Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 31 Juli 2013

Menafsir Pemilu Kamboja (Hamid Awaludin)

Oleh: Hamid Awaludin

Pemilihan umum kembali digelar di Kamboja, 28 Juli 2013.

Rakyat Kamboja memberikan suara mereka untuk memilih 123 anggota Majelis Nasional, yang selanjutnya akan memilih perdana menteri. Kalau kita ingin memberikan apresiasi kepada rakyat Kamboja dan pemerintah, kinilah saatnya.

Selama kampanye berlangsung sebulan penuh, baru pemilu kali ini politik Kamboja tak disertai kekerasan dan darah. Malah, dalam banyak kesempatan dan tempat, massa pendukung partai berkuasa (Cambodian People's Party), yang dipimpin Hun Sen, sering bertemu secara bersamaan dengan massa partai oposisi (Cambodian National Rescue Party) yang dipimpin Sam Rainsy. Kedua massa itu hanya saling mengacungkan jari menunjukkan nomor urut partai mereka.

Pemilu kali ini tampaknya berpihak kepada oposisi. Kendati oposisi kalah, perolehan suara mereka naik secara signifikan. Pada Pemilu 2008, partai oposisi memperoleh 26 kursi, sementara partai Hun Sen mendapatkan 90 kursi. Pemilu 2013 ini, kelompok oposisi meraih 55 kursi dan partai berkuasa 68 kursi. Secara persentase, partai berkuasa memperoleh 55 persen, partai oposisi mendapatkan 45 persen suara.

Beberapa jam sebelum pemungutan suara dimulai, di kota Phnom Penh, para pemantau internasional pemilu Kamboja yang dipimpin Jusuf Kalla bertemu dengan pemimpin oposisi, Sam Rainsy, di markas besarnya. Rainsay berbicara hanya memaki-maki kecurangan proses pemilu. Hal itu misalnya keberpihakan lembaga pelaksana pemilu, cacatnya daftar pemilih, dan adanya intimidasi. Rainsy malah menyesalkan mengapa banyak pemantau internasional datang menyaksikan pemilu yang sangat cacat dan sia-sia itu.

Kala itu saya bertanya ke Rainsy, "Apa yang terjadi bila Anda menang, atau perolehan suara Anda naik dalam pemilu kali ini. Bagaimana Anda membenarkan kemenangan atau kenaikan suara Anda kelak itu dengan proses pemilu yang penuh cacat, seperti yang Anda kemukakan itu?" Tak ada yang menyangka saya bertanya seperti itu. Rainsy menjawab tanpa ragu: "Tak mungkin kami bisa menang atau menaikkan suara kami dengan pemilu yang cacat. Karena itu, tidak perlu saya jawab Anda," katanya.

Kenaikan suara oposisi mengandung dua hal. Pertama, pihak oposisi dari awal tidak menyangka bisa memperoleh suara dari rakyat yang begitu besar. Bisa jadi, pihak oposisi tidak siap menerima dan mengelola kenaikan suara mereka itu. Kedua, segala tudingan dan keraguan kaum oposisi mengenai proses pemilu diragukan kebenarannya.

Mengapa oposisi naik?

Pertama, isu politik yang mereka lemparkan sangat telak menohok partai berkuasa. Sebagaimana selalu dikemukakan Rainsy ketika kami bertemu, partai berkuasa sebaiknya tidak dipilih karena mereka adalah bagian dari masa lalu yang kelam dengan tangan yang berlumuran darah. Hun Sen dan lain-lainnya adalah mantan aktivis Khmer Merah yang telah membantai jutaan rakyat Kamboja. Isu ini memang sangat sensitif bagi rakyat Kamboja hingga kini. Sebenarnya, justru Hun Sen telah membelot dari Khmer Merah dan bersekutu dengan Vietnam mengenyahkan rezim kejam yang dipimpin Pol Pot itu. Namun, kali ini ketokohan Hun Sen diketepikan oleh rakyat karena telanjur rakyat sangat antipati dan traumatis dengan Khmer Merah.

Kedua, rasa bosan rakyat terhadap Hun Sen sudah tidak bisa disembunyikan lagi, terlepas apakah Hun Sen berbuat atau tidak berbuat banyak kepada negerinya. Maklum, Hun Sen sudah berkuasa selama tiga dekade. Rentang waktu yang begitu panjang tersebut, secara psikologis, membuat rakyat gelisah melihat adanya rotasi dan perubahan.

Aspek ini jelas sekali kelihatan dengan ekspresi kalangan bawah. Hanya sekitar dua jam setelah bilik suara ditutup, di ibu kota Kamboja, partai Hun Sen sudah ditaklukkan. Para sopir angkot, buruh, dan penjual makanan tumpah ruah ke jalanan dan berseru, "Hun Sen kalah. Kita sudah lama butuh yang baru sebab kita ingin ada perubahan. Kami tak peduli apakah Hun Sen pahlawan atau bukan. Kami hanya ingin ada yang berubah."

Di mana-mana, tatkala kehidupan politik sudah diwarnai oleh agenda perubahan, susah sekali membendung arus tersebut. Perubahan dalam politik selalu berimplikasi pada pergeseran pemegang kekuasaan. Hun Sen masih beruntung sebab hanya perolehan suara partainya yang berkurang.

Ketiga, rakyat Kamboja sudah letih dengan praktik korupsi para pejabat mereka di semua jenjang dan struktur. Saya belum pernah melihat ada sebuah negara dengan ekonomi rendah, tetapi memiliki jumlah mobil mewah lalu lalang setiap saat, seperti di Phnom Penh itu. Mobil Lexus dan Range Rover baru dengan segala bentuk dan ukuran seolah mobil yang setingkat Avanza saja di Indonesia. Mercedes dan BMW nyaris hanya sebagai mobil kelas dua

Mobil-mobil itu dikendarai pejabat dan aparat pemerintah. Kecurigaan praktik korupsi sangat beralasan sebab gaji para pejabat yang mengendarai mobil-mobil itu hanya antara 200 dollar AS hingga 350 dollar AS sebulan. Kondisi ini dimanfaatkan betul oleh pihak oposisi. Maka, seruan dan tuntutan adanya perubahan banyak diilhami oleh keinginan rakyat untuk menghentikan praktik korupsi itu.

Keempat, pemimpin oposisi, Sam Rainsy, amat piawai memainkan posisi politiknya yang terbendung untuk ikut maju sebagai calon anggota parlemen. Kendati ia dimaafkan oleh raja atas hukuman pidana yang menerpanya, pintu untuk maju sebagai anggota legislatif ditutup rapat. Ia pun menggunakan isu ini sebagai agenda politik menohok Hun Sen.

Posisi politiknya itu ia kaitkan dengan praktik kekuasaan zalim yang dipraktikkan rezim Khmer Merah di masa lalu. Ia berhasil membentuk persepsi publik bahwa dirinya dizalimi, dan karena itu rakyat harus bersimpati dan memilih partainya demi memotong mata rantai masa lalu yang getir itu.

Tema-tema inilah yang diangkat secara retorik oleh Sam Rainsy. Ia sendiri tidak pernah menawarkan agenda konkret tentang apa yang ingin dilakukan untuk menyejahterakan rakyat Kamboja kelak. Namun, itulah politik. Dalam banyak hal di berbagai tempat, retorika jauh lebih penting daripada tujuan yang jelas dan arah yang konkret.

(HAMID AWALUDIN, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar)

(Kompas cetak, 31 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Segera Bayar Penuh THR (Kompas)

Situasi buruh terancam tidak mendapat tunjangan hari raya dan pemutusan hubungan kerja menjelang Lebaran seharusnya tidak terulang kembali.
Pada tahun 2011, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerima 85 pengaduan serta pada tahun lalu ada 28 kasus.

Menjelang Lebaran kali ini, ribuan buruh terancam tidak mendapat tunjangan hari raya (THR). Sebagian bahkan terancam pemutusan hubungan kerja.

Hampir semua masyarakat Indonesia memandang Lebaran bukan sekadar hari raya keagamaan, melainkan sebagai peristiwa budaya. Karena itu, semua orang ikut merayakan dan menikmati suasananya.

Pada saat Lebaran, semua ingin kembali pulang ke kampung halaman; bertemu orangtua, kerabat, dan teman. Kebutuhan belanja meningkat nyata. Tradisi kita adalah merayakan Lebaran secara istimewa, mulai dari sajian makanan, pakaian dan sepatu baru, hingga barang lain.

Bagi yang bekerja jauh dari kampung halaman, Lebaran juga saat untuk memperlihatkan keberhasilan bekerja jauh dari rumah. Tidak heran apabila Lebaran dari sisi ekonomi sebetulnya adalah ekonomi permintaan.

Dalam konteks itu, tunjangan hari raya sangat dinantikan setiap pekerja. Tidak saja untuk memenuhi kebutuhan di atas, tetapi juga kebutuhan pokok yang meningkat dan harga lebih mahal seperti terjadi pada pangan serta biaya transportasi mudik yang naik pesat karena pemerintah menoleransi berlakunya hukum pasar.

Bagi pekerja berpenghasilan tetap, terutama buruh, Lebaran kali ini lebih berat. Meskipun upah naik awal tahun, harga bahan bakar minyak yang dinaikkan pemerintah dua minggu menjelang bulan puasa telah melambungkan harga kebutuhan pokok sebelum harga kembali naik selama bulan puasa dan menjelang Lebaran.

Pengusaha, di sisi lain, sebagian juga dalam situasi tidak mudah. Inflasi tinggi menurunkan daya beli masyarakat dan memengaruhi permintaan terhadap barang industri. Ekspor pun sedang tertekan karena permintaan luar negeri melemah. Sementara itu, pengusaha yang memerlukan bahan baku asal impor berhadapan dengan nilai tukar rupiah yang melemah.

Meski demikian, THR adalah pos pengeluaran rutin yang seharusnya masuk dalam perencanaan anggaran perusahaan.

Adalah kewajiban pemberi kerja membayarkan tunjangan hari raya yang menjadi hak pekerja. Bukan hanya besarannya diberikan penuh dan utuh, waktu pemberian pun harus sesuai dengan aturan pemerintah. Dengan demikian, pekerja dapat berlebaran dengan tenang.

Pekerja yang merasa hak-haknya dipenuhi akan bekerja lebih baik, lebih berdedikasi, dan lebih produktif sehingga memberi keuntungan bagi perusahaan. Dengan demikian, pengusaha dan buruh akan sama-sama menikmati hasil kerja secara adil.

(Kompas, 31 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

KPK, Tipikor, dan Pencucian Uang Oleh: ROMLI ATMASASMITA)

Oleh: ROMLI ATMASASMITA

Harian Kompas, 27 Juli 2013, menerbitkan artikel kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, "KPK dan Pencucian Uang", yang intinya menjelaskan bahwa jaksa pada KPK berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang dengan alasan bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan, een ondeelbaar, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3) UU No 16/2004 tentang Kejaksaan RI.

Penjelasan pasal itu menyata- kan bahwa yang dimaksud dengan "Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan adalah landasan tugas dan wewenang di bi- dang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan". Penjelas- an ini menguatkan keyakinan penulis bahwa prinsip itu tidak berlaku bagi jaksa yang ditugasi di KPK, sejalan dengan ketentuan Pasal 39 Ayat (3) UU KPK. Ayat tersebut menegaskan bahwa, antara lain, penuntut umum pada KPK diberhentikan sementara dari instansi Kejaksaan selama menjadi pegawai KPK.

Pasal 39 Ayat (2) antara lain menyatakan bahwa penuntutan dilaksanakan berdasarkan perintah (pemimpin KPK) dan bertin- dak untuk dan atas nama KPK, bukan berdasarkan perintah jaksa agung dan untuk dan atas na- ma Kejaksaan. Berdasarkan ketentuan itu, semakin jelas bahwa sepanjang mengenai wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor dilakukan oleh penyidik dan penuntut KPK, alasan prinsip dalam Pasal 2 Ayat (3) UU Kejaksaan tak berlaku ba- gi jaksa penuntut umum KPK.

Dalam konteks ini, kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengaitkannya dengan wewenang penuntut KPK dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Diakui juga bahwa tidak disebutkan tegas dalam UU TPPU, tapi tak berarti (jaksa) KPK tak berwenang menuntut TPPU.

Menurut penulis, rumusan terbaik dalam UU Pidana adalah berpijak pada asas lex scripta, lex stricta, dan lex certa, termasuk penyusunan UU TPPU, sehingga ketiadaan penegasan bahwa jaksa KPK diberikan wewenang penuntutan perkara TPPU berakibat pada tidak adanya alas hukum yang sah bagi jaksa KPK menuntut perkara TPPU.

Ketentuan Pasal 51 Ayat (3) UU KPK yang dirujuk kepala PPATK dalam artikelnya itu tidak ada hubungan dengan prinsip "satu dan tidak terpisahkan", sejalan dengan ketentuan yang memberhentikan sementara, antara lain, jaksa penuntut umum dari instansi Kejaksaan (Pasal 39 Ayat (2) UU KPK).

Makin jauh
Jika pandangan kepala PPATK bahwa hanya ada satu jaksa, baik yang di Kejaksaan maupun yang di KPK, dan kata penuntut umum dalam Pasal 72 dan Pasal 75 UU TPPU mengacu pada hal yang sa- ma, maka dalam pemberantasan korupsi dan TPPU, ada dua jaksa agung: jaksa agung pada Kejaksaan dan "jaksa agung" pada KPK. Makin jauhlah prinsip "satu dan tidak terpisahkan" dalam penuntutan.

Pada Pasal 68 UU TPPU tersua ungkapan "kecuali ditentukan lain dalam UU (TPPU) ini". Kata ini harus ditafsirkan bahwa sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU TPPU, bukan pada UU lain, sehingga tidak tepat dirujuk pada UU KPK. Arah Pasal 68 UU TPPU bukan pada UU KPK, melainkan pada UU TPPU. Kekecualian pada Pasal 68 UU TPPU adalah bahwa penyidikan perkara TPPU dapat juga dilakukan penyidik KPK, Kejaksaan, BNN, Ditjen Bea dan Cukai, dan Ditjen Pajak, dan tidak termasuk wewenang penuntutan khusus pada KPK, kecuali bagi Kejaksaan.

Pasal 75 UU TPPU hanya memberi mandat kepada penyidik asal untuk menggabungkan dengan penyidikan TPPU bukan penuntutan. Tidak ada satu pun penjelasan umum atau penjelasan pasal dalam UU TPPU 2010 yang memuat penjelasan kepala PPATK dalam artikel itu sehingga menjadi tanda tanya apakah kekosongan hukum pada wewenang KPK untuk melakukan penuntutan TPPU merupakan kekeliruan atau kelalaian atau mungkin kesengajaan tim penyusun UU TPPU tahun 2010.

Coba bandingkan dengan wewenang penyidik dan penuntut dalam UU No 30/2002 tentang KPK (Pasal 38 jo Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 51) yang tegas dan jelas memberi mandat kepada penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK dalam perkara tipikor. UU KPK adalah UU mengenai Kelembagaan atau UU Organik. Begitu pula UU Pengadilan Tipikor sehingga pemberian kewenangan yang diperluas seharusnya dimasukkan di dalam UU tersebut. Tidak pada UU lain yang tak ada kaitan dengan pengaturan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kelembagaan.

Putusan MK terhadap Bab VII UU KPK di bawah titel "Pemerik- saan di Sidang Pengadilan" yang memuat pembentukan Pengadilan Tipikor dan kewenangannya telah dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 karena tidak ada jaminan kepastian hukum. Akhirnya ditetapkanlah UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor. Perluasan wewenang penuntutan KPK dalam perkara TPPU hanya diatasi dengan melakukan perubahan terhadap UU KPK.

(ROMLI ATMASASMITA, Guru Besar Emeritus Unpad)

(Kompas cetak, 31 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

UU Pemberdayaan Petani dan Sapi (Mochammad Maksum Machfoedz)

Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz
Sekarang ini secara legal-formal petani sungguh dimanjakan melalui beragam perundangan. Hal ini tampak dari banyaknya dokumen yang menegaskan pentingnya kesejahteraan, kemandirian dan kedaulatan. Program pemberdayaan, pengembangan sistem ketahanan pangan nasional, sampai swasembada, semua memandatkannya.

Persoalan kemandirian dan kedaulatan pangan yang juga menyejahterakan petani akhirnya ditegaskan UU No 18/2012 tentang Pangan. Secara legal-formal, tampaknya UU ini masih dianggap tak cukup. Karena itu, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (PPP) yang memandatkan kesejahteraan, kemandirian, dan kedaulatan petani baru-baru ini disetujui DPR menjadi UU.

Tanpa menutup fakta masih adanya kontroversi substansi, boleh dikatakan kedua UU itu lebih dari cukup dalam membingkai proteksi dan kepentingan petani. Persoalan menjadi mengemuka ketika beragam tekad politik yang protektif itu ternyata tak pernah jadi realitas lapangan, yang merupakan kebutuhan riil petani, bukan sekadar proteksi legalistik-formalistik.

Untuk menilai betapa kuatnya proteksi legal kedua UU ini bisa disebut pasal paling relevan untuk mencermati krisis pangan mutakhir dan kaitannya dengan importasi umumnya, khususnya impor daging sapi yang tidak kunjung reda.

UU No 18/2012 menyebut pada Pasal 36 (1) "Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri". Sementara Pasal 31 UU PPP berbunyi "Setiap orang dilarang memasukkan komoditas pertanian dari luar negeri pada saat ketersediaan komoditas pertanian di dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah".

Tanpa UU pun, tuntutan substantif yang mencakup dua pasal ini sebenarnya telah sekian lama jadi tekad pemerintah, yang kemudian dirumuskan dalam segala peta jalan swasembada pangan, dan dokumen lainnya. Kenyataannya, dinamika pangan nasional tidak pernah lepas dari krisis tata niaga dengan penyebab utama besarnya pengaruh importasi.

Selalu saja ada pembenaran legal bagi importasi. Beragam kebijakan pangan, sengaja atau tidak sengaja, memudahkan terwujudnya fakta legal dan rekonstruksi kelangkaan, data pasar sulapan, gejolak sosial rekayasa, dan segala indikasi lapangan, sebagai pembenaran kelangkaan dan wajib impor. Pesimisme mencuat ketika selalu tersuguh realitas aneka krisis pangan seperti kedelai, beras, gula, bawang, cabai, singkong, produk hortikultura umumnya, dan semuanya, sampai krisis daging sapi yang tak kunjung padam.

Rekonstruksi krisis sapi
Bahasa pesimistisnya, "lain legalitas, lain pula realitasnya". Karut-marut tata niaga ini nyaris terjadi pada semua komoditas pangan yang disulap jadi semakin bergantung pada pangan impor dengan pembenaran lebih canggih dari upaya proteksi petani. Model sulapan ini sudah sangat standar dan dipertontonkan dalam aneka pendekatan.

Pembenaran impor biasa dilakukan melalui pelangkaan barang dan pendekatan agitatif. Untuk kasus daging sapi, misalnya, dengan pelangkaan, sekurangnya terdapat sembilan jalur pendekatan: (1) membuat resah konsumen; (2) agitasi industri pemakai bahan baku; (3) membangun keresahan pedagang pasar dan perantara; (4) menggerakkan pekerja terkait; (5) advokasi ke partai politik; (6) menggalang isu politik fraksi DPRD-DPR; (7) negosiasi birokrasi; (8) mobilisasi kritik akademisi; dan (9) menjual fatwa rohaniwan.

Sejumlah modus dekadensi nurani itu sangat standar dan sebenarnya mudah dideteksi. Mudah dideteksi, tetapi tidak pernah dilakukan, meski beragam asas legal dan kekuatan politik dimiliki pemerintah dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II-nya. Pertanyaannya, kenapa kekuatan paripurna itu mandul dan kehilangan kekuatan, bahkan acap kali kontroversi yang tampak dalam KIB II ketika krisis komoditas pangan meradang, apa pun komoditasnya.

Spiritualisasi pembangunan, struktur penyelenggara negara, segala kebijakan dan dokumen legal rasanya merupakan kebutuhan mendesak. UU PPP dan UU No 18/2012 tidak pula akan ada manfaatnya ketika penerapannya tidak disertai penguatan spiritual.

Hakikatnya, krisis pangan nasional bukanlah akibat ketertinggalan teknologi. Bukan keterbatasan sumber daya alam dan tidak pula krisis legalitas, melainkan krisis spiritual. Yang menggejala adalah krisis nurani di balik segala kekuatan dalam pengendalian dekadensi nurani bisnis yang membunuh petani sebagai produsen domestik, melalui impor dan rentenya. Tanpa kebangkitan kekuatan nurani, rasanya perjalanan sistem pangan nasional akan makin mundur, hopeless... na'uzu billah....

(Mochammad Maksum Machfoedz, Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, Fakultas Teknik Pertanian Universitas Gadjah Mada)

(Kompas cetak, 31 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Memaknai Penghargaan FAO (Khudori)

Oleh: Khudori

Indonesia mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Penghargaan kategori notable result itu diterima Menko Perekonomian Hatta Rajasa di Roma, Italia, 16 Juni lalu. Menurut FAO, Indonesia berhasil mencapai target Sasaran Pembangunan Milenium butir 1: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan.
Proporsi kelaparan turun dari 19,9 persen (1990-1992) ke 8,6 persen (2010-2012), lebih rendah dari target proporsi Sasaran Pembangunan Milenium/SPM (9,9 persen). Target SPM butir 1 adalah menekan kemiskinan dan kelaparan tinggal separuh pada 2015.

Bagaimana membaca dan memaknai penghargaan itu? Penghargaan FAO harus dibaca hati- hati agar jangan tersesat. Di saat sektor pertanian "sakratulmaut" akibat pembiaran, baik karena kekosongan kelembagaan maupun pragmatisme ekonomi-poli- tik yang mendewakan impor dan liberalisasi, penghargaan itu patut diapresiasi.

Namun, perlu dipahami, prestasi menurunkan kelaparan itu bersifat proporsional, bukan absolut. Secara absolut jumlah kelaparan menurun dari 37 juta orang (1990) jadi 21 juta orang (2012). Pencapaian ini di bawah target: 18,6 juta orang. Secara absolut 21 juta orang kelaparan bukan jumlah kecil karena dari 11 ada 1 warga kelaparan.

Menurut Global Food Security Index 2012, yang dirilis Economist Intelligence Unit, indeks keamanan pangan Indonesia berada di bawah 50 (skor 0-100). Dari 105 negara, Indonesia di urutan ke-64. Dibandingkan Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina, posisi Indonesia lebih buruk.

Kita sering terkecoh teori "negara maju dan industri meninggalkan pertanian". Dalam praktik itu tak pernah terjadi. Ini bisa dilihat dari skor indeks keamanan pangan mereka yang tinggi: Amerika Serikat (berada di puncak dengan skor 89,5), Jepang (80,7 di level 16), dan Korea Selatan (77,8 di level 21).

Tidak naik kelas
Kedaulatan pangan kita kian tergerus dan kian rentan menghadapi fluktuasi harga pangan dunia, apalagi ditambah dengan perubahan iklim yang kian ekstrem. Menurut Global Hunger Index 2012, yang dirilis International Food Policy Research Institute (IFPRI), pada tahun 2012 Indonesia "tidak naik kelas" dari 2011. Indonesia berada di kelompok negara dengan krisis pangan serius berindeks 10,0-19,9 bersama Mongolia. Tiga faktor digunakan untuk menghitung indeks kelaparan: banyaknya warga kurang gizi di suatu negara, berat badan anak di bawah rata-rata, dan tingkat kematian anak.

Apakah penilaian FAO berto- lak belakang dengan indeks keamanan pangan dan indeks kelaparan? Tidak. FAO menggunakan data kelaparan kasatmata yang dimiliki Pemerintah Indonesia. Sebaliknya, Economist Intelligence Unit dan IFPRI memakai data kelaparan tersembunyi yang basisnya gizi. Berbeda dengan kelaparan umum, gejala awal gizi buruk tak mudah dike- nali. Dampaknya tak muncul seketika seperti kelaparan kentara. Kelaparan kentara mudah dideteksi. Ia biasa muncul saat kemarau, paceklik, bencana alam, atau perang. Dalam situasi seperti itu mudah ditemukan ada warga yang terguncang hebat akibat kondisi tak terduga.

Dari semua kelompok warga, kelompok miskin dan rawan adalah dua kelompok paling mende- rita. Namun, sebetulnya jumlah orang yang kelaparan kentara akibat kondisi tertentu itu berjumlah tak banyak. Selain terja- di hanya di masa tertentu, dampaknya tak permanen dan berjangka pendek, kecuali yang diderita wanita hamil. Janin yang dikandung wanita yang kelaparan akan menderita kurang gizi, yang dampaknya permanen ketika bayi lahir dan usia balita.

Ini berbeda dengan kelaparan tersembunyi. Kelaparan jenis ini dijumpai di mana saja kapan saja. Orang sering menyebut kelaparan jenis ini sebagai kurang gizi atau kurang energi dan protein.

Pekerjaan rumah
Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar menekan kelaparan tersembunyi. Menurut data Kantor Utusan Khusus Presiden untuk SPM, pada 2010 prevalensi balita dengan berat badan rendah (kekurangan gizi) masih 17,9 persen, jauh dari target SPM (15,5 persen); prevalensi balita gizi buruk masih 13 persen (target SPM 3,6 persen), dan prevalensi balita gizi kurang masih 13 persen (target SPM 11,9 persen).

Berbeda dengan orang dewasa, anak balita yang kurang gizi mudah dikenali, seperti berat badan rendah dan kurang aktif bergerak. Kurang gizi pada orang dewasa biasa ditemukan saat krisis, ekonomi terpuruk, bencana alam, atau berbagai guncangan sebagai biang kurang pangan. Namun, kurang gizi pada anak balita tak berkait sama sekali dengan berbagai kondisi tertentu itu. Pada kondisi pangan yang melimpah pun anak balita sangat mungkin terkena kurang gizi atau menderita gizi buruk.

Karena itu, berbeda dengan kelaparan yang biasanya hanya menimpa orang miskin, gizi buruk tak mengenal status ekonomi seseorang. Anak orang kaya bisa saja terkena gizi buruk. Penyebabnya jauh lebih kompleks dan rumit. Tiada faktor tunggal. Tak semata-mata kemiskinan material, tetapi kemiskinan pendidikan, pengetahuan, dan kesadaran tentang hidup bersih dan sehat. Inilah sebagian besar penyebab insiden gizi buruk.

Upaya menanggulangi kelaparan tersembunyi tak sederhana. Sayangnya, upaya pemerintah sering bersifat proyek dan menyederhanakan masalah. Isu cacingan dan anemia, misalnya, tak mendapat banyak perhatian sebab kalah "seksi" dengan isu kela- paran lain. Padahal, anemia merupakan isu kritis. Angka kematian ibu melahirkan akibat anemia berkisar 70 persen.

Upaya pemerintah menekan kelaparan tersembunyi hanya memadamkan akibat yang tampak. Sumber apinya tak disentuh. Intervensi lebih banyak pada anak balita dan ibu hamil. Padahal, penanganan saat kehamilan terlambat belasan tahun karena dasar persoalannya dimulai sejak pertumbuhan anak paling dini.

Tak banyak program mau menyasar akar persoalan, seperti melihat asupan gizi dan gaya hidup yang pendekatannya lebih pada proses. Karena bersifat proyek, yang penting kuantitas atau cakupan, sementara proses dan kualitas jadi pilihan kesekian. Hilangnya suatu generasi telah terjadi di negeri ini. Bila tak segera diatasi, kita hanya mencetak generasi berkualitas inferior, loyo, dan mudah menyerah saat berkompetisi dengan negara lain. Ini makna penghargaan FAO itu.

(KHUDORI, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat)

(Kompas cetak, 31 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Ihwal Revisi UU Pilpres (Saldi Isra)

Oleh: Saldi Isra

Perdebatan seputar ambang batas persentase pengajuan calon presiden dan wakil presiden kembali menjadi isu sentral. Sebagai perdebatan yang nyaris tak bertepi, perkembangan paling mutakhir: masalah ambang batas dalam UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden benar-benar membelah posisi partai politik di DPR.

UU No 42/2008 menentukan batas mi- nimal persentase yang mesti dipenuhi parpol peserta pemilu untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dalam hal ini, Pasal 9 menyatakan pasangan calon hanya dapat diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi syarat: meraih kursi minimal 20 persen di DPR atau minimal 25 persen suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Dengan batasan itu, pada salah satu sisi, sebagian parpol dengan jumlah kursi menengah ke bawah menghendaki legislative review guna mengurangi persentase ambang batas ini. Di sisi lain, dengan menggunakan dalil guna memperkuat sistem pemerintahan presidensial, tanpa keraguan, semua parpol yang berada dalam kelompok menengah ke atas menolak menurunkan persentase ambang batas dalam UU No 42/2008.

Tidak tepat
Diletakkan dalam konteks pembaruan dan peningkatan kualitas pemilu presiden dan wakil presiden, penolakan untuk penurunan ambang batas benar-benar menutup upaya merevisi UU No 42/2008. Padahal, di luar persoalan ambang batas, disadari bahwa sebagian substansi UU No 42/2008 masih perlu diperbaiki. Apalagi, pilihan penolakan dengan alasan memper- kuat sistem presidensial belum tentu linear dengan kebutuhan praktik.

Pada tataran teori, dalam sistem presi- densial, di antara isu yang tak pernah usai dibahas dan diperdebatkan: bagaimana mendamaikan antara pemegang kuasa eksekutif dan legislatif. Sebagai institusi yang sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat, keduanya hampir dapat dipastikan akan memakai logika mendapatkan mandat itu saat membangun relasi eksekutif-legislatif. Itu sebabnya, logika memperkuat sistem presidensial dengan berpikir bahwa tak akan terjadi ketegang- an hubungan di antara keduanya tidak tepat.

Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika sistem presidensial adalah potret tarik-menarik antara eksekutif dan legislatif. Banyak pengalaman membuktikan, dalam hal kekuatan mayoritas legislatif berbeda dengan partai politik (pendukung) presiden, ancaman deadlock sulit dicegah. Bahkan, karena secara alamiah posisi eksekutif terpisah dari legislatif, partai politik pendukung presiden pun tak boleh begitu saja tertakluk kepada eksekutif. Dalam posisi demikian, untuk partai politik sendiri pun, presiden harus berjuang mendapatkan dukungan.

Karena secara kodrat memang posisinya berbeda dan terpisah dari legislatif, dalam sistem presidensial, pemimpin eksekutif tertinggi dituntut punya kemampuan hadir dengan karakter kuat dan persuade leadership. Richard Neustand dalam Presidential Power: The Politics of Leadership (1960) mengatakan: presidential power is the power to persuade. Dalam posisi seperti itu, tambah Neustand, this is personal power that involves the president's ability to influence others to achieve a political outcome (Shapiro dkk, 2000).

Merujuk ke penjelasan itu, menggunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai modal mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan alasan memperkuat sistem presidensial dapat dikatakan tak tepat dan sangat mengada- ada. Sekadar cacatan, memperkuat sistem presidensial dengan cara berpikir mendorong presiden harus mendapat dukungan mayoritas di legislatif akan dengan mudah memerosokkan praktik pemerintahan ke dalam rezim otoriter. Pada batas-batas tertentu, pengalaman praktik sistem presidensial sepanjang Orde Lama dan Orde Baru membuktikan bagaimana perangkap rezim otoriter itu bekerja.

Selain pijakan teoretik, secara konstitusional, mempertahankan ambang batas untuk memperkuat sistem presidensial berbeda dengan maksud perumusan konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dari ketentuan ini, semua partai politik yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, dari pengaturan di dalam UUD 1945, ambang batas tak dikenal. Karena itu, mempertahankan ambang batas sama saja dengan memelihara cacat konstitusional dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden.

Karena adanya paksaan menghadirkan dan mempertahankan ambang batas itu, bisa dilacak praktik sistem presidensial yang terjadi sejak pelaksanaan pemilihan langsung 2004. Selama hampir dua peri- ode kepemimpinannya, SBY bak melakoni kehidupan rumah tangga yang dijebak da- lam kawin paksa. Dalam hal hubungan de- ngan DPR, selain tak menemukan kebe- naran empirik dalam menghasilkan hubu- ngan yang stabil dan sekaligus memperkuat sistem presidensial, koalisi dengan banyak partai seperti mendorong pemerintahan SBY ke jebakan tak berujung.

Berdasarkan basis argumentasi di atas, tak ada alasan untuk tetap bertahan dalam rezim ambang batas. Satu-satunya logika yang mungkin dapat menjelaskan pilihan bertahan dalam rezim ambang adalah kepentingan politik, terutama parpol menengah ke atas, yang mungkin merasa tak begitu nyaman bila pemilih memiliki pilihan yang jauh lebih banyak dalam pe- milihan presiden dan wakil presiden.

Demokratisasi partai politik
Soal ambang batas hanyalah salah satu isu penting saja. Di luar itu, masih banyak masalah lain yang harus diselesaikan dengan revisi UU No 42/2008. Yang dianggap sangat urgen adalah dorongan demokratisasi internal partai politik dalam pengajuan pasangan calon.

Agak terbatas UU itu memang mengga- riskan bahwa penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan. Namun, pengaturan itu tak memiliki daya dorong yang bermakna karena tak adanya sanksi yang dapat diberikan kepada partai politik yang mengusulkan calon dengan mengabaikan prinsip demokratis dan terbuka. Sekiranya direvisi, dengan tujuan memaksa partai politik, KPU dapat saja menolak pasangan calon yang dihasilkan dari proses tidak demokratis dan tidak terbuka.

Sadar atau tidak, dengan tak adanya ketentuan yang memungkinkan menjatuhkan sanksi pada pasangan calon, proses penentuan pasangan calon di kalangan internal parpol seperti berubah jadi wilayah privat. Kegagalan mengoreksi cara-cara seperti ini menyimpan bahaya bagi masa depan negeri ini. Bagaimanapun, calon yang lahir dari proses privat, bukan tak mungkin presiden/wapres akan lebih banyak mengabdi kepada parpol yang mengusungnya. Karena itu, untuk mengembalikan kepada makna pemilihan langsung paling hakiki, melanjutkan revisi UU No 42/2008 jadi pilihan yang tak terelakkan. Bagaimanapun, memaksa rakyat menerima calon yang dihasilkan dari sebuah proses tak demokratis dan terbuka merupakan pengingkaran terhadap makna pemilihan langsung.

(SALDI ISRA, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang)

(Kompas cetak, 31 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 30 Juli 2013

Pertumbuhan dan Stabilitas (Mirza Adityaswara)

Oleh: Mirza Adityaswara

Mengelola pertumbuhan ekonomi adalah seperti menyetir kendaraan. Pada saat kondisi jalan lurus dan lancar, maka pedal gas boleh diinjak kencang, tetapi laju kendaraan tidak boleh melanggar batas maksimum kecepatan.

Jika kondisi jalan menuju tikungan, rem mulai diinjak. Jika pedal gas terus diinjak dengan kecepatan maksimum, bisa dipastikan kendaraan akan menabrak dan penumpang celaka. Akan tetapi, menginjak rem juga harus dengan cermat. Jika rem mendadak terlalu dalam, penumpang akan kaget dan bisa juga cedera. Di sinilah tugas penting bagi pengemudi untuk menyetir dengan kecepatan terukur yang aman bagi penumpang.

BI sebagai pengemudi

Bank Indonesia adalah layaknya pengemudi kendaraan, yaitu pengemudi ketersediaan uang beredar di Indonesia. Kecukupan jumlah uang beredar, baik itu uang kertas maupun uang giral, akan memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Sumber uang beredar ada dari dalam negeri dan dari aliran modal luar negeri.

Jika aliran modal dari luar negeri berlimpah, uang beredar juga melimpah sehingga suku bunga akan turun dan akan memacu roda perekonomian. Tetapi jika aliran modal asing berkurang, uang beredar juga akan menurun sehingga suku bunga meningkat, laju perekonomian melambat. Hanya saja berbeda dengan pengemudi kendaraan di mana penumpangnya dapat melihat kondisi jalan yang dilalui, sebagian besar pelaku ekonomi yang merupakan "penumpang" tidak memahami kondisi ekonomi yang sedang dilalui. Akibatnya, pada waktu Bank Indonesia mulai menginjak rem, penumpang kebingungan, bahkan mengomel.

Banyak anggota masyarakat tidak mengerti bahwa ekonomi yang sedang kita jalani di tahun 2013 ini cukup menantang, tidak seperti situasi tahun 2010-2011. Pada tahun 2010 dan 2011, kinerja ekspor masih bagus sehingga terjadi surplus neraca barang dan jasa (neraca berjalan), serta anggaran pemerintah defisitnya terkendali di bawah 2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tetapi saat ini primadona ekspor komoditas tambang menurun cukup signifikan, sedangkan impor bahan bakar minyak (BBM) serta impor nonmigas masih kencang. Akibatnya, defisit neraca berjalan membengkak di atas 2 persen dari PDB.

Pemerintah akhirnya berani mengatasi "sebagian" problem defisit neraca berjalan dan defisit APBN dengan sedikit mengurangi subsidi BBM walaupun akibatnya untuk sementara waktu inflasi meningkat. Akan tetapi, pengurangan subsidi BBM tersebut tampaknya belum cukup signifikan menurunkan defisit neraca berjalan karena laju impor masih terlalu kencang, sedangkan ekspor semakin melambat.

Defisit neraca berjalan serta defisit APBN harus dibiayai oleh aliran modal masuk. Masalahnya aliran modal asing sudah mulai berkurang karena bank sentral Amerika (The Fed) akan mengurangi injeksi likuiditas. Investor asing akan selektif, hanya mau masuk ke pasar modal Indonesia jika rasio makroekonomi dijaga prudent. Jika defisit neraca ekspor impor dibiarkan memburuk serta modal portofolio stop masuk ke Indonesia, risikonya adalah devisa negara akan terus tergerus untuk membiayai laju impor. Risiko lainnya adalah kemampuan pembiayaan APBN akan berkurang signifikan.

Faktanya investor portofolio asinglah yang mendanai 30 persen dari pembiayaan APBN. Risiko ini bukan risiko di atas kertas, melainkan sudah terjadi. Buktinya cadangan devisa telah turun di bawah 100 miliar dollar AS demi membiayai impor, serta imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) telah meningkat 3 persen dibandingkan dengan tiga bulan yang lalu. Artinya, biaya bunga utang pemerintah telah meningkat. Contohnya, imbal hasil SUN berjangka waktu 10 tahun telah meningkat dari 5,2 persen menjadi 8,2 persen.

Ketergantungan impor kronis

Ketergantungan negara ini terhadap impor sudah sangat kronis, mulai dari barang modal (mesin), bahan baku, bahan penolong, barang konsumsi, sampai dengan bahan pangan. Keunggulan komparatif sebagai negara agraris dan negara maritim tidak dimanfaatkan. Kebijakan jangka panjang untuk menguatkan industri dalam negeri memerlukan komitmen bersama dari pusat sampai daerah, termasuk komitmen pengusahanya. Menjadi pedagang (importir) memang lebih mudah dibandingkan membangun industri, tetapi akibatnya devisa terus tersedot.

Dalam jangka pendek, jika kebijakan fiskal (pengurangan subsidi BBM) tidak cukup ampuh menekan defisit neraca berjalan serta defisit APBN, terpaksa kebijakan moneter yang harus digunakan. Oleh karena itu, BI sekarang mulai injak rem, menyerap kelebihan uang beredar, yaitu dengan cara sedikit menaikkan suku bunga dan sedikit melakukan depresiasi rupiah. Dampak dari kenaikan suku bunga adalah penurunan pertumbuhan kredit dan pelambatan pertumbuhan ekonomi, tetapi setelah itu diharapkan inflasi akan menurun dan impor akan melambat.

Selain dengan kenaikan suku bunga, penurunan impor dapat dicapai dengan depresiasi rupiah sambil mendukung daya saing ekspor, mendorong neraca berjalan menjadi surplus atau paling tidak defisitnya menurun ke batas yang wajar, di bawah 2 persen PDB.

Jadi, kenaikan sebanyak 0,75 persen suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (Fasbi) menjadi 4,75 persen dan BI Rate menjadi 6,5 persen, serta depresiasi rupiah di atas Rp 10.000 per dollar AS memang dirancang untuk melambatkan ekonomi demi mengembalikan angka rasio makroekonomi Indonesia pada jalur yang prudent. Bahkan BI menggabungkan kenaikan suku bunga dengan kebijakan LTV (loan to value ratio) di kredit properti, yaitu menaikkan rasio uang muka kredit pembelian rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Tentu saja banyak pihak yang tidak suka dengan pelambatan ekonomi, apalagi Indonesia sedang memasuki tahun pemilu. Inilah pentingnya komunikasi publik tentang suatu kebijakan.

China juga melambat

Apakah hanya Indonesia yang secara sengaja melambatkan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013? Ternyata China juga mengambil strategi yang sama. Dalam rangka mencegah kenaikan harga tanah yang tidak terkendali serta mengurangi polusi lingkungan, maka pemimpin China dengan sengaja melambatkan laju ekonomi.

Strategi ini berbeda dengan situasi di tahun 2009. Pada saat dunia mengalami resesi pada tahun 2009, Pemerintah China menggenjot pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan kredit agar ekonominya tetap tumbuh di atas 8 persen. Akan tetapi, sekarang Pemerintah China tidak mau lagi menggenjot investasi fisik yang "sembrono' karena akan membuat kapasitas yang berlebihan, pada akhirnya menjadi kredit macet. Bahkan China secara sengaja mengetatkan likuiditas untuk menurunkan pertumbuhan kredit lembaga keuangan non bank. Jadi China secara sengaja tahun ini tumbuh di bawah 8 persen. Yang terkena dampak adalah Indonesia. Kinerja ekspor komoditas pertambangan Indonesia semakin menurun karena pelambatan ekonomi China.

Suku bunga dan depresiasi

Berapa kenaikan suku bunga dan depresiasi rupiah yang dianggap normal? Hal tersebut bergantung pada ekspektasi terhadap inflasi satu tahun kedepan. Setelah kenaikan harga BBM, maka ekspektasi inflasi meningkat ke 8-9 persen sehingga berakibat imbal hasil SUN meningkat ke 8,2 persen. Ini merupakan kenaikan biaya bunga bagi pemerintah dan pengusaha. Berhubung BI ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka BI mengurangi pembelian SUN untuk sementara waktu. Jika inflasi mulai turun setelah Lebaran, inflasi pada tahun 2014 semoga sudah kembali ke bawah 5,5 persen. Jika Fasbi naik kembali 0,5 persen ke maksimum 5,25 persen, ekspektasi inflasi bisa diturunkan lebih cepat sehingga imbal hasil SUN tenor 10 tahun akan kembali turun ke bawah 6 persen pada awal tahun 2014. Terbukti, setelah BI menaikkan suku bunga, beberapa hari terakhir imbal hasil SUN berjangka waktu 10 tahun telah membaik turun ke 7,6 persen.

Bagaimana dengan depresiasi rupiah? Kurs mata uang negara lain seperti Filipina, Malaysia, India, Brasil, dan Turki juga melemah mulai 4 persen sampai dengan 8 persen. Rupiah baru melemah sekitar 5 persen. Jika kurs rupiah tidak ikut melemah, rupiah justru akan dianggap over value yang berakibat ekspor produk manufaktur Indonesia kehilangan daya saing. Selain itu, impor juga akan semakin meningkat.

Depresiasi rupiah terhadap dollar AS yang masih dianggap normal merupakan selisih antara inflasi Indonesia tahun ini (8 persen) dan inflasi Amerika (1,8 persen), artinya depresiasi 6,2 persen masih merupakan hal yang wajar, bahkan bermanfaat buat negeri ini.

(Mirza Adityaswara, Ekonom)

(Kompas cetak, 30 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Lebaran dan Persiapan Kita (Kompas)

Idul Fitri segera tiba. Tampaknya persiapan tahun ini lebih tidak mudah walaupun mungkin bagi sebagian, justru inilah bagian dari ujian ibadah.
Seperti kita baca di harian ini, cuaca masih ditandai dengan anomali sehingga meski sudah akhir Juli, hujan masih banyak mengguyur dan di sejumlah wilayah banjir masih melanda. Kondisi ini rawan menimbulkan banjir dan tanah longsor. Pemudik perlu lebih berhati-hati.

Hal kedua yang menjadi kerisauan adalah melambungnya harga. Menyusul kenaikan harga BBM, inflasi melambung, untuk bulan ini disebut mendekati 3 persen, membuat barang yang banyak dibutuhkan ikut membubung. Hukum suplai dan permintaan berjalan dalam situasi seperti ini. Yang terakhir, kondisi memprihatinkan adalah buruknya kondisi jalan di lintas Sumatera. Ini memperluas prospek serupa yang sudah ada di jalan jalur mudik di Pulau Jawa, apakah itu jalur pantura atau jalur selatan.

Di lintas Sumatera, pemudik bahkan diberitakan akan mengalami kesengsaraan jika terjadi kemacetan dan penumpukan kendaraan di Pelabuhan Merak serta berlanjut di ruas jalan lintas Sumatera. Menambah buruk situasi, kita membaca ambruknya jembatan penghubung Dermaga V Pelabuhan Merak. Jika tidak ingin ada tambahan persoalan, kerusakan jembatan harus segera diperbaiki.

Ya, itulah beberapa kondisi yang lalu menjadi bahan keprihatinan kita. Kombinasi antara faktor alam (cuaca), ekonomi (inflasi, kenaikan harga), dan buruknya infrastruktur (jalur perjalanan yang tak kunjung siap setiap kali ada kebutuhan massal) nyata menjadi hal yang dialami oleh warga Indonesia yang akan merayakan Lebaran.

Alam boleh jadi hal yang berada di luar jangkauan kita karena siapa yang bisa menolak hujan yang terus turun? Ekonomi? Ini sebagian mestinya bisa kita kelola. Kenyataan harga daging, cabe, dan bawang menjadi mahal menjadi catatan bahwa kita tak cukup antisipatif atau terampil dalam mengelola perdagangan komoditas ini.

Yang paling memprihatinkan tentu saja kegagalan kita dalam menyiapkan infrastruktur yang memberi kenyamanan bagi masyarakat yang membutuhkannya, baik untuk keperluan mudik maupun sehari-hari. Aneh memang, jalan tak pernah baik sepanjang tahun dan dijanjikan baik hanya sekitar H minus sepekan sebelum Lebaran. Mengapa hal seperti ini berulang setiap tahun?

Namun, meski kita belum lulus menjadi bangsa pembelajar (learning nation), kita dapat menghibur diri bahwa Lebaran akan segera tiba. Ada banyak hal yang bisa jadi bahan omelan, tetapi untuk menenteramkan hati, kita tuntaskan saja ibadah puasa kita sebaik-baiknya.

Selebihnya, kita siapkan diri dan kendaraan kita jika nanti akan mudik. Harapan untuk bisa bersilaturahim dengan kerabat dan saudara di kampung halaman kiranya menjadi semangat dan inspirasi guna mengalahkan ketidaknyamanan yang akan kita temui di jalanan atau saat berbelanja menyiapkan hidangan Lebaran.

(Kompas, 30 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kegagalan Reformasi (Miftah Thoha)

Oleh: Miftah Thoha  

Rangkap jabatan, yakni jabatan sebagai pimpinan partai politik dan sebagai pejabat negara (pejabat politik), telah lama dikeluhkan. Rangkap jabatan dilihat dari perspektif apa pun—baik etika, manajemen, sosial, politik, maupun ekonomi—kurang pantas. Selain kurang patut, rangkap jabatan itu merupakan saluran untuk berbuat menyimpang atau korupsi.
Penggunaan fasilitas negara tidak mungkin bisa dihindari oleh pejabat tersebut, baik itu besar maupun kecil, disadari atau tidak, ketika pejabat tersebut melakukan aktivitas yang sulit dibedakan antara tugas negara atau tugas partainya.

Contohnya, seorang menteri yang merangkap jabatan pimpinan partai pada suatu hari meresmikan proyek pembangunan pemerintah di luar Jawa dan pada sore harinya membuka rapat kerja partainya. Bisakah menteri tersebut memisahkan antara tiket dan biaya perjalanan serta akomodasi yang dipergunakan yang dibiayai negara dan yang dibiayai partainya?

Hal ini baru tiket yang biayanya sedikit. Bagaimana kalau biayanya besar dan fasilitasnya proyeknya juga besar? Bukankah ini saluran korupsi yang seharusnya sudah diperbaiki dalam reformasi birokrasi pemerintah semenjak masa Reformasi, karena gejala ini sudah lama berlaku dalam riwayat birokrasi pemerintah kita semenjak Orde Lama, Orde Baru, dan yang sekarang.

Pejabat politik
Semenjak pemerintahan BJ Habibie mengumandangkan pelaksanaan pemerintahan yang demokratis pada 1999, semenjak itu pula partai politik mulai memerintah birokrasi pemerintahan. Mulailah kita mengenal jabatan dan pejabat politik. Pada zaman pemerintahan sebelumnya, Presiden Soeharto tidak menyebutnya jabatan atau pejabat politik, tetapi jabatan atau pejabat negara.

Sebutan jabatan dan pejabat negara memang bagus karena semuanya untuk kepentingan negara, walaupun pejabatnya sejatinya juga pejabat politik. Di sinilah mulai kabur antara penggunaan fasilitas dan kekayaan negara dengan milik golongan politik yang memerintah.

Tampaknya kondisi ini akibat luputnya perhatian pemerintah untuk menata hubungan antara jabatan negara dan jabatan politik sehingga rangkap jabatan dibiarkan berlarut-laruat sampai hari ini. Hal ini sekaligus menunjukkan gagalnya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Banyaknya korupsi oleh pejabat politik yang memimpin birokrasi, mulai dari menteri, gubernur, bupati hingga wali kota, bahkan juga anggota Dewan, membuktikan rangkap jabatan sangat menyuburkan saluran korupsi kekayaan negara. Kondisi ini sebenarnya bisa diakhiri jika pemerintah jeli memperhatikan persoalan ini dan pimpinan partai politik menyadarinya.

Dalam literatur ilmu politik dengan tegas ditekankan bahwa jika pimpinan partai dipercaya memegang jabatan sebagai pejabat negara, saat itu pula harus selesai hubungan politik yang bersangkutan dengan partainya. Kesadaran mengenai hal ini merupakan dasar pengendalian diri untuk membedakan antara milik negara dan milik partai politik. Nanti jika jabatan negaranya selesai, dia bisa kembali ke jabatan partainya.

Semua ini bisa terwujud jika semua undang-undang—mulai dari undang-undang partai politik hingga undang-undang pemilu, undang-undang pemilihan presiden dan kepala daerah, undang-undang aparatus sipil negara, dan undang-undang pemerintahan daerah—menetapkan secara tegas dilarangnya rangkap jabatan tersebut.

Jabatan negara

Istilah jabatan negara sebaiknya dipergunakan untuk mengganti istilah jabatan politik. Undang-undang yang berlaku sampai sekarang masih memakai istilah jabatan negara. Adapun istilah jabatan politik belum pernah disebutkan di dalam undang-undang yang ada. Walaupun yang bersangkutan bisa saja dari partai politik, tetapi setelah memegang jabatan negara seperti presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati atau wali kota, maka tidak ada lagi kaitan dengan partainya.

Mereka semua hanya semata-mata melakukan tugas negara untuk kepentingan seluruh rakyat di negara tersebut. Jika saat didirikan tujuan semua partai politik adalah bukan untuk mempertajam ego sektoral partai masing-masing melainkan untuk kepentingan nasional, maka kejayaan negara dan kepentingan seluruh rakyat dan bangsa akan mudah dicapai.

Di era pemerintahan Orde Baru, tidak dikenal adanya jabatan politik. Hal ini selain karena Presiden Soeharto tidak menyukai politik, juga karena pejabatnya berasal bukan dari partai politik melainkan dari Golongan Karya yang bukan partai politik.

Perubahan sistem politik yang terjadi selama era Reformasi tidak cepat direspons oleh pemerintahan yang sekarang sehingga tatanan birokrasi kita tidak jelas mengatur hubungan dan prosedur kerja yang harus dijalankan mengenai jabatan politik ini.

Selain rangkap jabatan, klasifikasi jabatan politik dan jabatan karier birokrasi pemerintah juga harus jelas. Benarkah panglima TNI, kapolri, jaksa agung bukan jabatan politik? Mengapa selama ini pengangkatan orang untuk jabatan-jabatan itu harus diuji kelayakannya oleh DPR sebagai lembaga politik? Hal-hal yang tidak jelas seperti ini menuntut adanya penataan jabatan-jabatan politik dalam sistem birokrasi pemerintah.

Sebagaimana lazimnya di dalam negara demokrasi, Panglima TNI adalah jabatan karier di bidang militer, demikian pula kapolri adalah jabatan karier kepolisian. Kedua jabatan itu sama statusnya sebagai jabatan karier seperti sebutan untuk pegawai negeri sipil mulai dari pejabat karier eselon satu ke bawah.

Proses perekrutan dan promosinya harus dijauhkan dari suasana dan arena politik yang secara melembaga diwakili oleh lembaga politik DPR. Pengangkatan dan promosinya berada di wilayah pemegang kekuasaan penyelenggara pemerintah, yakni presiden, bukan berada di wilayah pemegang kekuasaan perundang-undangan atau politik. Panglima TNI dan kapolri adalah pembantu presiden, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.

Oleh karena itu, seharusnya pengangkatan dan promosinya di atur dalam keputusan presiden dan tidak perlu dibawa dan dimintakan persetujuan atau diuji kelayakan oleh DPR. Jabatan panglima TNI ataupun kapolri sama seperti jabatan karier, dibatasi dengan usia pensiun. Artinya, ia harus diganti jika telah sampai umur pensiun.

Yang kelayakannya seharusnya diuji oleh DPR adalah pejabat politik. Misalnya, para menteri sebelum dilantik oleh presiden dimintakan persetujuan politik kepada DPR seperti di negara-negara parlementer. Jabatan politik atau jabatan negara tidak dibatasi oleh usia pensiun kecuali ada undang-undang yang mengatur batasan usia pensiunnya.

Politik dan birokrasi memang sulit dipisahkan, tetapi bisa dibedakan untuk tatanan pemerintahan yang demokratis dan untuk menciptakan tatanan sistem pemerintahan yang bersih. Semuanya itu telah luput dari perhatian reformasi.

(Miftah Thoha, Guru Besar Magister Administrasi Publik UGM; Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) )
 
(Kompas cetak, 30 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Calon Kapolri Berekening ”Gendut” (HASRUL HALILI)

Oleh: HASRUL HALILI

Perhatian publik kembali menyoroti institusi kepolisian. Kali ini terkait momentum pergantian posisi Kepala Polri, yang saat ini dijabat Timur Pradopo dan sebentar lagi akan berakhir masa jabatannya. Maka, calon pengganti mulai ditimbang-timbang.
Berdasarkan undang-undang, kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan kepala Polri berada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR. Adapun yang dicalonkan adalah para perwira tinggi Polri yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.

Momentum pergantian ini kemudian melahirkan "bursa panas" para calon pengganti. Beberapa nama disebut sebagai kandidat potensial. Namun, pemicu panasnya bursa persaingan ternyata tidak hanya terkait soal siapa yang memenuhi kualifikasi, melainkan karena di antara riuh rendah pencalonan itu muncul kembali persoalan lama mengenai rekening "gendut".

Kasus rekening gendut
Dari sembilan jenderal yang belakangan positif ikut meramaikan bursa pencalonan, dua di antaranya Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, yang notabene pernah tersandung masalah rekening gendut.

Sebagaimana diketahui, isu rekening gendut pernah mencuat ke publik pada tahun 2010. Saat itu Indonesia Corruption Watch (ICW), meminta Polri untuk menjelaskan keberadaan 17 rekening yang diduga kuat merupakan milik sejumlah petinggi kepolisian. Disebut rekening gendut karena uang yang disimpan jumlahnya fantastis.

Sengkarut rekening "jumbo" kemudian berujung pada sengketa informasi antara ICW dan Polri. Sengketa itu dipungkasi dengan putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang mengabulkan permohonan ICW. Dengan demikian, Polri wajib membeberkan kepada publik mengenai keberadaan dan para pemilik dari rekening jumbo tersebut.

Namun, apa lacur, tindak lanjut atas putusan KIP tersebut hingga saat ini tidak jelas juntrungannya. Tidak cuma putusan KIP yang tidak digubris, "janji- janji angin surga" Polri mengenai pengusutan rekening gendut itu juga menghilang.

Perlu perhatian
Kenapa rekening jumbo perlu menjadi perhatian serius pada momen pergantian kepala Polri? Setidaknya ada beberapa alasan yang perlu dibahas di bawah ini.

Pertama, beberapa preseden pembongkaran praktik koruptif yang dilakukan sejumlah pejabat publik—tak terkecuali pejabat Polri—pintu masuknya antara lain dengan penelisikan terhadap rekening, terutama jika ada indikasi nominal besar dan transaksi yang mencurigakan.

Sebagai ilustrasi, publik tentu masih ingat pemberitaan di media massa beberapa tahun lalu ketika Mabes Polri menelusuri laporan PPATK mengenai rekening seorang kapolda di Kalimantan Timur, yang berisikan uang Rp 2.088.000.000 dengan sumber dana tidak tak jelas.

Rekening tersebut kemudian ditutup dan dipindahkan oleh pemiliknya ke rekening lain. Namun, ternyata untuk selanjutnya dana ditarik dan disetorkan kembali ke deposito sang kapolda.

Kedua, rekening gendut, pada sisi yang lain juga bisa menjadi alat untuk menakar besaran (magnitude) dari suatu tindakan korupsi. Maka, dari suatu hasil pelacakan, bisa disimpulkan apakah secara kuantitatif korupsi yang dilakukan oleh seorang pejabat publik itu termasuk berskala kecil, sedang, atau besar.

Penyitaan aset senilai Rp 100 miliar atas dugaan korupsi simulator (Djoko Susilo), misalnya, mengindikasikan bahwa harta koruptor, selain disembunyikan dalam bentuk pembelian aset, sebagian tetap disimpan dalam bentuk uang di rekening. Inilah yang kemudian menciptakan rekening gendut.

"Seloroh" di kalangan sebagian pegiat antikorupsi yang mengatakan, "Jika seorang jenderal bintang 2 korup saja bisa membeli aset dan menyimpan uang di rekening dengan jumlah yang begitu besar, bayangkan saja jika jenderal bintang 3 atau 4 yang korup."

Meski sekadar kelakar, hal itu membawa pesan implisit mengenai magnitude korupsi yang dilakukan seorang petinggi kepolisian.

Dengan memperhatikan sejumlah proyek pengadaan di kepolisian yang rata-rata besar dan masif, mungkin sekali jika magnitude korupsinya juga berbanding lurus dengan itu.

Menjadi radar
Ketiga, dengan perpaduan metode follow the money (mengikuti aliran uang) dan follow the asset (mengikuti aliran aset) pada pelacakan harta koruptor, yang antara lain dilakukan dengan penelusuran sejumlah transaksi mencurigakan pada rekening, posisi dari rekening gendut menjadi strategis. Rekening itu tidak lagi sekadar menjadi alat perburuan harta koruptor, tetapi juga bisa menjadi radar untuk menemukan pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Tentu masih segar dalam ingatan publik, kasus suap PT Salmah Arowana Lestari dan pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008. Kasus tersebut menjadikan mantan Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji sebagai "pesakitan". Namun, apa yang melibatkan Susno ternyata "beririsan" dengan kasus rekening gendut di kalangan petinggi Polri.

Bongkar rekening gendut
Pada waktu itu, sebagai mantan Wakil Ketua PPATK, Susno sempat didorong oleh beberapa pihak supaya menjadi whistleblower yang membongkar keberadaan rekening gendut yang dimiliki pejabat dan mantan pejabat Polri.

Selain sebagai argumentasi, tiga hal di atas—serta penjelasan sebelumnya—setidaknya menggambarkan suatu situasi pelik, yakni kelindan institusi kepolisian dengan persoalan rekening gendut. Kepelikan ini terjadi dan berlangsung sebagai akibat dari ketidakseriusan Polri menyelesaikan persoalan rekening gendut. Kini, dalam momentum pencalonan kepala Polri, isu itu muncul menjadi "bola liar".

Maka, jika benar-benar ingin mendapatkan figur berintegritas dan berkomitmen untuk lahirnya institusi kepolisian yang tidak korup, pencalonan pengganti kepala Polri sebaiknya digunakan sebagai momentum untuk merampungkan pekerjaan rumah menuntaskan soal rekening gendut, sesuatu yang sebenarnya ditunggu publik selama ini seperti halnya "menunggu godot".

HASRUL HALILI, Dosen dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM

(Kompas cetak, 30 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

ANALISIS POLITIK YUDI LATIF: Demokrasi Kriminal Mendelegitimasi Negara

ANALISIS POLITIK YUDI LATIF
Demokrasi Kriminal Mendelegitimasi Negara
0 KOMENTAR FACEBOOKTWITTER  

Klaim moral pertama dari dasar keberadaan negara adalah kesanggupannya melindungi warga dari mara bahaya (harm). Jika gagal memenuhi hal itu, negara tersebut kehilangan legitimasinya.

Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini memperlihatkan situasi mengerikan. Negara tidak saja gagal melindungi warganya, tetapi juga gagal melindungi dirinya sendiri. Ekspresi kekerasan mengemuka dalam ragam bentuk: kekerasan warga atas warga; kekerasan antarsindikat; kekerasan negara atas warga; kekerasan warga (teroris) atas negara; serta kekerasan antaraparat negara (tentara versus polisi, polisi versus polisi).

Dengan membuncahnya aneka ekspresi kekerasan tersebut, negara mengingkari demokrasi dan konstitusi. Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, bertentangan dengan spirit dan substansinya. Tak lain karena demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperangkat institusinya merupakan suatu sarana non-kekerasan.

Di bawah kondisi demokratis, kepentingan dan kekuasaan tidak bisa diperoleh melalui jalan pemaksaan, tetapi melalui jalan konsensus yang memerlukan penghormatan publik atas rule of law. Demokrasi merupakan suatu sistem pembagian kekuasaan secara legal yang aktornya sama-sama menghindari bahaya kekerasan dan juga diuntungkan oleh ketiadaan kekerasan.

Demokrasi Indonesia yang didarahi aneka bentuk kekerasan mengindikasikan bahwa pelaksanaannya belum mampu mentransformasikan gerak sentripetal kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Pergeseran dari Orde Baru ke Orde Reformasi hanyalah peralihan dari situasi otoriter menuju situasi lemah otoritas (hukum) dengan risiko yang lebih mengerikan. Humphrey Hawksley dalam Democracy Kills memperlihatkan potret yang mengerikan bahwa penduduk di bawah sistem demokrasi lemah otoritas berpeluang mati lebih besar ketimbang di bawah sistem kediktatoran. Sebagai contoh, harapan hidup warga negara demokratis Haiti hanya mencapai 57 tahun dibandingkan dengan mereka yang hidup di bawah kediktatoran Kuba yang mencapai 77 tahun.

Demokrasi memang bermaksud menghilangkan pemerintahan otoriter, tetapi tidak bisa ditegakkan tanpa wibawa otoritas. Tanpa wibawa otoritas negara hukum (nomokrasi), demokrasi bisa mengarah kepada anarki, yang dapat merebakkan ragam ekspresi kekerasan. Di dalam merebaknya ekspresi kekerasan, demokrasi melakukan tindakan bunuh diri.

Dengan merebaknya ekspresi kekerasan, negara juga mengingkari tugas konstitusionalnya: "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". Lebih dari itu, nyaris tidak ada perbantahan antara teoretikus negara lintas zaman dan lintas ideologis, mulai dari Niccolo Machiavelli, John Stuart Mill, hingga pengusung indikator gross national happiness, dalam menempatkan tugas perlindungan negara atas warga di jantung dari segala kontrak negara dengan rakyatnya.

Pentingnya proteksi warga dari bahaya juga menjadi latar yang membentuk liberalisme modern. Dalam tulisan-tulisan John Stuart Mill ditekankan, satu-satunya justifikasi bagi tindakan melawan yang lain adalah perlindungan diri (self-protection) dan satu-satunya rintangan atas kebebasan yang bisa dijustifikasi adalah rintangan untuk mencegah bahaya bagi orang lain. Kebebasan (mengekspresikan) agama, misalnya, bisa dibatasi oleh perlindungan atas keselamatan publik (public safety), ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public health), moral publik (public morals), serta perlindungan hak dan kemerdekaan (rights and freedom).

Perlindungan atas keselamatan warga dan negara penting karena ketertiban dan keselamatan sangat esensial, bukan saja agar hidup berjalan, melainkan juga agar rakyat bisa hidup secara baik. Data komparatif lintas negara membenarkan bahwa stabilitas dan ketertiban politik, pemerintahan hukum dan keadilan, sangat menentukan bagi pencapaian kebahagiaan. Tingkat kebahagiaan bangsa tertinggi pada umumnya ditemukan di negara-negara demokrasi yang stabil, seperti Norwegia, Swiss, dan Denmark, yang mengindikasikan betapa pentingnya pemerintahan yang kuat, stabil, protektif, dan legitimate bagi kebajikan dan kebahagiaan hidup warga (Geoff Mulgan, 2006).

Para pendiri bangsa secara visioner telah menempatkan tugas perlindungan negara atas segenap bangsa dan seluruh tumpah darah sebagai dasar legitimasi negara yang pertama. Masalahnya, dalam semangat penyelenggara negara yang lebih mengutamakan kepentingan dan keselamatan dirinya, kepentingan dan keselamatan warga bisa saja dikorbankan. Di dalam kepentingan sempit penguasa zalim, negara tidak saja gagal melindungi korban, tetapi bisa saja memihak elemen-elemen kekerasan demi keberlangsungan kekuasaan. Maka, dalam demokrasi yang menghendaki pemuliaan hak-hak asasi manusia, nyawa manusia di negeri ini justru kian murah.

Praktik demokrasi yang gagal melindungi warga dari segala bentuk kekerasan adalah praktik demokrasi kriminal yang tak patut dipertahankan. Demokrasi yang dirayakan dengan kekerasan tidak saja membinasakan demokrasi itu sendiri, tetapi juga mendelegitimasi negara, yang akan menjatuhkan konsepsi negara paripurna menjadi kekacauan paripurna.

(Yudi Latif,  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan)

(Kompas cetak, 30 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 29 Juli 2013

Belajar Tanam Yam dari Nigeria (F Rahardi)

Oleh: F Rahardi

Sejak zaman Orde Lama sampai sekarang, wacana kemandirian (ketahanan) pangan melalui diversifikasi selalu didengungkan pemerintah. Faktanya, Indonesia makin rawan pangan karena hanya bergantung pada beras, bahkan gandum.
Memang ada juga diversifikasi pangan dari singkong dalam bentuk bakso dan pempek hingga produksi nasional komoditas ini naik. Sejak 2011, Indonesia berada pada peringkat kedua penghasil singkong dunia, di bawah Nigeria yang berada pada peringkat pertama. Indonesia berhasil menggeser Thailand, yang turun ke peringkat ketiga.

Namun, di lain pihak, Indonesia juga tumbuh jadi konsumen gandum (terigu) dalam bentuk mi dan roti. Tahun 2012, impor gandum Indonesia dalam berbagai bentuk mencapai 6,2 juta ton dengan nilai Rp 21 triliun. Indonesia dicatat oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) sebagai negara pengimpor gandum terbesar nomor lima di dunia.

Di Indonesia, diversifikasi bahan pangan karbohidrat dari beras bukan mengarah ke jagung, sorgum, umbi-umbian, atau sagu dan sukun, melainkan ke gandum yang harus terus diimpor. Beda dengan Nigeria. Negeri ini juga mengimpor gandum, sebanyak 3,9 juta ton, dengan nilai Rp 9,9 triliun. Akan tetapi, mereka tetap memperhatikan bahan pangan lokal. Iklim Nigeria relatif kering dibandingkan Kamerun, Gabon, Kongo, Republik Demokratik Kongo, dan Uganda. Bagian utara negeri ini sudah berbatasan dengan Gurun Sahara. Dengan kondisi iklim seperti ini, Nigeria tidak mungkin menanam padi dengan hasil optimum.

Maka, Nigeria pun menanam jagung. Tahun 2013, hasil jagung negeri ini diprediksi oleh Kementerian Pertanian Amerika Serikat hanya 7,2 juta ton, dan berada pada peringkat ke-13 dunia. Nigeria berada satu level di bawah Indonesia, yang tahun ini diprediksi menghasilkan 7,7 juta ton jagung, dan berada pada peringkat ke-12 dunia. Selain jagung, produk serealia yang masih bisa dibudidayakan di Nigeria hanyalah sorgum. FAO mencatat tahun 2011 Nigeria menghasilkan 6,8 juta ton biji sorgum, dan berada pada peringkat kedua penghasil sorgum dunia setelah India sebagai peringkat pertama dengan hasil tujuh juta ton.

Tanaman semusim
Meski demikian, volume hasil jagung dan sorgum Nigeria masih relatif kecil untuk mengenyangkan 170 juta penduduknya. Maka, pemerintah negeri ini berpaling ke umbi-umbian: singkong, uwi (yam, Dioscorea alata) ubi jalar, keladi, dan pisang olahan (plantain, Musa x paradisiaca). Di dunia internasional, selain keladi, juga ada talas, sénthé (giant taro, Alocasia macrorrhizos), dan pulaka (swamp taro, Cyrtosperma merkusii).

Uwi, talas, dan pisang olahan merupakan bahan pangan penting dunia. Indonesia punya sangat banyak spesies dan varietas uwi, yang kondisinya telantar. Spesies Dioscorea yang dikenal dan dibudidayakan masyarakat Indonesia secara terbatas hanya gembili (Dioscorea aculeata) dan gadung (Dioscorea hispida). Sénthé dan pulaka memang hanya dikonsumsi masyarakat Pasifik Selatan (Samoa, Vanuatu, Tuvalu). Pisang olahan (pisang tanduk, dan pisang kepok) juga bahan pangan penting yang disebut plantain. Komoditas ini sangat populer di Afrika dan Amerika Tengah/Selatan.

Uganda merupakan penghasil plantain nomor satu dunia. Tanaman penghasil karbohidrat ini diperhatikan luar biasa di Afrika, termasuk di Nigeria. Pemerintah Nigeria demikian serius memperhatikan komoditas-komoditas ini demi mengupayakan ketercukupan pangan bagi penduduknya. Upaya ini berhasil baik, hingga Nigeria dicatat oleh FAO sebagai penghasil singkong terbesar dunia. Tahun 2011, hasil singkong negeri ini 52,4 juta ton. Indonesia berada pada ranking kedua dengan hasil hanya 24 juta ton. Nigeria juga produsen uwi dan keladi nomor satu dunia, dengan hasil 37,1 dan 3,2 juta ton, serta ubi jalar nomor tiga dunia, dan plantain nomor lima dunia dengan volume masing-masing 2,7 juta ton.

Di negeri kita uwi, talas, dan keladi telah dilupakan. Dibandingkan talas dan keladi, nasib uwi paling menyedihkan. Terutama uwi sejenis gembili, berukuran besar, yang di Jawa Tengah dan DIY disebut gembolo. Di Jepang, umbi jenis ini disebut nagaimo (mountain yam, Dioscorea oposita), dan dimasak menjadi bubur, sup, serta kuah udon. Nagaimo dibudidayakan dengan serius di Jepang, dan umbi segar maupun gapleknya bisa dengan mudah dijumpai di pasar Tokyo, bahkan di New York. Taiwan juga membudidayakan uwi secara massal, mengolahkan jadi cake dan menyajikannya sebagai dessert di restoran bintang lima.

Selain sumber pangan tanaman semusim, Indonesia juga masih punya komoditas suweg (Amorphophallus paeoniifolius), iles-iles (Amorphophallus muelleri), ganyong (Canna indica), dan garut (Maranta arundinacea). Empat tanaman ini sama sekali tak terperhatikan dengan baik. Suweg justru dikembangkan dengan serius di India. Umbi konjak (Amorphophallus konjac), yang masih sagu genus dengan iles-iles dibudidayakan secara massal di Jepang, RRC, dan Korea untuk bahan konyaku. Di Jateng dan Jatim, masyarakat sudah mulai membudidayakan iles-iles untuk diekspor ke Jepang sebagai substitusi umbi konjak.

Sampai sekarang, masyarakat di sekitar Jakarta masih ada yang membudidayakan kimpul plècèt atau tales dempel (satoimo, Colocasia esculenta var. antiquorum). Sekitar 2.000 SM, kimpul plècèt ini bermigrasi dari Asia Tenggara ke Jepang dan di sana disebut satoimo. Setelah 4.000 tahun beradaptasi dengan iklim temperate, tahun 2005 ada pengusaha mendatangkan satoimo ke Indonesia untuk dibudidayakan sebagai "komoditas ekspor". Para pengusaha ini tidak tahu bahwa satoimo berasal dari Indonesia. Dengan sistem plasma, para petani diminta menanam "talas jepang", dengan iming-iming akan diberi harga tinggi. Talas yang sudah akrab dengan salju ini tentu tidak mau lagi hidup di iklim tropis. Proyek satoimo ini gagal.

Selain aneka komoditas tanaman semusim tadi, Indonesia masih punya tiga andalan tanaman pangan berupa pohon, yakni aren, sagu, dan sukun. Aren menghasilkan tepung dari empelur batang, gula merah, kolang- kaling, dan ijuk. Aren juga nyaris punah di Jawa karena penebangan untuk diambil tepungnya. Kalau aren nyaris punah, sagu justru belum pernah dieksplorasi, apalagi dibudidayakan. Di Jawa, sagu yang juga dikenal sebagai rumbia lebih banyak dipanen daunnya sebagai bahan atap.

Secara umum dikenal dua jenis sagu, yakni rumbia yang tak berduri dan sagu berduri. Selama ini sagu hanya dikenal sebagai bahan pangan penduduk Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Sukun juga merupakan bahan pangan penting bagi masyarakat Pasifik, yang di Indonesia juga masih sebatas dimanfaatkan sebagai camilan. Padahal, buah inilah yang pernah menyelamatkan awak kapal Ferdinand Magellan ketika mereka kehabisan pangan di Pasifik, selama pelayaran mengelilingi dunia: 1519–1522.

Biji bayam RRC
Yang cukup rendah hati mau belajar dari negara lain tampaknya RRC. Tersebutlah, tahun 1970-an, Meksiko tertarik pada cerita tentang biji bayam, yang pernah dibudidayakan orang Maya dan Aztec sebelum kedatangan bangsa Eropa. Oleh orang Aztec, tepung (pati) biji bayam dicampur madu, dibentuk menjadi patung dewa Huitzilopochtli. Dalam sebuah ritual, patung ini dipotong dan dibagi-bagi untuk dimakan. Ritual ini dianggap oleh para imam Katolik mirip dengan pembagian hosti (komuni) dalam ritual misa. Sejak itu penanaman bayam dilarang sama sekali.

Meksiko pun menemukan sisa-sisa komoditas ini di pelosok Pegunungan Andes di Peru. Sejak itu, bayam kembali dibudidayakan sebagai bahan pangan. RRC sangat tertarik pada komoditas ini, lalu pada 1980-an, dengan bantuan USAID, negeri ini mengumpulkan spesies bayam dan varietasnya dari seluruh dunia. Terkumpullah sekitar 1.400 varietas bayam. Dari 1.400 plasma nutfah itu, RRC menemukan beberapa spesies liar yang bisa digunakan untuk menciptakan hibrida baru, hingga produktivitas bayam bisa lebih tinggi. RRC lalu mengirimkan varietas-varietas bayam itu untuk diuji coba di 70 negara di dunia.

RRC melakukan itu semua karena pernah menderita kelaparan. Dengan populasi penduduk terbesar di dunia (1,3 miliar), RRC paling rentan masalah pangan. Maka, mereka pun membuat semua nomor satu. Saat ini RRC penghasil gandum, beras, kentang, dan ubi jalar nomor satu di dunia. Selain itu, RRC juga penghasil jagung nomor dua setelah AS, dan talas nomor dua setelah Nigeria. Ini semua mereka lakukan agar tak pernah terjadi "bencana nasional". Sebab, begitu RRC gagal panen, seluruh cadangan pangan dunia tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan RRC. Itulah sebabnya, meskipun semua sudah nomor satu, RRC masih juga gencar mengurus biji bayam.

Dengan melihat fakta-fakta ini, mestinya Indonesia segera "bertobat", lalu mulai membudidayakan semua tanaman penghasil pangan. Untuk itu, kita layak belajar dari Nigeria yang berhasil hidup tanpa beras. Memang bisa saja kita berdalih bahwa Nigeria bisa menghasilkan singkong, uwi, dan keladi nomor satu di dunia justru karena tidak bisa menanam padi. Mencari-cari kambing hitam untuk mengelak dari pekerjaan memang sudah sejak lama menjadi keahlian para petinggi di negeri ini.

F Rahardi
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Trubus

(Kompas cetak, 29 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menodai Magsaysay Award (Kompas)

Selama sepekan kemarin, setidaknya tiga peristiwa besar terkait praksis penegakan hukum di Indonesia membuat kita terkaget-kaget.
Pertama, dicokoknya Mario C Bernardo, pengacara kantor hukum Hotma Sitompoel & Associates, dan Djodi Supratman, pegawai Mahkamah Agung. Kedua, pengakuan Vanny Rosyane yang memperoleh fasilitas "bilik asmara" bersama terpidana mati Freddy Budiman di LP Cipinang. Ketiga, seolah-olah dua kasus itu menodai apresiasi Raymon Magsaysay Award 2013 untuk Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kita apresiasi dukungan moral Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas eksistensi KPK. Niat baiknya menambah bobot penghargaan Magsaysay. Kita bangga dan gembira atas penghargaan setingkat Nobel Asia dan diberikan dalam waktu tepat. Sejak KPK dibentuk, hampir semua orang yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK selalu divonis bersalah di pengadilan.

Di saat yang sama, penegakan hukum sering direcoki niat memperlemah eksistensi KPK, atau berbagai kasus yang memberi kesan umum korupsi semakin marak. Penangkapan pengacara dan pegawai MA, lantas terungkapnya fasilitas bagi terpidana mati Freddy Budiman, sekadar dua contoh terakhir. Dua kasus itu masih bergulir. Menjadi cerita menarik dengan berbagai variasi sampingannya.

Kita ikuti babak berikutnya. Menyangkut penangkapan Mario dan Djodi, masalah akan membuka tabir dugaan mafia peradilan. Pencarian keadilan, bahkan sampai di tembok terakhir MA—apalagi di tingkat aparat penegakan hukum sebelumnya seperti polisi dan jaksa, sekarang ditambah pengacara—terlibat dalam jual beli perkara.

Mengenai penyalahgunaan lembaga pemasyarakatan, termasuk rumah tahanan, tidak sekali ini kasus serupa terjadi. Bilik asmara hanya satu dari beberapa kebobrokan yang terungkap, selain sebelumnya seperti bandar narkoba yang tetap bisa mengatur peredaran narkoba dari balik jeruji, pengusaha koruptor yang tetap bisa menjalankan bisnisnya dalam status terpidana, bisnis narkoba marak, dan perlakuan tidak manusiawi terpidana dan tahanan.

Dua kasus itu mencorengkan tinta hitam upaya penegakan hukum. Penegakan hukum pemberantasan korupsi sebagai tagline pemerintahan Yudhoyono menabalkan upaya ini seolah-olah utopia. Dari bahasa Yunani ou = tidak, topos = tempat, deskripsi naif tentang negeri ideal yang tak dapat direalisasikan dan tidak praktis.

Penegakan hukum di Indonesia hanya utopia? Tentu saja tidak. Ada titik terang. Terlepas dari sering terbentur kasus besar yang tak tersentuh, kehadiran KPK perlu terus diperkuat. Dukungan perundang-undangan dan pemerintah, terutama LSM antikorupsi, niscaya menjanjikan masih ada harapan. Penghargaan dari Manila pun menegaskan keyakinan kita. Penegakan hukum bukanlah utopia.

Maju terus KPK!

(Kompas cetak, 29 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Insentif Pajak untuk Investasi (Kompas)

Rencana pemerintah memberikan insentif pajak sebagai respons atas pelambatan investasi langsung diharapkan segera dapat diwujudkan.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, Kementerian Keuangan tengah fokus menyusun pembebasan dan keringanan pajak dengan menyederhanakan prosedur dan membuat persyaratan yang lebih menarik investor.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130 Tahun 2011 tentang Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan sudah mengatur pemberian insentif itu. Industri pionir yang mendapat fasilitas keringanan pajak adalah logam dasar, pengilangan minyak bumi dan industri kimia turunannya, permesinan, sumber daya alam terbarukan, dan peralatan telekomunikasi dengan nilai investasi setidaknya Rp 1 triliun. Adapun pemotongan pajak ganda diberikan untuk investasi di bidang yang membawa inovasi riset dan pengembangan serta memberi transfer pengetahuan.

Insentif pajak untuk investasi yang bukan bersifat foot loose tersebut memberi sinyal pemerintah tahu permasalahan dan menyelesaikan dengan tepat. Rencana itu harus segera diwujudkan dan dapat dilaksanakan untuk memberikan kepercayaan kepada investor.

Kita butuh mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan bahan antara yang menyedot devisa. Kita juga butuh industri dasar untuk lapangan kerja, transfer pengetahuan, dan menguatkan struktur ekonomi nasional.

Pengalaman lima tahun terakhir memperlihatkan, kita terlena oleh ekonomi komoditas. Selain harganya bergejolak serta tidak memberi nilai tambah dan lapangan kerja, mengandalkan ekonomi pada komoditas juga tidak berkelanjutan. Kita belum pernah mengaudit saksama nilai ekonomi kerusakan alam dan masalah sosial dibandingkan dengan pendapatan ekspor bahan mentah komoditas, terutama tambang.

Kini saatnya ekonomi kita bertransformasi menuju industri lebih hulu dan strategis, proses yang praktis terhenti sejak krisis ekonomi dan politik tahun 1998.

Insentif tersebut juga harus dapat merangsang investasi dalam negeri. Pemodal asing segera memindahkan dividen dan hasil investasi ke negara asalnya atau ke negara lain begitu situasi kurang menguntungkan di Indonesia, seperti ditengarai terjadi saat ini seiring melemahnya rupiah.

Namun, insentif pajak saja belum cukup. Infrastruktur menjadi masalah akut. Kepadatan di Pelabuhan Tanjung Priok, misalnya, telah mengganggu arus barang. Jalan, listrik, air bersih, dan ketersediaan lahan adalah kendala nyata bagi investor. Begitu pula ketidakjelasan aturan serta keandalan sumber daya manusia dan korupsi yang meruyak di semua lapisan birokrasi.

Karena itu, sekali lagi, pemerintah harus bekerja kompak di semua lini dipimpin konduktor andal agar kita bergerak harmonis bersama, selalu siap menghadapi badai dan memanen hasil ketika badai reda.

(Kompas, 29 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Membangun Sistem Sendiri (Sulastomo)

Oleh: Sulastomo

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini mengajak kita semua melakukan refleksi jalannya reformasi. Setelah 15 tahun reformasi, sebagaimana kita rasakan bersama, ada hal-hal yang memang harus dikoreksi. Sempatkah?
Tentang sistem ketatanegaraan kita, tentang sistem presiden- sial kita, tentang sistem distribusi kekuasaan kita, dan juga meka- nisme check and balances. Lebih jauh juga kondisi perekonomian kita: ketergantungan pada asing kian besar. Tentang pemanfaatan sumber daya alam dan potensi pasar dalam negeri yang nyaris justru lebih dimanfaatkan asing.

Bagaimana bisa negara kaya sumber daya alam, tanah subur, dan laut luas, terpaksa harus impor kebutuhan pokok, BBM, produk barang, dan jasa lain? Marilah kita perbaiki yang belum baik dan meneruskan yang sudah baik, kata Presiden. Sayang, ajakan itu di akhir masa jabatannya. Mungkin tak akan cukup waktu memimpin refleksi secara mendasar. Kita khawatir, ajakan itu isu politik jelang pemilu belaka.

Orientasi proses
Akan sangat ideal kalau sistem berbangsa dan bernegara itu sesuai dengan kesepakatan kita bersama. Sistem berbangsa dan bernegara seperti itu, dengan demikian, dibangun melalui pendekatan budaya sebab akan me- rujuk kepada kepentingan bersa- ma, kepentingan nasional di dalam mewujudkan cita-cita buat apa negara ini didirikan.

Meski bangsa Indonesia amat majemuk, kita telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara. Wujudnya budaya gotong royong atau kebersamaan. Meski UUD 1945 telah mengalami perubahan, Pembukaan UUD 1945 tak mengalami perubahan. Artinya, filosofi, landasan pemikiran, dan dasar negara tak mengalami perubahan sejak 1945 sampai kini.

Hal ini mengindikasikan bahwa kita masih konsisten dengan dasar, tujuan, buat apa negara ini didirikan. Ini penting sebagai lan- dasan mengawali refleksi reformasi. Perubahan yang terjadi adalah implementasi UUD 1945, batang tubuh UUD 1945, yang setelah 15 tahun reformasi kita merasakan adanya hal-hal meri- saukan sehingga Presiden mengajak kita melakukan refleksi, meneruskan yang sudah baik dan memperbaiki yang belum baik. Tentu agar kita tak semakin menyimpang dari tujuan buat apa negara ini didirikan.

Masalah pokok yang perlu kita sepakati adalah menerjemahkan rumusan Pembukaan UUD 1945. Di sana tercantum tujuan, tata cara penyelenggaraan negara, dan bentuk masyarakat Indonesia yang kita cita-citakan secara garis besar. Intinya, bagaimana mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila sebab istilah demokrasi sebenarnya tidak ada di dalam UUD 1945.

Esensi demokrasi terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, Kedaulatan Rakyat berdasar Permusyawaratan/Perwakilan. Segala kebijakan negara harus diambil berdasar permusyawaratan dari wakil-wakil rakyat. Hal ini mestinya diawali dengan bagaimana kita menetapkan wakil-wakil rakyat yang telah diperkenalkan sebagai pemilu.

Bagaimana wakil-wakil rakyat itu sesuai dengan aspirasi yang diwakilinya? Tentunya kalau rakyat yang memilih mengetahui wakilnya. Meskipun wakil rakyat itu dicalonkan sebuah partai, pemilih harus mengetahui wakilnya. Artinya, pemilu adalah memilih wakil rakyat, bukan memi- lih wakil partai. Ini hanya dapat terwujud kalau pemilihan umum diselenggarakan melalui sistem distrik. Kalau pemilu diselengga- rakan dengan sistem distrik, penyelenggaraannya akan jauh lebih sederhana dan tentu biayanya lebih rendah, bahkan lebih demokratis. Baik pemilu tingkat nasional maupun pilkada.

Namun, melakukan perubahan sistem pemilihan umum mungkin bukan satu hal yang mudah sebab dengan sistem pemilihan umum yang berjalan selama ini, kepentingan para elite politik, para pemimpin partai politik, lebih terjamin. Buktinya, Pemilu 1955, yang dianggap paling demokratis, tidak mampu melahirkan pemerintahan yang stabil. Demikian juga pemilu di era reformasi: melahirkan wakil rakyat yang dinilai sering tidak nyambung dengan rakyat yang diwakilinya. Akibatnya, kepercayaan kepada partai merosot.

Dengan wakil-wakil rakyat seperti itu, berikutnya adalah pemilihan bagi pejabat eksekutif pemerintahan, dari presiden, gubernur, bupati/wali kota. Tak perlu pemilihan langsung, cukup melalui lembaga perwakilan, MPR, DPRD tingkat I dan II, sehingga, sekali lagi, akan jauh lebih sederhana dan demokratis. Pejabat eksekutif itu dipilih oleh pemilih yang setara sehingga "bias" demokrasi akan dapat dihindari yang disebabkan pemilihan langsung di mana kesetaraan pemilih memiliki spektrum luas.

Dengan wakil-wakil rakyat seperti itu, akan lebih amanah melahirkan berbagai regulasi dan mengalokasikan anggaran negara untuk menyejahterakan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hal ini akan tecermin dari kebijakan perekonomian dan kesejahteraan sosial yang akan diberlakukan. Negara akan selalu hadir meski peran/ partisipasi masyarakat akan selalu diberdayakan. Wujudnya di bidang ekonomi adalah sistem ekonomi pasar sosial terbuka, sedangkan di bidang kesejahteraan adalah perwujudan negara kesejahteraan berdasar Pancasila. Peran masyarakat dan negara akan seimbang. Dalam suasana itu, kemandirian bangsa tumbuh sendirinya hingga mampu berdiri tegak di era globalisasi.

Harapan
Bila kita menyepakati prinsip- prinsip sebagaimana dikemukakan di atas, berbagai pemikiran di era reformasi memang harus kita evaluasi kembali. Refleksi jalannya reformasi memang diperlukan agar perjalanan bangsa ini dalam mewujudkan cita-citanya semakin didekati. Prinsipnya, yang sudah baik dipertahankan, yang belum baik diperbaiki.

Bagaimana mewujudkan sistem ketatanegaraan, distribusi kekuasaan, check and balances? Semuanya harus diluruskan kembali. Dalam hal ini, kita
tak boleh menutup mata pemikiran para pendiri bangsa ini, sebagai- mana termaktub di dalam UUD 1945 sebelum perubahan 2002, yang memang masih banyak yang relevan. Istilah yang tepat mungkin adalah kaji ulang UUD 1945. Tidak menutup perubahan pada UUD 1945, tetapi terus memperbaiki yang belum baik. Misalnya, pembatasan masa jabatan presiden untuk maksimal dua kali adalah contoh perubahan yang baik. Ini diperlukan
untuk pengaderan pemimpin bangsa.

Dengan demikian, pendekatan yang diperlukan adalah pendekatan sistem agar melahirkan sistem sendiri, bukan salinan negara lain: sistem ketatanegaraannya, sistem demokrasinya, maupun sistem ekonomi dan kesejahteraan sosialnya. Apakah semua itu hanya mimpi?

Sulastomo
Koordinator Gerakan Jalan Lurus

(Kompas cetak, 29 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mengurai Kemelut Pangan (Sapuan Gafar)

Oleh: Sapuan Gafar

Sejak komoditas pangan dilepas ke pasar (kecuali beras), ternyata rawan terjadi gejolak harga; entah karena persoalan iklim, gangguan distribusi, kenaikan konsumsi musiman, dan sebagainya.
Mengapa hal itu terjadi? Uraian berikut ini semoga dapat mengurai benang kusut kemelut pangan. Sebenarnya semua orang paham produksi pangan itu musiman. Adakalanya terjadi musim panen yang membuat harga turun dan pada waktu lain terjadi musim tidak panen (paceklik) yang membuat harga naik. Hal itu sudah jadi hukum alam. Setiap komoditas punya karakteristik berbeda: padi musim panennya berbeda dengan jagung, singkong, atau sayuran, dan buah-buahan. Agar terhindar dari kenaikan harga, dulu orang menyimpan atau mengolahnya untuk mengurangi risiko. Sekarang orang cenderung tak mau menyimpan barang karena tak menguntungkan lagi, takut tiba-tiba ada impor barang atau operasi pasar oleh Bulog.

Selain itu, antara produksi dan konsumsi juga terdapat jarak. Beras diproduksi oleh petani di daerah sentra produksi padi, sedangkan yang makan berada di seluruh Indonesia. Oleh karena itu terjadilah perdagangan pangan antartempat. Dengan demikian, nasi yang tersedia di meja makan sehari-hari itu telah melalui jalan berliku, berjuta-juta petani, ribuan pedagang pengepul gabah, serta ribuan penggilingan padi dan pedagang beras.

Agar antarrantai pangan tersebut terjadi sinergi yang baik, mereka perlu insentif. Petani juga ingin dan perlu hidup layak dapat menyekolahkan anak-anaknya. Demikian juga para pengepul gabah, penggilingan beras, dan pedagang beras, mereka juga ingin usahanya berkembang. Semua ingin adanya "kepastian". Sekarang mereka merasa diombang-ambingkan pasar. Sebagai contoh, ketika sedang panen bawang merah di Brebes, pada saat bersamaan terjadi pemasukan bawang merah impor. Oleh karena jumlah penduduk terus bertambah, maka kebutuhan pangan juga terus bertambah. Pertanyaannya, apakah semuanya bisa diserahkan kepada pasar untuk mencukupinya?

Selama 15 tahun terakhir, yang dapat merespons kebijakan pro-pasar hanya kelapa sawit, lainnya ada yang bisa bertahan, tetapi umumnya nyungsep. Beras memang masih bisa bertahan walaupun masih "sport jantung". Jagung masih bisa bertahan karena adanya dukungan benih hibrida yang dikembangkan perusahaan dari luar. Gula sudah lama bermasalah, kedelai hancur, tepung tapioka kalah dengan impor, garam pun diimpor. Produk hortikultura jangan tanya lagi, kita lihat buah impor menyerbu pasar di desa. Ternak/daging yang pada tahun 1970-an kita masih bisa ekspor, sekarang impor menjadi andalan.

Mengurai benang kusut
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya benang kusut dalam kemelut pangan. Pertama, faktor "suprastruktur" berupa UU dan peraturan yang tidak pro-petani kecil. Kedua, "struktur pertanian pangan" sendiri yang dominan ditopang oleh petani kecil, ditambah konsentrasi produksi yang tak imbang antar-Jawa dan luar Jawa, serta yang masih bergantung pada musim. Faktor ketiga pengembangan "infrastruktur" seperti pabrik pupuk, obat-obatan pemberantas hama dan penyakit, bendungan dan irigasi yang "inginnya" juga diserahkan kepada pasar.

Faktor utama benang kusut masalah suprastruktur adalah kebijakan yang tidak memihak kepada pengembangan pertanian pangan (petani kecil). Pengalaman negara lain, untuk negara dengan penduduk besar, yang dibenahi dulu adalah pertanian pangannya, baru mereka melangkah jadi negara industri. Walaupun UUD 1945 mengamanatkan kemerdekaan untuk semua, dalam praktik sehari-hari lebih memihak kepada pemilik modal. Yang kecil semakin tersingkir, yang besar dibiarkan mengusai aset utama milik petani, yaitu tanah. Sebenarnya persoalan menyangkut suprastruktur banyak, tetapi kebutuhan perluasan tanah untuk petani (kecil) adalah mutlak.

Faktor kedua adalah struktur pertanian pangan yang dominan ditopang petani kecil dan buruh tani. Mereka ini lemah dalam segala hal: permodalan, jangkauan teknologi, informasi, dan sebagainya. Daerah produksi pangan yang masih bergantung pada Pulau Jawa juga memengaruhi rawannya gejolak harga. Jika produksi pangan dapat disebar ke daerah yang dipengaruhi angin timur seperti Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara—termasuk Maluku dan Papua—harga beras akan stabil sepanjang tahun karena musim hujannya berbeda dengan daerah lainnya. Tidak mungkin mengharapkan petani kecil membuka lahan pertanian di Indonesia timur dengan modal sendiri dengan risiko yang ditanggung sendiri pula.

Faktor ketiga adalah pengembangan infrastruktur pertanian yang kurang mendapat perhatian dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, untuk perbaikan saja, anggaran yang disediakan kurang memadai sehingga sarana tidak berfungsi optimal. Memang sudah ada pembagian tugas antara pusat dan daerah, tetapi anggaran yang ada di daerah sebagian besar untuk menggaji PNS. Adalah suatu keniscayaan dapat mencukupi kebutuhan pangan sendiri tanpa dukungan infrastruktur. Akhirnya kita terjebak kebutuhan jangka pendek, yaitu impor pangan.

Sekarang ini presiden menganggap kekuasaan sudah dibagi habis, tetapi nyatanya pemerintah daerah merasa peningkatan produksi pangan itu urusan pusat. Memecahkan masalah pangan harus dalam satu kesatuan komando, tak mungkin pemerintah pusat dan daerah berjalan sendiri-sendiri. Ambil contoh pemecahan masalah krisis harga daging yang sudah berjalan lebih dari setahun, daerah merasa itu urusannya pusat.

Krisis manajemen pangan
Untuk itu perlu direkonstruksi kembali paradigma yang membedakan siapa regulator dan operator, dan di mana lembaga pemerintah hanya bisa bertindak sebagai regulator. Dulu Bulog sebagai lembaga pemerintah dapat bertindak sebagai operator kebijakan pemerintah. Menteri Pertanian dahulu juga dapat membentuk Badan Pengendali Bimas untuk menggerakkan dan mengoordinasikan kegiatan pemerintah daerah yang berkaitan dengan program swasembada pangan. Sekarang hal itu tidak dapat dilakukan lagi karena dalam hal pangan sepertinya daerah bukan kepanjangan pusat lagi.

Selama krisis manajemen berupa kelemahan koordinasi dan ketidakjelasan komando, kemelut masalah pangan tampaknya masih akan sering terjadi. Memang UU Pangan yang baru sudah mengaturnya, tetapi masih memerlukan PP yang semangatnya akan membuat lembaga superbody yang harus menabrak berbagai UU. Pembiayaan untuk stabilisasi harga pangan juga hanya dapat dilakukan melalui fiskal, dahulu Bulog mendapatkan kemudahan melalui fiskal dan moneter. Sekarang, apabila lembaga untuk pelaksana stabilisasi harga bentuknya lembaga pemerintah, maka lembaga tersebut juga tidak dapat mengakses kredit. Jadi, gerak kita sendiri dibatasi oleh peraturan yang kita buat sendiri.

Dengan ruang gerak yang terbatas, ke depan perlu terobosan kebijakan untuk mengatasi masalah pangan. Idealnya kita mempunyai semacam "GBHN" lagi untuk 25 tahun ke depan. Hal ini antara lain untuk menyelesaikan masalah pangan secara berkesinambungan dan juga menjadi acuan rencana kerja bagi pusat dan daerah. Untuk jangka pendek adalah membenahi mekanisme koordinasi dan pembagian tugas yang jelas antara pusat dan daerah dengan mengacu pada sasaran yang sama serta dengan anggaran yang jelas.

Sapuan Gafar
Mantan Sekretaris Menteri Pangan dan Wakil Kepala Bulog

(Kompas cetak, 29 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 27 Juli 2013

KPK dan Pencucian Uang (Muhammad Yusuf)

Oleh: Muhammad Yusuf

Sikap dua anggota majelis hakim dalam perkara impor daging dengan terdakwa Ahmad Fathonah, yang berpendapat bahwa KPK tak berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang, membuat banyak orang terkejut, apalagi adanya beda pendapat itu menjadi berita utama di beberapa media cetak nasional.
Keterkejutan terhadap sikap itu bukan karena kasus korupsi impor daging merupakan kasus besar, melainkan publik berharap dengan cemas jika benar KPK tidak dapat menuntut perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), bagaimana dengan kasus-kasus korupsi yang disidik oleh KPK tetapi asetnya menyebar ke sejumlah pihak, mengalir ke banyak pihak, dan bagaimana dengan upaya pengembalian kerugian negara atas kasus-kasus korupsi tersebut.

Sebagai salah satu anggota tim yang membidangi lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PP TPPU), penulis merasa terpanggil urun rembuk dalam berbagi pendapat terhadap hal tersebut.

Masih jelas di benak penulis bahwa salah satu pertimbangan perlunya memperluas penyidik TPPU adalah banyaknya penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana asal yang diatur dalam Pasal 2 UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Seperti Penyidik KPK dan Kejaksaan untuk kasus korupsi, penyidik Bea dan Cukai untuk tindak pidana penyelundupan, penyidik pajak untuk tindak pidana perpajakan, penyidik BNN untuk tindak pidana narkotika, serta penyidik kepolisian untuk semua tindak pidana.

Diberikannya kewenangan penyidikan tersebut bertujuan utama agar sejak dini penyidik dapat melakukan penelusuran dan penyitaan aset sebagai upaya pengembalian kerugian negara atau pihak ketiga. Sekaligus ini merupakan upaya penciptaan keadilan dan kepastian hukum dengan pertimbangan bahwa yang diproses tidak hanya pelaku tindak pidana asal, tetapi juga pihak-pihak yang menikmati hasil kejahatan tersebut.

Kinerja KPK: baik
KPK sebagai institusi yang diberikan kewenangan menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi tertentu selama ini telah menunjukkan kinerja yang baik. Namun, dalam beberapa kasus, KPK tidak berdaya menyidik dan menuntut pihak-pihak yang menikmati hasil kejahatan tindak pidana korupsi tertentu tersebut. Antara lain dalam kasus tindak pidana korupsi Dana Yayasan Bank Indonesia, tindak pidana korupsi cek pelawat, dan tindak pidana korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Kondisi ini jelas menimbulkan ketidakadilan mengingat sang koruptor dihukum, tetapi yang menikmati hasilnya santai duduk manis bersenang-senang dengan hasil kejahatan tersebut. Akibat akhirnya, uang kejahatan itu tidak dapat dirampas, bahkan dapat dijadikan "modal" untuk lahirnya tindak pidana yang baru. Untuk itu, kepada KPK perlu diberikan wewenang untuk menyidik dan menuntut TPPU yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Lantas, apa dasar bahwa KPK berwenang menuntut TPPU? Dalam UU No 8/2010 tentang PP TPPU kewenangan KPK menyidik TPPU dinyatakan secara tegas dalam penjelasan Pasal 74, sedangkan kewenangan KPK menuntut memang tidak disebutkan secara tegas sebagai mana kewenangan untuk melakukan penyidikan, tetapi bukan berarti KPK tidak berwenang menuntut TPPU.

Dalam Pasal 51 Ayat (3) UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa penuntut umum (pada KPK) adalah jaksa penuntut umum.

Pasal 2 Ayat (3) UU Kejaksaan menyatakan, Kejaksaan adalah "satu dan tidak terpisahkan". Bagian penjelasan atas pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan" adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan berdasarkan undang-undang. Ketentuan ini dikenal dengan prinsip een on deelbaar.

Oleh karena hanya ada satu jaksa, baik yang di Kejaksaan Agung maupun di KPK, maka kata penuntut umum dalam Pasal 72 dan Pasal 75 UU No 8/2010 tentang PP TPPU mengacu kepada hal yang sama.

Selanjutnya dalam Pasal 68 UU No 8/2010 tentang PP TPPU disebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam UU ini.

Rumusan tersebut memberikan pesan bahwa penyidikan, prapenuntutan, penuntutan, dan persidangan tidak hanya didasarkan pada KUHAP, tetapi juga pada undang-undang yang lain, termasuk UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 75 UU TPPU menyatakan, dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Tidak efektif
Hal tersebut sangat jelas bahwa sejak awal penyidikan di dalam UU No 8/2010 tentang PP TPPU, soal penuntut umum ini sudah diminta untuk digabung. Namun, jika penuntutannya dipecah, seperti tindak pidana korupsi ke KPK, sedangkan untuk perkara TPPU ke Kejaksaan, hal itu menjadi tidak efektif dan tidak efisien, padahal keduanya penuntut umum

Demikian juga Pasal 6 UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan tegas menyatakan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara (a) tindak pidana korupsi; (b) tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau (c) tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

Adapun pendapat dua hakim yang berbeda dengan mendasarkan Pasal 72 Ayat (5) Huruf c UU No 8/2010 tentang PP TPPU yang berbunyi surat permintaan untuk memperoleh keterangan Jaksa Agung atau Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum, juga tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan KPK tidak berwenang menuntut. Justru ketentuan pasal ini memperkuat asas een on deelbaar, yang artinya manakala penuntut umum KPK ingin meminta informasi harta kekayaan terdakwa, maka permintaan tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi.

MUHAMMAD YUSUF, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(Kompas cetak, 27 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Antusiasme Bola Indonesia (Kompas)

Pesta penggemar sepak bola Indonesia sementara berakhir. Dalam sebulan terakhir, Indonesia disuguhi tontonan tim sepak bola kelas dunia.
Dimulai dari kehadiran Belanda pada 7 Juni 2013, kemudian klub Inggris, Arsenal, menyusul Liverpool, dan terakhir Chelsea, 25 Juli 2013. Stadion Utama Gelora Bung Karno penuh. Penonton berjumlah 70.000 hingga 80.000! Jutaan pasang mata menyaksikan pertandingan melalui layar televisi. Penampilan klub sepak bola dunia itu telah menghibur penggemar bola Indonesia yang selama ini prihatin dengan prestasi sepak bola nasional.

Bagi klub Inggris itu, melakukan tur ke Asia, termasuk Indonesia, adalah upaya mempertahankan atau meningkatkan loyalitas pasar di Asia sekaligus menjaga atau malah meningkatkan brand awareness klub dan liga di Asia termasuk di Indonesia. Jumlah fans klub Inggris di Asia, termasuk Indonesia, jauh melebihi penduduk Inggris sendiri yang mencapai 63 juta penduduk. Dengan ekspose yang besar, sponsor pun akan tertarik masuk yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan otoritas Liga Inggris.

Antusiasme penonton bola Indonesia makin memperteguh bahwa sepak bola telah menjadi industri olahraga. Dalam sebuah industri, tentunya kalkulasi finansial menjadi pertimbangan utama. Dalam laga persahabatan itu, tim Indonesia pun menggunakan nama berbeda. Saat menghadapi Arsenal, Indonesia menggunakan nama Indonesia Dream Team, saat berhadapan dengan Liverpool menggunakan nama Indonesia XI, dan saat bertanding melawan Chelsea memakai nama BNI Indonesia All Star.

Sebagai sebuah industri tontonan olahraga, paling tidak ada hal yang harus dijaga, yakni kepuasan penonton, kepuasan penyelenggara, kepuasan atlet dan klub, serta kepuasan sponsor. Pertanyaan yang harus dijawab apakah keempat aktor itu sudah puas dengan selesainya laga persahabatan tersebut. Induk olahraga, termasuk juga pemerintah, semestinya membuat aturan main yang fair dan rinci yang bisa menjamin dan memuaskan empat pilar tontonan tersebut.

Sepak bola, termasuk olahraga lainnya, memiliki daya tarik alamiah karena manusia memang makhluk yang suka bermain, homo ludens. Kini, permainan sepak bola bukan hanya ekspresi homo ludens, melainkan juga telah mengalami evolusi sebagai tontonan dan hiburan, bahkan merupakan bisnis yang menggiurkan.

Masalahnya bagaimana kita semua bisa menggunakan momentum antusiasme penonton sepak bola, sponsor, penyelenggara, pemain, dan klub untuk mendorong kegairahan pembinaan olahraga, khususnya sepak bola. Modal positif ini seharusnya dimanfaatkan pengurus sepak bola Indonesia untuk mengukir prestasi terbaik sepak bola Indonesia, misalnya di SEA Games 2013. Pengalaman berharga yang dipetik pemain Indonesia saat menghadapi pemain kelas dunia adalah modal positif untuk kian mematangkan pemain Indonesia sendiri.

(Kompas, 27 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger