dari Dirjen Perkeretaapian. Perintah tertulis itu tentunya bukan sekadar perintah, tetapi juga menuntut tanggung jawab operasional dan finansial, termasuk di dalamnya meningkatkan anggaran pelayanan publik.
Perbedaan pandangan antarpejabat terjadi akibat tak baiknya hubungan antar-institusi yang akhirnya mengorbankan rakyat. Menyediakan transportasi publik yang nyaman dan aman tidak hanya tanggung jawab PT KAI, tetapi juga pemerintah. Manajemen PT KAI yang terus memperbaiki pelayanan dan hasilnya sudah bisa dirasakan hanyalah operator yang menjalankan kebijakan pemerintah. Namun, harus disadari, PT KAI adalah BUMN.
Di sinilah sebenarnya fokus gugatan kita, di mana sebenarnya keberpihakan pemerintah dalam hal pengelolaan transportasi publik. Jika pemerintah mampu dan mau memberikan subsidi bahan bakar minyak sampai Rp 175 triliun, mengapa subsidi untuk perkeretaapian tidak bisa ditingkatkan. Padahal, menurut pengamat perkeretaapian Djoko Setijowarno, di harian ini, 93 persen BBM bersubsidi dinikmati kendaraan pribadi. Jika Rp 175 triliun subsidi BBM bisa diberikan, seharusnya subsidi untuk transportasi publik yang dinikmati rakyat kecil sepatutnya juga bisa ditingkatkan.
(Tajuk Rencana, Kompas, 28 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®




Konferensi Bali dan Masyarakat Sipil (Rekson Silaban)

Oleh Rekson Silaban

Ratusan aktivis masyarakat sipil dari beberapa negara akan berada di Bali, akhir Maret ini, dalam Konferensi Agenda Pembangunan Pasca-2015.
Semenjak Konferensi Panel Tingkat Tinggi (High-Level Panel/HLP) di Busan, Korea, kelompok masyarakat sipil diberikan akses untuk mengikuti pertemuan tingkat tinggi agenda pembangunan pasca-2015 Millenium Development Goals (MDGs). Keterlibatan kelompok ini diakui telah memperkaya perdebatan dalam persiapan perumusan dokumen MDGs pasca-2015. Masyarakat sipil juga tidak mau mengulang rumusan MDGs sebelumnya, yang tidak memuat isu hak asasi manusia, pekerjaan layak, skema pembiayaan pembangunan, tiadanya target yang jelas pada isu lingkungan, dan mengabaikan keterlibatan masyarakat sipil.
Tinggal tersisa tiga tahun untuk merealisasikan capaian MDGs. Terdapat beberapa target yang telah tercapai atau setidaknya akan tercapai, tetapi terdapat juga beberapa target yang tidak akan bisa dipenuhi pada tahun 2015. Untuk Indonesia, beberapa target yang menjadi agenda yang belum terselesaikan—antara lain—adalah masih pesatnya laju deforestasi, target sanitasi di daerah perkotaan dan pedesaan, dan upaya mengekang angka kematian ibu.
Menurut laporan Bappenas, pada pencapaian MDGs 2010 angka kematian ibu adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, sementara yang menjadi target MDGs adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup. Masyarakat sipil pesimistis bahwa Indonesia dapat mencapai target MDGs pada tahun 2015.
Harus ubah paradigma
Keterlibatan masyarakat sipil dalam Konferensi Agenda Pembangunan Pasca-2015 merupakan sebuah perjuangan perebutan konsep atau gagasan pembangunan. Inilah momentum buat masyarakat sipil untuk mengubah paradigma model pembangunan yang selama ini didominasi rezim pertumbuhan ekonomi. Masyarakat sipil sangat perlu untuk dapat memperkuat argumentasi, memperbaiki strategi komunikasi melalui riset, advokasi, dan kampanye yang lebih baik.
Dalam pertemuan konsultasi masyarakat sipil pada Februari lalu disepakati perlunya menggugat prestasi ekonomi yang sering kali dibanggakan Pemerintah Indonesia sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. Sebab, apa yang dimaksud sebagai prestasi tersebut belum bisa menggambarkan situasi nyata yang ada di masyarakat.
Masyarakat sipil Indonesia tidak menemukan bukti-bukti yang memadai bahwa pertumbuhan yang inklusif dan menjamin pemerataan telah terjadi. Fakta-fakta peningkatan kesenjangan, akses yang sulit untuk mendapatkan pendidikan murah, kelangkaan pekerjaan yang layak, telah meyakinkan banyak pihak bahwa harus ada perubahan dalam orientasi pembangunan.
Oleh karena itu, ke depan, semua upaya dan langkah pembangunan di Indonesia dan dunia mesti dimaksudkan untuk menghapus kemiskinan dengan menetapkan target dan indikator yang jelas. Target ini dibuat dan diawasi melalui keterlibatan masyarakat sipil.
Selama ini, Pemerintah Indonesia selalu menyatakan optimisme mengenai pembangunan dengan indikator-indikator kuantitatif. Keberhasilan Indonesia mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen saat krisis finansial global diakui oleh institusi keuangan internasional sebagai bentuk kokohnya fundamental ekonomi Indonesia. Ditambah lagi dengan keberhasilan meningkatkan investasi asing dalam dua tahun terakhir ini, membuat seolah telah terjadi perbaikan kesejahteraan secara paralel. Akan tetapi, nyatanya tidak memiliki korelasi langsung dengan kehidupan mayoritas rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, semua upaya dan langkah pembangunan yang berorientasi pertumbuhan mesti beralih pada pembangunan berkelanjutan untuk mengakhiri kemiskinan. Namun, tanpa perubahan paradigma model pembangunan, Indonesia dan dunia tidak akan mencapai target yang ditetapkan. Bahkan, hanya mengulang kesalahan yang sama.
Bank Dunia sendiri, yang selama ini dianggap kampiun pendukung rezim pertumbuhan ekonomi, telah mengakui kekurangan sistem itu. Dalam laporan Bank Dunia yang dirilis awal 2013 dikatakan, "Pertumbuhan memang penting, tetapi tidak cukup untuk pembangunan yang inklusif. Pembangunan laju ketenagakerjaan kunci yang menjembatani antara pertumbuhan dan penurunan kemiskinan. Pekerjaan yang banyak dan berkualitas tidak mungkin dicapai hanya melalui satu dimensi tunggal, yaitu agenda pertumbuhan."
Dari pertemuan masyarakat sipil di Istanbul, Turki, tahun 2010, masyarakat sipil juga telah menyepakati prinsip yang akan jadi pegangan masyarakat sipil di seluruh dunia dalam rangka menghadapi kerja sama agenda pembangunan. Agenda itu dikenal sebagai Istanbul CSO Development Effectiveness Principles. Berisi delapan hal, yaitu; (1) memajukan HAM dan keadilan sosial; (2) memperhatikan dimensi gender dalam memajukan hak-hak perempuan; (3) fokus pada kekuatan rakyat, kepemilikan terhadap demokrasi dan partisipasi; (4) memajukan lingkungan yang berkesinambungan; (5) menerapkan praktik transparansi dan akuntabilitas; (6) memacu pertumbuhan yang seimbang, kemitraan dan solidaritas; (7) menciptakan pengetahuan dengan saling berbagi dan komit terhadap pelajaran yang saling menguntungkan; dan (8) komit merealisasikan perubahan positif yang berkelanjutan. Inilah delapan prinsip yang menjadi pegangan masyarakat sipil dalam mengefektifkan kerja sama pembangunan negara Utara-Selatan.
Perumusan target
Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam penyusunan kerangka kerja pasca-2015, antara lain tentang kerangka kerja dan rumusan target yang sedang dipersiapkan saat ini. Akibat situasi krisis ekonomi, terutama yang dialami negara-negara maju dan ketersediaan sumber daya alam yang semakin terbatas di dunia pertama, kekuatan global politik dan ekonomi dunia juga telah berubah dan tidak lagi didominasi kelompok negara-negara maju. Pada sisi lain, peta kemiskinan dan ketimpangan juga mulai berubah, tak lagi didominasi negara-negara miskin, tetapi justru berada di negara-negara berpendapatan menengah.
Mengacu pada tantangan-tantangan tersebut, penyusunan kerangka kerja pasca-2015 menjadi sangat penting bagi Indonesia. Hal ini terkait dengan beberapa alasan, di antaranya bahwa Indonesia telah berkembang menjadi negara yang harus diperhitungkan, mengingat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan populasi yang cukup besar. Indonesia juga merupakan pasar yang prospektif untuk perdagangan barang dan jasa. Pengalaman Indonesia juga menunjukkan, perbaikan-perbaikan dalam pembangunan di Indonesia dapat dipengaruhi dan didukung kesepakatan-kesepakatan global.
Penunjukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua dalam Konferensi Panel Tingkat Tinggi oleh Sekretaris Jenderal PBB kita pandang sebagai peristiwa istimewa. Sebab, Indonesia berpeluang memasukkan perspektif masyarakat sipil yang menghargai inklusivitas, kemitraan, kesetaraan, dan keadilan serta penghargaan terhadap hak-hak kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Semoga tekad Presiden SBY untuk menciptakan zero global poverty rate tidak hanya menjadi pernyataan heroik tanpa capaian yang konkret dan terukur.
Rekson Silaban Anggota Dewan Pengarah Organisasi Buruh Internasional
(Kompas cetak, 28 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
















Redesain Relasi Negara-Masyarakat (MUNAFRIZAL MANAN)

Oleh MUNAFRIZAL MANAN
Infrastruktur yuridis untuk melakukan redesain relasi negara-masyarakat telah dan sedang disiapkan oleh legislator. DPR dan pemerintah tampaknya bersepakat untuk membuat undang-undang yang memperkuat negara dan memperlemah masyarakat.
Alasan menjustifikasi urgensi pembentukan legislasi tersebut sepintas masuk akal. Namun, legislator gagal meyakinkan masyarakat sipil dan tidak memperoleh dukungan dari mereka. Sebab, paradigma yang dianut legislator adalah memperkuat negara dan memperlemah masyarakat.
Eksperimen pertama memperkuat negara atas masyarakat adalah melalui UU Intelijen Negara. Draf rancangan UU ini memberikan wewenang besar kepada intelijen negara. Setelah merevisi beberapa klausul krusial dalam RUU itu—karena mendapat kritik dan resistensi dari sejumlah kalangan—legislator akhirnya mengesahkannya. Sejumlah elemen masyarakat sipil menguji UU ini di Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menolak mengabulkan pengujian UU tersebut.
Intelijen negara kini punya sandaran yuridis mengintensifkan aktivitas memonitor masyarakat. Masalahnya, bagaimana memastikan aktivitas intelijen dilakukan semata-mata untuk kepentingan negara, bukan kepentingan politik penguasa. Belum lama ini, Presiden SBY menyatakan mendapat informasi dari intelijen terkait upaya membuat gonjang-ganjing politik yang dilakukan oleh sebagian elite politik dan kelompok tertentu.
Pernyataan ini menyusul ditetapkannya Anas Urbaningrum sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan berkunjungnya sejumlah politisi partai dan tokoh nonpartai ke rumahnya (Kompas 4/3, halaman 2). Sulit membedakan laporan intelijen kepada Presiden itu untuk kepentingan negara atau untuk kepentingan politik Presiden yang juga sebagai petinggi Partai Demokrat.
Seolah berpacu dengan waktu, legislator menambah infrastruktur yuridis lain untuk memperkuat negara dan memperlemah masyarakat. Program Legislasi Nasional 2013 bersikukuh meloloskan RUU Keamanan Nasional, RUU Organisasi Kemasyarakatan, dan RUU Rahasia Negara. Padahal, tiga RUU ini menyulut kontroversi dan ditolak oleh sejumlah elemen masyarakat sipil.
Represi negara
Menyisir pasal demi pasal tiga draf RUU ini, tampak jelas perancangnya mengusung misi memperkuat negara dan memperlemah masyarakat. RUU Keamanan Nasional berpotensi memberangus kebebasan sipil, membungkam suara kritis publik, dan memfasilitasi represi negara atas masyarakat. RUU Organisasi Kemasyarakatan mengusik kebebasan berserikat dan menuntut kepatuhan organisasi masyarakat kepada negara. RUU Rahasia Negara berdaya mempersempit ruang keterbukaan informasi publik.
Sukses strategi meloloskan UU Intelijen Negara tampaknya dipakai untuk meloloskan ketiga RUU tersebut. Draf RUU sengaja memberi wewenang besar kepada negara. Karena alasan citra politik, DPR kemudian akan melakukan penghalusan atas klausul-klausul krusial, tetapi akhirnya tetap menyetujui memperkuat negara dan memperlemah masyarakat.
Peta kekuatan politik di DPR yang didominasi enam fraksi anggota Sekretariat Gabungan Partai Politik Pendukung Pemerintah sangat mungkin menyetujui pengesahan tiga RUU itu. Karena itu, ketiga RUU di atas beserta UU Intelijen akan menjadi paket UU yang ampuh mendesain ulang pola relasi negara-masyarakat.
Posisi negara kuat pada masa Orde Baru telah dilucuti sejak era Reformasi bergulir tahun 1998. Berbagai infrastruktur yuridis yang dibuat bertujuan mengurangi kekuasaan negara, khususnya lembaga eksekutif, dan memperkuat masyarakat. Secara langsung, penguatan masyarakat dilakukan dalam bentuk jaminan tertulis hak asasi manusia dan hak konstitusional.
Secara tidak langsung, penguatan masyarakat dilakukan melalui revitalisasi lembaga legislatif sebagai representasi wakil rakyat dan lembaga yudisial sebagai pelaku kekuasaan kehakiman untuk menegakkan negara hukum demokratis.
Menyusul ambruknya pilar- pilar kekuasaan otoritarian Orde Baru, gigantisme kekuasaan negara menyusut drastis, tetapi tidak takluk. Pada saat bersamaan, masyarakat mengalami penguatan vis-à-vis negara, tetapi kekuatan masyarakat tak kuasa mengambil alih kepemimpinan negara. Negara sekadar mengalami defisit legitimasi untuk terus mendominasi dan menghegemoni masyarakat karena dipretelinya infrastruktur yuridis otoritarianisme.
Selama periode transisi menuju demokrasi, pola hubungan negara-masyarakat ditandai oleh ketegangan di antara kedua belah pihak. Namun, masing-masing pihak tidak mampu mendominasi dan menghegemoni pihak lain. Keduanya memiliki daya tangkis dan daya tahan sejajar karena sama-sama mengalami penguatan relatif dan pelemahan relatif (Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite, 2005).
Gelagat reotoritarianisme
Dalam batas tertentu, pola relasi negara-masyarakat sekarang mulai mendekati idealisasi prinsip demokrasi, yaitu posisi negara dan masyarakat seimbang. Demokrasi tidak menghendaki negara terlalu kuat karena akan menciptakan otoritarianisme. Demokrasi juga menolak masyarakat terlalu kuat karena akan mengobarkan anarkisme. Demokrasi menghendaki negara dan masyarakat secara seimbang sama-sama kuat agar berlangsung mekanisme checks and balances di antara keduanya. Mekanisme checks and balances tidak hanya penting antarlembaga negara, tetapi juga antara negara dan masyarakat.
Praktik demokrasi mensyaratkan keseimbangan hubungan antara negara dan masyarakat. Pola relasi negara-masyarakat seperti inilah yang dapat menjamin demokrasi berlangsung persisten. Ketika negara menginisiasi legislasi untuk memperkuat negara dan memperlemah masyarakat, saat itulah prinsip demokrasi tercederai. Paket UU di atas menggoyang bandul keseimbangan pola hubungan negara-masyarakat. Paket undang-undang itu dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik atau mempertahankan kekuasaan oleh penguasa sekarang atau berikutnya.
Alih-alih menciptakan keamanan nasional dan tertib sosial, paket UU ini justru menjadi sumbu pemicu hubungan negara-masyarakat konfliktual pada masa datang. Hukum sejarah menunjukkan, jika negara menjadi lebih kuat daripada masyarakat, cepat atau lambat akan muncul resistensi masyarakat mengembalikan keseimbangan itu. Membiarkan negara menjadi lebih kuat atas masyarakat sama artinya mempersilakan negara menjelma otoriter. Pengalaman panjang dibelenggu otoritarianisme telah mengasah sensitivitas masyarakat akan bahaya gelagat reotoritarianisme.
MUNAFRIZAL MANAN Dosen FISIP Universitas Al-Azhar, Indonesia
(Kompas cetak, 28 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Rabu, 27 Maret 2013

Membangun Kembali Kepercayaan (Tajuk Rencana Kompas)

Beberapa waktu terakhir, masyarakat menyaksikan peristiwa yang mengguncang dan membingungkan karena sulit dicerna nalar.
Sabtu pekan lalu, terjadi penembakan empat tersangka pembunuhan di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta, oleh sekelompok orang yang ditengarai sangat terlatih. Kemudian, disusul rumor yang sumbernya dari Istana tentang gerakan menurunkan pemerintahan pada Senin lalu yang kemudian ternyata hanya unjuk rasa sporadis.
Pada Kamis (7/3) lalu, sekelompok oknum TNI AD menyerbu Markas Polres Ogan Komering Ulu. Sehari sebelumnya, ditemukan mayat perempuan yang dimutilasi dan dibuang di tepi jalan dengan pelaku suami korban. Daftar kekerasan banal itu masih dapat diperpanjang.
Sejumlah kejadian itu tampak seperti tidak saling berhubungan. Namun, bila dilihat lebih dalam, terdapat persamaan, yaitu negara belum berhasil menumbuhkan kepercayaan kepada warga negara bahwa institusi-institusi negara telah bekerja adil, terbuka, dan inklusif. Institusi yang dimaksud adalah seperangkat struktur atau mekanisme keteraturan dan kerja sama sosial yang mengatur perilaku masyarakat di dalam suatu negara.
Sejumlah kejadian itu terjadi saat Indonesia dipuji karena berhasil menjadi negara demokratis dengan pertumbuhan ekonomi yang membuat banyak negara iri.
Negara demokratis mengandaikan kehidupan bersama yang inklusif, menyertakan semua pihak dalam pembangunan tanpa membedakan agama, kelompok, etnis, dan jender. Bila semua merasa dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan, muncul keinginan individu mencapai kehidupan lebih baik sehingga ekonomi tumbuh.
Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam buku mereka yang menjadi pembicaraan orang,Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012), mengingatkan pentingnya institusi politik dan ekonomi inklusif berjalan bersamaan untuk mencapai masyarakat yang makmur. Lawannya adalah institusi ekstraktif.
Demokrasi kita banyak dikritik baru sebatas prosedural. Institusi politik kita belum inklusif. Banyak orang merasa tidak mendapat keadilan, bahkan dari kelas menengah dan pengusaha. Ekonomi juga ekstraktif, dicirikan oleh tumbuhnya pengusaha yang harus berafiliasi dengan penguasa atau partai sehingga memunculkan rente ekonomi.
Mereka yang merasa kepentingannya tidak terwakili institusi yang ada dapat menjadi apatis atau memilih penyelesaian sendiri dengan melanggar etika dan hukum.
Tindak kekerasan dan main hakim sendiri harus diungkap tanpa pandang bulu demi kewibawaan pemerintah. Namun, bila pemerintah sungguh ingin membawa Indonesia menjadi negara makmur berkelanjutan, harus ada upaya sungguh-sungguh menjadikan institusi politik dan ekonomi lebih inklusif. Ekonomi rente, terutama menjelang Pemilu 2014, tidak boleh ditoleransi. Institusi politik jangan dimanfaatkan penguasa untuk menguntungkan kelompok dan melanggengkan kekuasaan. Kita menunggu sinyal perubahan itu dari pemerintah.
(Tajuk Rencana Kompas)
Powered by Telkomsel BlackBerry®







Mengakhiri Pembangunan Penghasil Ketimpangan (Wahyu Susilo)

Oleh Wahyu Susilo
Pada pekan ini, 25-27 Maret, berlangsung putaran diskusi keempat High Level Panel on Eminent Persons on Post-2015 Development Agenda, di Nusa Dua, Bali.
Panel yang dibentuk oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada Mei 2012 ini dipimpin secara kolektif oleh Perdana Menteri Inggris David Cameron, Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Agenda utama panel adalah menyusun usulan agenda skenario pembangunan pasca-Millennium Development Goals, terutama untuk isu penanggulangan kemiskinan.
Agenda pembangunan
Isu pembangunan pasca-2015 memang tidak hanya dirumuskan oleh panel, tetapi masih ada skenario lain yang dirancang sebagai kelanjutan dari Rio+20 Summit dengan memperdalam isu pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Agenda ini dimotori oleh negara-negara di kawasan Amerika Latin yang mengedepankan isu pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan krisis ekologi.
Berbeda dengan Millennium Development Goal, sebuah skenario global penanggulangan kemiskinan yang bersifat top down, proses yang sedang dijalankan melalui High Level Panel on Eminent Person on Post-2015 Development Agenda relatif inklusif dan partisipatif.
Dalam tiga putaran diskusi sebelumnya, keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan, baik organisasi masyarakat madani (civil society organizations/CSO) maupun sektor swasta, menjadi prasyarat penting berlangsungnya putaran diskusi. Selain itu, juga berlangsung konsultasi nasional, regional, dan konsultasi tematik yang diorganisasikan oleh Co-chair dan UN Agency. Semua proses ini menjadi bahan-bahan yang didiskusikan oleh panel.
Pada putaran diskusi di Nusa Dua, Bali, pekan ini, juga berlangsung CSO's Outreach for High Level Panel on Eminent Person on Post-2015 Development Agenda pada 25 Maret 2013. Forum diikuti 250 CSO dari 31 negara yang menyampaikan isu-isu krusial pembangunan, yaitu ketimpangan, kelompok-kelompok marginal yang terlupakan, serta mempertajam pandangan masyarakat sipil mengenai isu utama yang akan dibahas panel pekan ini, yaitu Global Partnership.
Meski demikian, dari sisi substansi masih terlihat polarisasi pandangan mengenai isu-isu prioritas yang hendak diperjuangkan sejumlah pihak. Negara-negara miskin (terutama Afrika) masih mengedepankan isu kemiskinan mendalam (extreme poverty) dan menuntut tanggung jawab negara-negara maju untuk mengalokasikan bantuan internasional.
Inilah lagu lama yang diputar kembali, dan dalam kenyataannya tanggung jawab negara-negara maju, seperti yang ditargetkan dalam MDG8, tak pernah tercapai. Komitmen mengalokasi 0,7 persen GNP gagal total, seluruh negara anggota G-8 dan mayoritas DAC OECD (yang dianggap presentasi negara-negara maju) tak ada yang memenuhi. Hanya negara-negara Skandinavia yang mematuhi komitmen.
Isu ketimpangan
Isu yang menguat agar dibahas di panel ini adalah isu ketimpangan (inequality) dan inklusi sosial. Dalam konteks Indonesia, isu ini sangat relevan dikedepankan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai agenda negara-negara berpendapatan menengah.
Selama ini Pemerintah Indonesia selalu mengklaim kinerja perekonomian Indonesia stabil dengan angka pertumbuhan ekonomi selalu 6 persen. Klaim ini juga dikuatkan dengan penilaian lembaga pemeringkat ekonomi internasional yang selalu positif. Namun, dalam realitasnya, pembangunan di Indonesia menghasilkan ketimpangan dan menghasilkan kelompok-kelompok terpinggirkan. Indeks kesenjangan (indeks gini) makin meningkat, ini memperlihatkan bahwa pembangunan punya potensi pemiskinan.
Gambaran kemajuan ekonomi Indonesia yang diperlihatkan melalui angka pertumbuhan ekonomi yang selalu di atas 6 persen juga layak dipertanyakan jika melihat tingkat upah buruh yang masih sangat tidak memadai.
Sepanjang tahun 2012 hingga sekarang, gejolak buruh menuntut upah menjadi bukti bahwa angka pertumbuhan ekonomi tak punya arti signifikan. Ironisnya, angka pertumbuhan ekonomi ini berbanding lurus dengan perluasan laju deforestasi, eksploitasi sumber daya alam dan mineral yang mengakibatkan konflik antara korporasi dan rakyat.
Dalam perspektif jender, kesenjangan juga masih terlihat dan makin membuat perempuan terdiskriminasi. Di bidang pendidikan, walau laporan MDGs Indonesia memperlihatkan keberhasilan akses pendidikan bagi perempuan di tingkat dasar, akses perempuan pada pendidikan makin rendah pada tingkat pendidikan menengah ke atas.
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan feminisasi buruh migran yang tunaperlindungan adalah realitas yang tak masuk laporan MDGs.
Oleh karena itu, sangat penting bagi Presiden SBY, dengan posisi strategis sebagai co-chair High Level Panel on Eminent Persons on Post-2015 Development Agenda, benar-benar memperjuangkan kepentingan mayoritas warga dunia yang miskin dan terpinggirkan. Negara berkembang tak boleh tunduk pada kepentingan negara maju yang terbukti gagal memenuhi komitmen mendukung penanggulangan kemiskinan.
Wahyu Susilo Policy Analyst Migrant CARE dan Steering Committee Koalisi CSO Indonesia untuk Agenda Pembangunan Pasca-2015
(Kompas cetak, 27 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

















Mengharap Legasi Obama di Timteng (Novriantoni Kahar)

Oleh Novriantoni Kahar
Kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama ke Israel dan Palestina, pekan lalu, sungguh banyak maknanya.
Sebelumnya, publik Amerika skeptis terhadap kunjungan itu. Thomas L Friedman menyebut Obama hanya akan menjadi presiden AS pertama yang berkunjung ke Israel seperti turis biasa.
Dalam kolom di New York Times, Selasa (12/3), Friedman menyebut dua alasan mengapa ia pesimistis. Pertama, bukan hanya sedikit yang mungkin dilakukannya (little is possible), melainkan juga sangat sedikit perlunya (little is necessary) untuk Amerika.
Kedua, dalam sejarah diplomasi Amerika, konflik Israel-Palestina seolah telah berubah "dari kemestian menjadi sekadar hobi" (from a necessity to a hobby). Hobi berarti dilakukan seturut suasana hati. Namun, kepesimisan itu meleset karena Obama mampu mengubah "kunjungan turistik" itu menjadi "pesan profetik".
Pesan Obama
Mencermati pidato Obama di Jerusalem Convention Centre, Kamis (21/3), tampaknya Obama akan menempuh strategi baru mengatasi kebuntuan perdamaian Israel-Palestina. Pada periode pertama pemerintahan Obama, status perundingan damai Israel-Palestina memang mati suri. Selain sibuk dengan persoalan dalam negeri, kebijakan keras kepala Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—misalnya soal perluasan permukiman Israel di Tepi Barat—menghambat perdamaian.
Pidato Obama itu menunjukkan niat baik dan kejelasan moral untuk mengubah kebuntuan perdamaian Israel-Palestina. Andai Obama ingin main aman, pidatonya bisa datar saja. Namun, sebagaimana dikatakan Jeremi Ben- Ami (International Herald Tribune, 23 Maret 2013), "Main aman bukanlah watak Obama."
Pidato Obama tak hanya menjelaskan kedekatan dan dukungan Amerika terhadap eksistensi Israel, tetapi juga memaparkan tantangan pahit jangka panjang dan konsekuensi tersisihnya Israel di kawasannya.
Ia mengingatkan: "Tiada tembok yang cukup tinggi dan tak ada kubah baja yang cukup kokoh untuk melindungi Israel dari musuh-musuhnya" ke depan. Karena itu, perdamaian harus diwujudkan, bukan hanya karena perlu (peace is necessary), melainkan juga adil (peace is just) dan mungkin (peace is possible).
Yang juga sangat bersejarah dari pidato Obama adalah keberaniannya mengajak publik Israel legawa mengakui hak-hak Pelestina untuk bernegara. Publik Israel pun diajak berempati. "Sebagaimana Israel berhak punya negara, rakyat Palestina juga punya hak untuk bernegara."
Bagi saya, Obama merespons perkembangan baru di Timur Tengah (Timteng). Obama memang menyatakan dukungan Amerika (Israel is not going anywhere), tetapi juga mengingatkan eksistensi Israel tidak selamanya bisa bergantung pada Amerika.
Pidato Obama eksplisit menyatakan ketidakpastian masa depan Timur Tengah. Ketidakstabilan politik di Mesir, Suriah, Lebanon, dan Jordania justru menambah kerawanan Israel dalam jangka panjang. Sangat masuk akal bila Obama mengajak Israel merespons arus perubahan itu dengan inisiatif perdamaian.
Banyak ancaman
Saat ini Israel menghadapi pemerintahan Hamas di Gaza, Ikhwan di Mesir, ketidakpastian di Suriah, serta pergolakan di Lebanon dan Jordania. Ditambah sikap Iran yang terus sesumbar akan menghapus Israel dari peta kawasan, lengkap sudah ancaman untuk Israel. Mengupayakan perdamaian abadi dengan Palestina tak hanya menjamin eksistensi dan membuka isolasi Israel, tetapi juga akan melemahkan militansi kaum ekstremis yang berdalih membela Palestina.
Memang banyak yang skeptis terhadap efektivitas seruan damai Obama. Kolumnis Jihad al-Khazin menyebutnya sebagai "akal-akalan agar Arab membarter pengakuan atas Israel dengan terusirnya rakyat Palestina dari Tanah Air mereka yang sah" (al-Hayat, 23/3/2013).
Imaduddin Adib menyebut Obama "sekonyong-konyong menjumpai anak-anak Palestina hidup di bawah pendudukan Israel" (as-Syarq al-Awsath, 23/3/2013).
Tanggapan-tanggapan di atas adalah bentuk kekecewaan yang sudah lama menggumpal di Timur Tengah sehingga publik Arab tak akan mudah percaya. Kini berpulang kepada Obama dan Pemerintah AS untuk menepis ketidakpercayaan itu.
Obama menyatakan pentingnya kreativitas dalam mendorong proses perdamaian. Dia menyatakan bahwa mukjizat terbesar (the greatest miracle) adalah kesadaran bahwa dunia bisa diubah. Itu yang perlu dibuktikan pada status quo Israel-Palestina.
Namun, sekalipun pihak Palestina kini relatif siap berunding, Israel masih keras kepala. Itu sebabnya mengapa Obama langsung menyapa publik Israel. Kepada rakyat Israel, Obama—menurut Michael Hirsh (The Atlantic, 21/3/2013)—seolah berpesan agar mereka "tutup telinga terhadap Bibi (panggilan Netanyahu)". Ini terlihat dari ajakannya agar publik Israel lebih giat menuntut perdamaian.
Namun, secara faktual, proses perdamaian Israel-Palestina tak mungkin tanpa kepeloporan Amerika. Obama perlu memastikan bahwa seruan damainya segera diterjemahkan ke dalam kebijakan selama periode kedua kepemimpinannya.
Novriantoni Kahar Dosen Paramadina; Pengamat Timur Tengah
(Kompas cetak, 27 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®



















Etika Penjaga Republik (Donny Gahral Adian)

Oleh Donny Gahral Adian
Beberapa peristiwa berdarah yang melibatkan para penjaga negara sungguh memprihatinkan.
Serangan terhadap Markas Polres Ogan Komering Ulu, sampai eksekusi mati terhadap empat tahanan LP Cebongan, semuanya membunyikan sinyal tanda bahaya bagi tertib sosial dan keadaban publik kita. Apalagi ketika negara kelihatan kaget dan gagap menangani kasus demi kasus itu. Ketika organisasi yang memonopoli koersi gagal merawat dan menjaga rasa aman, rakyat seperti hidup di sarang penyamun. Apalagi kenyataan membentang betapa alat negara yang bersenjata justru acap kali merusak rasa aman publik.
Kelas penjaga
Alasan beradanya sebuah negara adalah keselamatan dan keamanan warganya. Sebagai teritori yang berdaulat, negara perlu menjamin keamanan secara internal dan eksternal sekaligus. Untuk itu, polisi dan militer dibutuhkan. Dari semua organ negara yang memiliki fungsi koersi, kedua institusi tersebut paling istimewa. Sebab, keduanya memiliki lisensi membunuh dalam situasi tertentu. Prajurit dapat menghilangkan nyawa tentara musuh dalam situasi perang. Dalam keadaan darurat, polisi pun dapat menembak di tempat para kriminal.
Dengan lisensi tersebut, militer, meminjam Plato, adalah sebuah kelas tersendiri. Plato menyebutnya kelas penjaga (guardian). Hak-hak istimewa kelas penjaga dimaksudkan untuk menciptakan rasa aman bagi warga dan ketakutan bagi musuh-musuh negara. Latihan perang, misalnya, acap kali dilakukan semata-mata sebagai efek penggentar bagi siapa saja yang mencoba mengganggu kedaulatan negara. Nah, bagaimana ketika hak istimewa tersebut tidak dipakai untuk menunaikan kewajiban konstitusional, tetapi untuk mengeksekusi semacam keadilan bawah tanah?
Siapa sebenarnya kelas penjaga tersebut? Plato menekankan betapa kelas penjaga adalah kelas istimewa. Disebut istimewa karena kelas penjaga tidak diikat oleh apa pun selain kebaikan umum (summum bonum). Dengan demikian, kelas penjaga menjalankan semacam asketisme sekuler. Mereka mengerem setiap jengkal hasratnya terhadap kesenangan pribadi guna menjaga republik dari intrusi kaum barbar. Dengan demikian, kelas penjaga adalah teladan bagi warganya. Mereka adalah prototipe warga negara yang tidak mudah ditiru setiap lakunya.
Keutamaan kardinal yang dimiliki kelas penjaga adalah keberanian (courage). Keberanian bukan perbuatan gegabah tanpa tuntunan akal sehat. Keberanian justru sangat bersumbu pada akal sehat. Dia yang memiliki keberanian dituntun oleh keyakinan. Kelas penjaga mesti berkeyakinan terhadap opini yang benar. Opini yang benar adalah doxa atau dogma yang harus diikuti tanpa syarat. Bagi Plato, opini yang benar atau doxa bukan pengetahuan, melainkan sejenis mitos yang membuat kelas penjaga secara sadar, ikhlas, dan militan menjaga republik. Dia adalah ideologi yang dipatuhi dan diyakini sehingga mampu mengenyahkan setiap hasrat pribadi yang menyimpang.
Secara internal, kelas penjaga memang tak mengenal demokrasi. Kelas penjaga hanya mengenal indoktrinasi opini yang benar atau ideologi. Namun, indoktrinasi tersebut memiliki fungsi etika-politiknya sendiri. Demokrasi sebagai cara hidup bersama perlu dilindungi oleh sebuah kelas yang menjalankan laku asketisme tingkat tinggi. Indoktrinasi opini yang benar bertujuan menciptakan kelas penjaga yang siap mengorbankan apa pun demi konstitusi sekaligus hidup bersama yang diaturnya.
Etika penjagaan
Setiap komunitas politik membutuhkan militer sebagai kelas penjaga. Sebagai kelas penjaga, setiap prajurit dituntut untuk mengorbankan diri bagi keamanan komunitas politik yang dilindunginya. Keputusan untuk berkorban dan membela tersebut tidak boleh dikembalikan kepada evaluasi etis pribadi masing-masing ala etika liberal. Keputusan tersebut harus diukur berdasarkan patokan yang netral, imparsial, dan kolektif. Dengan kata lain, prajurit tidak mempraktikan semacam etika liberal yang individualistis. Di sini ironi terjadi. Demokrasi liberal sejatinya justru membutuhkan kelas penjaga yang menolak etika atau moralitas liberal.
Etika militer atau kelas penjaga bersifat anakronistik terhadap etika liberal. Namun, etika tersebut tidak berseberangan dengan kebutuhan fungsional sebuah masyarakat liberal. Etos militer tersebutlah yang menciptakan rasa aman sehingga demokrasi bisa dijalankan secara saksama. Alih-alih berkonflik dengan demokrasi, militer justru merupakan sumber keutamaan-keutamaan positif. Keutamaan-keutamaan yang dikesampingkan masyarakat liberal justru dihidupkan dan dirawat di dalam militer. Kesetiaan, pengorbanan, militansi, dan keberanian adalah sebagian keutamaan tersebut.
Militer adalah institusi yang berfungsi sebagai gudang penyimpan sumber daya moral. Sumber daya moral tersebut adalah kekuatan imaterial yang dimiliki negara menghadapi berbagai ancaman yang mungkin. Moralitas non-liberal yang dimiliki militer berseberangan dengan kultur liberal-utilitarian yang memuja pengejaran individual atas kenikmatan atau kebahagiaan. Moralitas tersebut juga berseberangan dengan kultur sektarian yang memuliakan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa dan negara. Dua musuh etis militer pun menjadi sangat jelas. Pertama adalah individualisme tanpa batas dan, kedua, sektarianisme atau semangat kelompok yang membabi buta.
Kehadiran militer adalah sebuah pertanyaan eksistensial. Militer adalah segaris pertanyaan tentang apa itu keadilan, pengorbanan, dan pengecualian. Semua pertanyaan tersebut tidak dapat diserahkan pada kebijakan pribadi setiap prajurit. Kita memerlukan semacam patokan etis-kolektif sebagai pandu setiap laku prajurit. Institusionalisasi nilai tersebut diperlukan guna mencegah penyalahgunaan kekuatan militer, seperti yang kita saksikan belakangan ini. Kegagalan negara menyiapkan etika militer non-liberal adalah tanda bahaya bagi kelangsungan dirinya sebagai entitas politik.
Penanaman etika militer di kalangan prajurit menjadi keharusan moral sekaligus institusional. Sebab, penyalahgunaan kekuatan bersumber dari absennya pandu etis dalam pengambilan keputusan. Untuk itu, pendidikan militer harus dilengkapi dengan filsafat moral yang tepat. Pendidikan militer adalah penanaman patriotisme, bukan semata-mata sebagai semangat bela negara, melainkan keutamaan kardinal yang mesti dimiliki setiap prajurit. Patriotisme perlu dimaknai sebagai deindividualisasi dan desektarianisasi dalam setiap pengambilan keputusan di lapangan. Keputusan tentang siapa musuh, apa yang dilindungi dan bagaimana cara memerangi harus disekat oleh moralitas kolektif yang jelas dan gamblang. Pada akhirnya, setiap prajurit harus memahami bahwa setiap peluru yang ditembakkan adalah demi negara sebagai materialisasi konstitusi, bukan pribadi atau kelompok tertentu.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia
(Kompas cetak, 27 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®













Agenda Pembangunan Pasca-2015 (Andris Piebalgs)

Oleh Andris Piebalgs
Bayangkan sebuah dunia di mana kemiskinan global berada di titik yang sangat rendah.
Bayangkan, pertumbuhan di Afrika ada di tingkat paling tinggi; bantuan pembangunan Uni Eropa berlanjut dengan nilai lebih besar dibanding sebelumnya, dan kekuatan-kekuatan dunia baru, seperti Indonesia, semakin memainkan peran penting di panggung dunia. Sekarang buka mata Anda, itulah dunia masa kini.
Inisiatif pasca-Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) berperan besar dalam mencapai kemajuan ini sejak 2000. Apa yang disebut sebagai "MDGs" telah mempersatukan dan mengantar komunitas internasional memusatkan perhatian pada negara- negara termiskin. Secara global, target mengurangi hingga setengahnya penduduk di bawah garis kemiskinan ekstrem telah tercapai pada 2010. Jumlah anak yang tak bersekolah turun dari 180 juta (1990) menjadi sekitar 60 juta. Semakin banyak anak yang dapat mencapai usia lima tahun dibanding sebelumnya.
Jutaan ibu melahirkan bayi dengan selamat. Kebijakan dan semangat baru di negara berkembang mendorong tercapainya kemajuan ini dan mitra-mitra internasional, seperti Uni Eropa (UE), telah meningkatkan dukungannya pada negara-negara tersebut.
Indonesia merupakan sebuah contoh cerita sukses. Kemajuannya yang luar biasa, khususnya di bidang pendidikan dasar, demokrasi, dan upaya penyetaraan jender, layak mendapat apresiasi. Saya melihat kesuksesan Indonesia terjadi berkat adanya pengambilan pilihan-pilihan politik dan ekonomi yang tepat dan juga karena kerja keras serta semangat berinovasi yang tinggi. Sungguh, kami dapat belajar banyak dan UE bangga telah turut berkontribusi di dalamnya. Kami selalu menjadi pendukung setia Indonesia sejak hubungan resmi Indonesia-UE dimulai lebih dari 40 tahun lalu. Beberapa tahun terakhir ini, UE telah menyediakan lebih dari 1 miliar euro untuk proses rekonstruksi pascabencana tsunami di Aceh dan gempa di Yogyakarta. Kami menyediakan lebih dari 500 juta euro untuk anggaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. UE membantu pembangunan 20.000 lebih rumah di Aceh, 670 sekolah, 5 pelabuhan, dan sekitar 650 km jalan nasional. UE juga membantu penyediaan 1.600 km kanal drainase dan irigasi serta 8.000 sumur. Arus perdagangan dan investasi kita, serta jumlah orang yang melakukan perjalanan antar-kawasan, tertinggi dalam sejarah dan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di kedua kawasan.
Banyak contoh lain dari berbagai pelosok dunia mengenai upaya-upaya dalam pencapaian target MDGs, baik di Asia, Afrika, atau Amerika Latin. Namun, kita tak boleh gampang terlena. Banyak negara yang masih tertinggal. Kemajuan dalam program MDGs sering kali tidak merata di dalam suatu wilayah negara. Tantangan baru bermunculan. Kita melihat lebih banyak bencana alam ekstrem yang tak pernah kita lihat sebelumnya. Di seantero dunia, jutaan anak masih menderita kelaparan dan ketidakadilan sosial, menimbulkan kesenjangan masyarakat. Dunia berkembang kian kompleks dan kita harus lebih fokus dan inovatif jika ingin mempertahankan kemajuan di masa depan.
Masa depan: seharusnya seperti apa?
Program MDGs akan berakhir 2015. Masih banyak hal yang harus dilakukan. Sementara itu, kita kini sedang memperdebatkan apa yang akan memandu dan mengantar pembangunan pasca-2015. Sekjen PBB telah membentuk Panel Tingkat Tinggi untuk menuntun pekerjaan ini. Presiden SBY duduk di panel ini dan mengundang kita dalam pertemuan di Bali minggu ini guna membahas pekerjaan penting ini dan bagaimana memajukannya. Pekerjaan panel ini belum selesai. Namun, hal menarik untuk diketahui adalah tiga hal yang akan menjadi elemen instrumental dalam agenda pasca-2015, yakni menyelesaikan apa yang kita sudah mulai di dalam MDGs, membuat pembangunan masa depan lebih berkelanjutan, dan bekerja sama dengan negara dan blok-blok kekuatan baru, seperti Indonesia dan ASEAN.
Jelas bagi saya dan juga anggota panel, prioritas terbesar adalah menyelesaikan pekerjaan yang telah kita mulai dalam program MDGs. Namun, dunia sudah berubah sejak 2000, dan kita harus menyelaraskan visi setelah 2015. Saya percaya kita harus bergerak lebih jauh. Kita harus memenuhi tujuan pengentasan rakyat dari kemiskinan seperti ditetapkan dalam MDGs, tetapi kita harus memastikan pembangunan pasca-2015 berkelanjutan bagi generasi masa depan. Ini bukan persoalan kewajiban moral, menjadi kepentingan setiap orang pertumbuhan tak sekadar berkembang pesat, tapi juga tak merusak lingkungan hidup.
Pertumbuhan yang perlu diciptakan adalah yang stabil dan berkelanjutan. Ini pesan yang saya sampaikan dalam panel Tingkat Tinggi. Ini juga pesan di balik proposal kebijakan UE yang baru-baru ini diumumkan, A Decent Life for All: Ending Poverty and Giving the World A Sustainable Future (Hidup Layak bagi Semua: Mengakhiri Kemiskinan dan Memberikan Dunia Masa Depan yang Berkelanjutan). Memerangi kemiskinan seharusnya tetap jadi inti agenda pembangunan global untuk menyediakan "Kehidupan yang Layak bagi Semua" pada 2030. Kita harus menetapkan sekumpulan batas minimal untuk hidup layak, yang tak seorang pun boleh jatuh dan berada di bawahnya. Namun, ini tak akan terwujud jika kita hidup dengan cara tak berkelanjutan.
Kita semua tahu perubahan iklim, degradasi tanah, konsumsi, dan produksi yang tak berkelanjutan mengancam hasil-hasil yang sudah dicapai dalam perang melawan kemiskinan. Di mata dunia, Indonesia berada di garis depan dalam upayanya mencari pertumbuhan berkelanjutan. UE dan Indonesia penghasil emisi gas rumah kaca besar, tetapi kita telah mengadopsi target-target nasional ambisius untuk mengurangi emisi dan kita punya keinginan untuk melihat kesepakatan global di mana semua negara ikut menjawab isu-isu ini.
Agar pertumbuhan berkelanjutan, perlu didukung tata kelola pemerintahan yang baik, perdamaian, dan keamanan. Indonesia punya pengalaman berharga di bidang ini. Proses perdamaian dan pembangunan di Aceh sejak 2004, satu yang telah diusung ke seluruh dunia sebagai model penyelesaian konflik yang tepat.
Indonesia sudah menunjukkan jalan ke depan, memberikan pelajaran berharga bagi negara lainnya, mengadaptasi model yang disusun sendiri, memberikan komitmen nasional yang jelas untuk pelaksanaannya, serta memanfaatkan kemitraan internasional seperti dengan UE untuk mendukung pekerjaannya. Di dunia yang kian menyatu pasca-2015, pengelompokan kawasan seperti UE dan ASEAN dapat menjadi motor penggerak tambahan untuk pertumbuhan. ASEAN yang sehat dan sukses akan sangat membantu pencapaian pembangunan berkelanjutan pada negara anggotanya.
Contoh-contoh itu menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan baru, seperti Indonesia, dapat dan akan memainkan peranan yang sangat penting dalam agenda pembangunan setelah 2015 dan bagaimana UE memandang mereka sebagai mitra yang kuat dalam upaya-upaya bersama. Saat kita duduk bersama di Bali minggu ini, di bawah arahan Indonesia sebagai tuan rumah, saya akan sangat optimistis tentang masa depan. Saya percaya melalui kerja sama, seperti dengan Indonesia dan ASEAN, kita akan mampu menciptakan kehidupan layak dan berkelanjutan bagi semua pada 2030.
Andris Piebalgs Komisioner Uni Eropa untuk Pembangunan
(Kompas cetak, 27 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Selasa, 26 Maret 2013

Kata Presiden, Negara Tidak Boleh Kalah (Ferry Santoso)

Sabtu (23/3) tengah malam, gerombolan pasukan siluman bersenjata otomatis menyandera petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB, Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah memaksa dengan kekerasan petugas lapas, gerombolan itu menembak empat tahanan di dalam sel lapas tersebut sampai mati.
Empat tahanan itu ada dalam "kekuasaan" negara, yaitu tahanan penyidik Kepolisian Daerah DIY. Para tersangka itu juga berada pada "kekuasaan" aparat negara karena dititip penyidik Polda DIY di lapas tersebut. Empat tahanan sedang menjalani proses hukum terkait dugaan kasus pembunuhan terhadap seorang anggota TNI.
Dalam kasus ini, perlindungan terhadap tersangka sebagai warga negara yang memiliki hak perlindungan hukum dan hak asasi manusia sangat lemah. Serangan bersenjata itu juga menunjukkan negara kalah dengan gerombolan bersenjata. Negara nyata-nyata tidak mampu melindungi warga negara, bahkan saat berada dalam pengawasan penyidik Polri dan petugas rumah tahanan negara.
Serangan gerombolan bersenjata, baik senjata api maupun senjata tajam, sebenarnya tidak hanya terjadi di Cebongan. Sebelumnya juga terjadi penyerangan gerombolan "pasukan" siluman. Misalnya, penyerangan gerombolan siluman "geng motor pita kuning" di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.
Kini, Polri memiliki tugas berat dan tanggung jawab moral mengungkap pembunuhan keji itu. Tanggung jawab moral muncul kuat karena empat tersangka itu merupakan tahanan aparat Polda DIY.
Jika ada kemauan dan dukungan politis, polisi tidak akan sulit mencari pelaku pembunuhan itu. Kita bisa berkaca pada peristiwa besar yang lebih rumit lainnya yang mampu diungkap polisi, seperti peledakan bom Bali atau bom lainnya.
Tanpa pengungkapan pembunuhan empat tahanan di lapas itu, Indonesia tidak layak lagi disebut negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum. Sebaliknya, di Indonesia berlaku hukum rimba. Karena hal ini, Indonesia dinilai sebagai salah satu negara gagal.
Dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012, Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 negara yang disurvei. Dalam posisi itu, Indonesia masuk kategori negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal.
Beberapa indikator dalam FSI 2012 itu antara lain ketegangan dan kekerasan antarkelompok. Kemampuan negara memberi keamanan dirusak atau dikurangi. Lalu, ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan aturan hukum.
Kasus tragis di Cebongan jelas menunjukkan ketidakmampuan negara memberikan perlindungan hukum dan hak asasi kepada tersangka. Negara gagal melindungi tersangka sebagai warga negara menghadapi gerombolan siluman bersenjata.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane mengungkapkan, Indonesia dalam bahaya teror pasukan siluman bersenjata api. Siluman itu bisa mencabut nyawa kapan pun dan di mana pun.
Jika dibiarkan, kata Neta, pasukan siluman ini tidak mustahil akan menyerang sendi-sendi kenegaraan, termasuk kepentingan negara. Ia menilai, pembunuhan oleh pasukan siluman bersenjata di Cebongan merupakan sejarah terburuk dalam penegakan hukum dan sistem keamanan di Indonesia.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, petugas lapas telah berupaya mencegah pembunuhan itu. Namun, petugas berada pada todongan senjata api, bahkan menjadi korban kekerasan dari para pelaku.
Denny menambahkan, banyak pertanyaan mengenai siapa gerombolan bersenjata itu. Ada yang menyatakan penyerangan itu terkait insiden sebelumnya. Karena itu, investigasi menyeluruh dan cepat perlu dilakukan. "Siapa pun yang bertanggung jawab harus diproses secara hukum," katanya.
Menurut Denny, ada dugaan gerombolan ini terkait jajaran di TNI. "Ada salah satu dugaan, ini (pelakunya) terkait dengan jajaran di TNI karena insiden sebelumnya yang melatarbelakangi. Ada anggota TNI yang meninggal sehingga ada yang mengarah ke sana," katanya.
Pertanyaan kemudian ditujukan kepada polisi, apakah mampu mengusut kasus pembunuhan oleh gerombolan bersenjata itu?
Soal pembunuhan keji ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar berujar, aparat kepolisian akan mengolah tempat kejadian perkara dan menyelidiki insiden tersebut. Normatif, seperti tidak ada kegentingan.
Di tengah situasi ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu membuat terobosan. Pengusutan kasus itu tak dapat dilakukan dengan cara-cara biasa. Kita masih ingat pernyataan Presiden yang kerap diulang dan kini ditagih pembuktiannya, "Negara tidak boleh kalah." (FERRY SANTOSO, Kompas Cetak, 26 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®















Titik Api Revolusi (YUDI LATIF)

Oleh YUDI LATIF
Apakah ini suatu déjàvu? Empat belas tahun setelah percobaan demokrasi liberal yang tak kunjung memenuhi kebutuhan rakyatnya, pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Empat belas tahun setelah percobaan demokrasi liberal Era Reformasi yang tak kunjung memenuhi kebutuhan rakyatnya, pada 25 Maret 2013 gerakan perubahan menyerukan ganti rezim-ganti sistem, kembali ke Pancasila dan UUD 1945.
Suatu perubahan radikal memerlukan "nabi" dan "pemimpinnya". Pada masa lalu, Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi menjadi towering moral stature yang menggerakkan perubahan dari atas. Kini, ketika kita hidup dalam suatu era kemerosotan pusat teladan, gerakan perubahan tak lagi dipimpin
oleh "tokoh agung", tetapi suatu jaringan kesadaran kolektif dari bawah.
Ini memang baru fajar kesadaran revolusioner. Perlu keteguhan keyakinan untuk menangkal keraguan. Suara kemapanan cenderung meyakini, aktivisme radikal sudah kasip. Begitu latah percaya bahwa tatkala kebanyakan orang lebih suka duduk berleha, mengisi pandangan hidupnya dengan suguhan televisi dan media sosial, aktivisme politik tidak perlu lagi berteriak dan berkeringat, cukup didelegasikan kepada mekanisme elektoral. Namun, jenis keyakinan yang juga pernah bergema pada akhir 1930-an, ketika gairah radikalisme-sosialisme menepi begitu dunia memasuki Perang Dunia II, nyatanya kembali bergelora begitu perang usai.
Ketika Indonesia memasuki era Reformasi, suara radikal melenggang terhipnotis euforia pesta demokrasi, percaya bahwa mekanisme elektoral merupakan andalan utama memenangkan daulat rakyat. Setelah 14 tahun demokrasi berjalan dengan meninggalkan demos, suara rakyat bisa dibajak suara uang, timbul kesadaran baru bahwa legitimasi demokrasi tak bisa hanya ditentukan jumlah, tetapi harus didasarkan pada imperatif moral pandangan hidup bangsa ini.
Inilah titik api revolusi. Langkah pertama perubahan radikal adalah menyadari adanya kesalahan besar dalam pengelolaan politik. Sumbu revolusi bisa dinyalakan ketika suara publik dalam media massa dan media sosial ramai menggunjingkan perilaku kepala negara yang lebih produktif sebagai pesinden ketimbang presiden, lebih berpihak kepada kepentingan korporatokrasi ketimbang kepada rakyatnya; ketika lembaga-lembaga survei menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga perwakilan yang lebih mewakili kepentingan yang bayar ketimbang aspirasi rakyat; ketika sumpah-serapah dimuntahkan kepada aparatur penegak hukum yang menjadi jaringan pelanggaran hukum; ketika tingkat partisipasi pemilih terus merosot di serangkaian pemilihan kepada daerah; dan ketika surplus kebebasan justru melahirkan ketidaksetaraan yang lebih lebar.
Ketika suara aliran mulai mereda dalam politik Indonesia, dan ketika pemerintahan di bawah corak aliran apa pun sama korup dan sama zalimnya, gerakan radikal masa kini tampil dengan definisi musuhnya yang baru. "Musuh kita bukan suku, agama, dan aliran yang berbeda, melainkan kekuasaan yang menindas." Dengan definisi itu, agenda pergerakan menemukan momentum kebersamaan untuk menuntaskan revolusi sosial yang diimpikan Bung Karno, yakni revolusi memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Ketidakbersambungan antara suara publik dan pilihan kebijakan negara membuat gerakan radikal meninggalkan saluran tradisional kelas menengah untuk menyelesaikan masalah melalui lobi. Gerakan ini lebih memilih menyatu dengan akar rumput, melakukan tindakan nyata lewat aksi-aksi jalanan.
Apa yang tertinggal dari gerakan ini adalah kekuatan intelektual organik yang dapat mengartikulasikan kesadaran dan keresahan kolektif. Banyak aktivis jemu dengan sampah perdebatan di ruang publik, lantas tidak lagi memandang wacana sebagai sesuatu yang penting. Diskusi dihentikan, lantas melompat ke aksi. Padahal, usaha mendelegitimasi rezim demokratis lebih sulit ketimbang rezim otoritarian sehingga kekuatan argumentatif dan artikulatif justru sangat vital. Tanpa kemampuan merumuskan masalah dan menawarkan visi, sebuah aksi bukan saja tidak mampu menawarkan jalan keluar dari kegelapan, melainkan juga tidak bisa menginspirasi beragam gugus sosial untuk bergabung ke dalam suatu blok-historis (historical bloc).
Antonio Gramsci percaya: "Subyek-subyek politik tidaklah terbatas pada kelas, tetapi juga kompleks 'kehendak kolektif' (collective wills) yang merupakan hasil pengarti¬ku¬lasi¬an ideologi-politik dari kekuatan-kekuatan historis yang berte¬baran dan terfragmentasi."
Untuk mempertautkan kehendak kolektif dari beragam posisi subyek itu diperlukan intelektual organik yang dapat menyediakan kekuatan artikulasi dan kepemimpinan moral dalam rangka mentransformasikan kepemimpinan sektoral menuju kepemimpinan integral. Sebuah aksi penjebolan tanpa visi pemulihan bisa mengulangi kesalahan masa lalu. Setelah rezim tumbang, kekuasaan dengan mudah dibelokkan kemapanan ke jalan kesesatan, sedangkan para reformis segera menjadi konservatif begitu revolusi berakhir. Seperti kata Isiah Berlin, revolusi sejati tidak dikobarkan sekadar untuk memerangi keburukan, tetapi juga dengan tujuan positif, yakni untuk menghadirkan kebaikan.
Yudi latif Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
(Kompas cetak, 26 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®










Powered By Blogger