Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 29 Juni 2013

Pasangan Presidensial Alternatif 2014 (Tamrin Amal Tomagola)

Oleh Tamrin Amal Tomagola

Kami tahu yang kami mau. Kami mau pemimpin alternatif dalam Pemilihan Presiden 2014. Kami ingin perubahan secepatnya. Kami sudah jemu dan muak dengan ulah ndablek segelintir elite dinasti darah, duit, dan bedil yang korup dan menzalimi rakyat negeri ini.

Demikian kira-kira suasana batin dan kata hati publik Nusantara umumnya saat ini. Suasana kegandrungan batin terhadap kandidat presiden alternatif yang mampu menggelindingkan perubahan cepat ini paling kuat terlacak di kalangan kawula muda perkotaan yang melek politik dan giat berselancar di jejaring media sosial digital. Para kawula muda ini bukan saja semakin ketar-ketir atas masa depan mereka masing-masing, melainkan juga kian risau terhadap hari depan pemerintahan negara dan bangsa.

Mereka pun kian sadar bahwa nasib pribadi mereka sangat erat terkait dengan keberesan negara dan bangsa. Mereka sesungguhnya peduli dan ingin aktif berperan dalam percaturan politik. Mereka, seperti rekan-rekan segenerasi di pemilu Malaysia bulan lalu dengan proporsi paling kurang 40 persen dari pemegang hak pilih, hampir pasti akan jadi penentu telak hasil akhir pertaruhan pemilihan umum legislatif ataupun presiden 2014.

Kebuntuan sistemik
Rangkaian gerbong sistem dan proses suksesi kepemimpinan nasional Indonesia sedang meluncur tanpa kendali ke ujung kebuntuan.

Keseluruhan proses dalam tatanan kelembagaan politik saat ini berpotensi menyuguhkan ritual lima tahunan yang rutin membosankan tanpa gereget. Publik terbelalak saat membaca berita bahwa daftar calon sementara (DCS) yang sudah diajukan sejumlah parpol untuk Pemilu Legislatif 2014 sekitar 90 persennya dipenuhi oleh wakil-wakil di Senayan yang sudah lama melupakan rakyat.

Keterkejutan publik meningkat menjadi geram karena pada saat yang hampir bersamaan disodori kandidat presidensial stok lama yang itu-itu lagi: dengan rekam jejak belang-bonteng, pernah menyakiti bahkan menzalimi rakyat serta Tanah dan Air Nusantara nan indah ini.

Penolakan publik terhadap
sistem, proses, dan figur-figur politik yang ditawarkan sejak tahun 2004 terperaga jelas pada proporsi golput, baik dalam laga presidensial maupun dalam sejumlah pilkada, yang nyaris mendekati 50 persen dari calon pemilih. Proporsi golput yang kian membengkak ini bukan tidak mungkin akan mencapai 75 persen pada 2014.

Kecenderungan itu adalah indikator paling gamblang sekaligus pahit dari kian meredupnya harapan dan kepercayaan rakyat pada sistem suksesi yang ada. Suatu sistem yang semakin berkarakter moneyctocracy: dari duit, oleh duit, dan untuk duit. Parpol dan politisi menjadi sumber dan dalang dari bencana kebuntuan politik sistemik.

Perlu terobosan
Suasana hati dan pikiran rakyat yang kian membenci parpol dan politisi dalam lima tahun terakhir jelas mustahil dapat ditenteramkan dengan guyuran janji, umbar senyum, dan lambaian tangan di sejumlah media. Harus ada langkah-langkah terobosan atasi kebuntuan ini.

Kebuntuan sistemik proses suksesi kepemimpinan nasional yang membayang-bayangi bangsa dan negara setahun ke depan ini hanya dapat diatasi dua pihak, yaitu parpol sebagai pilar utama pemegang cratos yang sah dari sistem demokrasi konstitusional di satu pihak dan demos, rakyat pemilih sebagai sumber sekaligus pemilik kedaulatan sah di pihak yang lain. Mari kita cermati bersama.

Pertama, terobosan oleh parpol. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa cerah tidaknya nasib negeri dan anak bangsa ini amat bergantung pada tingkat kepekaan mata, telinga dan nurani pimpinan parpol mendeteksi denyut suara aspirasi rakyat, khususnya kawula muda terdidik perkotaan, di luar jajaran parpol. Jika pimpinan parpol benar-benar terkoneksi dengan suara-suara semangat zaman di luar jajaran parpol, beberapa sinyal aspirasi utama langsung dapat ditangkap.

Pertama, bersihkan DCS dari nama-nama: (i) tersangka korupsi; (ii) pembonsai dan pengadang Komisi Pemberantasan Korupsi; serta (ii) pembolos dan penidur di sidang-sidang DPR/ DPRD. Nama-nama politisi yang termasuk dalam tiga kategori politisi busuk ini wajib dibersihkan dari DCS karena mereka bukan lagi aset, melainkan beban bagi parpol dan bangsa.

Langkah terobosan strategis kedua yang sudah seyogianya diambil parpol adalah mengajukan pasangan presidensial alternatif. Sejak terpilihnya Jokowi sebagai DKI 1, seharusnya semua parpol sudah sangat paham bahwa pemimpin seperti itulah yang menjadi idaman publik yang waras, khususnya para generasi muda.

Seperti dalam pilkada DKI Jakarta yang lalu, kekuatan karakter kandidatlah yang dominan menentukan elektabilitas seseorang ketimbang parpol pengusung. Parpol lebih berperan sebagai pemberi tiket masuk gelanggang Pilpres 2014 dan pemberi tenaga tambahan untuk melaju lebih cepat.

Para calon muda
Apabila partai-partai politik benar-benar tanggap ing sasmita dalam membaca semangat dan tuntutan zaman perpolitikan kontemporer saat ini dengan hanya menoleh dan memberi kesempatan kepada pasangan presidensial alternatif yang muda, bersemangat, dan mumpuni dalam kedewasaan pribadi, tegas dalam kebijakan publik dan santun dalam pelaksanaan, publik Nusantara ini dapat berharap akan masa depan yang penuh harapan.

Apalagi jika partai-partai yang ada itu berupaya keras membersihkan DCS pemilihan legislatif dari politisi-politisi yang sudah kesohor busuknya selama ini. Namun, partai-partai yang ada sekarang ini tampaknya tak ingin mengajukan pasangan presidensial alternatif ataupun membersihkan DCS dari tiga kategori politisi busuk di atas. Tak pelak, ancaman golput mencapai lebih dari 75 persen sehingga pendeligitimasian hasil pemilu akan betul-betul menjadi kenyataan pada 2014.

Semoga Tuhan menjauhkan bangsa ini dari bencana politik yang sungguh potensial mengadang itu. Amin.

Tamrin Amal Tomagola
Sosiolog

(Kompas cetak, 29 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Padi Hibrida yang Terganjal (Satoto)

Bahkan seorang Lionel Messi pun tidak akan berkinerja menawan jika ditempatkan sebagai penjaga gawang. Sebaliknya, penjaga gawang sekaliber Petr Chech pun akan terseok-seok seandainya dipasang sebagai striker.

Penampilan pemain bola, betapa pun hebatnya, memang sangat ditentukan kejelian pelatih membaca potensi dan menempatkannya pada posisi yang tepat. Potensi pemain pun hanya optimal jika dan hanya jika timnya cocok. Apa jadinya apabila Cristiano Ronaldo disuruh bermain di klub sepak bola tingkat kabupaten di Indonesia, misalnya?

Pengembangan padi hibrida juga bisa diibaratkan sebagai pemain bola. Padi hibrida adalah padi biasa, bukan padi ajaib yang menghasilkan gabah 25 ton per hektar. Padi hibrida menggunakan benih turunan pertama (F1) karena pada F1 ada fenomena genetika yang disebut heterosis, yang membuatnya tampil lebih baik dibandingkan dengan kedua galur tetuanya. Heterosis hanya muncul pada F1, tidak pada generasi selanjutnya. Dengan kata lain, pada varietas Ciherang, Mekongga, atau Inpari tidak ada heterosis karena benih yang ditanam petani bukan benih F1.

Sifat heterosis
Secara teoretis, heterosis akan semakin kuat apabila kekerabatan kedua galur tetuanya semakin jauh. Seperti seorang pemain sinetron indo yang ibunya orang Polandia dan bapaknya Purworejo, heterosisnya akan lebih tinggi dibandingkan pemain sinetron yang ibunya dari Pasar Rebo dan bapaknya dari Pasar Minggu.

Dalam konteks padi hibrida, heterosis diharapkan muncul untuk potensi hasil (ton/ha gabah kering giling) dibandingkan dengan varietas paling populer di daerah target pengembangan. Di Jawa bisa Ciherang, di Sumbar mungkin Cisokan atau IR42.

Berapa persenkah heterosis yang harus dicapai suatu varietas padi hibrida di daerah tersebut dibandingkan varietas standarnya? Minimal 20 persen karena varietas padi hibrida yang dilepas di Indonesia pada umumnya adalah padi hibrida heterosis rendah.

Dukungan lingkungan
Bagaikan Ronaldo yang bermain di kesebelasan tingkat kabupaten, apa jadinya jika suatu varietas padi hibrida yang sudah diketahui rentan penyakit kresek ditanam di daerah endemis kresek? Pasti tidak bisa apa-apa. Jadi, masing-masing varietas harus dicarikan "rumah" yang pas.

Cara mencarinya dengan membuat demplot-demplot. Varietas yang tampil baik direkomendasikan. Seperti Hipa8, varietas padi hibrida rakitan Badan Litbang, yang diketahui rumahnya adalah pantai selatan Jawa dan Lampung. Hipa8 tentu saja tidak betah ditanam di pantura, ekspresinya adalah ogah-ogahan tumbuh. Jadi, varietas harus cocok dengan lingkungannya.

Di Indonesia saat ini lebih kurang ada 120 varietas padi hibrida yang dilepas, 20 di antaranya dirakit di dalam negeri dan sisanya merupakan varietas introduksi dari China, India, Filipina, dan Jepang. Dari 20 varietas yang dirakit di dalam negeri, 15 dirakit Badan Litbang Pertanian, 5 sisanya oleh perusahaan swasta. Masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan.

Dukungan teman satu tim sangat menentukan. Ronaldo tidak akan mampu mencetak gol jika tidak ada umpan akurat yang dibangun melalui serangan teratur dari pemain belakang, dilanjutkan pemain tengah, dan akhirnya ke dia. Semua ibarat dukungan budidaya untuk mengeluarkan potensi maksimal yang dimiliki varietas hibrida.

Bagaimana heterosis muncul jika hanya diberi 50 kg nitrogen per hektare? Ibarat pesumo yang perlu daging sapi 5 kg, tetapi hanya dijatah 1 kg. Bagaimana otot-otot seorang Ade Rai keluar sempurna jika hanya makan nasi uduk satu piring?

Bukan harus banyak, melainkan pas. Makanan harus sesuai dan pas takarannya. Jarak tanam pun menjadi penting. Terlalu rapat atau terlalu longgar tidak akan maksimal hasilnya.

Keragaan varietas padi hibrida Hipa11 rakitan Badan Litbang Pertanian di lahan petani Cilacap, Jawa Tengah, ibarat pemain potensial yang ditangani pelatih andal dan dengan kesebelasan yang cocok pula.

Kondisi pemain bola saat diturunkan pelatih akan sangat menentukan performa di lapangan, fit atau tidak atau bahkan cedera. Kondisi ini bisa kita analogikan dengan mutu benih varietas padi hibrida dalam hal daya tumbuh dan kemurnian. Bagaimana heterosis muncul jika saat sampai di tangan petani daya tumbuh benih tinggal 20%?

Tanggung jawab
Adalah tanggung jawab pelatih jika dia tetap memainkan seorang pemain meskipun dia tahu pemainnya sedang cedera. Adalah tanggung jawab pemilik varietas jika tahu varietasnya tidak tahan hama penyakit, tetapi tidak memberi tahu petani.

Memang, dalam pengembangan padi hibrida, naif kalau tidak tahu bahwa di Indonesia bukan hanya masalah teknis yang menjadi faktor, melainkan juga nonteknis, seperti aspek bisnis.

Pemain potensial, di tangan pelatih andal, dengan kesebelasan yang tepat, dapat kita analogikan dengan pengembangan suatu varietas padi hibrida yang cocok varietasnya, benih bermutu baik, ditanam dengan budidaya yang tepat, di wilayah yang sesuai, dan ditanam petani yang mau dan mampu mengadopsi teknologi. Selama kunci-kunci teknis tersebut belum terpenuhi, potensi kegagalan pengembangan padi hibrida akan besar.

Kondisi sekarang masih belum sampai pada kondisi ideal itu karena kunci-kunci teknis masih belum terpenuhi semua. Sungguh tidak adil kalau kita menjatuhkan vonis bahwa teknologi ini tidak cocok di Indonesia.

Satoto
Pemulia Padi
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian

(Kompas cetak, 29 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kasus Raibnya Dinamit (Tajuk Rencana Kompas)

Kasus raibnya 50 kilogram dinamit dalam perjalanan dari Subang ke pertambangan di Cigudeg, Kabupaten Bogor, menjadi perbincangan luas masyarakat.

Tidak habis pikir mengapa 50 kg dinamit yang ditempatkan dalam dua dus itu bisa raib. Sungguh konyol jika pengangkutan bahan berbahaya itu tidak dikawal ketat sepanjang perjalanan.

Penjelasan lebih rinci sangat diperlukan untuk mencegah spekulasi liar tentang kasus 50 kg bahan peledak yang hilang itu. Sampai sekarang tidak begitu jelas kapan, di mana, dan bagaimana dua dus yang berisi 50 kg dinamit bisa raib dalam perjalanan. Ketidakjelasan tersebut hanya menambah dramatis kasus raibnya bahan peledak itu.

Kekhawatiran terus bertambah karena sampai sekarang aparat keamanan belum menemukan titik terang atas keberadaan dinamit itu. Aparat kepolisian masih terus berusaha melacak keberadaannya. Perlu dilakukan upaya penyingkapan raibnya 50 kg dinamit, yang digambarkan memiliki daya ledak tinggi. Dinamit merupakan barang berbahaya yang memiliki daya ledak.

Segera terbayang, barang berbahaya seperti dinamit akan jauh lebih berbahaya apabila jatuh ke tangan orang berbahaya, seperti penjahat umum dan lebih-lebih teroris. Sejumlah kalangan mencemaskan kemungkinan ke-50 kg dinamit itu jatuh ke tangan penjahat atau teroris.

Tantangan yang dihadapi aparat keamanan memang tidak kecil. Aparat kepolisian sudah dan akan terus berusaha melacak keberadaan puluhan kilogram dinamit itu. Sejumlah tempat vital dan strategis pun dijaga ketat sebagai antisipasi menghadapi kemungkinan buruk.

Langkah antisipatif memang sangat diperlukan, lebih-lebih karena bukan tidak mungkin ke-50 kg dinamit tersebut jatuh ke tangan teroris. Sebagaimana sering diberitakan, ancaman bahaya teroris belum benar-benar berlalu.

Kiprah kaum teroris tidak terbatas pada aksi teror untuk menciptakan ketakutan mendalam di kalangan masyarakat, tetapi juga disinyalir sudah merampok bank dan toko emas untuk kepentingan logistik. Tentu saja tidak perlu terburu-buru berspekulasi tentang kemungkinan kaum teroris merampok dinamit untuk kebutuhan aksi peledakan. Sangat diperlukan upaya pengungkapan secepatnya kasus hilangnya dinamit untuk mencegah berbagai spekulasi.

Upaya pengungkapan kasus itu pertama-tama merupakan tugas dan tanggung jawab aparat kepolisian. Jelas pula, upaya kepolisian itu perlu mendapat dukungan luas masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat memiliki kepentingan untuk mengembalikan dinamit itu kepada pihak yang berhak dan berwenang.

Penyalahgunaan dinamit oleh penjahat dan lebih-lebih oleh kaum teroris akan membahayakan siapa saja tanpa terkecuali. Lebih-lebih, aksi teroris cenderung tidak memilih-milih dan memilah-milah sasaran.

(Tajuk Rencana Kompas, 29 Juni 2019)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Intelektualisasi Politisi (M Alfan Alfian)

Experience without theory is blind,
but theory without experience
is mere intellectual play

Immanuel Kant

Tidak terlampau berlebihan kalau banyak yang mengatakan, krisis intelektualitas amat terasa di dunia politik kita saat ini.
Proses, dinamika, hingga produk-produk politik banyak yang jauh dari semangat dan nilai intelektualitas. Elite yang berkuasa (the rulling elites) memang tidak didominasi kaum intelektual meski intelektualitas bukan monopoli kaum intelektual. Dalam konteks inilah intelektualisasi politisi dipandang mendasar.

Indonesia pernah mengalami masa di mana dunia politik nasional didominasi politisi-intelektual. Pada masa itu perdebatan intelektual ingar-bingar. Presiden Republik Indonesia pertama, Bung Karno, adalah tipe politisi intelektual. Sebelum kemerdekaan, Bung Karno banyak menulis gagasan tentang bangsa, kemanusiaan, dan anti-penjajahan. Politisi zaman itu genealoginya intelektual terdidik.

Generasi kita di zaman sekarang dengan mudah menelusuri rekam jejak pemikiran politik mereka. Bung Karno, misalnya, menulis Di Bawah Bendera Revolusi, Bung Hatta Demokrasi Kita, Bung Sjahrir Perjuangan Kita, Tan Malaka Madilog, Pak Natsir Capita Selekta, AH Nasution Memenuhi Panggilan Tugas, dan TB Simatupang Laporan dari Banaran. Hampir semua menulis secara otentik. Pandangan dan sikap politiknya jelas. Itulah cermin generasi politisi intelektual terdidik.

Ideologis ke teknokratis
Di zaman kita, hal itu tidak terjadi lagi. Definisi kaum intelektual lebih cair, tidak semata yang berpendidikan tinggi. Fragmentasi ideologis tidak setajam masa lalu. Karena itu, kebutuhan untuk berdebat ideologi dan berpolemik di media massa dipandang kurang relevan. Yang semarak adalah talk show di televisi yang durasinya singkat dan para politisi dituntut bisa atraktif.

Bahkan, tidak ada tuntutan intelektualitas penyusunan visi- misi ketika hendak maju sebagai pejabat politik. Tradisi menulis buku juga langka, kecuali buku- buku semi-biografi untuk kepentingan politik-pragmatis.

Kita sudah melalui fase perdebatan bertele-tele di Badan Konstituante, Dekret Presiden pada 1959, dan kemudian masuk ke era Orde Baru, di mana tradisi perdebatan intelektual bergeser drastis: dari perdebatan ideologis ke teknokratis. Para politisi di masa Orde Baru dihadapkan pada pola pikir baku pembangunanisme. Mereka yang berpikir di luar kerangka itu, misalnya perspektif dependensia, letaknya di luar arus utama kekuasaan.

Intelektualisasi politik Orde Baru, proses dan hasil akhirnya terlihat dari produk Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN adalah produk intelektual "sakral" yang harus dijalankan oleh Presiden.

Pola pikir teknokratis juga merangsek ke DPR dan mewarnai produk-produk legislatif. Pemerintah lebih proaktif mengajukan rancangan undang-undang dan mengoptimalkan pengaruhnya sehingga DPR jadi semacam "tukang stempel".

Nuansa "penyeragaman politik" terasa sekali ketika itu. Dalam logika Orde Baru, itu semua untuk kebaikan bersama: menopang stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan. Logika intelektualitas membuat kue besar dan kemudian terbagi rata mengemuka. Teori menetes ke bawah (trickle down effect) populer.

Reintelektualisasi
Baik intelektual zaman ideologis maupun teknokratis membentuk pengalaman masing-masing. Pada era reformasi, ketika situasi kepolitikannya lain, kaum intelektual banyak yang terakomodasi di dunia politik. Pada mulanya mereka pelopor dan dinamisator reformasi. Mereka begitu mewarnai panggung politik di era transisi meski harus berbaur dengan politisi lama sebagai konsekuensi pola politik, meminjam Huntington, transplasi.

Reformasi diterjemahkan dan kemudian mewujud pada konstitusi, sistem kepolitikan, lembaga, dan otonomi daerah yang serba baru, hingga sosialisasi gagasan empat pilar kebangsaan oleh MPR. Semua itu hadir di tengah iklim kebebasan politik dan pers mutakhir. Tidak ada lagi yang terlampau disakralkan, termasuk Pancasila yang dipandang secara rasional, bukan mitologis dan indoktrinatif.

Intelektualisasi berarti rasionalisasi. Semua produk politik bisa direvisi dengan pertimbangan ada aspek rasional yang lebih penting. Bahkan, pada praktiknya, banyak produk legislasi, terutama bidang politik selalu berubah-ubah. Terasa sekali politisi kita gagal mendesain produk legislasi yang basis akademisnya kuat dan bisa langgeng. Faktor penting lain adalah adanya Mahkamah Konstitusi sebagai otoritas yang bisa "merevisi" produk-produk legislasi itu. Masyarakat dan para intelektual di luar arus kekuasaan berpeluang "berpolitik" melalui mekanisme uji materi (judicial review).

Banyaknya produk politik yang tidak optimal, karena prosesnya terlampau berorientasi kepentingan pragmatis, membuat nuansa intelektualitas di panggung politik nyaris tak terasa. Argumen-argumen teoretis kurang mendapat tempat.

Meminjam Immanuel Kant di atas, tampaknya kita lebih banyak merasakan experience
without theory. Sementara kaum intelektual tidak begitu berminat masuk politik. Mereka cenderung apatis karena politik bebas dirasa kurang menguntungkan bagi yang punya gagasan. Gagasan sebagai ciri kaum intelektual terbentur batas-batas kepentingan. Karena itu, produk politik bukan lagi muara gagasan, tetapi konsensus kepentingan.

Kita perlu peran lebih besar kaum intelektual dalam politik walaupun mereka tidak harus terlibat dalam politik sehari-hari. Kaum politisi pun harus membuka diri dan bekerja sama lebih erat dengan para intelektual agar terbentuk pola intelektualisasi politik yang mandiri dan kreatif.

M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana
Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta

(Kompas cetak, 29 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Marginalisasi Perguruan Tinggi (Satryo Soemantri Brodjonegoro)

Sampai detik ini, pemahaman publik tentang fungsi perguruan tinggi ternyata belum utuh dan masih salah kaprah. Kesalahan fatal ialah penempatan perguruan tinggi negeri sebagai unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara perlakuan terhadap perguruan tinggi swasta sebagai unit usaha dari yayasan atau badan wakaf.

Dengan kedudukan seperti itu, perguruan tinggi negeri (PTN) tidak lebih dari sebuah kantor jawatan, sementara perguruan tinggi swasta (PTS) tidak lebih dari sebuah unit usaha. Artinya, di sini terjadi marginalisasi fungsi perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen pembangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan manusia.

Fungsi marginal
Dengan fungsi yang marginal seperti diuraikan di atas, maka PTN hanya menjalankan tugas pemerintah berdasarkan segala ketentuan yang berlaku. Adapun PTS hanya menjalankan usaha yang mendatangkan keuntungan bagi yayasan atau badan wakaf.

Memang PTN dan PTS terkesan menyelenggarakan pendidikan tinggi, tetapi sejujurnya mereka belum melakukan pendidikan tinggi secara utuh dan hakiki. Apa yang dilakukan oleh PTN hanyalah formalitas persekolahan tingkat tinggi (maksudnya setelah SMA/SMK), sedangkan yang dilakukan PTS saat ini adalah persekolahan tingkat tinggi dengan memperlakukan mahasiswa sebagai komoditas.

Akibatnya, mutu pendidikan tinggi di Indonesia sangat rendah karena jauh sekali dari hakikatnya. Secara perseorangan, kualitas dosen dan mahasiswa Indonesia tidak kalah, bahkan sering kali lebih baik dibandingkan dengan negara manapun di dunia. Namun, sebagai institusi, pendidikan tinggi sangat lemah karena pengelolaannya yang tidak sesuai tuntutan zaman saat ini dan tidak sesuai dengan tantangan global yang terjadi sekarang. Telah terjadi kesalahan pemerintah dalam menata kelola perguruan tinggi di Indonesia.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN saat ini hanya mengedepankan pencapaian target pemerintah yang sangat bermuatan politis, seperti halnya angka partisipasi kasar (APK), jumlah mahasiswa miskin, pendirian PTN baru (atau penegerian PTS) di daerah dengan alasan keterjangkauan. Semua itu ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai rencana kerja tahunan.

Kementerian memperoleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mencapai target tahunan tersebut, yang kemudian didistribusikan melalui mekanisme mata anggaran baku kepada setiap PTN. Seluruh kebijakan dan teknis implementasi pelaksanaan pendidikan tinggi ditetapkan oleh kementerian,
PTN hanya melaksanakan perintah kementerian di mana kementerian secara berkala melaksanakan koordinasi dan pemantauan untuk melihat sejauh mana anggaran diserap secara benar berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Kelihatannya tidak ada yang salah dengan mekanisme tata kelola PTN seperti itu karena kebijakan kementerian memberikan kesan bahwa tujuan pendidikan nasional akan dicapai. Namun, sejujurnya, tujuan pendidikan nasional masih belum dicapai, bahkan semakin lama semakin jauh dari pencapaian tujuan tersebut. Sebab, tujuan pendidikan nasional yang hakiki, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa-bernegara, belum tersentuh oleh kebijakan kementerian. Kementerian hanya membuat target capaian fisik yang pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk proyek fisik. Padahal, esensi pendidikan yang sebenarnya adalah pembentukan kapasitas, kompetensi, etika, sosio-kultural, kematangan, daya nalar, kerangka berpikir, dan pengambilan keputusan, yang harus dimiliki peserta didik.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTS juga belum mampu mengemban tujuan pendidikan nasional yang sebenarnya. Sebab, PTS harus memperlakukan pendidikan tinggi sebagai kegiatan bisnis yang menguntungkan. Kalau tidak, maka PTS tidak dapat bertahan hidup karena satu-satunya pendapatan PTS hanya dari uang kuliah mahasiswa, tidak ada bantuan dana yang signifikan dari kementerian ataupun dari pemerintah.

Solusi badan hukum
Dalam hal ini, PTS sama sekali tidak salah jika kemudian melakukan kegiatan transaksional, yaitu peserta didik membayar mahal kepada PTS dan PTS memberikan pendidikan yang terbaik sesuai harapan peserta didiknya. PTS memang tidak harus memenuhi tujuan pendidikan nasional karena harus membiayai dirinya sendiri kecuali jika kemudian pemerintah atau kementerian menugaskan misi tertentu kepada PTS dengan anggaran
yang memadai. Artinya, perlu ada kebijakan nasional bahwa pemerintah
dapat menugaskan PTS bersama PTN mencapai tujuan nasional pendidikan yang hakiki.

Dari pembahasan di atas, jelas sekali kunci pokok permasalahan pendidikan nasional di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi, yaitu perguruan tinggi belum berbadan hukum: hanya perangkat kerja dari kementerian (bagi PTN) dan dari yayasan/badan wakaf (bagi PTS). Karena hanya perangkat kerja, yang dikerjakan perguruan tinggi hanya menjalankan kegiatan proyek fisik (bagi PTN) dan kegiatan yang bersifat transaksional (PTS). Seandainya perguruan tinggi berbadan hukum, maka mereka memiliki otonomi dan independensi yang akuntabel, di mana para akademisi dan peserta didik—yang notabene merupakan insan dengan dedikasi pendidikan yang terbaik—dapat mengembangkan dirinya mencapai tujuan pendidikan nasional yang hakiki.

Pembentukan perguruan tinggi berbadan hukum sangat dimungkinkan di Indonesia seandainya ada kemauan politis yang kuat dari pemerintah dan legislatif, sebagaimana halnya yang terjadi di sejumlah negara di dunia, dengan seluruh perguruan tingginya berbadan hukum. Perangkat hukum hendaknya tidak dijadikan kendala demi terbentuknya perguruan tinggi berbadan hukum. Justru sebaliknya, perangkat hukum dirancang sedemikian rupa demi terwujudnya perguruan tinggi berbadan hukum.

Satu hal yang harus menjadi perhatian pemerintah, legislatif, dan publik, yaitu otonomi bukanlah komersialisasi atau privatisasi. Pemerintah tetap berkewajiban mendanai perguruan tinggi berbadan hukum sesuai penugasan yang diamanahkan, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya di sejumlah negara di dunia, perguruan tingginya berbadan hukum dan pemerintah mendanai perguruan tingginya.

Satryo Soemantri Brodjonegoro Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar ITB; dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

(Kompas cetak, 29 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 28 Juni 2013

Pemilu, Pembuat Pilu (Saldi Isra)

Oleh: Saldi Isra

Apakah "pemilu" lebih tepat dimaknai sebagai pemilihan umum atau sebagai pembuat pilu? Pertanyaan yang cenderung nyeleneh ini muncul setelah melihat beberapa perkembangan terakhir. Contoh paling mutakhir, sebagaimana dilansir Komisi Pemilihan Umum, sejumlah calon sementara anggota DPR keberatan daftar riwayat hidupnya dipublikasikan.

Meskipun secara kuantitas hanya 140 nama yang keberatan (Kompas, 26/6), kejadian ini menjadi bukti awal adanya kesenjangan antara rakyat dan calon wakil mereka di lembaga perwakilan. Jika dalam status "calon sementara" saja menghindar dari prinsip keterbukaan, bukan tidak mungkin pada saat menjadi anggota DPR mereka bertindak di luar logika rakyat.

Dalam konteks demokrasi, pemilu tak hanya dimaksudkan untuk menghadirkan mandat baru bagi suatu pemerintahan, tetapi juga memilih pemimpin yang kredibel. Membiarkan pemilu minus keterbukaan sama saja dengan memilih "kucing dalam karung" dan berpeluang memberikan mandat politik kepada penjahat.

Rangkaian kepiluan
Keberatan membuka daftar riwayat hidup hanya salah satu dari peristiwa memilukan dalam penyelenggaraan pemilu di negeri ini. Sebelumnya, tersiar pula data yang tidak kalah memilukan, yaitu lebih dari 62 persen calon sementara anggota DPR yang diajukan partai politik berdomisili dalam wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).

Bagi sebagian partai politik peserta pemilu, angka itu pasti tidak sepenuhnya dilihat sebagai persoalan serius dalam konsep representasi. Penumpukan calon di Jabodetabek akan menghadirkan pula anggota DPR yang secara faktual bukan berasal dari atau mewakili daerah pemilihan. Karena itu, tidak terlalu berlebihan pula bentangan fakta selama ini banyak anggota DPR hilang keterikatan dan ketersambungan dengan pemilih setelah pelaksanaan pemilu.

Dengan komposisi seperti itu, sebagian anggota DPR kehilangan legitimasi secara signifikan untuk merepresentasikan kepentingan daerah pemilihan. Karena itu, tidak perlu heran jika dari satu periode ke periode pemilihan yang lain seorang calon memilih daerah pemilihan yang berbeda. Selain menegasikan signifikansi daerah pemilihan, parpol yang memilih dan mempertahankan pola seperti ini gagal keluar dari sentralisme kekuasaan di tengah tuntutan desentralisasi.

Tidak hanya dalam soal jumlah yang tersentralisasi di Jabodetabek, daerah kian pilu juga karena parpol cenderung menempatkan calon yang tak berdomisili di daerah pemilihan pada nomor urut kecil. Bahkan, sebagian terbukti tak menunjukkan kepedulian di daerah pemilihan dan sebagian hadir dengan catatan bermasalah. Benar, yang terpilih adalah mereka yang meraih suara terbanyak, tetapi merujuk pengalaman yang ada, calon yang berada di nomor urut kecil memiliki peluang lebih besar terpilih.

Selain gambaran di tahapan pencalonan, kepiluan lain juga dapat ditelusuri dari praktik politik uang yang makin masif. Sadar atau tidak, penyelenggaraan pemilu dalam beberapa waktu terakhir benar-benar menjebak rakyat dalam memilih. Anjuran "terima uangnya, tetapi jangan pilih orangnya" gagal mencegah meruyaknya praktik politik uang. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, anjuran tersebut telah memerosokkan pemilih kian pragmatis dan permisif dalam politik uang.

Ketika upaya meraih dukungan pemilih oleh sebagian calon anggota DPR dilakukan dengan politik berbiaya tinggi, segala cara dilakukan demi menumpuk uang. Terlepas dari mana sumber uangnya, hampir dapat dipastikan, bagi sebagian yang terpilih jadi anggota DPR, mengembalikan modal selama proses pemilu jelas jadi target khusus mereka. Tak perlu heran bila sebagian anggota DPR tersangkut kasus korupsi "menggoreng" anggaran di DPR.

Tidak hanya anggota DPR, berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri, hingga akhir Mei 2013 juga terdapat 293 kepala daerah terbelit masalah hukum. Tak hanya eksekutif, legislator daerah pun terjangkit masalah serupa.

Jalan keluar
Gambaran rangkaian kepiluan tersebut tak perlu terjadi sampai pada level yang dapat dikatakan akut. Di antara cara yang paling mungkin, parpol memperbaiki komitmen mereka untuk mengubah potret buram perjalanan demokrasi di negeri ini. Dalam banyak kesempatan, saya acap kali mengemukakan, kunci utama memperbaiki kondisi saat ini: parpol harus dibenahi dengan serius dan mendasar. Tidak sebatas itu, parpol juga harus didorong bergerak dengan paradigma baru.

Alasan mendasar untuk mengatakan bahwa parpol sebagai kunci utama tidak dapat dilepaskan dari posisinya dalam UUD 1945. Jamak diketahui, pasca-perubahan UUD 1945, hampir tidak ada proses pengisian lembaga-lembaga negara yang tidak bersentuhan dengan parpol. Terkait masalah ini, dalam sesi tanya jawab diskusi Lingkar Muda Indonesia (LMI)-Kompas (15/5/2013), dikemukakan, posisi parpol benar-benar superior dan punya peran paling menentukan dalam pengisian lembaga-lembaga demokrasi, termasuk dalam pengisian anggota DPR, DPRD, dan presiden/wakil presiden.

Dengan memperbaiki komitmen, parpol tidak akan bergerak di luar kendali dalam membangun demokrasi. Komitmen yang dibutuhkan antara lain meraup suara pemilih minus politik uang. Selama parpol gagal menempatkan praktik politik uang sebagai sesuatu yang haram, jangan pernah bermimpi pemilu akan segera memendekkan jarak guna mencapai tujuan bernegara. Jangankan memangkas jarak, bukan tidak mungkin negeri ini akan kian terlilit dalam labirin kepiluan.

Sebelum itu terjadi, sebagai pemegang kedaulatan, rakyat (terutama pemilih) harus berada di garis terdepan mengakhiri rangkaian kepiluan yang terjadi. Karena sekarang dalam situasi menjelang Pemilu 2014, harusnya rakyat menghukum parpol yang telah terbukti menghadirkan rangkaian kepiluan. Misalnya, bagi parpol yang memaksakan calon bukan dari daerah pemilihan yang bersangkutan, langkah menolak harus dilakukan secara masif dan sistematis.

Rakyat harus mampu mengakhiri bahwa pemilihan anggota DPR ajang pesta calon dari Jabodetabek. Hukuman setimpal pun perlu diberikan kepada parpol yang selama ini cenderung mengabaikan rakyat. Karena itu, perlu komitmen bersama: Pemilu 2014 tidak lagi memberikan kesempatan bagi politisi yang memiliki kebiasaan menggadaikan mandat rakyat. Sekiranya hal ini terjadi, pemilu tidak lagi perlu dimaknai sebagai pembuat pilu.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas

(Kompas cetak, 28 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Memastikan Dana Kampanye Halal (Ray Rangkuti)

Secara umum, pengertian dana kampanye yakni setiap penggunaan dana dalam bentuk apa pun untuk kepentingan kampanye partai politik atau calon anggota legislatif.
Segala bentuk sumbangan yang diperuntukkan untuk kepentingan kampanye harus dicatatkan sebagai dana kampanye. Sesuai ketentuan, kelak setelah 15 hari pelaksanaan pemilu legislatif seluruh penerimaan dan pembelanjaan dana kampanye harus dilaporkan oleh partai politik kepada akuntan publik yang ditunjuk KPU.

Pengaturan tentang penerimaan dan pembelanjaan dana kampanye dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilu legislatif sebenarnya memadai untuk mengantisipasi penggunaan dana haram dalam kampanye. Dana haram berupa masuknya dana ilegal, seperti dana hasil korupsi, suap, pencucian uang, bahkan sumbangan negara atau individu dari asing. Atau juga dapat mengantisipasi penggunaan dana kampanye untuk tujuan-tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebut saja misalnya untuk kepentingan politik uang, suap kepada para penyelenggara, dan sebagainya.

Selain dana kampanye parpol yang harus memiliki satu rekening khusus dan dilaporkan ke KPU, parpol juga harus memiliki rekening khusus partai politik yang harus dilaporkan secara berkala ke KPU. Dengan dua model rekening ini, secara umum dimaksudkan untuk mengantisipasi masuknya dana haram, entah untuk tujuan kegiatan harian parpol atau kegiatan kampanye parpol dan caleg pada waktu pemilu, ke rekening parpol.

Dengan pengaturan berlapis seperti ini, pada dasarnya hampir sulit bagi parpol menerima dan menggunakan dana haram. Namun, mengapa selalu tak terdeteksi masuknya dana haram, padahal gejalanya sangat mudah dilihat di lapangan. Misalnya tingginya iklan, entah itu partai politik maupun caleg, bahkan kandidat calon presiden dari partai politik? Tiga persoalan di bawah ini layak diperhatikan.

Dana kampanye
Salah satu sebabnya adalah tidak ada pemisahan dan pengaturan yang dipahami secara sama dan menjadi ketentuan antara apa yang disebut sebagai dana kampanye parpol dan dana kampanye anggota caleg. Umumnya, dalam bayangan kita, dana kampanye partai politik merupakan sesuatu yang terpisah dengan dana kampanye anggota caleg. KPU hanya boleh masuk untuk menguji kesahihan pemasukan dan penggunaan dana kampanye partai politik. Sementara dana kampanye caleg diabaikan, bahkan dilihat sebagai bukan obyek hukum.

Akibatnya, kita mengalami apa yang lazim selama ini, yakni dana kampanye parpol yang dilaporkan ke KPU tak berbanding sama dengan intensitas kampanye yang dilakukan. Lebih parah lagi, pada banyak kasus, biaya kampanye yang dikeluarkan parpol atau caleg dibebankan kepada individu, khususnya kepada caleg atau calon presiden yang diusung. Di sinilah belanja kampanye yang riuh luar biasa itu tak terdeteksi. Di wilayah ini pula masuknya dana haram ke dana kampanye tidak dapat diendus.

Apakah memang begitu maksud regulasi kampanye? Untuk melacaknya perlu dibaca secara teliti Pasal 129 Ayat (1) UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif. Di sana dinyatakan bahwa kegiatan kampanye pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota didanai dan jadi tanggung jawab parpol peserta pemilu masing-masing.

Ada dua kata kunci dalam ayat tersebut. Pertama kegiatan kampanye caleg nasional dan daerah, dan kedua didanai dan menjadi tanggung jawab parpol. Dari dua kata kunci itu dapat ditarik satu gambaran bahwa seluruh kegiatan kampanye, baik oleh parpol sendiri maupun oleh caleg dari parpol bersangkutan, didanai dan menjadi tanggung jawab parpol sendiri. Artinya, seluruh belanja dana kampanye, baik parpol maupun caleg, hanya bisa dikeluarkan oleh partai politik. Dengan sendirinya seluruh penggunaan dana kampanye yang tidak berasal dari dana kampanye partai politik mestinya dilihat sebagai tindakan ilegal.

Pasal ini juga menafikan dengan tegas istilah dana kampanye caleg. Dana kampanye yang dikeluarkan secara pribadi harus tetap dilaporkan ke rekening dana kampanye parpol untuk dicatatkan sebagai sumbangan pribadi terhadap dana kampanye yang nilainya tidak boleh lebih dari satu miliar rupiah (Pasal 131 Ayat 1 UU No 8/2012).

Dana kampanye yang bersifat personal, baik dalam penerimaan maupun pembelanjaan, hanya dikenal dalam kampanye calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 132 UU No 8/2012). Di luar itu, semua dana kampanye merupakan tanggung jawab partai politik.

Sanksi pelanggaran
Dengan membaca secara cermat pasal di atas mestinya tidak perlu ada keraguan untuk menyatakan sistem pemilu kita tak mengenal istilah dana kampanye caleg. Apalagi sampai berpikir membuat kebijakan untuk pengaturan tersendiri dana kampanye caleg. Uniknya, sekalipun akan diatur, dinyatakan tak akan ada sanksi kecuali sanksi sosial. Tindakan salah dalam politik mestinya mendapat sanksi politik juga, bukan sanksi sosial.

Sanksi atas pelanggaran dana kampanye telah ditentukan di UU No 8/2012. Masalahnya, sanksi yang dimaksud pada tingkat tertentu kurang memberikan efek pada pembangunan sistem. Bahwa individu-individu dapat dijerat tidak dengan sendirinya akan memberikan efek menyeluruh bagi partai politik. Sanksi pidana dan denda, misalnya, hanya dibebankan kepada individu atau badan usaha. Di segi yang lain, kelebihan sumbangan dana kampanye wajib disita negara. Partai politik dapat melenggang maju sekalipun berbagai pelanggaran melingkupinya.

Sejatinya KPU dapat mempertimbangkan untuk mendiskualifikasi parpol atau caleg yang terbukti melakukan pelanggaran dana kampanye. Sanksi diskualifikasi ini merupakan sanksi politik bagi mereka yang tidak taat asas dalam pelaksanaan kampanye. Sanksi sosial atas tindakan politik tak akan memberi efek jera yang signifikan kepada para politisi. Sejarah kita telah membuktikan hal itu.

Dasar dari ketentuan diskualifikasi dapat ditemukan pada Pasal 90 UU No 8/2012. Di sana dinyatakan, pelaksana kampanye dapat dicoret dari daftar calon tetap atau dibatalkan kemenangannya jika melakukan pelanggaran tata cara kampanye.

Penyelenggara pemilu
Namun, di atas semua regulasi ini adalah soal kesiapan dan kemauan dari penyelenggara pemilu, khususnya KPU, garda terdepan penegakan aturan tata cara dan dana kampanye. Kita bisa membuat segala macam aturan, tapi jelas sejumlah aturan itu hanya menjadi tulisan jika KPU memandang dan menghadapi persoalan dana kampanye ini dengan setengah hati.

Dalam Pemilu 2014 ini, perhatian atas pemasukan dan penggunaan dana kampanye seharusnya menjadi salah satu fokus kita. Tanpa kemauan yang ketat dan fokus mengatur ini, penyakit politik uang dan penggunaan dana haram dalam pemilu akan terus berulang dan lama-lama akan menjadi tradisi yang dipandang sebagai kebiasaan. Padahal, jelas itu sangat merusak prinsip pemilu yang jujur, bersih, dan adil.

Ray Rangkuti
Direktur Lingkar Madani
untuk Indonesia

(Kompas cetak, 28 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Refleksi di Usia 48 Tahun (Tajuk Rencana Kompas)

Enam windu hadir melayani publik boleh jadi satu kurun waktu yang panjang. Namun, sepanjang waktu pengabdian, ketabahan amat diperlukan.

Ketahanan menghadapi tantangan zaman menjadi keharusan. Itulah yang menjadi refleksi harian ini saat memperingati hari ulang tahun ke-48, 28 Juni 2013. Salah satu gugatan yang paling menggelitik adalah, "Apa lagi yang dapat dilakukan Kompas dan pers Indonesia?" Pertanyaan itu tidak mengada-ada. Sebab, lepas dari sekadar untuk diri sendiri, Kompas yang lahir di era penuh gejolak di pertengahan tahun 1965 juga menjadi saksi atas zaman itu, dan juga zaman sesudahnya hingga hari ini.

Kini, 15 tahun setelah Reformasi, kita berharap ada kemajuan besar yang diukir negara kita. Benar, RI telah masuk menjadi kelompok elite dunia G-20, laju pertumbuhannya relatif tidak mengecewakan, demikian pula pendapatan per kapita warganya. Namun, bagi insan pers dan semua warga yang peduli, makin sering mengemuka perasaan dan pertanyaan, "Tetapi, terasa benar masih ada lubang besar yang menganga dalam kehidupan berbangsa kita." Misalnya, sering kita bergumam, "Kok begitu, ya, perilaku politisi kita?" Atau, "Kok masih banyak juga kaum miskin di tengah masyarakat kita justru ketika sebagian di antaranya semakin kaya?"

Kita juga mengamati, negara semakin bergantung pada asing, bahkan untuk kebutuhan dasar strategis, seperti pangan dan energi. Ketahanan kita di kedua bidang pokok tersebut sekarang ini rapuh.

Pers terusik dengan realitas seperti itu. Dalam idiom pers, kita memang sudah bebas dari (free from), tetapi lalu bebas untuk apa (free for).

Tersirat kita memikirkan, sebetulnya pers bisa menggali sistem pemilu seperti apa yang bisa menghasilkan anggota legislatif yang lebih berbobot daripada yang dihasilkan pemilu beberapa waktu terakhir.

Dalam sambutan saat menerima Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi yang diberikan harian ini, Karlina Supelli menyebutkan, sejumlah bankir tertarik belajar filsafat ekonomi karena terganggu nuraninya melihat arah perkembangan ekonomi saat ini.

Ya, kita yakin masih ada reportase yang bisa didedikasikan pers demi perikehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik dan bermartabat. Amanah itu niscaya harus dilakukan segera, betapa pun pers sendiri dewasa ini tengah menghadapi guncangan yang tidak ringan. Gegap gempita media baru, yang telah merebut hegemoni media konvensional, menjadi wacana aktual. Namun, pemikir pers seperti Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya—Blur—tetap mengingatkan, justru di era simpang siur informasi sekarang ini, pers tetap dituntut pintar menghadirkan informasi yang benar.

Kita berpandangan, bukan saja informasi yang benar, melainkan juga yang menginspirasi bagi lahirnya masa depan Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.

(Tajuk Rencana Kompas, 28 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Ranah Kognitif (Liek Wilardjo)

Oleh: Liek Wilardjo
 

Pendidikan di Indonesia bermasalah, bahkan disebut karut-marut. Ada anggapan bahwa biang keroknya adalah penekanan yang berlebihan pada aspek kognitif, sedangkan aspek afektif tidak diperhatikan.

Tudingan terhadap penekanan yang berkelebihan pada aspek kognitif dibantah Iwan Pranoto (Kompas, 20/6/2013). Dalam aspek kognitif, siswa Indonesia justru sangat lemah. Mereka baru sampai pada aras yang paling rendah, yakni ranah "mengingat" (rote learning).

Unta ke-18
Kelemahan itu masih tampak bahkan sampai S-3. Pernah saya memberikan kepada para mahasiswa S-3 soal yang saya dapatkan dari Dr Soegeng Hardiyanto (rekan dosen S-3). Soal itu ia dapatkan dari dosennya di Muenchen, Prof Dr Carl Friedrich von Weizsaecker (alm), seorang astrofisikawan-cum-filsuf.

Soalnya begini: Seorang ayah mewariskan 17 ekor unta kepada ketiga anaknya dengan ketentuan bahwa tidak boleh ada unta yang dijual atau disembelih. Anak sulungnya mendapatkan separuh, anak kedua mendapatkan sepertiga, dan anak bungsunya sepersembilan. Karena amanah itu tak dapat dipenuhi, paman ketiga bersaudara itu membantu mereka dengan memberikan seekor untanya. Maka, si sulung menerima sembilan ekor unta, adiknya enam ekor, dan si bungsu kebagian dua ekor. Seekor lagi dikembalikan kepada paman mereka.

Pertanyaannya, (1) tinjaulah soal ini secara logika, dan (2) benarkah kalau dikatakan bahwa "realitas ialah unta yang ke-18"?

Ternyata, para mahasiswa S-3 mengalami kesulitan untuk menjelaskan soal ini. Ada yang menjawab dengan menyalahkan soalnya karena tidak sesuai dengan syariah hukum waris.

Dalam artikelnya, Iwan Pranoto mengatakan: "Jika siswa menuliskan 2+3 = 7, itu bukan tidak jujur, tetapi salah." Ya, itu salah. Tegasnya, salah secara logika, artinya tak panggah (inkonsisten) dengan kaidah penjumlahan yang telah ditetapkan dan dimufakati. Namun, apa yang benar secara logika belum tentu benar secara faktual-empiris.

Dalam ranah ilmu real (vis-a-vis ilmu formal), kelogisan baru merupakan syarat-perlu, belum syarat-cukup. Logika penting sekali. Agaknya inilah yang ditekankan dalam bimbingan belajar (bimbel) untuk menghadapi tes pilihan berganda (multiple choice). Penguasaan materi (mastery of content) dianggap tidak penting. Di program S-3, kuliah (coursework) juga disepelekan. Yang dianggap penting hanya penelitian. Materi mata kuliah dianggap tidak penting. Yang penting, katanya, ialah perspektifnya (apa pun yang dimaksudkan dengan "pespektif" itu).

Einstein memperoleh Hadiah Nobel untuk penjelasannya atas efek fotoelektrik, yakni terlepasnya elektron dari permukaan logam bila permukaan itu ditimpa cahaya dengan frekuensi yang melebihi nilai ambang tertentu. Persamaannya ialah K = E - W. K, E, dan W berturut-turut adalah tenaga gerak elektron, tenaga foton cahaya, dan usaha yang diperlukan untuk melepaskan elektron dari ikatannya di dalam logam.

Secara logika, untuk E tertentu, K akan lebih besar untuk W yang lebih kecil. Bila diekstrapolasikan ke W = 0, maka diperoleh K yang terbesar. Ini logis, tetapi tidak faktual.

Kenyataannya, kalau W = 0, peristiwa efek fotoelektrik itu justru tidak terjadi, berarti K juga tidak ada! Kebenaran logis tidak menjamin kebenaran faktual. Logika yang kuat sangat penting, tetapi penguasaan materi juga tidak kalah penting.

Muatan moral
Saya setuju dengan Iwan Pranoto bahwa siswa-siswa kita lemah dalam ranah kognitif. Saya juga setuju dengan Iwan Pranoto bahwa kelemahan ini tidak dapat diatasi dengan mendongkrak "citra sok moralis", seperti terkesan dalam Kurikulum 2013. Saya yakin, dengan menekankan pentingnya aspek kognitif, Iwan Pranoto tak bermaksud untuk mengabaikan aspek-aspek psikomotorik dan afektif. Ketiganya harus berimbang dengan proporsi yang sesuai dengan inklinasi siswa dan profesi yang hendak dimasukinya kelak.

Kalau ikatan kovalen dalam molekul hidrogen (H2) dipakai untuk mengkhotbahkan nilai yang baik, yakni semangat berbagi, itu sok moralis. Menurut "kelirumologi"-nya Jaya Suprana, ikatan kovalen itu eksplanasi teoretis yang bersesuaian dengan fakta empiris, bukan dakwah moralitas. Kedua inti atom hidrogen dan kedua elektron dalam molekul itu mempunyai ikatan kovalen bukan karena sikap moralnya, tetapi karena entitas-entitas niratma (inanimate) itu tidak mempunyai kehendak bebas. Mereka tidak memilih ikatannya, apalagi mendasarkan sikapnya pada pertimbangan nilai-nilai moral. Mereka itu amoral.

Obsesi sok moralis ini tampak juga pada soal bahasa Indonesia yang membuat sementara partisan PKS gusar sebab soal pilihan berganda itu membawa-bawa nama Luthfi H Ishaaq.

Liek Wilardjo
Fisikawan
(Kompas cetak, 28 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Lingkungan dan Distorsi Pemaknaan (Khalisah Khalid)

Khalisah Khalid
 

Isu lingkungan sudah menjadi isu utama publik. Semua orang sudah menggemari kata "hijau" sebagai sebuah "label" gaya hidup.
Sebagai bagian penting dalam demokrasi partisipatori, kepedulian publik terhadap isu lingkungan tentu menjadi angin segar. Sebab, pada akhirnya salurannya bermuara pada kehendak publik untuk mendorong arah kebijakan lingkungan yang lebih baik.

Sayangnya, kepedulian publik tidak berjalan lurus dengan kebijakan yang pro publik dan lingkungan. Analisis kondisi lingkungan triwulan I-2013 yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menunjukkan, angka protes rakyat dalam tiga bulan terkait isu lingkungan sebanyak 123 peristiwa dengan isu hutan sebagai isu terbanyak. Namun, respons negara hampir tidak ada.

Distorsi pemaknaan
Dalam pertemuan para pakar lingkungan di Walhi, ada kebahagiaan dan sekaligus kegelisahan dengan situasi itu. Bahagia, karena kini lingkungan menjadi isu utama di semua sektor dan lapisan masyarakat. Namun gelisah, karena yang kemudian dipahami adalah lingkungan bergeser menjadi komoditas baru. Diskursus lingkungan bergeser ke mekanisme pasar sehingga perubahan iklim, misalnya, disimplikasi hanya pada pembahasan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) dengan mekanisme perdagangan karbon.

Pasar mendesain lingkungan sebagai kesempatan untuk memperluas jangkauan ekspansi dan mengakumulasi keuntungan dengan berbagai label dan standar hijau yang ditentukan pasar, seperti green property dan green farming. Agenda hijau dikooptasi kekuatan pasar yang mendorong masuknya mekanisme perdagangan bebas yang tidak adil.

Bahkan, pemerintah menempelkan ekonomi hijau pada proyek MP3EI (Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) untuk menunjukkan seolah-olah MP3EI model pembangunan berkelanjutan. Namun, itu pun setelah menuai banyak kritik.

Tania Murray Li dalam bukunya, The Will to Improve, menyebutkan, di negeri penjajah dan jajahan, laba yang membesarkan modal usaha disubsidi lewat investasi infrastruktur yang dibangun rezim penguasa dengan uang publik. Intervensi penguasa perlu agar perekonomian kapitalis berkembang.

MP3EI menjadi relevan jika urusannya dengan pertumbuhan dan perbesaran kuasa modal karena intervensi adalah syarat bagi pertumbuhan. Namun, menjadi tidak relevan jika dihubungkan dengan krisis yang dialami rakyat dan lingkungan hidup.

Dalam sebuah diskusi panel membedah MP3EI, krisis ekologi, dan konflik agraria, muncul kata kunci bahwa pembangunan berbasis koridor yang bertumpu pada industri ekstraktif dan berwatak eksploitatif hanya akan mempercepat kehancuran ekologi dan meningkatkan angka konflik agraria di Indonesia.

Lingkungan hidup belum dimaknai sebagai hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan dipengaruhi kualitas lingkungan hidupnya. Di sinilah esensi perjuangan atas lingkungan hidup yang baik.

Gerakan politik hijau
Bukan hanya distorsi pemaknaan isu lingkungan hidup yang meresahkan, melainkan yang lebih mengkhawatirkan adalah terjadinya pengotak-ngotakan kampanye lingkungan, selain gerakan penyelamatan lingkungan hidup yang berbasis praksis "gaya hidup" dipisahkan dari sebuah kebijakan politik.

Dalam konsep ideal demokrasi ekologi yang hendak didorong, kebijakan yang menyangkut perlindungan dan pengelolaan lingkungan tak bisa hanya diserahkan pengurusannya kepada segelintir elite yang sering justru menjadi aktor dari perusakan lingkungan.

Pertanyaannya kemudian, adakah yang salah dalam pemaknaan lingkungan hidup hari ini oleh masyarakat yang tidak terdampak langsung cemaran limbah industri seperti mereka yang hidup di lingkar tambang atau area perkebunan besar kelapa sawit? Tentu saja tidak.

Apa yang sudah dipahami dan dilakukan masyarakat sebagai tindakan nyata penyelamatan lingkungan tentu bernilai signifikan untuk menyelamatkan lingkungan. Namun, kesadaran kritis masyarakat harus terus didorong pada upaya yang bersifat lebih struktural dan menyasar kebijakan politik.

Politik hijau hendaklah mentransformasikan diri menjadi gerakan politik hijau yang populis di tengah publik yang semakin skeptis terhadap praktik politik buruk hari ini. Yang terpenting adalah bagaimana mengimplementasikan platform besar agenda politik hijau menjadi aksi nyata penyelamatan lingkungan yang pada akhirnya mampu mendorong kebijakan yang berpihak kepada lingkungan hidup.

Semoga Pemilu 2014 menjadi momentum publik untuk menakar sejauh mana lingkungan hidup menjadi platform utama para kontestan pemilu.

Khalisah Khalid
Kepala Departemen Jaringan dan Pengembangan Sumber
Daya Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia

(Kompas cetak, 28 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 27 Juni 2013

Sorotan atas Permintaan Maaf (Tajuk Rencana Kompas)

Permintaan maaf Presiden kepada Singapura dan Malaysia yang terkena asap pekat dari Sumatera dan Kalimantan menimbulkan silang pendapat.

Dalam pernyataan di depan pers awal pekan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, "Atas apa yang terjadi ini, saya selaku presiden meminta maaf dan pengertian saudara-saudara kami di Singapura dan Malaysia. Tidak ada niat Indonesia atas apa yang terjadi ini."

Selanjutnya Presiden mengatakan, "Kami bertanggung jawab untuk mengatasi apa yang terjadi sekarang ini. Dengan pengertian ini, saya harap justru kita akan fokus atasi masalah ini, segera menghentikan kebakaran yang masih ada di ladang ataupun asap itu sendiri."

Tidak sedikit kalangan menilai positif pernyataan permintaan maaf Presiden sebagai upaya menjaga hubungan baik bertetangga. Bagaimanapun, kedua negara tetangga mengeluh terkena dampak asap pekat yang terbawa angin dari Sumatera dan Kalimantan.

Namun, banyak pula orang mempersoalkan permintaan maaf Presiden. Tanpa bermaksud mengurangi keseriusan persoalan asap, permintaan maaf itu dinilai berlebihan. Terutama karena persoalan asap, yang sudah sering terjadi dalam tahun-tahun terakhir, bukanlah isu terlalu rumit. Juga tidak tergolong isu sensitif, yang dapat diselesaikan secara elegan, tanpa harus meminta maaf.

Suka atau tidak, orang pun kembali mengingat-ingat bagaimana Jusuf Kalla ketika menjadi wakil presiden tahun 2004-2009 menanggapi keluhan Singapura dan Malaysia. JK menyatakan, kedua negara tetangga suka mengeluh soal asap, tetapi tidak pernah berterima kasih atas udara segar yang bertiup sepanjang tahun dari hutan Indonesia di Kalimantan dan Sumatera.

Kalaupun argumentasi khas gaya JK tidak digunakan, berbagai pendekatan dapat dilakukan, tanpa harus menyampaikan permintaan maaf oleh Presiden dalam kapasitas sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Ada yang berpandangan, permintaan maaf, jika memang diperlukan, bisa dilakukan oleh seorang menteri atau pejabat setingkat gubernur.

Para analis berpendapat, pernyataan permintaan maaf dalam hubungan dengan negara lain tidak lagi sekadar persoalan etis, tetapi membawa komplikasi, termasuk soal inferioritas dan harga diri. Setiap permintaan maaf dalam hubungan kepentingan dengan bangsa lain selalu membawa komplikasi hukum seperti membayar ganti rugi.

Banyak kasus dalam hubungan antarbangsa, termasuk perang yang meminta korban jiwa dan kerugian harta benda, tidak berujung pada permintaan maaf yang membawa implikasi hukum, mengusik harga diri, dan tanggung jawab ganti rugi material.

Terlepas dari segala silang pendapat, bagaimanapun permintaan maaf dalam dirinya sendiri mengandung keluhuran nilai. Kiranya semangat itu pula yang perlu ditangkap dari pernyataan permintaan maaf Presiden SBY sebagai bagian dari upaya menjaga hubungan baik dengan para tetangga.

(Tajuk Rencana Kompas, 27 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menanti Insan-insan Mandiri Energi (Said Aqil Siradj)

Said Aqil Siradj

Beberapa hari menjelang kenaikan harga BBM, saya menerima surel dari seorang warga asal Lumajang, Jawa Timur. Dia menumpahkan segala unek-uneknya tentang kebijakan BBM di negeri ini.

Dia prihatin mengenai pengelolaan energi yang merupakan salah satu masalah mendasar di negeri kita yang hingga kini sepertinya masih centang-perenang sehingga dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan energi secara adil. Apalagi masih cukup banyak desa tertinggal dan banyak yang, misalnya, belum mendapatkan pasokan listrik.

Tak cuma itu, dia juga mengungkapkan tentang komunitasnya di Lumajang, tepatnya di Dusun Senduro, yang sejak 2010 telah memanfaatkan kotoran ternak sapi perah untuk membuat biogas skala rumah tangga. Dengan pasokan 80 kilogram kotoran dari 4-5 ekor sapi per hari yang menghasilkan 2-4 meter kubik gas metan, komunitasnya bisa memberikan manfaat kepada sejumlah keluarga miskin listrik untuk memasak dan penerangan selama 4-8 jam per hari.

Melalui upaya mandirinya itu, dia melayangkan mimpi untuk mengembangkan energi alternatif dan produk turunannya, seperti limbah biogas, bersama para santri dan pesantren di seluruh wilayah negeri. Tulisnya, "Saya yakin multiflier effect ekonomi akan tercipta, kemandirian akan didapat, mandiri energi, mandiri pangan, dan sejahtera dengan lingkungan yang sehat."

Tentu saja, membaca keliatan upayanya itu saya terharu sekaligus kagum. Sekonyong, saya jadi tercenung dan kian tersentak betapa soal energi perlu menjadi kepedulian bersama. Saya bangga di negeri kita ini ternyata sudah muncul kesadaran yang lantas dibuktikan dengan tindakan kreatif oleh sekelompok kecil masyarakat dengan mengendap-endap, tanpa perlu ekspos besar-besaran, demi mewujudkan apa yang diistilahkan sebagai "kemandirian energi". Melalui sumber daya yang tersedia, mereka mengolahnya menjadi energi yang juga merupakan energi ramah lingkungan.

Tegas dan transparan

Energi fosil yang terus dieksploitasi dirasakan sudah tak banyak diharapkan. Semakin lama akan berkurang dan habis. Sementara kebutuhan energi untuk berbagai bidang kehidupan semakin bertambah. Pertambahan penduduk yang melesak tajam akan sangat berpengaruh terhadap asupan energi.

Tampaknya kita pun sulit semata bergantung pada kebijakan pengelolaan dan pendistribusian energi semisal BBM. Harga yang fluktuatif karena disesuaikan dengan pasar akan rentan dari meroketnya harga yang bisa membuat kelabakan masyarakat. Pengurangan subsidi BBM lantas menjadi pilihan terakhir. Pertimbangannya demi mengurangi beban APBN yang sudah over load dalam soal subsidi BBM.

Kerumitan yang dirasakan pengambil kebijakan seiring dengan munculnya "rumor-rumor" yang beredar luas terkait adanya "mafia minyak" atau "broker minyak", yang juga menjadi salah satu pemicu naiknya harga BBM. Cara-cara mark up jadi kelaziman. Bukan lagi rahasia, sekian lama masyarakat menatapi soal kebijakan yang dipandang "miring". Impor minyak mentah mungkin saja logis karena negeri kita sudah pada posisi net importer. Pasokan minyak dalam negeri sudah tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara fakta lain, batubara yang melimpah justru dijual sangat murah kepada negara asing.

Hal-hal seperti ini perlu mendapatkan klarifikasi (tabayyun) secara tegas. Para pengampu kebijakan harus mau buka-bukaan untuk menjelaskan tentang kebijakan energi yang oleh masyarakat dilihat sebagai kontradiktif. Lebih dari itu, sudah waktunya melakukan langkah konkret dalam memberantas segala penyimpangan terkait dengan pengelolaan energi.

Bila hal-hal seperti itu tak tuntas diselesaikan, jangan heran bila rakyat mudah terbakar saat ada kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM yang berdampak kenaikan harga komoditas lain akan selalu memberatkan masyarakat—terutama kategori miskin, mendekati miskin, dan berpenghasilan rendah—yang secara kuantitas berjumlah besar. Bolehlah diistilahkan masyarakat yang ketiban susahnya, sedangkan mereka yang berada di pusaran bisnis perminyakan tetap nyaman dengan limpah ruah fasilitas dan gaji yang melangit. Lagi-lagi, negara wajib memberikan jaminan sosial (takaful ijtima'i) bagi warganya secara berkesinambungan, bukan instan atau sporadis seperti halnya BLSM yang hanya berumur empat bulan.

Komunitas tercerahkan

Kita masih beruntung ternyata di negeri ini sudah tumbuh kesadaran—baik secara individu maupun komunitas—untuk mewujudkan kemandirian energi. Mereka ini kelompok orang yang tak bergaji besar, bahkan ada yang hidup pas-pasan, tetapi punya tekad besar dan ketelatenan luar biasa untuk ikut berpartisipasi dalam urusan negara dan bangsa. Mereka tak terus larut dalam teriakan kemarahan atau kepedihan akan beban hidup yang kian mengimpit.

Berpikir global dan bertindak lokal! Itulah pameo yang menjadi "energi" mereka untuk terjun berkreasi dan berdedikasi. Dan, manfaatnya sungguh terasa bagi masyarakat sekitar.

Demikianlah kita saksikan civil society dalam sosok komunitas-komunitas mandiri energi bangkit bermunculan. Kita ambil contoh lagi komunitas Qaryah Thoyyibah di Salatiga yang berawal dari paguyuban petani, kemudian mendirikan pendidikan alternatif. Komunitas ini tak mau menyebut pendidikannya dengan "sekolah" karena mereka berpahaman bahwa sekolah telah menjadikan anak didik tidak lebih baik dan kreatif.

Lewat pendidikan, komunitas ini juga telah sekian lama mengembangkan energi alternatif dengan memanfaatkan kotoran hewan dan manusia untuk memasak dan penerangan. Kata-kata tokoh penggiatnya yang pernah saya dengar, "Kami sangat enjoy dengan cara mandiri energi. Biarpun harga minyak atau gas elpiji naik, kami tak ambil pusing karena kami tak bergantung semata pada negara."

Pesantren pun tak kalah gesit dalam berpartisipasi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi. Pesantren sebagai kapital sosial dan aset bangsa yang telah lama mewarnai pendidikan di negeri kita berpotensi besar dalam kiprah ini. Ada pesantren, misalnya, yang sudah memanfaatkan briket arang tempurung kelapa (biobriket) sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah dan gas elpiji. PBNU sendiri sudah melakukan langkah-langkah untuk mendorong pesantren di lingkungan NU dalam rangka kemandirian energi.

Pemerintah punya kebijakan konservasi dan diversifikasi energi nasional. Pemerintah pun meluncurkan program Desa Mandiri Energi sebagai wahana untuk pemenuhan kebutuhan energi melalui energi terbarukan dan sumber daya lokal. Ada juga program Keluarga Mandiri Energi untuk mendorong setiap keluarga mampu memenuhi kebutuhan energi minimal 60 persen. Kebijakan ini tentu butuh partisipasi masyarakat yang berlanjut dengan harapan melahirkan makin banyak insan-insan Indonesia tercerahkan, yang kreatif dan mandiri, demi menuju Indonesia Mandiri Energi.

Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU

(Kompas cetak, 27 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Manisnya Gratifikasi Itu (Mochtar Naim)

Mochtar Naim

Di negara Dunia Ketiga, seperti NKRI ini, kebanyakan pembangunan berskala besar di berbagai bidang kegiatan—baik industri, perdagangan, maupun jasa—digerakkan dan dikelola oleh korporasi makro multinasional. Di Asia Tenggara, khususnya, digerakkan konglomerat warga keturunan China.

Karena bidang politik dan pemerintahan formal masih terpegang di tangan kelompok elite birokrat pribumi, yang terjadi adalah kerja sama di bawah tangan antara para konglomerat yang memerlukan izin dan fasilitas formal dari birokrat elite pribumi. Sementara itu, sebaliknya, birokrat elite pribumi memerlukan gratifikasi dari para konglomerat dengan dalih gaji formalnya kecil dan fasilitas yang tersedia terbatas.

Contoh sekilas saja, di Padang, LG, untuk mendapatkan izin membangun kompleks mal, hotel, sekolah, rumah sakit swasta bertaraf internasional, merasa perlu menyerahkan bantuan keuangan kepada sejumlah lembaga sosial, adat, agama, dan pendidikan. Masing-masing Rp 50 juta disampaikan secara terbuka dan resmi. Bayangkan, berapa gratifikasi yang tak mungkin diberikan secara terbuka, tetapi di bawah tangan, yang didapatkan para pejabat yang di tangannya terpegang izin membangun megaproyek berkelas internasional dan bertingkat belasan ataupun puluhan lantai seperti di Jakarta dan kota besar lainnya itu?

Ketentuan perundang-undangan secara formal di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, bagaimanapun, melarang gratifikasi itu. Karena itulah, puluhan bupati, wali kota, gubernur, dan para pejabat di pusat dan di daerah didelik dan dipenjarakan meski dengan hukuman yang rata-rata relatif ringan.

Praktik gratifikasi ini, bagaimanapun, hanyalah bagian kecil dari jaringan manifestasi perbuatan korupsi yang bersimaharajalela di NKRI ini, yang oleh dunia telah dicap sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Birokrasi pribumi yang feodalistik-hedonistik dengan ekonomi yang liberal-kapitalistik di bawah kendali para konglomerat nonpribumi ternyata telah bekerja sama dalam membangun NKRI ini sejak masa Orde Baru di akhir 1970-an sampai ke masa pasca-Reformasi sekarang ini.

Fakta berbicara

Memang, tak pelak dan tak terbantahkan, pembangunan infrastruktur dan lainnya—terutama di kota-kota besar—berjalan. Tingkat perkembangan ekonomi secara statistik juga menggembirakan, yang lalu dijadikan sebagai buah dari keberhasilan usaha rezim Orde Reformasi yang sedang berkuasa sekarang ini membangun negeri. Namun, hal itu juga karena praktis semua sumber kekayaan alam negeri ini dilimpahkan penguasaannya kepada para korporator multinasional, khususnya para konglomerat nonpribumi itu.

Sukar membayangkannya, tetapi itu adalah fakta yang berbicara. Jutaan hektar tanah yang tadinya tanah ulayat rakyat oleh pemerintah diserahkan hak guna usahanya kepada para korporator multinasional dan konglomerat WNI untuk dijadikan areal perkebunan berskala besar, pertambangan gas dan minyak bumi, pertambangan galian mineral bermacam rupa, serta jutaan hektar hutan dengan kekayaan alam dan rimba kayu khususnya.

Karena ini negara maritim dengan ribuan pulau, tambahkanlah pula kekayaan air dan lautnya yang semua juga diserahkan kepada kelompok korporator dan konglomerat yang sama. Padahal, jumlah mereka hanya beberapa ratus, tetapi dengan itu semua kelompok terkaya di Indonesia ini adalah juga mereka.

Gratifikasi adalah gula yang manis, yang tanpa berbuat pun semua jadi. Kita tinggal menentukan, berapa lu dapat dan berapa gua dapat. Pembangunan pasti akan jalan karena semua itu gua yang menentukan dan lu yang kerjakan. Rakyat? Mereka kan sejak dulu sudah seperti itu.

Mochtar Naim Sosiolog

(Kompas cetak, 27 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Fenomena Kemarau Basah 2013 (Sigit Hadi Prakosa)

Sigit Hadi Prakosa

Masih banyaknya curah hujan di wilayah Indonesia hingga Juni 2013 menimbulkan tanda tanya besar dari sejumlah kalangan. Terutama, petani dan pihak-pihak yang secara langsung terkait terhadap perubahan musim.

Indonesia bagian selatan (Lampung-Nusa Tenggara) paling merasakan dampaknya. Sebab, salah satu puncak musim kemarau, selain Juli dan Agustus, juga terjadi pada Juni. Wilayah itu disinyalir mengalami kerugian cukup signifikan akibat kekacauan pola tanam dan kegagalan panen komoditas lahan kering yang peka terhadap surplus air.

Anomali iklim yang mengarah kepada kemarau basah sebenarnya muncul sejak pertengahan Mei lalu. Jika normal, seharusnya sejak Mei sebagian besar wilayah Indonesia memasuki kemarau. Curah hujan tinggi yang terjadi selama periode itu mengakibatkan periode musim hujan 2012/2013 di sejumlah wilayah di Indonesia menjadi lebih panjang dibandingkan rata-rata.

Analisis klimatologis dinamika atmosfer-lautan menunjukkan, peningkatan hari hujan dan curah hujan di atas normal merupakan dampak hangatnya suhu permukaan laut di wilayah Indonesia. Hingga awal Juni, tercatat suhu permukaan laut di wilayah Indonesia mencapai 29-31 derajat celsius dengan anomali 1-2 derajat celsius. Artinya, ketersediaan uap air di atmosfer Indonesia sangat melimpah sehingga pembentukan awan dan hujan cukup intensif.

Hangatnya suhu permukaan laut wilayah Indonesia, seperti sekarang ini, tak dapat dipisahkan dari fenomena iklim di kawasan Samudra Hindia bagian barat. Adalah Dipole Mode Index (DMI) negatif, yaitu suatu indeks yang digunakan untuk mendeteksi pendinginan suhu permukaan laut di perairan sebelah timur Afrika yang prosesnya bersamaan dengan memanasnya suhu permukaan laut di perairan sebelah barat Sumatera-Jawa.

Hingga awal Juni, DMI negatif tercatat -0,53, menyusul akhir Mei -0,61, yang artinya aliran massa udara global bergerak dari Samudra Hindia bagian barat ke wilayah Indonesia. Penambahan suplai uap air yang hangat dan lembap inilah yang telah memengaruhi cuaca musim kemarau di sejumlah wilayah di Indonesia bagian barat jadi basah.

Adapun identifikasi El Nino Southern Oscillation (ENSO) melalui pantauan anomali suhu permukaan laut di Nino 3,4 (Samudra Pasifik bagian tengah) menunjukkan kondisi normal (+0,03) hingga Mei 2013. Artinya, hingga kini tak terjadi fenomena La Nina meski sinyal kehadirannya terdeteksi lewat pendinginan suhu permukaan laut di Nino 1 dan 2 (Samudra Pasifik bagian timur) dengan anomali mencapai 2 derajat celsius.

Kemunculan fenomena DMI negatif tahun ini tak diduga sebelumnya oleh institusi meteorologi dunia, seperti Jamstec (Jepang), BoM (Australia), ataupun BMKG. Tak seperti fenomena iklim La Nina yang mempunyai siklus rata-rata empat tahun, DMI negatif punya siklus lebih lama, yaitu sekitar lima tahun.

Perubahan sangat cepat dari kondisi normal pasca-DMI negatif 2010 menjadi DMI negatif 2013 praktis membuat prakiraan yang dikeluarkan institusi meteorologi dunia tidak akurat karena prediksi sebelumnya normal hingga akhir 2013. Sampai sekarang, penyebab DMI negatif belum diketahui secara pasti. Namun, menurut banyak pihak, hal itu berkaitan dengan pemanasan global meski hasil riset belum cukup untuk membuktikannya.

Prediksi

Sebagian besar institusi meteorologi dunia memprediksi, hingga Oktober 2013 kondisi ENSO masih akan berlangsung normal, kecuali BoM memprediksi mulai Juni 2013 terjadi La Nina lemah. Analisis klimatologis tren penjalaran suhu permukaan laut ke arah barat memungkinkan pendinginan suhu di Samudra Pasifik bagian timur dapat mencapai Nino 3,4 menjelang musim hujan 2013/2014. Akibatnya, awal musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berpotensi maju (lebih cepat) dibandingkan normalnya. Sementara itu, prediksi DMI oleh BoM memperlihatkan kecenderungan DMI negatif hingga Oktober 2013.

Suhu muka laut di wilayah Indonesia bagian barat yang hangat secara meteorologis dapat memicu pertumbuhan vortex atau pusaran angin di Samudra Hindia sebelah barat Sumatera atau di selatan dan utara Jawa. Aktivitas vortex di perairan ini mengakibatkan konvergensi atau perlambatan kecepatan angin di wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan sehingga berpotensi menghasilkan awan hujan. Dampaknya terhadap iklim adalah meningkatnya curah hujan dan hari hujan selama musim kemarau sehingga curah hujan di atas normal.

Fenomena kemarau basah 2013 boleh jadi akan mirip dengan kemarau basah 2010 karena kondisi iklimnya hampir sama. Bedanya, kemarau basah 2010 dipengaruhi DMI negatif dan La Nina kuat yang muncul hampir bersamaan.

Sigit Hadi Prakosa Analis dan Forecaster Cuaca Iklim BMKG

(Kompas cetak, 27 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pengusaha Membakar Hutan (Laode M Syarif)

Laode M Syarif

Ironi tahunan kemarau terulang lagi. Hutan kita dibakar para pengusaha pembuka hutan dan lahan.

Pelakunya dengan mudah bisa diketahui karena semua hot-spot dan sumber api yang terdeteksi berasal dari kawasan konsesi pembukaan lahan. Adalah omong kosong jika Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah tidak mengetahui perusahaan dan pemilik yang membakar hutan. Satelit NOAA dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG ) dapat menunjukkan hot-spot dan titik api setiap saat. Kesimpulannya, ada pembiaran oleh institusi negara, seperti Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, kepolisian dan pemda, serta tidak adanya kepemimpinan yang nyata dan tegas dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebagai orang yang mengikuti isu pembakaran hutan, saya telah bicara dan menulis tentang pembakaran hutan sejak 1997-1998. Bahkan, saya telah terlibat dalam pelatihan aparat penegak hukum di bidang lingkungan.

Saya pernah menulis di Kompas (15 Agustus 2005) bahwa sejarah pembakaran hutan Indonesia dalam skala masif telah dimulai pada Juni 1982 dan Mei 1983. Hutan yang dibakar di Kalimantan Timur mencapai 3,2 juta hektar. Kerugian ekonomi diperkirakan 9 miliar dollar AS (Hess, 1994). Kejadian serupa berlangsung dalam skala "kecil", sampai kita dikagetkan lagi dengan pembakaran 500.000 hektar hutan pada tahun 1991 dan 5 juta hektar pada tahun 1994.

Namun, pembakaran hutan tahun 1997-1998 merupakan yang terparah karena menghilangkan 9,76 juta hektar hutan. Program Lingkungan PBB (UNEP) melukiskan musibah tersebut sebagai "one of the biggest environmental shocks since 1950 and among the most damaging in recorded history" karena asapnya sampai ke Filipina, Thailand, dan Vietnam. Akibatnya, 70 juta orang di enam negara ASEAN menderita sakit, penerbangan di empat negara ASEAN terganggu, serta tewasnya 234 penumpang pesawat yang jatuh di Sumatera.

Menurut perhitungan Bappenas dan Bank Pembangunan Asia (ADB), kerugian ekonomi akibat asap di tiga negara ASEAN yakni sebagai berikut: Indonesia rugi 9.298 juta dollar AS, Malaysia 321 juta dollar AS, dan Singapura 69,3 juta dollar AS (Glover & Jessup, 1999). Kita tidak belajar dari "kebodohan" tahun 1997-1998 karena setiap tahun pembakaran hutan dan lahan selalu berulang, dan para pelakunya hampir tidak pernah ada yang dihukum.

Pada tahun 2000 dan 2001, pembakaran hutan di Kepulauan Riau dan Sumatera bahkan "menghitamkan" dan menyesakkan Sumatera, Selat Malaka, Malaysia, dan Singapura, bahkan sampai di Thailand Selatan (AFP, 12/7/2001). Tahun 2002, pembakaran hutan di Kalimantan Tengah bahkan menutup Sabah, Sarawak, dan Brunei. Jarak pandang di Palangkaraya hanya 10 meter.

Pada tahun 2003-2005, pembakaran berulang dan pada 11 Agustus 2005 Pemerintah Malaysia menyatakan kondisi darurat dan meminta masyarakat melaksanakan shalat khusus di masjid-masjid memohon hujan turun (BBC News, 11/8/2005).

Ketika saya menyelesaikan tesis doktor saya (Regional Arrangement for Transboundary Atmospheric Pollution in ASEAN Countries) di Sydney University tahun 2006, saya berharap kejadian tahun 2005 merupakan pembakaran yang terakhir. Ternyata, pembakaran dalam skala masif masih terjadi pada tahun 2006 dan tahun-tahun berikutnya. Pemerintah sepertinya tidak peduli.

Dari aturan hukum, pemerintah memiliki perangkat hukum lengkap yang cukup untuk menyeret para pembakar hutan. Sebut saja UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang dengan tegas melarang "pembukaan lahan dengan cara membakar" (Pasal 69 Ayat 1h).

UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga tegas mengatakan, "Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya (Pasal 49)."

Di samping itu, ada juga PP No 4 Tahun 2011 tentang Kebakaran Hutan dan PP No 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang dengan tegas melarang pembukaan lahan dengan cara membakar.

Keempat peraturan hukum tersebut juga menyiapkan sejumlah sanksi, mulai dari sanksi administrasi, sanksi perdata, hingga pidana. Pasal 108 UULH sangat tegas mengatakan, yang membakar lahan "dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.
Apabila suatu tindak pidana dilakukan badan usaha, pidananya ditambah sepertiga dari pidana maksimum. Pemerintah juga dapat memberikan pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan penutupan usaha (lihat UULH, Pasal 116 sampai dengan pasal 120).

Dari catatan saya, perusahaan yang betul-betul serius dijerat dengan UULH hanya PT Adei Plantation. Manajernya Mr C Gobi (warga negara Malaysia) dihukum 2 tahun dan perusahaannya didenda Rp 250 juta. Putusan itu dikuatkan Mahkamah Agung. Sayangnya, aparat penegak hukum hanya fokus pada "perusahaan Malaysia", sedangkan perusahaan pembakar lain dibiarkan.

UULH Pasal 112 menyebutkan, "Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dapat dipidana 1 tahun dan atau denda Rp 5.000.000."

Karena itu, sekarang adalah saatnya bertindak karena para pejabat juga bisa diseret ke meja hijau jika membiarkan pembakaran hutan. Apalagi, tampak di depan mata bagaimana para menteri terkait enggan membuka jati diri perusahaan pembakar hutan dan hanya pada tahap mengancam.

Segera investigasi

Kini saatnya Kementerian Lingkungan Hidup mengajak Kementerian Kehutanan, Polri, BMKG, dan Kejaksaan memulai investigasi. Upaya pemadaman harus dibarengi dengan penyelidikan tindak pidana karena jika tidak disegerakan, sebagian bukti akan hilang. Tim investigasi sudah saatnya dibentuk dan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto sudah saatnya mengimplementasikan multi-doors enforcement approach. Foto, video, dan peta lapangan kebakaran sudah harus dikumpulkan agar tidak dimakan "si jago uang" (pengusaha) yang suka kongkalikong dengan aparat penegak hukum.

Presiden SBY harus memimpin langsung upaya penegakan hukum ini karena telah berani menerima penghargaan lingkungan internasional Valuing Nature Award tahun lalu di New York.

Perlu pula diingat, pembiaran yang dilakukan pemerintah dapat dijadikan salah satu alasan bagi Pemerintah Singapura dan Malaysia untuk menuntut Pemerintah Indonesia karena telah melanggar prinsip-prinsip dasar hukum lingkungan internasional, yakni prinsip bertetangga baik (good neighborliness) dan sekaligus menimbulkan pertanggungjawaban negara (state responsibility).

Dengan tidak bermaksud menakut-nakuti, organisasi masyarakat sipil di Singapura dan Malaysia serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat nasional telah berpikir untuk melakukan gugatan class action kepada pemerintah dan perusahaan yang membakar hutan jika pemerintah tidak bergerak.

Penyelesaian hukum yang tuntas atas kasus tersebut harus dijadikan prioritas utama agar hukum kita tidak dianggap sebagai "harimau ompong" oleh para "raja hutan" pembakar hutan dan lahan. Jangan lagi mengorbankan "orang kecil" suruhan para "raja hutan" yang tega membakar hutan dan memanggang manusia Sumatera dan negeri jiran kita.

Laode M Syarif Pakar Hukum Lingkungan; Penasihat Senior Hukum dan Lingkungan di Kemitraan; dan Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar


(Kompas cetak, 26 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 26 Juni 2013

Menyambut Jaringan Inovatif di Angkasa (Agnes Aristiarini)

Agnes Aristiarini

Saya selalu percaya bahwa setiap perangkat pendukung komunikasi telah memberikan manfaat yang membuat orang saling belajar satu sama lain dan mencapai kebebasan yang mereka cita-citakan. 
Bill Gates
Perintis Microsoft,
Perusahaan Peranti Lunak Terbesar Dunia

Hari-hari ini, orbit satelit di antariksa akan terus disesaki dengan satelit-satelit baru. Dunia memang semakin bergantung pada kehadiran satelit sebagai sarana pendukung teknologi komunikasi. Tidak mengherankan bila persaingan luar biasa juga terjadi pada industri satelit.

Satelit mutakhir yang akan diluncurkan dalam waktu dekat adalah O3b, yang diklaim Steve Collar, CEO O3b, mampu menyediakan koneksi, jangkauan, dan kecepatan di mana pun pengguna memerlukan.

O3b merupakan jaringan satelit generasi baru yang mengombinasikan kemampuan jangkauan satelit dengan kecepatan serat optik. Jaringan O3b didirikan pengusaha perintis Greg Wyler yang membantu membangun jaringan 3G dan serat optik ke rumah pertama di Afrika. O3b merupakan salah satu dari 50 perusahaan teknologi global yang menjadi penentu arah global tahun 2008.

Menjanjikan

Situs resmi O3b menyebutkan, empat satelit pertama semula akan diluncurkan pada Senin (24/6) dengan menggunakan Soyuz dari kawasan peluncuran roket di French Guiana, Amerika Selatan. Namun, tiupan angin kencang membuat peluncuran ditunda sedikitnya 24 jam. Peluncuran pertama akan disusul dengan peluncuran empat satelit berikutnya pada September mendatang, dan kemudian empat satelit lagi tahun depan.

O3b akan bergerak di bidang komunikasi suara dan data dari operator telepon seluler dan provider layanan internet. Berbeda dengan satelit-satelit lain yang berada pada orbit geostasioner (GEO) konvensional dengan ketinggian 36.000 kilometer, O3b akan mengorbit pada ketinggian 8.000 km. Posisi yang hanya seperempat dari orbit GEO ini memungkinkan lalu lintas data dan suara lebih cepat dan lebih jelas sehingga mengurangi banyak keterlambatan (delay).

Seperti diungkapkan BBC, O3b menjanjikan transmisi bolak-balik kurang dari 100 milidetik. Hal ini akan sangat mengurangi waktu keterlambatan dibandingkan dengan satelit-satelit konvensional di GEO yang biasanya mencapai 600 milidetik.

"Sepertinya selisih itu tak banyak. Namun, jika Anda menggunakan internet dan mencari situs, respons yang lambat akan menjengkelkan. Inilah yang kami coba atasi, dan satu-satunya cara adalah dengan meletakkan satelit lebih mendekati Bumi," kata Collar.

Satelit juga akan beroperasi dengan frekuensi tinggi Ka-band dan mampu mengirim 10 beams, pada 1,2Gbps per beam, pada tujuh wilayah operasional global.

Biaya murah

Saat ini, 2 miliar orang di dunia terhubung lewat internet. Sebanyak 3 miliar akan segera menyusul dalam 10-15 tahun mendatang, dan 5 miliar lainnya belum terpapar telekomunikasi sama sekali. Sasaran O3b adalah 3 miliar orang itu, yang kebanyakan berada di negara berkembang. "Dari situ pula muncul nama O3b, Other 3 Billion, yang menjadi nama perusahaan," ujar Collar.

Peluncuran O3b memang diulas banyak media karena memunculkan terobosan lain: komunikasi suara dan data yang cepat dan murah. Konstelasi satelit yang mengorbit di sekitar garis khatulistiwa akan melingkupi Asia, Afrika, Amerika Latin, kawasan Pasifik, dan Timur Tengah, pada sekitar 180 negara.

Tidak mengherankan bila proyek O3b dianggap memintarkan sehingga banyak mendapatkan dukungan finansial lembaga dana. Kerja sama semacam ini dianggap saling menguntungkan karena meluncurkan satelit komunikasi sendiri berisiko dan mahal.

Namun, bagi Indonesia yang cakupan wilayahnya besar, dikelilingi laut, dan memiliki banyak gunung, memiliki satelit sendiri sama pentingnya dengan kerja sama internasional. Satelit menjadi tulang punggung komunikasi karena mampu mengatasi hambatan sinyal televisi yang hanya bisa dipancarkan mengikuti garis lurus. Begitu ada bangunan tinggi atau bukit, pancaran langsung terhalang.

Demikian pula halnya dengan komunikasi jarak jauh. Menyiapkan infrastruktur berupa kabel atau serat optik telepon antarpulau pasti jauh lebih merepotkan daripada memancarkan sinyal melalui satelit.

Miliki satelit

Indonesia meluncurkan Satelit Palapa tahun 1976. Dinamai dengan sumpah Mahapatih Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara, satelit pertama itu tidak hanya sukses mempermudah komunikasi dari Sabang sampai Merauke, tetapi juga membuat masyarakat, di wilayah paling pelosok sekalipun, bisa menikmati siaran televisi nasional.

Hingga kini, Indonesia sudah meluncurkan sepuluh satelit meski tidak semua berfungsi baik. Semua satelit pada umumnya dinamai Palapa dengan segala turunannya, dengan fungsi utama sebagai satelit komunikasi.

Satelit komunikasi terakhir yang diluncurkan adalah Telkom-3 pada tahun 2012. Namun, satelit yang dibawa roket Proton-M milik Rusia itu gagal mencapai orbit dan tak dapat diselamatkan. Adapun Satelit Telkom-1 dan Telkom-2 yang diluncurkan dengan roket Ariane milik konsorsium negara-negara Eropa pada 1999 dan 2005 bisa berfungsi baik.

Saat ini diperkirakan lebih dari 4.000 satelit beredar, sebagian masih aktif. Selain Rusia dan AS, negara yang sudah memiliki satelit adalah Jepang, China, Perancis, India, Israel, Australia, Inggris, dan tentu saja Indonesia. Lebih dari 20 satelit bekerja sama dalam program Global Positioning System dan menyediakan sistem navigasi modern pada setiap perangkat bergerak, seperti telepon seluler dan kendaraan.

Seperti kata Bill Gates, komunikasi adalah sarana belajar yang membebaskan.

(Kompas cetak, 26 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Spekulasi Politik Pasca-BBM (Tajuk Rencana Kompas cetak, 26 Juni 2013)

Spekulasi perombakan kabinet merebak pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak yang juga dipicu instruksi larangan menteri meninggalkan Jakarta.

Sejumlah kalangan membaca larangan menteri meninggalkan Jakarta sebagai sinyal perombakan kabinet. Padahal, menurut Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, larangan menteri meninggalkan Jakarta dimaksudkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menteri bisa memantau langsung penyaluran dana kompensasi.

Kegerahan politik terjadi menyusul sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak kenaikan harga BBM. Sikap PKS berbeda dengan sikap koalisi partai pendukung pemerintah yang mendukung kenaikan harga BBM. Anggota koalisi menilai sikap PKS tidak sejalan dengan code of conduct. Anggota koalisi menganggap PKS sudah berada di luar koalisi pemerintahan karena sikapnya yang cenderung oposisi untuk beberapa masalah strategis. Sementara elite PKS memilih bersikap pasif dan menyerahkan nasibnya dalam koalisi kepada Presiden Yudhoyono.

Pasca-kenaikan harga BBM, pemerintah dihadapkan pada masalah ekonomi yang tidak ringan. Harga pangan bergerak liar. Ongkos transportasi ikut melonjak. Indeks Harga Saham Gabungan terperosok dan menyentuh pada angka 4.418, sementara IHSG pernah menyentuh angka 5.200 tahun ini. Rupiah berada di bawah tekanan. Masalah ekonomi ini harus dihadapi serius oleh pemerintah agar kehidupan rakyat tidak bertambah berat.

Kita hargai sikap pemerintah yang ingin berkonsentrasi menyalurkan dana bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), termasuk warga yang tidak mendapatkan BLSM. Kita berharap jangan ada upaya manipulasi yang mengesankan dicairkannya BLSM adalah jasa dari partai politik tertentu. Penyaluran dana BLSM tetap harus diwaspadai karena BLSM berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan politik menjelang Pemilu 9 April 2014.

Spekulasi perombakan kabinet sebaiknya dikembalikan ke konstitusi. Kewenangan mengganti menteri berada di tangan presiden. Sejumlah elite PKS menyatakan siap menerima konsekuensi dari sikap politik mereka dan menyerahkan nasib mereka di tangan presiden.

Dalam masa pemerintahannya, Presiden Yudhoyono pernah mengurangi menteri dari PKS. Pada 18 Oktober 2011, Presiden mencopot Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata yang berasal dari PKS dan menggantinya dengan menteri dari jalur profesional. Kewenangan itu ada di tangan Presiden Yudhoyono karena menteri adalah para pembantu presiden.

Apakah Presiden akan mengganti semua menteri dari PKS, atau mengganti satu menteri dari PKS, atau tetap mempertahankan tiga menteri dari PKS sampai masa pemerintahan berakhir 20 Oktober 2014, hal itu sepenuhnya bergantung pada Presiden sendiri. Namun, kepastian politik perlu diberikan agar konsentrasi menteri mengatasi problem ekonomi tidak terganggu kegaduhan politik.

(Tajuk Rencana Kompas cetak, 26 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Otonomi BHPT Publik (Mohammad Fajrul Falaakh)

Mohammad Fajrul Falaakh

Gagasan pendiri Indonesia melembagakan otonomi kampus dalam bentuk Badan Hukum Perguruan Tinggi Negeri publik telah dituangkan dalam UU Pendidikan Tinggi 2012. Akan tetapi, capaian reformasi ini dinilai tidak relevan dari sisi rezim pengelolaan keuangan ("Paradoks Rasionalitas PTN-BH", Kompas, 22/6).

Paham rasionalitas pengelolaan modal oleh pemegang saham ini mereduksi raison d'etre Badan Hukum Perguruan Tinggi Negeri (BHPT) publik sebagai subyek hukum. Di balik reduksionisme ini ada pendapat bahwa negara dilarang mengatur dan membentuk BHPT publik. Mahkamah Konstitusi juga didesak membubarkannya meski bukan kewenangan konstitusional MK.

Persona moralis

Menjelang Pemerintah RI (Yogyakarta) akan kembali beribu kota di Jakarta, acting Presiden RI Assaat menerbitkan PP Nomor 37/1950 (tanggal 14/8/1950) untuk mengatur Universitas Gadjah Mada sebagai "masyarakat-hukum-kepentingan" (Belanda: publiekrechtelijke doel corporatie). BHPT publik diawasi oleh dewan kurator yang diangkat oleh pemerintah, dapat mempunyai keuangan dan milik sendiri, serta mengatur rumah tangga dan kepentingan sendiri. Pemerintah dapat mengizinkan badan hukum lain, misalnya Yayasan Hatta, menyelenggarakan kegiatan di UGM. Sumber keuangannya berasal dari anggaran negara, mahasiswa, dan dari trust fund (dana perwalian) yang dibentuk oleh atau dengan bantuan pemerintah.

Keberadaan BHPT publik dipengaruhi rezim politik. UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 1989 menyatakan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi akademik dan otonomi pengelolaan lembaga. Kebijakan ini baru diwujudkan setelah Orde Baru berakhir, yaitu melalui penerbitan PP Nomor 60/1999 dan PP Nomor 61/1999 oleh Presiden BJ Habibie. Tujuh BHPT publik kemudian ditetapkan semasa kepresidenan Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pembentukan BHPT publik merujuk teori badan hukum pada Pasal 1653-1665 KUH-Perdata: bahwa negara dapat mengatur, mengakui, membolehkan, atau membentuk empat jenis badan susila (persona moralis, zedelijke lichaamen). Para penganut teori hukum kodrat menganggapnya fiksi karena hanya manusia (persona naturalis) yang menjadi subyek hukum. Namun, sudah jamak dianut bahwa negara adalah subyek hukum dan dapat melahirkan subyek hukum seperti International Criminal Court (Statuta Roma 1998).

Badan hukum didirikan bukan hanya berdasarkan ideologi liberal-kapitalis, yaitu dengan memisahkan harta pendirinya (termasuk pemisahan kekayaan negara) untuk mengejar tujuan kapital dimaksud. Badan hukum dapat didirikan karena kesamaan tujuan atau kepentingan. Tujuan negara atau kepentingan publik, misalnya menyediakan layanan pendidikan tinggi yang terjangkau masyarakat (Pasal 65 UU Pendidikan Tinggi), jadi rasionalitas pembentukan badan hukum publik. Ketundukan subyek hukum pada UU, misalnya tanggung jawab sosial perusahaan, bukanlah paradoks.

UU Sisdiknas 2003 meneruskan kebijakan otonomi perguruan tinggi, tetapi menyeragamkan bentuk BHPT melalui UU Badan Hukum Pendidikan 2009, termasuk bagi perguruan tinggi swasta yang didirikan oleh badan hukum. MK (31/3/2010) membatalkan keseluruhan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan penjelasan Pasal 53 Ayat (1) UU Sisdiknas 2003. Namun, MK tidak membatalkan UU Sisdiknas 1989 dan teori badan hukum serta tak pernah membubarkan BHPT publik maupun swasta. Kini BHPT publik disebut PTN badan hukum (PTN-BH) dan harus menyesuaikan dengan UU Dikti paling lambat Agustus 2014.

UU Dikti mengakui keberadaan BHPT swasta yang sudah ada dan memungkinkan pembentukan BHPT publik. Setelah MK membatalkan UU BHP, otonomi PTS mengikuti peraturan dari badan hukum pembentukannya. PTN diberikan pilihan sebagai satuan kerja Kemdikbud, PTN badan layanan umum, atau BHPT publik. Statuta PTN ditetapkan dengan peraturan menteri, sementara statuta BHPT publik ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Model pengelolaan otonomi sesuai statuta perguruan tinggi itu dibangun karena UU Dikti menderivasikan kebebasan berpikir dan berpendapat sebagai otonomi akademik dan otonomi pengelolaan PTN, sekaligus menjamin tiga otonomi akademik (kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan) dan dua otonomi pengelolaan PTN (pengelolaan akademik dan pengelolaan non-akademik).

Otonomi pengelolaan akademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Otonomi pengelolaan non-akademik meliputi penetapan norma, kebijakan operasional dan pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, serta sarana dan prasarana. Mereduksi otonomi kampus dan status BHPT publik jadi rezim pengelolaan keuangan lembaga pendidikan tidak menjawab otonomi akademik dan otonomi pengelolaan selain soal keuangan.

Otonomi subyek hukum

BHPT publik bukan yayasan atau wakaf (harta bertujuan), bukan badan usaha seperti koperasi (berkeanggotaan) atau perseroan terbatas (didirikan atas saham, ada pemegang saham, dan rapat pemegang saham). Namun, BHPT publik bukanlah lembaga yang bukan-bukan. BHPT publik adalah lembaga di bidang pendidikan tinggi yang berstatus subyek hukum, punya hak dan kewajiban tertentu (seperti tunduk pada rezim rahasia negara bagi penelitiannya dan fiduciary duty), harus berprinsip nirlaba (seluruh sisa hasil usaha dari kegiatannya harus ditanamkan kembali untuk meningkatkan kapasitas dan/ atau mutu layanan pendidikan tinggi), serta ditugaskan memberikan layanan pendidikan yang terjangkau masyarakat.

Otonomi perguruan tinggi sebagai otonomi subyek hukum diakui dalam sejumlah peraturan perundang-undangan sejak Indonesia merdeka. Derajat implementasinya beragam, termasuk sebagai persona moralis. Bukan wewenang konstitusional pengadilan melarang negara untuk membentuk, mengesahkan, atau mengatur badan hukum. Tugas konstitusional pengadilan adalah melindungi status otonom subyek hukum itu.

Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

(Kompas cetak, 26 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Setelah MA Batalkan Digitalisasi TV Versi Permen (Amir Effendi Siregar)

Amir Effendi Siregar

Selain meningkatkan kualitas teknik, digitalisasi televisi seharusnya juga membuka kesempatan kepada banyak pihak menjadi pemain di industri televisi.

Ini berarti sekaligus memecah konsentrasi kepemilikan. Sebab, dalam sistem analog, yang satu frekuensi hanya bisa dilalui satu program/lembaga penyiaran, sementara dengan digital bisa menjadi banyak. Namun, Peraturan Menkominfo Nomor 22 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrail (Permen 22) justru melanggengkan konsentrasi yang ada: menghilangkan peranan Komisi Penyiaran Indonesia, menjadikan pemerintah sebagai penguasa tunggal.

Mahkamah Agung pada 3 April 2013 membatalkan Permen No 22 dengan mengabulkan gugatan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dan Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI). Namun, tampaknya pemerintah bersikeras menjalankan digitalisasi berdasarkan permen dan tak akan membatalkan keputusan yang telah dilakukan. Menkominfo pada pertengahan Mei lalu, bahkan mengatakan "lebay" bila dianggap melawan MA.

Permen dan gugatan

Dalam teknologi digital (DVB-T2), satu kanal frekuensi akan dapat menampung sekitar 12 program siaran televisi sekaligus, sementara dalam sistem analog hanya satu. Berdasarkan rencana pemerintah, kanal frekuensi yang dipergunakan adalah band IV dan V UHF, yaitu kanal 28 sampai 45 (18 kanal). Namun, yang dipergunakan adalah 6 kanal, sementara 12 kanal digunakan di wilayah sekitarnya. Itu memperlihatkan bahwa frekuensi tetap terbatas. Jadi, harus dimanfaatkan secara adil dan baik untuk kepentingan masyarakat.

Permen No 22 ini membagi dua lembaga penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) yang menyalurkan program siaran. Bentuk ini tidak terdapat dalam UU Penyiaran. Lebih jauh lagi, untuk bisa jadi LPPPM harus punya izin penggunaan spektrum frekuensi radio, dan sebelumnya sudah mempunyai izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Itu adalah lembaga penyiaran yang kini eksis.

LPPPM dapat melayani tidak hanya satu zona, tetapi juga pada lainnya. Terdapat sekitar 15 zona di seluruh Indonesia. Pada tiap zona ada enam kanal yang secara teknis bisa menyalurkan 6 kali 12, yaitu 72 LPPPS. Artinya, secara teoretis bisa terdapat lebih dari 1.000 LPPPS di Indonesia. Masing-masing zona melayani beberapa wilayah yang di seluruh Indonesia berkisar sekitar 216 wilayah. Menyedihkan, Lembaga Penyiaran Publik TVRI diperkenankan menjadi LPPPM hanya pada satu kanal dari enam kanal yang disediakan, sementara lima kanal lain diberikan kepada pihak swasta.

Gugatan terhadap Permen No 22 ini sebenarnya telah dilakukan oleh banyak pihak, antara lain oleh DPR yang meminta agar permen dibatalkan. Pengaturan digitalisasi harus berdasarkan UU Penyiaran baru yang sedang dibahas. Permen No 22 dinilai melanggengkan pemusatan kepemilikan/konsentrasi dan oligarki dalam industri penyiaran.

ATVJI dalam gugatannya melalui MA, antara lain, mengatakan, Permen No 22 bertentangan dengan jiwa UU Penyiaran karena tidak ada jaminan bagi lembaga penyiaran swasta (LPS) yang sudah memiliki IPP dapat melakukan kegiatan penyiaran. Penerapan analog switch off bertentangan dengan UU karena tidak diatur pada UU Penyiaran. Keberadaan LPS dalam Permen No 22 yang dipisahkan jadi LPPPS dan LPPPM bertentangan dengan LPS dalam konsep UU Penyiaran. KPI dicabut peranannya. Sementara itu, ATVLI menegaskan bahwa permen ini tidak melibatkan KPI. Ini berarti melanggar UU Penyiaran dan PP No 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Swasta yang peranan KPI diatur dan diakui.

Dalam petitumnya ATVJI meminta MA menyatakan Permen No 22 bertentangan dengan UU Penyiaran, tidak berlaku dan dinyatakan batal. Sementara ATVLI meminta MA menyatakan Permen No 22 bertentangan dengan PP No 50/2005 dan tak sah. MA dalam putusannya mengabulkan kedua permohonan ini.

Konsentrasi

Menarik melihat apa yang dilakukan pemerintah dengan Permen No 22 dalam menentukan pemenang seleksi LPPPM. Pada 30 Juli 2012, pemerintah mengumumkan hasil seleksi Zona 4 (DKI Jakarta dan Banten), Zona 5 (Jawa Barat), Zona 6 (Jawa Tengah), Zona 7 (Jawa Timur), dan Zona 15 (Kepulauan Riau). Pemenangnya adalah para penguasa TV nasional, yaitu kelompok RCTI/Grup MNC, TV One/ANTV, SCTV/Indosiar, Trans TV, dan Metro TV. Hanya PT Banten Sinar Dunia Televisi yang ikut menang di daerah Zona 4. Keputusan ini kontroversial karena diduga ada tekanan agar kelompok tertentu dikalahkan.

Uniknya, pasca-keputusan MA, pada 26 April 2013 pemerintah mengumumkan pemenang Zona 1 (Aceh dan Sumatera Utara) dan Zona 14 (Kalimantan Timur dan Selatan). Pemenangnya juga lima kelompok besar tadi. Dengan demikian, secara kasatmata digitalisasi penyiaran versi permen justru melanggengkan konsentrasi, bahkan terhadap infrastruktur komunikasi dalam bentuk LPPPM.

Kini, sebaiknya semua pihak menyadari bahwa digitalisasi harus dilakukan berdasarkan UU Penyiaran yang menjamin keanekaragaman kepemilikan dan isi sebagaimana terjadi di negara demokrasi lain. UU Penyiaran kini sedang intensif dibahas di DPR, itulah tempat memperdebatkannya. Bila pemerintah terus "ngotot" menjalankan proses digitalisasi berdasarkan permen, kata apa lagi yang pantas diucapkan? Siapa yang "lebay"?

Amir Effendi Siregar Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media; Dosen Senior Komunikasi UII

(Kompas cetak, 26 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Merintis Pengadilan Pertanahan (Usep Setiawan)

Usep Setiawan

Konflik agraria dan sengketa pertanahan di negeri ini merebak di segala sektor dan penjuru yang memicu konflik sosial lebih luas. Masalah pertanahan bersifat multidimensi dan kompleks sebab aspek sosial, ekonomi, ekologi, politik, dan pertahanan keamanan berkelindan.

Maraknya konflik dan sengketa pertanahan belum bisa diselesaikan regulasi dan institusi yang ada. Penyebab utamanya, ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta kekayaan alam lain sehingga lahirlah rasa ketidakadilan dan ketakpastian hukum di masyarakat. Orientasi politik agraria nasional pun cenderung memihak pemodal besar dan meminggirkan rakyat kecil. Peraturan perundang-undangan keagrariaan bersifat sektoral, tak sinkron, dan tak harmonis sehingga terjadi tumpang-tindih regulasi. Birokrasi pemerintah pengelola keagrariaan pun cenderung ego-sektoral, tak terkoordinasi dengan solid dan sinergis.

Selain itu, otonomi daerah tanpa strategi pemberdayaan pemerintah dan masyarakat juga memicu ketegangan kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Yang paling pokok, hingga kini belum ada produk legislasi, regulasi, dan institusi khusus yang berwenang menangani dan menyelesaikan konflik pertanahan secara komprehensif.

Arah kebijakan baru

Kini, perlu reorientasi politik dan kebijakan agraria nasional. Orientasi pembangunan perlu diarahkan kepada paradigma dan praktik pembangunan ekonomi populis dan demokratis yang mengutamakan semangat gotong royong berdasarkan Pancasila dan konstitusi. Politik agraria nasional harus dijauhkan dari kapitalisme dan neoliberalisme. Politik agraria nasional harus menempatkan rakyat sebagai tuan di atas tanahnya sendiri.

Pada aspek peraturan perundang-undangan, perlu dikaji ulang dan penataan menyeluruh dengan merujuk nilai-nilai dasar Pancasila, UUD 1945 (Pasal 33 Ayat 3), dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria. Presiden hendaknya membentuk "satgas" yang mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan terkait tanah dan kekayaan alam yang melibatkan instansi terkait dibantu pakar dan LSM yang kompeten. Pembentukan mekanisme dan kelembagaan untuk menangani konflik dan sengketa pertanahan harus dilandasi dasar hukum yang kokoh.

Birokrasi keagrariaan pemerintah pun perlu direnovasi. Kewenangan BPN diperkuat dan diperluas, disertai pembenahan birokrasi dan peningkatan kualitas komitmen aparaturnya. Semua kementerian terkait yang membidangi pertanahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dan pesisir diarahkan ke satu kebijakan strategis nasional. Lebih mantap jika dibentuk "Kementerian Koordinator Agraria dan Pengelolaan SDA" yang mengonsolidasikan kementerian terkait menuju efektivitas politik dan kebijakan agraria baru.

Tak kalah penting, penataan ulang otonomi daerah. Kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dimiliki pemerintah pusat untuk menjaga integritas NKRI ditegaskan sambil menata arah kebijakan desentralisasi yang lebih terintegrasi. Pembagian kewenangan di bidang pertanahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota diperjelas dan dijalankan secara konsisten.

Kelembagaan khusus

Terkait kelembagaan, tak terelakkan diperlukan pembentukan kelembagaan khusus untuk menangani dan menyelesaikan konflik dan sengketa pertanahan secara tuntas, utuh, dan menyeluruh. Paradigmanya: hukum progresif dan keadilan transisional. Pendekatannya, sosial dan budaya yang mengakomodasi kebinekaan sistem penguasaan dan penggunaan tanah rakyat dipadukan, khususnya masyarakat adat dan lokal. Ruang mediasi dan mekanisme resolusi konflik alternatif perlu dibuka. Penyelesaian masalah pertanahan mengedepankan kebersamaan yang menguntungkan semua pihak secara adil dan berkepastian hukum.

Mengingat kompleksitas permasalahan pertanahan dan keterbatasan kapasitas dan respons kelembagaan yang ada, di sinilah relevansi menghadirkan peradilan khusus keagrariaan. Kini saatnya merintis pembentukan pengadilan pertanahan di bawah peradilan umum di lingkungan Mahkamah Agung. Pengadilan pertanahan ini diisi para hakim dan aparatus yang terdidik dan terlatih khusus untuk menangani perkara keagrariaan yang kompleks dan multidimensi.

Tentu saja, penanganan konflik agraria dan sengketa pertanahan harus diletakkan dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sebagai jalan menuju perwujudan masyarakat adil, makmur, bahagia, dan sejahtera, seperti impian pendiri republik. Jika pemerintahan sekarang tak sanggup mewujudkannya, ini pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru yang akan dibentuk melalui Pemilu 2014.

Usep Setiawan Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria

(Kompas cetak, 26 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger