Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 30 September 2013

Pencapaian DK PBB Menggembirakan (Tajuk Rencana Kompas)

Ke-15 anggota Dewan Keamanan PBB secara bulat mendukung resolusi yang memerintahkan pemusnahan senjata kimia oleh Suriah.
Pencapaian itu menggembirakan. Oleh karena, sejak konflik Suriah berlangsung 30 bulan lalu, atau dua setengah tahun lalu, dan menewaskan lebih dari 100.000 orang, ini adalah resolusi pertama yang dihasilkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Dan, istimewanya, DK PBB tampil sebagai satu kesatuan dalam masalah Suriah.

Namun, di tengah kegembiraan atas pencapaian itu, kita juga tidak boleh melupakan bahwa resolusi yang dihasilkan DK PBB itu seperti sebuah mata uang logam yang mempunyai dua sisi. Di satu sisi, resolusi itu merupakan pencapaian penting karena menentukan standar yang menentang pelaku serangan yang menggunakan senjata kimia. Dengan kata lain, penggunaan senjata kimia atas alasan apa pun dan oleh siapa pun tidak dapat diterima.

Akan tetapi, di sisi lain, resolusi itu juga menuntut Suriah untuk mematuhinya, yaitu dengan memusnahkan senjata kimia yang mereka miliki tanpa kecuali. Pengabaian terhadap resolusi DKK PBB yang memerintahkan pemusnahan senjata kimia oleh Suriah akan berakibat serius terhadap negara itu.

Sinyal ke arah itu telah diutarakan Uni Eropa (UE). Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Catherine Ashton mengemukakan, "Resolusi ini menjadi langkah maju menuju respons internasional yang bersatu terhadap krisis di Suriah. UE akan memberikan dukungan penuh (kepada respons tersebut) jika resolusi itu tidak dipatuhi."

Kini, terpulang kembali kepada Suriah bagaimana akan menyikapi resolusi tersebut. Jika Suriah ingin menghindari respons internasional, negara itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali melaksanakan apa yang dituntut resolusi itu.

Pertama, menyerahkan semua senjata kimia yang mereka miliki. Kedua, memberikan akses seluas-luasnya kepada para pakar senjata kimia internasional untuk memastikan bahwa semua senjata kimia yang mereka miliki telah mereka serahkan. Negara-negara yang bersahabat dengan Suriah harus membantu meyakinkan pemerintah negara itu untuk melaksanakan apa yang dituntut resolusi DK PBB tersebut. Negara-negara itu juga harus mengingatkan betapa seriusnya masalah yang akan dialami Suriah jika mengabaikan, atau bahkan menolak, resolusi DK PBB itu.

Batas akhir penyerahan yang disepakati oleh Rusia dan Amerika Serikat sebelumnya adalah pertengahan tahun 2014. Kita berharap Suriah dapat memenuhi resolusi DK PBB sebelum tanggal itu.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002392357
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Butuh Penjelasan Terbuka (Tajuk Rencana Kompas)

Nota kesepahaman Komisi Pemilihan Umum dengan Lembaga Sandi Negara telah membuka perdebatan baru. Kontroversi pun terjadi.
Ketua KPU Husni Kamil Malik menandatangani nota kesepahaman dengan sejumlah lembaga, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi, Ikatan Akuntan Indonesia, Ikatan Akuntan Publik Indonesia, dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional. Namun, perdebatan merebak terjadi terhadap kerja sama KPU dengan Lembaga Sandi Negara.

Kalangan parpol terbelah menanggapi kerja sama itu. Kontroversi di tengah publik itu bisa dipahami. KPU perlu menyadari kecurigaan terhadap kemandirian KPU masih ada. Kepercayaan terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilu masih ada yang meragukan. Masih terekam dalam ingatan sementara elite politik bahwa sistem penghitungan suara berbasis teknologi informasi rawan diintervensi.

Realitas psikologis ini harus dipahami KPU. Konstitusi menegaskan pemilihan umum dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kemandirian KPU menjadi kata kunci penting dalam pelaksanaan pemilu karena, semasa Orde Baru, publik trauma terhadap KPU dan Panitia Pemilihan Indonesia yang merupakan bagian dari pemerintah.

Pertanyaan terhadap kerja sama KPU dan Lembaga Sandi Negara tak bisa dilepaskan dari beberapa faktor. Pertama, apakah kerja sama KPU dan Lembaga Sandi, sebuah lembaga yang berada dan bertanggung jawab kepada Presiden, masih bisa menjamin kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Kedua, wujud kerja sama antara KPU dan Lembaga Sandi masih belum transparan. Bagaimana persisnya kerja sama pengamanan data pemilu dan sejauh mana pihak ketiga bisa mengaudit pelaksanaan pengamanan data itu.

Ketiga, meski sudah mempunyai dasar hukum, keberadaan Lembaga Sandi belum diketahui publik. Kita bersyukur terhadap keterbukaan Lembaga Sandi seperti dikatakan ketuanya, Mayjen Djoko Setiadi. "Kalau publik mau mengaudit, monggo, silakan. Tak ada yang ditutup-tutupi," katanya.

Lembaga Sandi akan mengamankan data dari setiap TPS agar tidak diganggu dan dimanipulasi. Data per TPS itu dijanjikan bisa diakses publik. Janji Lembaga Sandi itu patut digarisbawahi. Kesediaan Lembaga Sandi untuk diaudit patut dihargai agar suara rakyat itu tidak diotak-atik di tengah jalan. Masalahnya, bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang mampu mengamankan data dari tingkat TPS sampai tingkat nasional.

Penjelasan lebih detail dari KPU dan Lembaga Sandi tetap diperlukan. Bagaimana persisnya pengamanan data dari tingkat TPS itu mau dilakukan dan bagaimana mekanismenya sampai ke tingkat pusat. Bagaimana mekanisme jika publik berkehendak melakukan audit. Penjelasan yang diberikan KPU dan Lembaga Sandi kita hargai, tetapi penjelasan lebih detail dibutuhkan untuk mengurangi kecurigaan politik.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002392357
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Hak Asasi Satwa (USMAN HAMID)

Oleh: USMAN HAMID

Lapangan Kompi Senapan-C Yonif 521/DY, Tuban, Jawa Timur, dijadikan area sirkus keliling lumba-lumba sejak 13 September sampai 14 Oktober 2013. Apa yang salah?
Sebulan lalu Kementerian Kehutanan menyurati Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim, Jabar, Jateng hingga DI Yogyakarta untuk menghentikan sirkus lumba- lumba keliling dan menarik satwa itu ke asalnya. "Sirkus lumba-lumba adalah praktik ilegal," kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di sebuah seminar, Februari 2013. Zulkifli berjanji berdiri paling depan untuk menghentikan sirkus keliling.

UU No 5/1990 tentang Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya melarang "menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati" (Pasal 20 Ayat 2). Pengecualian hanya untuk penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan (Pasal 22).

Eksploitasi satwa

Setahun terakhir, pencinta satwa menggalang tekanan publik melalui petisi change.org/StopSirkusLumba, mendesak Hero Group, Lottemart, Carrefour, dan Coca-Cola tak mensponsori pentas sirkus, termasuk meminjamkan areal parkir. Tuntutan dipenuhi. Sirkus keliling berpindah tempat. Mereka menggunakan alun-alun kota dengan izin BKSDA setempat. BKSDA lalu menuai protes keras dari pencinta satwa lokal sehingga Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) pun menyurati BKSDA.

Setelah izin pentas di supermarket dan izin BKSDA dilarang, mereka memakai lapangan militer. Apakah otoritas militer setempat tahu larangan itu?

Di negeri ini, selalu ada cara untuk mengecualikan larangan. Masalahnya lebih serius dari sekadar larangan. Ini adalah eksploitasi satwa berkedok sirkus!

Lumba-lumba adalah mamalia cerdas, dapat mengenali simbol dan berinteraksi dengan manusia. Banyak kisah lumba-lumba menyelamatkan manusia yang tenggelam di lautan.

Tapi demi sirkus, lumba-lumba ditangkap dari habitat, dirampas haknya, lalu ditaruh kolam, ibarat aktivis yang dihilangkan dari habitatnya. Lumba-lumba diangkut keliling tanpa air cukup, diminta lompati api atau bermain bola dengan imbalan makanan. Sesuatu yang tak dilakukan alamiah di habitatnya.

Gajah, orangutan, dan harimau kerap dipentaskan sirkus. Ibarat anak-anak di bawah umur, terpaksa jadi pekerja migran seperti TKI Wilfrida yang dituntut mati di Malaysia. Ibarat buruh pabrik panci, dipaksa bekerja 12 jam/hari dengan target 200 panci. Jika gagal, disiksa.

Satwa ini mengalami perbudakan seperti manusia. Dianggap barang, dipaksa melakukan fungsi-fungsi terbatas binatang, makan, minum, dan menghasilkan "uang" bagi pemiliknya. Mereka tak dianggap makhluk berjiwa, berkeluarga, dan berkomunitas seperti manusia.

Di balik sirkus, ada perdagangan lumba-lumba dan satwa langka seperti gajah, harimau, orangutan, dan hiu yang menghitung ajal. Populasinya menurun. Nyaris punah. Dilindungi hukum negara, tapi diburu, diperdagangkan, dikuliti, dan dibunuh. Terdengarkah negara menghukum pelakunya?

Yang terbaru, harimau sumatera dan singa afrika di Kebun Binatang Taman Rimba Jambi mati diracun. Entah adakah yang "memesan" kulit atau bagian tubuh lainnya, polisi sedang mengusut. Dari Kebun Binatang Surabaya (KBS), jerapah tewas akibat plastik makanan. Dari KBS pula, foto harimau kurus beredar di jejaring sosial. Saat Wali Kota Surabaya membekukan manajemen KBS, kuda nil dipindah paksa sehingga mengalami luka tusukan di kepala. Itu di kebun binatang.

Di laut, paus diburu. Sirip hiu diambil lalu dilempar ke perairan dalam kondisi hidup/mati. Di hutan, harimau, orangutan, dan gajah diburu. Di Kalimantan, orangutan diburu karena dinilai merusak kebun sawit. Padahal masalahnya adalah ekspansi perkebunan sawit yang berakibat turunnya populasi harimau.

Mahasiswa Aceh, Aulia Ferizal, memetisi Menhut atas kematian mengenaskan gajah aceh bernama Papagenk. Melalui petisi daring change.org/papagenk, Aulia mendesak pemerintah untuk menangkap pelaku, termasuk politisi yang "memesan" gading gajah malang tersebut.

Yang parah mungkin harimau. Karena dipercaya sebagai makhluk pemberi derajat tinggi manusia, semua bagian tubuhnya diburu. Bagian tubuhnya dijadikan "obat" kejantanan sampai penghias ruang tamu para "pembesar".

Perspektif

Akhirnya, ada pelajaran penting yang saya ingat dari Munir. Pendiri Kontras yang hidupnya tamat diracun rezim masa reformasi itu pernah berang oleh hal yang tampak "sepele": suatu pagi air akuarium ikan arwana di kantor Kontras lupa dibersihkan. Akuarium sudah seperti bejana air teh yang keruh.

Pada hari itu, petugas yang membersihkannya absen. Munir panik. Dia cemas ikan itu mati. Tapi ada yang membuat dia lebih galau. Bagi Munir, absennya inisiatif petugas lain untuk menjernihkan air akuarium itu justru membuatnya jeri. Bagi dia, siapa pun harus sensitif melihat makhluk yang terancam hidupnya.

Ingatan soal sensitivitas Munir itu berkelebat kembali, tatkala saya resah atas fenomena eksploitasi binatang di negeri ini. Lebih menyedihkan lagi, sedikit sekali perhatian negara akan ancaman punahnya satwa-satwa langka tersebut.

Saya sadar hak asasi manusia masih suram. Barangkali usaha menyelamatkan satwa langka seperti "harimau" itu adalah bagian simbolik menyelamatkan gagasan dan tindakan ideal Munir, atau aktivis-aktivis semasanya, yang dulu mencakar-cakar rezim diktator, tetapi kini tergerus oleh pragmatisme zaman.

(Usman Hamid, Penggagas Public Virtue dan Change.org, Indonesia)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002279798
Powered by Telkomsel BlackBerry®

APEC dan Indonesia (Sri Adiningsih)

Oleh: Sri Adiningsih

Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang didirikan tahun 1989 dan beranggotakan 21 perekonomian memiliki peranan yang semakin penting pada perekonomian dunia. Oleh karena itu, APEC Economic Leader's Week dan beberapa pertemuan terkait yang akan diselenggarakan pada 1-8 Oktober 2013 di Bali akan mendapatkan banyak perhatian masyarakat internasional.

APEC merupakan kekuatan ekonomi dunia utama saat ini karena menjadi tempat tinggal bagi 40 persen penduduk dunia, menguasai 44 persen perdagangan dunia, dengan kekuatan ekonomi 55 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. Karena itu, maju mundurnya ekonomi dunia banyak ditentukan oleh maju mundurnya ekonomi APEC.

Peranan APEC di dunia semakin penting di tengah gejolak pasar keuangan yang dialami perekonomian-perekonomian yang tengah bertumbuh (emerging economies) serta melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Sementara itu, kontraksi ekonomi Eropa masih berlanjut, demikian juga ekonomi Amerika Serikat masih menghadapi banyak masalah, sehingga peranan APEC dalam pemulihan ekonomi dunia semakin penting. Stabilitas ekonomi dunia ditentukan oleh keberhasilan ekonomi APEC menjaga stabilitas ekonominya. Demikian juga meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia tergantung kemampuan ekonomi APEC meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya, sehingga harapan dunia pada APEC saat ini besar. Semua perhatian dunia akan tertuju ke Bali awal Oktober ini.

APEC penggerak ekonomi dunia?
Kekuatan ekonomi APEC yang besar di dunia membuat maju mundurnya ekonomi dunia bergantung pada maju mundurnya ekonomi APEC. Apalagi data dari Sekretariat APEC menunjukkan bahwa sejak APEC berdiri tahun 1989 hingga tahun 2000 total perdagangan internasional anggota APEC meningkat lima kali dari 3,1 triliun dollar AS menjadi 16,8 triliun dolar AS. Lapangan kerja yang tercipta di kawasan APEC dari 1999 hingga 2001 sebesar 10,8 persen, dan kemiskinan turun 35 persen pada periode yang sama. Dari data tersebut jelas dapat dilihat bahwa ekonomi kawasan APEC berkembang dengan cepat dan semakin makmur. Berkembangnya ekonomi APEC didukung oleh meningkatnya perdagangan sesama anggota APEC karena turunnya tarif rata-rata dari 17 persen menjadi 5,8 persen dari tahun 1989 ke tahun 2010. Selain itu, biaya transaksi dalam perdagangan juga turun 5 persen pada periode 2002-2006, dan terus berlanjut turun lagi 5 persen pada periode 2007-2010. Dengan demikian, anggota APEC berdagang lebih banyak dengan sesama anggota APEC dibandingkan dengan kawasan non-APEC. Demikian juga investasi, baik langsung maupun portofolio, sesama anggota APEC juga semakin besar. Kerja sama ekonomi antaranggota APEC semakin meningkat.

Ekonomi APEC yang besar dengan kerja sama ekonomi antaranggota yang semakin kuat telah tumbuh pesat selama ini dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun 7,39 persen dari 2003 hingga 2012. Demikian juga nilai perdagangan internasional APEC meningkat 11,69 persen rata-rata per tahun pada periode yang sama, sementara nilai perdagangan dunia tumbuh rata-rata 11,44 persen pada periode yang sama. Demikian juga aliran arus modal asing langsung (FDI) ke APEC tumbuh rata-rata 19,83 persen per tahun pada 2003-2012, sementara pertumbuhan FDI rata-rata per tahun dunia 13,28 persen pada periode yang sama. Selain itu, tingkat daya saing internasional ataupun kualitas sumber daya manusia ekonomi APEC pada umumnya tinggi dibandingkan dengan ekonomi lainnya di dunia.

Kawasan APEC yang dinamis dan berkembang pesat akan terus berkembang karena memiliki komitmen untuk mengurangi hambatan perdagangan dan investasinya. APEC telah mendeklarasikan Bogor Goals yang dicanangkan pada 1994 di Bogor untuk mencapai pasar yang bebas dan terbuka dalam perdagangan dan investasi dengan target waktu tahun 2010 untuk negara-negara maju dan tahun 2020 untuk negara-negara berkembang. Hal itu dicapai dengan mendorong arus bebas barang, jasa, dan modal. Bogor Goals menjadi tonggak penting dalam liberalisasi aliran barang, jasa, dan modal di kawasan APEC dalam rangka integrasi ekonomi APEC. Perkembangan dalam memenuhi Bogor Goals oleh Sekretariat APEC disebutkan "… APEC Leaders concluded that while more work remains to be done, significant progress has been made toward achieving the Bogor Goals…" . Jelas bahwa hambatan perdagangan barang, jasa, dan modal telah dipangkas di kawasan APEC, meningkatkan arus perdagangan barang, jasa, dan kapital, yang pada akhirnya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat APEC.

Kawasan APEC yang dinamis dan berkembang pesat berkomitmen untuk meningkatkan kerja sama ekonominya dengan memangkas hambatan yang ada. Dengan demikian, kerja sama ekonomi, khususnya dalam perdagangan barang, jasa, dan modal, akan semakin meningkat. Apalagi beberapa anggota kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India, China) seperti China dan Rusia yang berkembang pesat juga menjadi anggotanya. Demikian juga perekonomian negara anggota yang berada di Asia Timur juga berkembang dengan pesat. Oleh karena itu, perekonomian APEC diperkirakan akan tetap berkembang pesat pada masa mendatang sehingga kekuatan ekonomi APEC di dunia akan semakin meningkat dan semakin penting, ekonomi APEC tetap akan dominan dalam perekonomian dunia dan menjadi motor penggerak ekonomi dunia.

Peran APEC bagi Indonesia
Indonesia sebagai salah satu pendiri APEC memiliki peranan yang penting dalam menentukan arah APEC ke depan. Apalagi pada tahun ini Indonesia menjadi ketua APEC sehingga diharapkan bisa memainkan peranan yang penting seperti pada 1994 yang berhasil membuat deklarasi Bogor Goals yang sangat terkenal tersebut. Oleh karena itu, mestinya Indonesia bisa memanfaatkan keketuaannya dalam APEC untuk ikut menentukan arah APEC ke depan. Mudah-mudahan muncul Deklarasi Bali yang bisa menjadi tonggak penting peningkatan kerja sama APEC awal Oktober yang akan datang.

Tentu saja yang juga tidak kalah penting dari keikutsertaan Indonesia di APEC adalah terkait dengan manfaat apa yang diperoleh Indonesia dari APEC. Peran APEC bagi Indonesia adalah penting karena perkembangan ekonomi Indonesia banyak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi APEC (perdagangan Indonesia dengan sesama negara APEC lebih besar dibandingkan dengan negara-negara non-APEC) sehingga masa depan ekonomi Indonesia banyak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi APEC. Apalagi kawasan APEC tengah berkembang dengan pesat, menjadi motor penggerak ekonomi dunia. Untuk itu, Indonesia harus bisa menjaga agar perkembangan APEC ke depan akan terus pada jalurnya (on track), kerja sama ekonomi meningkat dan ekonomi kawasan terus berkembang, yang pada akhirnya memberikan manfaat atau menguntungkan bagi Indonesia. Untuk itu, Indonesia perlu menjaga agar perkembangan kerja sama di APEC selaras dengan kepentingan Indonesia.

Demikian juga Indonesia harus bisa memanfaatkan berbagai kerja sama dalam APEC agar berbagai skim kerja sama yang ada menguntungkan baik dalam ekonomi, sosial, maupun pariwisata. Meski demikian, peringkat daya saing ataupun kualitas manusia Indonesia dalam masyarakat APEC berada pada peringkat bawah sehingga kemampuan Indonesia mendapatkan manfaat dari APEC juga terbatas. Meskipun neraca perdagangan intra APEC kita masih surplus, angkanya semakin mengecil, itu pun karena banyak tertolong ekspor sumber daya alam.

Jangan ulang kesalahan manajemen kita dalam menghadapi Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) yang diimplementasikan 2010, di mana kinerja perdagangan internasional kita yang dulu surplus dengan ASEAN dalam beberapa tahun terakhir ini selalu defisit dengan nilai yang cenderung meningkat. Untuk itu, kita perlu memodernisasi ekonomi kita agar siap bersaing di pasar APEC 2020. Kita perlu mengerjakan pekerjaan rumah kita agar kualitas sumber daya manusia dan daya saing internasional berada pada jajaran menengah atas APEC. Demikian juga iklim investasi kondusif bagi investor. Selain itu, diseminasi berbagai skim kerja sama APEC yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat ataupun pengusaha perlu ditingkatkan agar berbagai skim yang ada bisa dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian, keikutsertaan Indonesia di APEC akan memberi manfaat yang besar bagi bangsa Indonesia. Indonesia mestinya juga bisa memanfaatkan kesempatan Leader's Meeting Bali untuk menjual Indonesia, meningkatkan pariwisata ataupun investor dari APEC. Semoga Leader's Meeting di Bali sukses.

(Sri Adiningsih, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis; Direktur P2EB UGM)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002352839
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menakar Retorika ”M” di Papua (PIERRE MARTHINUS)

Oleh: PIERRE MARTHINUS

Pada 15 Agustus 2013 diresmikan kantor Free West Papua Campaign (FWPC) di Den Haag, Belanda. Sebelumnya, 28 April 2013, peresmian kantor serupa di Oxford, Inggris, menuai reaksi dan kecaman keras dari dalam negeri.

Pelajaran berharga apa yang dapat diambil bagi rekonsiliasi dan pembangunan Papua? Pernyataan bahwa "banyak orang Papua berteriak merdeka" mungkin tak sepenuhnya salah. Namun, pernyataan itu masih gagal memberikan gambaran akurat soal tindakan serta aspirasi di belakang retorika merdeka itu.

Para pihak yang mengangkat retorika merdeka di Papua sebenarnya memiliki tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan sangat beragam. Sayangnya, mereka kerap digeneralisasikan sebagai ancaman keamanan yang sama, diberi stigma separatis, dinilai layak menerima respons kekerasan seragam dari negara.

Empat "M" berbeda
Pada dasarnya, tiap kelompok memiliki ketidakpuasan berbeda dan mengartikulasikannya melalui bentuk-bentuk resistensi yang beragam pula. Dengan demikian, negara seharusnya mampu memberikan respons yang terdiferensiasikan dan proporsional bagi tiap kelompok. Berdasarkan tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan, terdapat empat kategori utama kelompok yang mengangkat retorika merdeka yang akrab disebut sebagai "M".

Pertama, kategori hipokritikal, yakni mereka yang kritis tapi tak pernah menolak segala insentif yang ditawarkan Jakarta. Tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan kalangan ini sangat rendah. Ironisnya, retorika "M" kalangan ini kadang terlontar dari mereka yang sudah PNS. Di kalangan petinggi, tak jarang mereka yang habis masa jabatan dan kehilangan pendapatan ataupun privilese, lalu "bersuara sumbang" dan mengangkat retorika "M".

Retorika "M" terutama digunakan untuk mengakses berbagai konsesi politik dan ekonomi yang ditawarkan negara. Retorika "M" juga menyediakan kesempatan untuk menjaga kehormatan sembari menjustifikasikan kelengseran mereka karena kasus-kasus korupsi, inkompetensi dalam tugas, skandal pribadi, ataupun popularitas elektoral yang menurun dalam pentas demokratik.

Kedua, kategori hiperkritikal, yakni mereka dengan sikap kritis selalu menilai semua kebijakan dari Jakarta adalah jebakan, salah kaprah, dan pasti akan gagal. Kalangan ini punya tingkat ideologisasi rendah dan sesekali terlibat kekerasan fisik dengan aparat dalam aksi-aksi demonstrasi. Umumnya, pengalaman pribadi terkait diskriminasi, marjinalisasi, dan kekerasan negara telah menempa sikap nonkooperatif yang sangat kuat di kalangan ini.

Ketiga, kalangan radikal, yakni mereka dengan tingkat ideologisasi tinggi, yang mengartikulasikan "M" sebagai nasionalisme Papua yang sepenuhnya terpisah dari nasionalisme Indonesia. Dalam perkembangannya, tendensi kekerasan di kalangan ini hampir tak ada dan telah muncul komitmen tinggi dalam melakukan perlawanan non-kekerasan.

Kalangan ini terbukti mampu menyinergikan retorika "M" dengan retorika global lain, seperti HAM, lingkungan hidup, hak-hak masyarakat asli, hak menentukan nasib sendiri, dan demokratisasi. Bentuk resistensi konvensional mereka, yakni pengibaran bendera, kini telah berevolusi menjadi berbagai bentuk advokasi transnasional, seperti orasi di ruang publik internasional, kampanye internet, serta pentas budaya dengan lagu, cerita, instrumen musik serta tarian tradisional yang mengedepankan akar kebudayaan Melanesia Papua. Kelompok inilah yang cenderung berkembang pesat di luar negeri, berhasil memenangi dukungan dari beberapa simpatisan non-negara, dan merupakan satu-satunya kelompok yang berpotensi "mempertanyakan" kedaulatan Indonesia di Papua, tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun.

Keempat, kalangan radikal-ekstrem, yakni mereka yang memiliki tingkat ideologisasi tinggi dan mendukung penggunaan kekerasan. Mereka yang bergerak dalam kapasitas sipil kerap dengan sengaja melakukan aksi kekerasan kecil untuk memancing reaksi berlebihan dari aparat yang diharapkan mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa sipil. Kalangan ini merindukan terjadinya insiden Santa Cruz kedua dan intervensi internasional ala Timor Leste bagi Papua. Popularitas kalangan ini terlihat berkembang di antara segelintir kalangan muda Papua.

Sementara itu, kalangan radikal-ekstrem yang bergerak dalam kapasitas kombatan, yang kerap disebut sebagai Tentara Pembebasan Nasional (TPN), cenderung terlalu terfragmentasi, tidak populer, dan gagal memenangi dukungan, baik dari aktor negara maupun non-negara di tingkat internasional.

Dialog dan insentif
Jadi, apakah kehadiran empat kalangan yang berteriak "M" ini berarti pendekatan berbasis insentif dalam UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah gagal dan sudah saatnya kembali ke pendekatan punitif (stick)? Tentu tidak.

Pertama, negara harus bisa membedakan antara politik "potong jari" dan politik "potong babi" yang terjadi di Papua. Kelompok "potong jari", yakni mereka yang telah betul-betul mengecap kepahitan diskriminasi, marjinalisasi, dan kekerasan negara seyogianya diikutsertakan dalam proses rekonsiliasi berbasis dialog yang inklusif. Di sisi lain, kelompok "potong babi", yakni mereka yang mendambakan kemanfaatan dan kesejahteraan dari kehadiran negara, juga perlu dimenangkan dengan menggunakan insentif-insentif yang memiliki nilai tawar sosio-kultural yang tinggi.

Kedua, sebelum memasuki dialog yang inklusif dengan kelompok yang tergolong radikal, harus dipetakan konsesi-konsesi apa saja yang bisa dan mampu ditawarkan negara tanpa melangkahi batasan-batasan konstitusional. Bagi mereka yang menginginkan kedaulatan, negara bisa menawarkan konsesi "kedaulatan simbolik" di bidang-bidang yang umumnya menjadi ranah eksklusif negara, misalnya moneter, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan.

Konsesi kedaulatan simbolik bisa berupa mata uang rupiah yang dicetak khusus untuk beredar di Papua (model poundsterling Skotlandia) yang menampilkan simbol-simbol budaya Papua, seperti tifa, rumah honai, tombak, parang, pisau belati, busur dan panah, burung cenderawasih, dan puncak Jayawijaya. Dalam hubungan luar negeri bisa dialokasikan pos-pos diplomatik tertentu atau dibentuk pos-pos baru yang dikhususkan bagi orang Papua untuk mewakili kepentingan Indonesia, seperti duta besar untuk kawasan Pasifik Selatan.

Dalam pertahanan-keamanan, misalnya, bisa dirancangkan lencana kehormatan atau lencana HAM yang akan diberikan oleh gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) beserta Majelis Rakyat Papua (MRP) kepada perwira TNI/Polri yang dianggap memiliki andil besar bagi perdamaian dan penghormatan HAM di Papua. Jika dilengkapi komponen kepangkatan dan tunjangan ekonomi, tentunya pendekatan HAM yang berbasis insentif ini bisa menjadi suatu alternatif bagi Indonesia untuk memperbaiki kondisi di Papua sembari menjawab berbagai kritik dari luar negeri.

Ketiga, negara harus mencari bentuk-bentuk insentif dengan nilai tawar sosio-kultural yang mampu memenangkan kepatuhan para aktor lokal. Pendekatan punitif dan insentif (stick and carrot) memang penting, tapi pemilihan insentif yang salah kaprah bisa membuat orang Papua merasa selalu dipukuli dengan carrot dan diberi makan stick.

Proyek pembangunan berbasis kelapa sawit, misalnya, dapat dipastikan akan memarjinalkan orang asli Papua yang sudah terbiasa menanam kopi, kakao, dan karet selama 50 tahun terakhir. Proyek pembangunan sekolah dan rumah sakit tanpa tersedia dokter, perawat, dan pengajar yang bertugas rutin pun tidak jarang malah membuat geram masyarakat.

Intinya, skema otonomi khusus "plus" yang tengah digodok harus cermat dalam mengidentifikasi insentif-insentif dengan nilai sosio-kultural tinggi yang mampu memberdayakan sekaligus memenangkan hati masyarakat Papua. Selain untuk membangun legitimasi politik, proses dialog yang inklusif juga penting untuk mencari dan menyetujui bersama solusi-solusi kreatif serupa dalam membangun perdamaian di Papua.

(Pierre Marthinus, Peneliti di Pusat Kajian Papua (Papua Center) UI)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002299520
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Konvensi Demokrat di TVRI (Atmakusumah Astraatmadja)

Oleh: Atmakusumah Astraatmadja

Ramai-ramai tentang penolakan terhadap siaran konvensi Partai Demokrat di TVRI pada 15 September, selama 2 jam 23 menit, menimbulkan pertanyaan: mengapa harus sepenuhnya ditolak?
Timbul pula pertanyaan lain: tidakkah konsep tata pemerintahan yang dijelaskan dalam peristiwa ini oleh para calon pemimpin negara cukup penting sebagai informasi yang diperlukan oleh publik?

Informasi seperti itu sulit diharapkan dari siaran televisi swasta yang lebih mementingkan tujuan komersial dan rating. TVRI, sebagai televisi publik, hampir-hampir jadi harapan satu-satunya bagi masyarakat untuk memperoleh informasi mendalam tentang para calon pemimpin kita di masa depan.

Ternyata, TVRI juga pernah melakukan siaran serupa, terfokus semata-mata pada kegiatan satu partai politik atau lembaga sosial, umpamanya ulang tahun Fraksi Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan organisasi karyawan SOKSI. Direktur Utama TVRI Farhat Syukri malah menjelaskan bahwa kesempatan yang sama akan diberikan kepada partai politik yang lain dengan durasi yang sama lamanya.

Program seperti ini patut dihargai. Yang penting, TVRI tidak meminta bayaran untuk siaran ini, kecuali jika berbentuk iklan. Bahkan, durasi tayangan tak harus sama karena bobot peristiwa dan informasi bagi kepentingan publik yang terkandung di dalamnya perlu dipertimbangkan.

Independensi-netralitas
Hal yang penting, independensi kebijakan redaksi harus dihormati oleh semua pihak. Ini berarti, baik direksi TVRI maupun kekuatan politik, ekonomi, dan sosial di luar TVRI tidak dapat menekan kebijakan redaksi. Kekuatan-kekuatan dan kalangan di luar redaksi hanya mungkin mengajukan saran dan pendapat yang sejalan dengan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh redaksi.

Akan tetapi, independensi tak harus berarti netralitas. Inilah istilah-istilah yang sering disalahpahami, seolah-olah independen hanya mengandung makna netral. Independensi mengandung sikap yang mengembangkan kemandirian dalam pendirian. Dalam independensi redaksi, memang, dapat terjadi sikap netral. Media siaran lebih-lebih lagi diharapkan bersikap senetral mungkin karena stasiun radio dan stasiun televisi menggunakan frekuensi radio yang merupakan milik publik dengan beragam pendirian.

Namun, dalam independensi juga dapat timbul pendapat yang berpihak pada pendirian atau visi yang oleh redaksi dianggap paling baik bagi kepentingan masyarakat seluas mungkin. Yang terpenting, redaksi perlu bersikap imparsial, yang tidak hanya mementingkan pihak-pihak tertentu agar sebanyak mungkin kalangan mendapat peluang untuk diliput oleh media pers.

Agaknya yang masih perlu dipertimbangkan dalam siaran TVRI adalah formatnya. Siaran seperti ini sebaiknya tak sekadar menampilkan pandangan teoretis para calon pemimpin negara itu, tetapi juga memberikan gambaran tentang prestasi nyata dalam karier mereka selama ini.

Malahan program ini sebaiknya dipertimbangkan oleh stasiun-stasiun televisi lain. Adapun yang lebih perlu dikecam oleh para pengamat sebenarnya adalah stasiun-stasiun televisi yang hanya mementingkan peliputan kegiatan lembaga-lembaga yang dipimpin oleh pemilik stasiun televisi tersebut. Stasiun televisi seperti ini seakan-akan lupa bahwa mereka sedang meminjam frekuensi milik masyarakat, yang tidak semuanya sejalan dengan pendirian lembaga-lembaga itu.

Menjelang Pemilu 2014

Peliputan tentang para calon pemimpin negara kita oleh media pers independen semakin diperlukan sekarang ini, pada saat-saat menjelang pemilihan umum bagi para anggota parlemen dan pemilihan presiden pada 2014 yang kian dekat. Peliputan pers seperti itu juga diperlukan dalam pemilihan para kepala daerah.

Adalah penting bagi pers untuk menyajikan selengkap mungkin konsep dan program partai-partai politik serta para pemimpinnya tentang pembangunan yang mereka rencanakan untuk negeri ini. Selain itu, penting pula menampilkan informasi tentang latar belakang karier para pemimpin itu agar masyarakat dapat menilai apakah mereka patut memimpin negeri ini.

Dengan demikian, peliputan oleh pers bukan sekadar menonjolkan karakter dan citra para pemimpin yang sedang mencalonkan diri. Peliputan itu terutama sekali menampilkan kemampuan sebagai pengelola tata pemerintahan yang maju dan demokratis, yang hendaknya tecermin dalam perjalanan karier mereka serta dalam konsep dan program pemerintahan yang mereka rancang.

Sepanjang yang dapat kita amati, hasil penelitian lembaga- lembaga survei di Indonesia hanya terpusat pada citra dan karakter para calon pemimpin politik. Dengan kata lain, para responden survei itu tampaknya hanya mendasarkan pilihan mereka pada popularitas tokoh. Popularitas dimaksudkan tidak harus berarti karena keberhasilan karya-karya pembangunan berdasarkan konsep mereka, tetapi karena seringnya mereka tampil dalam sejumlah kampanye politik atau sebagai narasumber pemberitaan pers dan muncul dalam iklan di media massa.

Karena pers dipandang memiliki posisi yang dominan dalam menciptakan citra para pemimpin, kewajiban pers pula memberikan gambaran yang jelas dan lengkap mengenai tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, publik tidak akan memperoleh kesan dan penafsiran yang keliru tentang sosok dan pendirian politik mereka. Dengan mendapat bekal informasi yang benar dari pers, publik yang "sarat informasi" dapat menentukan pilihan yang lebih tepat bagi para calon pemimpin negara kita dalam pemilihan umum. Dengan kata lain, media pers dapat memperkaya informasi yang diperlukan oleh para pemilih.

(Atmakusumah, Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) di Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002298491
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 28 September 2013

Paradoks Kemacetan Institusi (Harun al-Rasyid LUBIS)

Oleh: Harun al-Rasyid LUBIS

Ketika bus rapid transit atau busway di Bogota, Kolombia, sukses, model BRT sejenis sontak ingin ditiru di banyak kota di dunia termasuk kota besar di Indonesia.
Kini BRT yang berkualitas menyebar di kota besar dan menengah, mulai dari Bogota (Kolombia), Curitiba (Brasil), Guangzhou (China), hingga Ahmedabad (India). Semua kota demam dan antusias membangun BRT, dengan harapan mengurangi kemacetan yang jadi mimpi buruk warga kota. Selayaknya meniru, tentu ada yang berhasil ada yang tidak. Busway transjakarta, yang termasuk terbaik di Tanah Air, secara peringkat kinerjanya pun masih jauh di bawah BRT kelas dunia yang mampu mengangkut 20.000-30.000 penumpang per jam per arah. BRT dan bis konvensional di Tanah Air keadaannya masih sangat memprihatinkan. Untuk mendongkrak daya angkut, semua masih perlu berjuang menambah koridor lintasan, meningkatkan pelayanan, dan menambah stok armada bus.

Kereta rel listrik Jabodetabek yang notabene peninggalan Belanda masih terus berbenah manajemen. Tarik-menarik antara PT KAI dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian terus berlanjut. Monorel yang digagas 2004 oleh PT Jakarta Monorel, sempat vakum mulai 2008, sekarang kembali dalam trek walaupun komposisi saham dominan sudah berpindah tangan. Penyelesaian pembangunan mass rapid transit (MRT) Tahap Pertama Lebak Bulus-HI dipastikan molor dari target 2016 menjadi 2018, tak lain karena terhalang ketidakmampuan dan kompetensi institusi publik sebagai implementatornya.

Akselerasi membangun MRT dari HI hingga Kota dan sinkronisasi MRT Timur-Barat dalam tanda tanya besar. Jangan sampai penyelesaian MRT Jakarta yang berulang kali disalip Delhi Metro, kemudian Bangkok, Manila, dan Ho Chi Minh, sebentar lagi akan disalip juga oleh Dhaka Metro, Banglades, yang kini baru akan memulai perancangan dasar. Apa sesungguhnya yang terjadi, mengapa eksekusi dan pemberdayaan sistem angkutan umum terus telat dan terhambat?

Raja sesungguhnya
Dalam menata transportasi kota, siapa sesungguhnya yang menjadi raja menjadi penting. Delhi Metro Rail Corporation (DMRC) diberi otoritas penuh dalam menetapkan lokasi strategis stasiun. Gubernur dan wali kota pun harus tunduk. Jika terlalu banyak raja, hampir dipastikan debat dan lempar bola (baca alih risiko) antara tingkat pemerintahan apalagi dengan swasta akan berkepanjangan. Akibatnya, semua molor. Paradoks kemacetan terjadi hampir di semua kota di dunia. Awalnya semua beranggapan dengan menambah pasokan jalan raya ataupun jalan tol, kemacetan bisa dan pasti teratasi.

Pikiran dalam benak dan tradisi insinyur, hanya bagaimana memenuhi permintaan dan pertumbuhan lalu lintas yang terus meningkat dengan menambah kapasitas dan ruas jalan. Kenyataannya yang terjadi, menambah jalan menambah kemacetan karena membangun jalan dan jalan tol di dalam kota akan menambah gairah masyarakat memiliki dan menggunakan mobil pribadi—induced demand.

Bertolak dari itu, kebijakan transportasi mulai beralih ke strategi transportasi terpadu. Yang semula hanya berpikir dari sisi penyiapan hardware, kini beralih menjadi berpikir soft, cara mengubah perilaku dan pilihan masyarakat dalam berkendara, lewat beragam kebijakan memberi insentif kepada angkutan umum (carrots) dan disentif bagi angkutan pribadi (stick)—travel demand management. Kuncinya, bagaimana mengatur skedul implementasi beragam instrumen kebijakan agar hasilnya saling mendukung dalam perubahan perilaku. Belum lagi tugas berat mengubah pilihan dan perilaku para pengendara sepeda motor, yang telah menelan hampir separuh pasar angkutan umum, semula 50-60 persen kini tersisa 25-35 persen di sejumlah kota di Tanah Air. Kemacetan bisa diatasi asalkan perilaku dan kebiasaan masyarakat berkendara bisa diubah, prioritas memberdayakan angkutan umum menjadi mutlak dan upaya ke arah sana seyogianya diberi kemudahan.

Debat tentang pembangunan enam ruas tol dalam kota, dan baru-baru ini mobil LCGC (low cost green car), tidak saja menambah kebingungan masyarakat akan konsistensi kebijakan pemerintah, tetapi memberi kesan bahwa yang macet bukan sekadar ruang dan jalan kota, melainkan lembaga (institusi) publik macet tidak berkomunikasi meski saling bicara, terjadi paradoks kemacetan institusi. Untuk itu, usulan pembentukan Badan Otoritas Transportasi di setiap kota besar dan metropolitan di Tanah Air perlu disegerakan dalam pemerintahan baru pada masa akan datang, agar setiap kebijakan transportasi kota dikaji secara holistik dan dampak kebijakan diantisipasi matang.

Antusiasme monorel
Setelah demam BRT, sekarang hampir semua kota antusias mau membangun monorel, seperti kota Palembang, Medan, Bandung, dan Makassar. Monorel, karena keterbatasan daya angkut, bermula melayani lintas kurus dan pendek atau sebatas wilayah taman hiburan atau antarterminal di bandara. Sejak keberhasilan monorel di kota Chongqing, China, yang dapat mengangkut penumpang 30.000-40.000 penumpang per jam per arah, kini banyak sistem monorel mulai dibangun, seperti di Mumbai (India), Riyadh (Arab Saudi), Daegu (Korea Selatan), dan São Paulo (Brasil). Pelajaran PT Jakarta Monorel yang menghadapi kesulitan meneruskan proyek monorel seakan terlupakan, MRT Timur-Barat juga belum ada percepatan. Tiba-tiba muncul gagasan baru monorel yang dimotori kontraktor PT Adhi Karya. Rencana jaringannya akan menjangkau sampai ke pinggiran kota Jakarta.

Semua rencana monorel yang diprakarsai investor swasta dan BUMN ini mengambil risiko, mereka akan membiayai sendiri pembangunan monorel tanpa dukungan pendanaan publik APBN/APBD. Dua nota kesepahaman sudah ditandatangani investor bersama para kepala daerah, seperti di Kota Bandung dan Metro Bandung Raya. Semua masih dalam kajian kelayakan, belum sampai tahap negosiasi atau Perjanjian Pembangunan, apalagi Kontrak Konsesi. Masih sangat lama. Data empiris di dunia mana pun belanja modal angkutan umum massal, 60-90 persen harus dari publik. Biaya operasi dan pemeliharaan dipikul operator, tetapi tetap mendapat subsidi untuk memastikan tarif senantiasa terjangkau penumpang.

Pendapatan MTRC Hongkong dari mengelola properti dan iklan mencapai 27,4 persen dari total pendapatan, BTS Skytrain Bangkok 15 persen, Belanda NS 22 persen, MRT Taipei 12 persen, London Underground 8,7 persen, PT KAI 2 persen, itu pun setelah dipupuk cukup lama. Tanpa kepastian pendapatan nontiket ini, kalau ada entitas swasta bermaksud mengambil alih peran pemerintah dan menjadi sinterklas membangun monorel, sudah barang tentu ada persyaratan khusus yang akan muncul di belakang hari. Kewajiban regulator, dalam hal ini pemerintah, hanya memastikan agar subsidi menjadi minimum dan iklim usaha memungkinkan terjadi kompetisi dan efisiensi produksi.

Mengapa dari awal tidak digelontorkan saja pendanaan publik untuk menyegerakan pembangunan angkutan umum di kota-kota besar di Tanah Air, dan setelah itu baru dilakukan kontrak operasi dan pemeliharaan kepada operator swasta? Terobosan ini perlu diwadahi dengan payung kebijakan, pedoman, dan tata cara yang menegaskan, untuk realisasi Sistem angkutan umum massal di kota-kota besar 50 persen pendanaan berasal dari pemerintah pusat, 25 persen pemerintah daerah, dan 25 persen dapat berasal dari entitas swasta sebagai calon operator. Berapa lama lagi publik harus menunggu?

(Harun al-Rasyid Lubis, Dosen ITB; Direktur Eksekutif Institut Perkeretaapian Indonesia)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002317894
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Bencana Kebahasaan (Teuku Kemal Fasya)

Oleh: Teuku Kemal Fasya

Tragedi wawancara artis Zaskia Shinta dan Vicky Prasetyo, awal September lalu, telah menjadi topik perbincangan di media sosial dan media massa.
Wawancara pertunangan sehari mereka pun telah muncul di Youtube. Dalam lima hari, 288.000 pengunjung telah melihat "bencana kebahasaan" itu dan menjadi olok-olok publik.

Saya tidak akan menambah olok-olok itu lagi di sini, tetapi mencoba berhenti sejenak dan merefleksikan mengapa hal seperti itu bisa terjadi. Kesimpulannya, di samping faktor psikologi kompleks sang penutur, masalah ini memang sedang merasuki psikologi sosial kebahasaan kita di media, terutama TV.

Gaya sosialita
Media televisi telah memengaruhi kultur kebahasaan masyarakat. Acara seperti talk show, music show, sinetron, reality show, dan kuis telah menghadirkan kiblat baru dalam berkomunikasi ala sosialita dan Jakarta. Coba perhatikan model komunikasi acara Master Chef Indonesia. Juri seperti Arnold Poernomo, Degan Septoadji, dan Ririn Marinka tak hanya profesional, tetapi juga pernah mendapat pendidikan dan meniti karier di luar negeri sehingga penguasaan bahasa asing (terutama Inggris) terlihat baik.

Mungkin penggunaan bahasa asing itu bukan pamer, melainkan ekspresi alam bawah sadar karena telah menjadi model wicara, parole, harian. Ditambah lagi program lisensi luar negeri itu mensyaratkan pakem bahasa global sebagai bagian standardisasi pertunjukan yang elegan.

Padahal, secara histori-linguistik, tak ada jaring penghubung Indonesia dan Amerika, kecuali melalui televisi dan film Hollywood. Jaring-jaring pertautan histori-linguistik kita sesungguhnya lebih lekat dengan bahasa Sanskerta, India-Urdu, Arab, Persia, Belanda, Spanyol, baru kemudian Inggris (British).

Itu pula mengapa dalam sejarah serapan kata, kita mengenal kata-kata khabar, ashram, presis, syakti, syirna, aktie, proclamatie, studen sebelum dikodifikasi dalam Ejaan yang Disempurnakan. Atau penggunaan meminimilir dan informil yang awalnya pengaruh Belanda diubah menjadi meminimalisasi dan informal sebagai pengaruh Inggris-Amerika.

Saat ini, seperti ada jebakan, ketika berbicara di ruang publik atau televisi tidak menggunakan American style dan gaya bahasa Jakarta, kita dianggap tidak standar dan belum intelek. Belum lagi jika ingin dianggap kaum sosialita (istilah yang muncul belakangan mendefinisikan komunitas pesohor atau artis), mau tak mau ber-Inggris ria menjadi rukun dan syarat. Itu satu hal!

Hal lainnya adalah penggunaan istilah. Sesungguhnya penggunaan istilah atau terminologi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan ketika bahasa telah berkembang dari sekadar alat komunikasi menjadi tanda pengetahuan dengan struktur makna yang khusus dan disiplin. Istilah, derivasi bahasa asing, makna konotasi, dan metafora adalah bagian dari perkembangan bahasa karena fungsi bahasa yang tidak selalu denotatif atau bermakna langsung.

Pengaruh antrolinguistik
Dalam keseharian, kita tidak hanya menggunakan kata makan, menyinta, terjengkang, tunggang langgang, tetapi juga mengenal kata sinkronisasi, sofistikasi, resiliensi, polarisasi yang telah terpapar atau terderivasi ke dalam bahasa Indonesia. Sejarah leksikalitas itu akan panjang jika diurai, tetapi satu hal yang ingin disinggung di sini, efek fonetis -sasi memengaruhi antrolinguistik masyarakat untuk berkomunikasi secara serampangan.

Jadilah kalimat seperti "harmonisasi dari yang terkecil hingga terbesar", seperti yang diungkap Vicky. Padahal, bisa digunakan penyesuaian, kompromi, atau penyelerasan untuk konteks kalimat itu.

Ada nasihat baik dari Jacques Derrida, filsuf bahasa asal Perancis, bahwa dalam komunikasi lisan (atau untuk konteks sekarang komunikasi pseudo-tulisan seperti Twitter), gunakanlah bahasa yang bersifat langsung, sederhana, dan umum karena kita sedang berhadapan dengan audiens yang meluas atau massa.

Berbeda dengan bahasa tulisan (L'écriture), diperlukan persiapan kedalaman dan memaksimalkan fungsi différence: menunda/menunggu (to defer) dan memberikan perbedaan (to differ) dengan bahasa lisan. Mengapa? Itu karena bahasa tulisan dimaksudkan menghidupkan semesta pengetahuan (logosentrisme) dan bukan hanya berhenti di logika bunyi (fonosentrisme) sehingga setiap omongan hanya jadi sesuatu yang berlepas tangkap lalu menghilang.

Secara lebih praksis, sederhanalah dalam berbicara dan cermatlah dalam menulis. Jangan melewati batas, apalagi jika Anda hanya ingin memuaskan para pemirsa televisi. Tak perlu kalimat "mengkudeta apa yang kita miliki" dan "konspirasi kemakmuran" yang gramatikal kacau dan secara sosial terkesan ingin kelihatan intelek.

(Teuku Kemal, Fasya Dosen Antropolinguistik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002074358
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Penunggang Bebas Popularitas (Gun Gun Heryanto)

Banyak cara membangun pencitraan. Mulai dari tampil di sejumlah media, turun ke basis-basis pemilih, hingga membanjiri area publik dengan beragam peraga kampanye.

Seantero bumi pertiwi nyaris seragam: disesaki spanduk dan baliho yang muncul bak cendawan di musim hujan. Ada pencitraan yang taat aturan, banyak pula yang serampangan menabrak etika politik dan regulasi kampanye yang telah ditetapkan. Praktik tak etis ataupun pelanggaran aturan kerap kali disamarkan dengan beragam modus.

Modus pencitraan
UU No 8/2012 Pasal 83 memang memberi peluang kampanye pemilu legislatif sejak 11 Januari 2013 hingga 5 April 2014. Setelah itu akan ada agenda kampanye untuk pemilihan presiden/ wakil presiden. Wajar, jika partai politik sudah memanaskan mesin pemenangannya. Salah satu metodenya melalui pemasaran politik para caleg dan capres.

Yang patut disikapi secara kritis adalah sejumlah perilaku pencitraan yang jelas-jelas menerabas kepatutan dan melanggar aturan. Idealnya kampanye jadi bagian pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Realitasnya, dengan mudah kita bisa mengidentifikasi sejumlah modus pencitraan yang menjengkelkan.

Pertama, konsep publisitas politik pejabat publik yang kian hari kian intensif. Di sepanjang jalan utama di banyak kota, terpampang baliho dan reklame besar-besaran mengatasnamakan program kementerian. Misalnya narasi untuk mencintai produk Indonesia. Sekilas tak ada masalah, tapi kian hari intensitas iklan jenis ini kian marak di berbagai saluran komunikasi.

Bisa saja sang menteri berkilah, tak ada aturan yang dilanggar karena modusnya memakai pendekatan publisitas politik, bukan kampanye pemilu yang lazimnya mengumbar visi/misi, program, dan mengajak orang untuk memilih. Tapi jika diraba lebih dalam, ada konflik kepentingan dalam publisitas politik tersebut, yakni soal kepatutan sang menteri yang menjadi penunggang bebas popularitas.

Jika iklan kementerian tersebut membutuhkan endorser yang bisa memalingkan perhatian publik pada isi pesan, sesungguhnya bisa menggunakan publik figur lain yang tidak tumpang tindih dengan kepentingan politik partisan. Hal seperti ini tidak hanya dilakukan oleh beberapa menteri SBY, juga pimpinan DPR, DPRD, dan kepala daerah yang jadi petahana.

Kedua, modus pemanfaatan akses teknologi simulasi realitas. Ini terkait dengan media yang banyak ditunggangi secara serampangan oleh para pemiliknya. Memang sejak lama para pengkaji menilai, media sebagai "medan pertempuran" banyak hal. Jhon Sinclair dkk (New Patterns in Global Television: Peripheral Vision, 1996) menyebutkan, televisi sebagai medium cangkokan yang megah.

Lebih umum lagi, media massa dalam tulisan Michael Schudson (The Power of News, 1995), dipandang sebagai "sebab" terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur. Karakteristik media seperti ini, biasa dibaca secara ganda, sebagai sumber daya ekonomi sekaligus politik. Saat media mengalami konsentrasi kepemilikan di grup besar yang dikendalikan oleh pengusaha-politisi, maka sempurnalah media-media tersebut menjadi jejaring pencitraan, bahkan manipulasi.

Jangan heran jika beragam momentum yang disediakan media-media yang bergabung di grup media milik politisi pengusaha tersebut bagi lingkaran elite utama partainya.

Gurita media sang pengusaha politisi mampu menggilas aturan main yang sesungguhnya sudah ada. Misalnya, pada Pasal 96 UU No 8/2012, diatur soal larangan menjual blocking segment dan blocking time. Pada Pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di TV secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik, untuk radio 10 spot berdurasi paling lama 60 detik per hari.

Pun demikian di Peraturan KPU (PKPU) Nomor 1 Tahun 2013 yang sudah direvisi menjadi PKPU No 15/2013, di mana pedoman pelaksanaan kampanye sudah jelas. Namun, aturan tinggal aturan: anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Terlebih KPU, Bawaslu, KPI, Dewan Pers pun kerap kali hanya bersikap normatif sehingga akhirnya pelanggaran pun menjadi hal lumrah dan dianggap biasa saja.

Mekanisme kampanye
Satu hal lagi yang sepatutnya mendapat perhatian publik, yaitu penunggang bebas popularitas selama perhelatan konvensi milik Demokrat. Selama delapan bulan ke depan, Partai Demokrat tentu akan memanfaatkan konvensi ini sebagai etalase citra politiknya. Partai yang dipimpin SBY ini akan menggenjot popularitas dan elektabilitasnya melalui konvensi yang dikampanyekan mereka sebagai mekanisme demokratis dalam pencarian capres.

Kekhawatiran publik soal penunggang bebas mulai terkonfirmasi dengan munculnya kontroversi siaran tunda konvensi oleh TVRI. Tindakan TVRI tersebut dianggap membahayakan eksistensinya sebagai Lembaga Penyiaran Publik, sebagaimana diamanatkan UU No 32/2002. Bukan semata soal pelanggaran etika, melainkan ditabraknya sejumlah regulasi siaran.

Harus ada kejelasan yang mengatur mekanisme kampanye para kontestan di luar jadwal komite konvensi. Jika tak diatur, akan berpotensi besar berbenturan dengan aturan kampanye yang ada saat ini.

Semua peserta konvensi harusnya memelopori transparansi anggaran kampanye. Siapa saja pihak ketiga penyumbang dana kampanye mereka. Jika tidak transparan, sangat mungkin muncul "investor hitam" dan "penunggang gelap" di konvensi Demokrat. Pencitraan politik boleh-boleh saja dilakukan, tetapi tidak dengan melanggar aturan dan mencederai kepatutan.

(Gun Gun Heryanto, Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002317206
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Memfilmkan Soekarno (Asvi Warman Adam)

Oleh: Asvi Warman Adam

Film Soekarno yang dibuat Ram Punjabi dan disutradarai Hanung Bramantyo menuai protes dari Rachmawati Soekarnoputri.
Tulisan ini tidak menyoal pertengkaran itu, tetapi mengungkap beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat film tentang tokoh sejarah. Tentu saja lebih mudah jika film itu merupakan narasi beberapa penutur tentang seorang tokoh; bisa saja wacana itu berbeda bahkan bertentangan, terserah kepada pemirsa menyimpulkannya.

Pilihan berikutnya adalah menyelipkan tokoh fiktif dalam kelompok tokoh sejarah yang utama. Tokoh fiktif, misalnya, sepasang muda-mudi yang menjalin hubungan asmara dan berakhir dengan tragis, seperti dalam film Sang Kiai, pemuda yang pergi berjuang dan menemui ajal, sementara perempuan yang dikasihinya telah hamil. Ini menjadi semacam bumbu penyedap dalam film tersebut agar alur cerita tidak kering.

Lebih sulit kalau sang tokoh sejarah itu yang langsung bertindak dan bertutur. Kegiatan tokoh sekaliber Soekarno telah banyak dikisahkan dalam sejumlah buku dan arsip. Jika semua buku dijadikan rujukan, tentu pembuat film perlu menyadari bahwa semua buku itu tidak sama kualitas dan validitasnya.

Disadari bahwa tidak cukup sebuah film untuk menggambarkan perjuangan Soekarno sedari muda, kemudian menjadi proklamator dan berkuasa selama dua dekade. Film yang disutradarai Hanung dengan pemeran sentral Ario Bayu dan Maudy Koesnaedi dimulai sejak penangkapan Soekarno tahun 1929 sampai proklamasi, 17 Agustus 1945. Film lain, yang didanai Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengambil periode saat Soekarno di Ende (1934-1938), dengan pemeran utama Baim Wong dan Ria Irawan. Yayasan Bung Karno yang dipimpin Guruh Soekarnoputra juga akan membuat film tentang tahun-tahun kemenangan Bung Karno, 1958-1963 (pada periode ini terjadi Dekrit Presiden, 5 Juli 1959; pembebasan Irian Barat; Asian Games, dan Ganefo). Sukmawati berencana membuat film Soekarno dengan sutradara dari AS atau Tiongkok. Rachmawati ingin memfokuskan pembuatan film tentang hari-hari terakhir Bung Karno (1965-1970).

Harus dicermati
Buku Cindy Adams merupakan salah satu rujukan dari kehidupan Bung Karno. Namun, buku yang dibuat tahun 1965 itu perlu dicermati saksama. Tidak sempat dikoreksi oleh Bung Karno karena situasi kritis menjelang 1 Oktober 1965, buku itu terbit juga tanpa diperiksa lebih dulu oleh orang-orang dekat Soekarno yang ikut mengalami peristiwa pada zaman yang sama.

Tak mengherankan jika Syafii Maarif menuding Bung Karno merendahkan Hatta dan Sjahrir karena terdapat dua alinea dalam buku Penyambung Lidah Rakyat itu yang bernada demikian. Saya meminta kepada Syamsu Hadi dari Yayasan Bung Karno untuk mengecek dan menerjemahkan ulang. Ternyata dua alinea yang melecehkan itu tidak ada dalam karya asli berbahasa Inggris. Jadi, siapa yang menambahkan dalam edisi bahasa Indonesia?

April 1968, Gatot Mangkupraja menulis di jurnal Indonesia terbitan Cornell AS, menanggapi buku Cindy Adams tersebut. Pertama, tak benar bahwa PNI yang didirikan Soekarno dan kawan- kawan di Bandung tahun 1927 itu memiliki anggota dan mengadakan rapat di lokasi pelacuran yang berpenghuni sekitar 670 orang itu. Menurut Gatot, hanya ada satu-dua pelacur yang sudah bertobat dan menikah dengan aktivis PNI. PNI juga melakukan seleksi kepada calon anggota agar citranya tetap terjaga. Jelas salah kalau PNI disebutkan berdiri tahun 1921.

Percintaan antara Soekarno dan gadis Belanda, Nona Mien Hessels, dipertanyakan oleh Mangkupraja. Mungkin saja Soekarno menaksir gadis bule tersebut, tapi tidak sampai melamar kepada orangtuanya dan dipermalukan sebagai inlander. Saya kira adegan ini jika dimuat bisa digambarkan sutradara sebagai impian Bung Karno. Jadi pemuda Soekarno bermimpi melamar cewek itu dan—masih dalam mimpi—ditolak mentah-mentah oleh orangtua di gadis.

Soekarno mengatakan bahwa tahun 1922 ia bertemu seorang petani yang bernama Marhaen. Menurut Gatot Mangkupraja, baru tahun 1928—setahun setelah PNI didirikan—wacana itu mulai muncul sebagai pengganti istilah Kromo. Ketika Bung Karno dibuang ke Ende, ia memang merenung atau melakukan semadi, tetapi jelas waktu itu tidak pernah disebutkan secara nyata bahwa di bawah sebatang pohon Soekarno memikirkan dasar negara.

Semasa penjajahan Jepang, menurut Gatot, tidak benar ada perjanjian secara eksplisit antara Soekarno-Hatta dan Sjahrir mengenai pembagian wilayah tugas mereka: satu di dalam (bekerja sama dengan Jepang) dan satu lagi di luar (melakukan gerakan tanah secara terbatas). Jadi, mungkin saja kelak di kemudian hari hal tersebut terlihat seperti itu, tetapi tanpa skenario.

Film Soekarno yang dibuat oleh Multivision sudah selesai shooting dengan durasi 9 jam tayang dan tinggal disunting menjadi sekitar dua jam tayang. Produser dan sutradara perlu berkonsultasi dengan sejarawan profesional untuk mendiskusikan penyuntingannya jika menginginkan keakuratan fakta sejarah film ini dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, foto, rekaman suara, dan film-film dokumenter periode terkait di Arsip Nasional perlu diperhatikan agar bahasa tubuh sang tokoh lebih meyakinkan.

(Asvi Warman Adam, Sejarawan di LIPI)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002287831
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Menata Kota Jakarta (Tajuk Rencana Kompas)

Ketika kemacetan dan peruntukan kawasan masih amburadul, layak kita apresiasi kinerja pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.
Beresnya persoalan relokasi penduduk penghuni Waduk Pluit dan penataan Waduk Ria Rio, penataan Pasar Tanah Abang, serta penertiban pedagang kaki lima di sejumlah wilayah sekadar contoh "keberhasilan". Mereka sosok yang get things done, yang tidak hanya berwacana atau omong doang (omdo), tetapi berimbang antara bicara dan implementasi eksekutif.

Menata kota Jakarta bukan perkara mudah. Memindahkan kota Jakarta serta memisahkan dua entitas Jakarta, sebagai ibu kota negara dan Jakarta sebagai kota bisnis, kurang diwacanakan sebagai jalan keluar. Bukan karena sebagai kartu mati, bukan sebagai pemanis jalan keluar mengatasi kerumitan, melainkan disadari betul perbedaan besar antara jabatan eksekutif dan politisi.

Kedudukan kepala daerah itu jabatan politis sekaligus eksekutif. Politis karena dipilih lewat proses politik, eksekutif karena yang bersangkutan menjalankan putusan-putusan eksekutif dan tidak hanya berwacana politis. Rencana penataan dengan sasaran sekitar pasar dan pusat perbelanjaan di kawasan Roxy, Glodok, dan Blok M bukanlah pernyataan politis, melainkan eksekutif.

Sebagai pernyataan eksekutif, rencana itu disertai target, strategi obyektif, serta inisiatif-inisiatifnya yang terukur dan rinci terjabar. Jabatan birokratis yang diemban dengan semangat "pelayanan untuk publik" menjadi adrenalin merealisasikan pernyataan eksekutif mereka.

Entah karena kultur birokrasi dan masyarakat telanjur lekat dengan kemapanan dan paradigma politis, paradigma eksekutif sering berbenturan kepentingan. Taruhlah contoh rencana untuk membongkar pagar gedung sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin. Faktor keamanan menjadi tantangan, tetapi dalam sebuah strategi eksekutif, niscaya masalah itu inklusif dan bukan aberasi yang dilupakan; sesuatu yang menyatu dengan konsep penataan sebuah kota besar, apalagi kota metropolitan.

Kebijakan program mobil murah secara tidak langsung berpengaruh pada tata kota Jakarta. Belum beres dengan penataan, upaya itu bisa direcoki kehadiran mobil murah, yang tidak hanya menciptakan kembali simpul kemacetan, tetapi juga semakin lemahnya daya dukung ekologi kota.

Dalam konteks menata ibu kota negara, jabatan eksekutif birokratis Gubernur DKI Jakarta tidak lagi mencukupi sebagai seorang kepala daerah. Seharusnya Gubernur DKI Jakarta adalah juga seorang menteri. Banyak keputusan agar menjadi eksekutif (bisa diputuskan) perlu melewati proses di tingkat Pemerintah Provinsi Jakarta ataupun pemerintah pusat. Berbeda dengan wacana memindahkan ibu kota, salah satu wacana politis mengatasi problem Jakarta, lebih pragmatis dan produktif menggulirkan wacana jabatan seorang Gubernur DKI Jakarta sekaligus sebagai menteri... siapa pun pejabatnya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002355433
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Ujian bagi Bangsa Pakistan (Tajuk Rencana Kompas)

Bencana alam selalu menimbulkan penderitaan; tidak hanya mengakibatkan kematian, tetapi juga penderitaan, yang bisa berkepanjangan.
Apabila kita baca berita di harian ini edisi hari Jumat, 27 September, tergambar jelas bagaimana penderitaan yang disandang warga Distrik Awaran, Baluchistan, Pakistan. Gempa yang menggoyang wilayah Baluchistan hari Selasa lalu dengan kekuatan 7,8 skala Richter tidak hanya menghancurkan bangunan, sejumlah fasilitas umum, dan infrastruktur, tetapi juga menewaskan sekurang-kurangnya 350 orang. Diperkirakan masih banyak warga yang tertimbun reruntuhan rumah mereka sendiri.

Akibat gempa, juga diberitakan paling sedikit 100.000 orang telantar. Mereka tidak memiliki rumah lagi karena hancur. Mereka menjadi pengungsi yang tidak segera mendapatkan bantuan makanan, minuman, dan obat-obatan yang sangat mereka butuhkan.

Membayangkan menjadi pengungsi, yang kehilangan anggota keluarganya, yang tidak memiliki rumah lagi, yang tanpa harta benda, bahkan baju pun hanya yang menempel di badan, yang belum jelas yang akan dilakukan pada esok hari, sungguh membuat kita harus mengurut data, ikut prihatin. Inilah, sesungguhnya, tragedi kemanusiaan.

Hal itu karena penderitaan mereka tidak berhenti setelah mereka memperoleh bantuan, baik makanan, minuman, obat-obatan, maupun pakaian. Namun, setelah semua itu diterima, penderitaan pasti belum lepas dari mereka. Para korban masih harus memikirkan masa depan mereka sebab bisa jadi tempat bekerja mereka sudah hilang atau rusak, bisa jadi sumber penghidupan mereka juga tidak ada lagi, sementara belum tentu Pemerintah Pakistan yang saat ini menghadapi beragam persoalan dan masalah akan bisa cepat memulihkan keadaan.

Pakistan, harus diakui, memang negeri yang nyaris tidak pernah sepi dari persoalan. Negeri ini terus-menerus dibelit krisis politik dan keamanan, juga rusaknya harmoni hubungan antarumat beragama. Kita belum lama ini mendengar dan membaca penyerangan sebuah gereja yang menewaskan puluhan orang. Ini bukan yang pertama kali terjadi. Sudah berulang kali.

Bencana ini benar-benar menjadi ujian bagi Pemerintah Pakistan, apakah mereka lebih peduli terhadap derita rakyatnya atau kepada kekuasaan. Apakah penderitaan rakyat di Baluchistan bisa meluluhkan pihak-pihak yang terus-menerus menebarkan penderitaan, mengobarkan permusuhan antaranak bangsa, yang memecah-belah negeri itu? Kita dari jauh berharap—selain ikut prihatin akan kondisi para pengungsi—bahwa Pemerintah Pakistan bisa cepat bertindak untuk menyelamatkan rakyatnya. Selain itu, masyarakat dunia pun tergerak hatinya untuk mengulurkan tangan membantu mereka yang menderita, yang juga barangkali gelap masa depannya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002355427
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 27 September 2013

Abnormalitas Pengaturan Pilkada (Bahrul ilmi Yakup)

Oleh: Bahrul ilmi Yakup

Pemilihan kepala daerah dapat disebut buah pahit produk era Reformasi. Konsekuensinya menelurkan pengalaman pahit bagi perjalanan pemerintahan negara, dan masyarakat.
Salah satu penyebabnya, pilkada langsung dipilih secara tergesa-gesa dalam euforia kebebasan pasca-keterkungkungan pada era Orde Baru tanpa pemahaman dan pengaturan yang memadai.

Pilkada langsung dipilih tanpa kajian akademik dan empiris yang determinatif. Hal itu kian diperparah dengan pengaturan secara sumir serta tidak jitu dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No 22/1999. Oleh karena itu, logis jika dalam implementasi dan praksisnya saat ini pilkada langsung menimbulkan sejumlah permasalahan.

Dari sekian banyak noktah hitam pilkada, Pilkada Gubernur Provinsi Lampung yang saat ini berada dalam tahapan penyelenggaraan layak dirujuk sebagai contoh guna memberi masukan perbaikan untuk pengaturan dan praktik pilkada mendatang. Pilkada Gubernur Lampung saat ini terhenti tahapan penyelenggaraannya karena tidak ada anggaran yang dialokasikan dalam APBD. Kenapa pengalaman pahit demikian sampai terjadi dan tidak mampu diatasi?

Kejadian pahit Pilkada Gubernur Lampung dilatarbelakangi sejumlah faktor, antara lain, politik dan hukum. Dari aspek politik tentu bagian dari pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sementara dari aspek hukum, kejadian tersebut merefleksikan pengaturan yang buruk terhadap urusan pilkada.

Buruknya kualitas pengaturan merupakan salah satu karakter perundang-undangan Indonesia, terutama era Reformasi. Pada era Reformasi, muncul tren produk perundang-undangan asal jadi, asal menampung ide dan kepentingan sesaat secara instan. Akibatnya, produk perundang-undangan lebih banyak menimbulkan permasalahan pada tahap implementasi dan praksis.

Perbaikan pengaturan
Sejumlah masalah implementasi dan praksis yang muncul pada pilkada selama rezim UU No 32/2004, berikut perubahannya, seyogianya jadi masukan konstruktif guna memperbaiki pengaturan pilkada mendatang. Apalagi saat ini Rancangan UU Pilkada sedang dibahas di DPR.

Namun, patut disayangkan, sepertinya RUU Pilkada mendatang belum (tidak) akan memproduk pengaturan pilkada yang baik, berkualitas, apalagi komprehensif. Sebab banyak permasalahan pilkada yang tidak (belum) diatur secara baik, menyeluruh, dan sistemik.

Konstruksi RUU Pilkada yang sekarang dibahas Komisi II DPR hanya merujuk persoalan inti secara terbatas. Padahal, masih banyak persoalan krusial yang harus mendapat porsi pengaturan secara runtut, lengkap, dan sistem yang sesuai asas pengaturan dan penormaan yang baik.

Isu krusial yang belum mendapat pengaturan antara lain soal anggaran pilkada. Anggaran pilkada dalam RUU Pilkada hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 163, sebagai metamorfosis Pasal 112 UU No 32/2004, yang nyatanya menimbulkan masalah praksis seperti dalam Pilkada Gubernur Lampung saat ini. Juga masalah pencalonan wakil kepala daerah oleh kepala daerah, dan RUU belum pula mengatur prosedur, mekanisme, dan solusi jika muncul sengketa dalam pencalonan wakil kepala daerah.

Selain itu, masalah harmonisasi dengan norma UU terkait lainnya. RUU Pilkada tidak menyinggung harmonisasi norma dengan UU Pemerintahan Daerah Khusus DKI, Aceh, dan Yogyakarta. Tidak pula menjelaskan ratio legis pengembalian wewenang mengadili sengketa pilkada dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Agung. Mengapa wewenang mengadili sengketa pilkada harus dikembalikan kepada Mahkamah Agung?

Pengaturan pilkada mendatang seyogianya lebih baik daripada yang sekarang. Karena itu, diharapkan pengaturan mendatang sesuai dengan ilmu legal drafting dan asas pengaturan yang baik dan konstruktif. Hal ini agar kualitas pengaturan memiliki kapasitas mengatur semua permasalahan dan kompeten untuk menjawab sejumlah permasalahan yang akan timbul.

(Bahrul IUlmi Yakup, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK); Ketua Pusat Kajian BUMN)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002319760
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Revisi UU Devisa (Beni Sindhunata)

Oleh: Beni Sindhunata

Produktivitas dan berhemat adalah kata kunci mengatasi krisis ekonomi saat ini, demikian M Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden, di Kompas (23/9).
Berangkat dari sikap dan semangat itu, penulis mengkajinya dari aspek defisit neraca perdagangan dan tata kelola hasil kerja berupa devisa ekspor. Produktivitas industri tidak banyak berarti jika hasil kerjanya, berupa devisa ekspor, tak bisa maksimal dikelola otoritas moneter selaku pengelola devisa.

Itulah salah satu titik lemah yang berdampak luas bagi perekonomian domestik, yang mendorong otoritas moneter selalu fokus pada dinamika Federal Open Market Committee (FOMC) dengan paket stimulusnya—dikurangi atau ditambah— laksana obat kuat sementara waktu.

Dari Januari ke Agustus 2013 cadangan devisa kita menyusut 16 miliar dollar AS, sedangkan devisa hasil ekspor (DHE) sebelum dikurangi impor: 87,5 miliar dollar AS. Jika seluruh DHE itu wajib ditahan atau disimpan di bank devisa dalam negeri selama jangka waktu tertentu, di atas kertas cadangan devisa bisa menjadi 179 miliar dollar AS, menghadapi utang luar negeri yang 259,5 miliar dollar AS.

Peraturan Bank Indonesia No 13/20/PBI/2011 tentang Peneri- maan DHE dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagai turunan UU No 24/1999 tentang Devisa tak mewajibkan DHE harus disimpan dan ditahan sementara waktu. Kecuali hanya wajib lapor dan catat di bank devisa de- ngan toleransi waktu maksimal Desember 2012. Itu pun tak semuanya melapor, maksimal baru sekitar 85 persen.

Tak heran jika dana korporasi Indonesia (devisa ekspor) dan WNI kelas superkaya di Singapura diperkirakan 140 miliar dollar AS. Sementara ini, mereka parkirkan uang itu di bank asing luar negeri dan baru pulang kampung setelah kondisi keuangan kondusif, aman, dan menarik.

Tak ada yang bisa memastikan dan menjamin para eksportir itu melaporkan seluruh transaksi ekspornya karena sebagian disimpan di bank luar negeri untuk transaksi impor, di samping keperluan lindung nilai yang sekarang baru seperlima terlindung. Karena pentingnya devisa mendukung gerak mesin perekonomian nasional, perlu penyesuaian tata kelola devisa. Dengan mewajibkan eksportir menyimpan dan menahan sementara waktu DHE di bank domestik dengan merevisi Peraturan BI No 13/20/PBI/2011, kemudian dilanjutkan revisi UU No 24/1999 agar punya payung hukum lebih kuat, serangkaian UU berjiwa liberal yang lahir pada era Reformasi di bawah bayangan IMF dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan 15 tahun terakhir.

Segera selesai
Oleh sebab itu, beda pendapat antara DPR (Komisi XI) dan BI soal strategi tata kelola lalu lintas devisa dapat segera selesai menu- ju kesepakatan. Silang pendapat yang berlarut dan terbuka mubazir. Legislatif minta UU No 24/1999 direvisi, sementara BI berpendapat tidak ada pemikiran merevisi UU Devisa atau mengontrol devisa karena dianggap tak lazim. Semakin panjang dan lebar silang pendapat ini, semakin untung spekulan di pasar uang dan pasar modal.

Bahwa investor asing akan lari atau keluar dari Indonesia sehingga membahayakan neraca pembayaran tak selamanya berlaku atau harus jadi acuan dasar. Ancaman pelarian modal (capital outflow) bisa terjadi setiap saat, sebaliknya jangan berharap terlalu besar dilanjutkannya stimulus oleh The Fed bisa berdampak signifikan terhadap capital inflow. Apalagi kini berlangsung persaingan merebut dana global dari sesama negara maju, negara berkembang, sampai negara-negara mini yang porsinya kian laris manis sebagai tempat favorit sekaligus sumber penting FDI.

Merevisi UU Lalu Lintas Devisa atau revisi Peraturan BI soal DHE akan memberi kepastian hukum bagi tata kelola devisa agar otoritas moneter bisa maksimal mengaturnya bagi perekonomian nasional. Perlu diwajibkan menahan dan menyimpan selama waktu tertentu. Jika tidak, devisa hanya mampir sebentar dan kemudian keluar lagi, menyisakan sebagian untuk negara yang telah mendorong dan menumbuhkembangkan usaha.

Untuk menggiring DHE agar pulang kampung, memang perlu insentif, misalnya suku bunga yang menarik. Ini kalkulasi bisnis (jangan dilihat dari kacamata nasionalisme). Perlu jaminan dan fleksibilitas penggunaannya oleh eksportir dan aman karena standarnya berkiblat ke Singapura.

Kebijakan menjaga status sebagai negara yang sopan dan disenangi di pentas global tidak menjamin kantong dan perut 250 juta WNI penuh, aman, dan kenyang. Hanya pemerintah sebagai penggerak dan pelindung yang harus menjamin dan mengusahakannya. Sudah bangga dengan citra negara demokrat, liberal, dan surga bagi investor asing? Dunia usaha juga diminta berkorban demi kepentingan nasional dengan mengikuti aturan tata kelola devisa yang lebih baik. Tipisnya cadangan devisa akan berdampak pada depresiasi rupiah yang saling menyeret dunia usaha.

(Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002299268
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Konvensi (Setelah) Penghapusan UN (Doni Koesoema A)

Oleh: Doni Koesoema A

Setelah hampir satu dekade ujian nasional dilaksanakan, tidak ada bukti meyakinkan bahwa kualitas pendidikan nasional meningkat.
Ujian nasional (UN) telah menggerogoti otentisitas proses belajar, melucuti kinerja dan menghancurkan moral guru, membuat pendidikan nasional sistematis hancur pelan-pelan karena kultur nonedukatif telah menginvasi dan menghancur- kan sendi pendidikan kita.

Akibatnya, dalam setiap tes di tingkat internasional, siswa kita selalu berada di urutan terbawah. Tak satu alasan pun memperta- hankan UN!

Ibarat tsunami
Konvensi UN yang akan dilaksanakan pemerintah, jika diibaratkan, seperti tsunami di depan rumah, tetapi Kemdikbud tak melihatnya! Akibatnya, han- cur tak terelakkan karena kepongahan dan ketidaktahuan ini. Tepat kata Benjamin Franklin, "The only thing more expensive than education is ignorance".

Ketidaktahuan dan ketidaksadaran bahwa UN telah gagal total dari berbagai segi telah meninggikan ongkos sosial, moral, dan psikologis yang harus ditanggung banyak pemangku kepentingan pendidikan, seperti siswa, guru, dan orangtua. Ketika dampak UN sistematis merusak dan menghancurkan sendi-sendi pendidikan kita, Konvensi UN yang diadakan pemerintah hanya menjadi semacam pengingat bahwa pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini adalah orang-orang yang tidak memikirkan kualitas pendidikan bangsa ini di masa depan ketika mereka tetap keras kepala dan bersikukuh mengadakan UN.

Era standardisasi pendidikan sejatinya telah memasuki masa senja. Di banyak negara, seperti Amerika Serikat, standardisasi pendidikan justru telah melahirkan berbagai macam dampak merusak. Sebutlah skandal pencontekan yang dilakukan para pendidik di sejumlah tempat, seperti Georgia dan Philadelphia.

Kasus di Georgia dan Philadelphia, di mana terjadi kasus contek terstruktur dan sistematis, sudah terjadi di Indonesia sejak awal pengadaan UN. Sambil tersenyum kita bisa membayangkan bahwa guru-guru di AS justru belajar berbagai macam metode mencontek dari kasus Indonesia. Kita kiblat dan jagonya nyontek, apalagi yang sistematis!

Dari segi teori pembelajaran, ujian standar memiliki prinsip yang bertolak belakang dengan otentisitas pengalaman belajar yang melahirkan kreasi dan inovasi yang dibutuhkan bangsa ini di masa depan. Finlandia, negara yang terkenal berkualitas tinggi di bidang pendidikan, telah lama meninggalkan kebijakan yang memaksa siswa melakukan ujian standar. Mereka hanya menjalankan satu ujian standar yang dilakukan ketika siswa akan masuk universitas atau politeknik.

Mungkin dalam Konvensi UN ada argumentasi seperti ini, "Nah, di Finlandia, negara yang maju pendidikannya saja ada ujian yang sifatnya high stakes? Mengapa Indonesia tidak?"

Membandingkan sistem ujian standar negara lain dengan yang dilakukan di Indonesia, apalagi hanya menunjukkan bahwa di negara lain juga ada ujian standar, merupakan argumentasi politis, berbau kekuasaan, arogan, dan keras kepala, serta tak meli- hat inti persoalan evaluasi pendidikan di Indonesia. Membandingkan untuk legitimasi inilah yang akan dilakukan Kemdikbud dalam Konvensi UN.

Di mana salahnya?
Pertama, perbandingan bersifat tak adil jika hanya mengambil sebagian kebijakan. Membandingkan sebuah kebijakan pendidikan tak akan berguna dan juga tak akan efektif karena konteks dan latar tiap negara berbe- da. Kalau mau membandingkan Indonesia dengan Finlandia, supaya adil, kita juga harus membandingkan budaya pendidikan, sistem pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, sistem perekrutan guru, penggajian, dan pengembangan profesional dan karier guru, serta sarana-prasarana di sekolah Finlandia.

Kedua, tampaknya, Konvensi UN hanya akan jadi alat menun- jukkan bahwa di negara lain juga ada ujian standar. Karena itu, di Indonesia harus ada! Argumen ini sangat lemah dan menunjuk- kan unsur kekuasaan dan arogansi karena UN bukanlah persoalan ada atau tidak, melainkan "ada"-nya itu untuk apa? Dan "ada"-nya itu sekarang ini telah terbukti tak meningkatkan kualitas pendidikan, malah menghancurkan seluruh sendi pendidikan kita.

Banyak kajian ilmiah dan data di lapangan menunjukkan bahwa UN yang bersifat menghakimi siswa ini melahirkan banyak dampak merusak. Perbaikan UN selama ini tidak fundamental dan hanya tambal sulam serta tidak menyangkut persoalan pokok.

Kritik bahwa UN hanya terpu- sat dan ditentukan pemerintah sudah dijawab dengan pembagian 60 persen dan 40 persen porsi kewenangan negara dan sekolah. Hitung-hitungan ini tidak menjawab persoalan utama, apakah kalkulasi ini berdampak bagi peningkatan kualitas pendidikan? Di banyak sekolah, porsi 40 persen justru dipakai sebagai sarana menggelembungkan nilai agar siswa sekolah bisa lulus UN. Kultur manipulatif diwadahi melalui kebijakan kalkulasi porsi penilaian ini.

Persoalan utama pendidikan kita adalah tidak adanya fokus pada makna pembelajaran otentik. Inilah yang membuat kualitas pendidikan kita merosot. Pendidikan otentik tidak muncul selama kebijakan UN diterapkan, apa pun bentuk, jenis, dan variasi yang dilakukan. Karena itu, UN harus dihapuskan dulu. Ketika ujian yang sifatnya nasional dihapuskan, orangtua, sekolah, dan guru akan bertanya, lalu ujian apa yang dipakai untuk menilai kriteria kemajuan siswa dan sekolah?

Banyak kajian, evaluasi, dan best practices terkait alternatif kebijakan ini. Kemdikbud bisa mengundang para akademisi, praktisi, dan pemerhati pendidikan membahas tema ini melalui Konvensi Setelah Penghapusan UN.

(Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002317390
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Evaluasi Program MIFEE (Maria SW Sumardjono)

Oleh: Maria SW Sumardjono

Setelah diresmikan tanggal 11 Agustus 2010, program Merauke Integrated Food and Energy Estate tidak banyak terdengar gaungnya.
Cukup mengejutkan, ketika sejumlah LSM nasional ataupun internasional menyurati PBB agar menghentikan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) karena dianggap mengancam kelangsungan hidup suku Malind (Kompas, 26/7). Program yang diproyeksikan meliputi 1,2 juta hektar lahan untuk memproduksi bahan pangan dan bioenergi itu pasti berdampak luas dan jangka waktu panjang. Pertanyaannya, apakah program tersebut dapat menjamin keadilan dalam alokasi sumber daya alam sesuai dengan semangat konstitusi? Salah satu tujuan MIFEE adalah memperkuat cadangan pangan dan bioenergi nasional untuk memantapkan dan melestarikan ketahanan pangan nasional serta memasuki pasar bahan pangan dunia melalui ekspor produk pangan.

Untuk mempercepat pelaksanaan program MIFEE diterbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, khususnya untuk mempersiapkan program MIFEE dan Inpres No 1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, yang antara lain mengamanatkan penyusunan Grand Design Food and Energy Estate di Merauke. Dari sekitar 46 perusahaan yang berminat berinvestasi, sampai saat ini sekitar 11 perusahaan mulai beraktivitas. Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari program ini? Perusahaan jelas berpeluang diuntungkan dalam jangka panjang; sebaliknya masyarakat hukum adat (MHA), terutama suku Malind sebagai pemilik tanah ulayat, mulai merasakan dampak negatifnya.

Secara fisik, pada wilayah MHA yang sudah dibuka, hutan adat untuk bahan obat, kayu bakar, kayu perahu dan bangunan, rawa sagu, serta binatang-binatang buruan sebagai sumber kehidupan masyarakat semua ikut (di)lenyap(kan). Hilangnya tempat-tempat keramat sesuai kepercayaan masyarakat dan tanaman-tanaman yang berharga untuk ritual adat jelas merupakan ancaman terhadap kepercayaan, identitas budaya, dan simbol leluhur MHA. Permasalahannya, apakah kebijakan izin lokasi yang tak membolehkan perusahaan menghilangkan tempat keramat dan sumber kehidupan MHA bisa diterjemahkan di lapangan?

Dampak sosial-ekonomi benturan antara ekonomi berbasis pasar dan ekonomi subsisten tampak dalam beberapa hal. Pertama, hilangnya sumber kehidupan MHA, di samping tingkat pendidikan yang rendah dan tiadanya keterampilan mengakibatkan MHA tersingkir dari sektor pertanian berbasis pasar. Kedua, terbatasnya tenaga kerja dari MHA mengharuskan perusahaan mendatangkan tenaga kerja dari luar Papua, yang membuat MHA kian tersingkir dari akses terhadap sumber ekonomi. Ketiga, peluang ekonomi yang besar untuk memperoleh jabatan dalam perusahaan ataupun pemerintahan lebih mudah diraih orang luar Papua yang memiliki akses ekonomi dan akses politik.

Dampak lingkungan beroperasinya perusahaan dapat dilihat dari pencemaran air yang mengakibatkan lenyapnya binatang-binatang air sebagai sumber kehidupan, juga menimbulkan beragam penyakit kulit, gangguan pencernaan, dan gangguan kesehatan lain. Mencari air bersih mengharuskan jarak tempuh yang sangat jauh, yang berpotensi mengancam keamanan dan kenyamanan hidup MHA.

Keberpihakan
Desain program MIFEE cenderung memihak investor yang butuh kepastian hukum dan kepastian berusaha. Perhatian yang seimbang belum diberikan kepada MHA sebagai pemilik tanah yang diperlukan investor. Ada sekitar 18 peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum program MIFEE, tetapi tak satu pun dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi MHA. Setidaknya perlu dua peraturan untuk melindungi MHA ketika berhadapan dengan kepentingan investor agar jaminan keadilan dapat diberikan bagi kedua belah pihak. Pertama, terkait dengan kesepakatan. Selama ini, MHA mengeluh karena dalam negosiasi tak pernah disampaikan informasi komprehensif dan obyektif oleh perusahaan terkait kegiatan dan dampak positif maupun negatifnya.

Rencana investasi sama sekali tak melibatkan MHA; negosiasi juga tak melibatkan MHA secara keseluruhan. Aturan main yang harus ditempuh perusahaan terkait sejumlah perizinan juga tak disampaikan ke masyarakat. Tidak jarang kesepakatan dihasilkan melalui tekanan, tipu daya, atau bujuk rayu. Penandatanganan "perjanjian" dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (satu hari), disertai upacara adat; isi perjanjian tidak dipahami MHA, dan salinannya tidak selalu diserahkan kepada MHA.

Kedua, jika dua pihak dengan posisi tawar jauh berbeda berhadapan, hak dan kewajiban setiap pihak akan cenderung tak seimbang. Hal ini, antara lain, tampak dalam penentuan ganti kerugian/imbalan yang diterima MHA. Contoh: untuk tanah MHA 40.000 hektar yang diserahkan kepada perusahaan selama 25 tahun, diberikan "tali asih" Rp 6 miliar. Jika dihitung, tanah MHA dihargai Rp 6.000 per hektar per tahun! Contoh lain, untuk per meter kubik kayu, dihargai Rp 12.500 oleh perusahaan. Padahal, jika masyarakat menjual kayu yang sudah dibersihkan kepada pembeli kayu yang datang ke kampung mereka, masyarakat mendapat Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per meter kubik kayu.

Dampak negatif ini mengindikasikan kekurangsiapan pemerintah menyusun peraturan komprehensif terkait: (1) tata cara melakukan negosiasi dengan MHA melalui free, prior and informed consent (FPIC) sesuai dengan aturan main dalam sejumlah konvensi internasional serta (2) pedoman penetapan ganti kerugian/imbalan untuk tanah ulayat yang dimanfaatkan perusahaan. Ganti kerugian yang hanya didasarkan nilai ekonomis tanah tak dapat diterapkan dalam kasus tanah ulayat.

MHA memberikan nilai sosial-budaya dan magis-religius secara khusus, selain nilai ekonomis tanahnya. Jika dikehendaki, pedoman FPIC dapat dikembangkan berdasarkan konvensi internasional dan pedoman-pedoman yang sudah ada. Dengan FPIC, MHA dapat memberikan persetujuan, mengusulkan perubahan, atau menolak, berdasarkan informasi yang disampaikan dalam tahap awal, yang menjelaskan secara komprehensif kegiatan yang akan dilakukan di atas tanahnya, meliputi dampak positif ataupun negatif yang mungkin timbul. Penentuan besarnya ganti kerugian tanah ulayat juga dapat merujuk pada pengalaman-pengalaman negara-negara lain.

Meski peraturan terkait FPIC dan penetapan ganti rugi telah disiapkan, pemanfaatan tanah ulayat harus dilandasi pemahaman yang benar terkait subyek hak ulayat sesuai struktur kemasyarakatan MHA bersangkutan dan kepastian hukum terkait wilayah adatnya untuk meminimalkan persoalan yang mungkin timbul.

Perlu ketegasan
Pelaksanaan MIFEE perlu dievaluasi. Hingga kini, dari enam tujuan MIFEE, belum satu pun menunjukkan arah ke sana, bahkan cenderung berlawanan arah, antara lain terkait kesejahteraan masyarakat Merauke, percepatan pemerataan pembangunan, dan penciptaan lapangan kerja. Sebelum peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait hak MHA dibentuk, seyogianya program MIFEE dihentikan sementara waktu. Terhadap perusahaan yang telah beroperasi perlu evaluasi terkait semua perizinan yang telah terbit disertai sanksi tegas terhadap pelanggarannya. Koordinasi, supervisi, dan evaluasi program MIFEE merupakan keniscayaan jika pemanfaatan SDA dimaksudkan untuk tercapainya kesejahteraan, khususnya bagi masyarakat Merauke.

(Maria SW Sumardjono, Guru Besar Hukum Agraria FH UGM)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002297859
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Dampak Krisis Kas Amerika Serikat (Tajuk Rencana Kompas)

Persoalan krisis kas negara Amerika Serikat tidak hanya menimbulkan kegamangan di dalam negeri, tetapi juga dapat mengundang kegalauan dunia.
Perbincangan serius mengenai krisis kas Pemerintah AS meluas cepat sejak lembaga pemeringkat internasional Moody's Investors Service mengangkat persoalan itu ke permukaan hari Rabu lalu. Secara gamblang, Moody's mengingatkan Kongres AS dan Gedung Putih tentang kas negara AS yang sedang kritis. Dampaknya dikatakan tidak hanya melumpuhkan aktivitas pemerintahan, tetapi juga dapat menciptakan gejolak pasar uang dunia.

Krisis kas Pemerintah AS dipastikan akan membawa gejolak keuangan ke seluruh dunia di tengah sistem perekonomian global yang makin terintegrasi. Ibarat bejana berhubungan, tekanan keuangan di satu negara akan membawa riak ke beberapa negara. Lebih-lebih karena posisi AS sebagai kekuatan ekonomi nomor satu dunia.

Kegamangan muncul di mana-mana di dunia karena belum ada jalan keluar yang jelas untuk mengatasi krisis keuangan Pemerintah AS, yang diperkirakan menipis pertengahan Oktober mendatang. Sampai sekarang, masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan Kongres dan Gedung Putih untuk mengatasi krisis.

Pemerintah AS melalui Menteri Keuangan Jack Lew sudah mengirim surat kepada Kongres soal rencana utang baru untuk melanjutkan aktivitas pemerintahan dan membayar beragam kewajibannya. Dalam argumentasinya, Lew menyatakan, pagu utang saat ini, sebesar 16,7 triliun dollar AS sudah tak memadai lagi. Jika utang baru tidak ditambahkan, kas negara hanya akan tinggal 50 miliar dollar AS pertengahan Oktober mendatang. Dana sebesar itu hanya cukup membiayai pemerintahan tiga hari.

Padahal, yang dibutuhkan tambahan pengeluaran 700 miliar dollar AS sampai akhir tahun 2013 ini, termasuk untuk biaya program kesehatan warga kelas bawah. Usul penambahan utang disampaikan pemerintahan Presiden Barack Obama setelah Kongres yang didominasi Republikan menolak rencana peningkatan pendapatan pajak. Upaya penambahan pendapatan dari sektor pajak memang sulit sejak kepemimpinan Ronald Reagan (Republikan) tahun 1980-an yang memang cenderung mengurangi pajak, tetapi menambah pagu utang.

Dengan cara pandang sama, Ketua DPR AS John Boehner (Republikan) hari Selasa lalu menyetujui penambahan pagu utang. Namun, persetujuan itu tidak mengatasi jalan buntu karena Boehner mengajukan syarat untuk menekan pengeluaran, terutama soal program kesehatan. Obama tidak bersedia memenuhi syarat itu karena itulah janjinya saat kampanye pemilihan presiden. Prospek penyelesaian krisis kas negara AS belum begitu jelas, yang membuat sejumlah kalangan menanti dalam kecemasan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002341975
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Konvensi Ujian Nasional (Tajuk Rencana KompasY

Setelah sepuluh tahun ujian nasional diselenggarakan dalam bayang-bayang kontroversi, kita dukung konvensi ujian nasional pada 26-27 September ini.
Konvensi kita harapkan menemukan sistem dan cara mengevaluasi proses belajar sesuai dengan filosofi dan prinsip kependidikan serta perundangan. Kedua "prakonvensi" sebelumnya saling mengambil posisi berseberangan. Jalan terus atau hentikan. Yang pro dan yang kontra-ujian nasional (UN) perlu duduk bersama mengevaluasi UN. Perlu kesamaan persepsi dalam sistem dan cara mengevaluasi hasil belajar. Acuannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 61 Ayat 2, "evaluasi belajar diselenggarakan oleh satuan pendidikan" yang terakreditasi. Perlu ditemukan kesepakatan agar praksis pendidikan tidak terus dibayangi pro dan kontra yang hanya berdampak membuat "lang-ling-ling" guru, orangtua, dan peserta didik.

Menurut Pasal 61 Ayat 2, yang berhak mengevaluasi dan menentukan kelulusan adalah sekolah (satuan pendidikan) yang terakreditasi seperti halnya di tingkat pendidikan tinggi. Penerapan pasal secara kaku menjadi masalah mengingat kondisi riil masyarakat, terutama menyangkut kesiapan infrastruktur serta kondisi kemajemukan dan budaya masyarakat Indonesia.

Banyak pihak, termasuk ahli ilmu kependidikan negeri ini, kurang sepakat terhadap penyelenggaraan UN. Filosofi, dasar, prinsip dan penyelenggaraannya tidak bisa dipertanggungjawabkan apalagi berbentuk ujian tes obyektif dengan pilihan ganda. Belum lagi faktor biaya, apalagi kecurangan—kebiasaan buruk yang sekarang dianut masyarakat, turunan korupsi yang dilakukan elite politik dan pejabat publik negeri ini. Pendek kata, no terhadap UN.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kita nilai cukup mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat. Memang yang berhak mengevaluasi hasil belajar adalah sekolah, bahkan guru, tetapi ketika kondisi sosial budaya masyarakat belum memungkinkan, menjadi kewajiban pemerintah mencari terobosan dengan UN.

Ketika selembar ijazah diperjualbelikan, pun di tingkat pendidikan tinggi dengan sistem terakreditasi, yang ideal pedagogis diterjemahkan dengan mempertimbangkan kenyataan di lapangan. Yang berhak mengevaluasi hasil belajar memang sekolah yang terakreditasi, tetapi ketika proses memperoleh statusnya, bahkan cara memberikan ijazah pun tidak bisa dipertanggungjawabkan, sekolah ibarat menaruhkan pepesan kosong.

Penyelenggaraan UN perlu terus diperbaiki. Prinsip proses belajar dievaluasi, prinsip perlu standardisasi minimum kurikulum setiap mata pelajaran diperbaiki, termasuk potensi kecurangan, perubahan pembobotan UN dan rapor, serta model tes obyektif pilihan ganda. Masalah pendidikan, masalah semua. Hak semua orang menyampaikan aspirasi. Namun, ketika setiap kebijakan selalu diwacanakan sahih-tidaknya, katakanlah UN dan sebelumnya perubahan kurikulum, kita menaruhkan balok panas di kepala peserta didik. "Lang-ling-ling" terus!

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002335086
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 26 September 2013

Pembenahan Institusional (Bambang Kesowo)

Oleh: Bambang Kesowo

Berkembang pandangan bahwa problem multidimensi yang tidak ringan saat ini memerlukan penyelesaian yang sifat dan arahnya mendasar. Hal tersebut tidak hanya karena penyelesaian ini diperlukan sekarang, tetapi juga karena itu penting bagi arah dan kualitas kehidupan bangsa dan negara di masa depan. Rencana perbaikan dan langkah apa pun yang diambil hanya akan terwujud apabila terlebih dulu dilakukan pembenahan institusional.
Ketika publik mulai tahu betapa besar dan meluasnya pengaruh buruk politik uang dalam proses dan pengambilan keputusan politik—baik dalam bidang kehidupan politik, hukum, sosial-budaya, ekonomi, maupun keamanan—pertanyaan besarnya adalah, pertama, mungkinkah membenahi keadaan tersebut dan menghentikannya? Kedua, seberapa pentingkah pembenahan itu? Ketiga, di tataran apa pembenahan sebaiknya dilakukan?

Banyak "deal" di DPR
Dari DPR, kian luas terkuak tentang banyaknya deal yang berlangsung dengan melibatkan uang. Kegiatan pembahasan RUU lazim diwarnai kiprah pihak-pihak yang berkepentingan dalam memperjuangkan lolosnya ketentuan tertentu dalam RUU. Begitu pula dalam penentuan alokasi anggaran, dalam perolehan jabatan publik yang strategis, atau bahkan dalam urusan kapitalisasi dan manajemen BUMN. Tidak sedikit yang kemudian berujung menjadi kasus korupsi walau ada pula yang sekadar mendatangkan keruwetan sebagaimana umumnya skandal politik.

Di tingkat daerah, potret serupa ditengarai terutama dalam perekrutan pemimpin daerah. Besarnya peran uang yang diperlukan untuk membiayai proses tersebut, ketika terpilih, lazimnya berujung pada imbalan berupa pemberian konsesi usaha (terutama pemanfaatan kekayaan alam) ataupun beragam pungutan dalam pemberian izin, yang tidak jarang ditimpali dengan praktik suap.

Kondisi sama juga mulai hadir dalam kehidupan birokrasi. Penempatan personel dalam jabatan, atau kesempatan memperoleh jenjang pendidikan akademik ataupun profesi/teknis, di luar faktor- faktor primordialisme, juga mulai melibatkan peran uang (di samping pelibatan pengaruh politik). Banyak anggapan bahwa semua itu telah melahirkan budaya politik yang koruptif. Uang bagai menjadi penjuru dalam setiap proses politik dan kemudian dalam administrasi pemerintahan.

Meluasnya pemahaman tentang otonomi yang kian berlangsung bagai tanpa pakem—dan mendorong munculnya semacam ego kedaerahan yang sempit—telah mengobarkan gesekan yang semestinya tidak perlu dalam hubungan pusat dan daerah, ataupun antar-pemerintah daerah. Terjadi semacam tarik-menarik kewenangan perizinan usaha, kewenangan penentuan alokasi ruang wilayah, dan kewenangan lain, terutama di bidang pembangunan.

Ujung dari semuanya adalah persoalan lingkungan yang rusak, kekayaan hayati yang tergerus, dan kian minimnya akses rakyat terhadap banyak sumber daya, terutama tanah. Simpul dari semua itu adalah pemanfaatan sumber daya/kekayaan alam dan, pada saat yang sama, isu pembagian pendapatan dalam kerangka perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Tumbuh semacam anggapan politik bahwa semua hanya mungkin diperoleh apabila untuk itu dimiliki political standing dan, untuk itu pula, penggunaan uang untuk meraihnya dianggap justified. Anggapan tadi subur karena ditopang oleh iming-iming manisnya otonomi yang dioperasikan bagai "kedaulatan dalam skala kecil". Konsepsi otonomi yang kurang pas atau pemahamannya-kah yang salah?

Imbas buruk dari politik uang juga dituding ketika di tengah harapan yang tinggi dalam gerak pembangunan, target dan nilai investasi yang sangat ditunggu ternyata tidak terwujud. Banyak yang menyebut buruknya infrastruktur, ketiadaan stabilitas kebijakan dan kepastian hukum, tidak terkendalinya ekses kebijakan di tingkat pemerintah daerah, kebijakan perburuhan yang tidak kondusif, serta maraknya beragam praktik pungutan dan suap, baik di kalangan politisi maupun birokrasi, adalah buah dari situasi yang merupakan produk politik uang tersebut.

Namun, selain imbas politik uang, permasalahan juga berpangkal dari konsep dan strategi pembangunan itu sendiri. Di samping problem kesenjangan yang juga telah diakui resmi presiden (kemiskinan, pengangguran, kesempatan pendidikan, dan layanan kesehatan), ekses dalam bentuk apatisme dan ketidakacuhan juga melanda kejiwaan rakyat. Kemerosotan disiplin sosial (fondasi yang sangat penting bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara) juga sangat memerlukan perhatian.

Sikap agresif dan destruktif sering ditampilkan sebagai ungkapan rasa tidak puas mereka. Kerusakan semakin terasa ketika masyarakat menganggap pelanggaran hukum bukan lagi sesuatu yang tercela; kian menipisnya toleransi, terutama terhadap perbedaan, merebaknya anggapan uang dapat menyelesaikan segala hal, serta sikap meminta dan menuntut sebagai jalan pintas kian jadi kebiasaan.

Membawa-bawa presiden
Semua gambaran itu diacu sebagai cermin goyahnya sistem nilai dan merebaknya dekadensi moral di tataran kehidupan masyarakat. Semuanya bukan lagi hipotetis, melainkan memang terjadi dalam kehidupan nyata. Ada yang berpendapat, mengingat sifatnya yang luas dan merata, diperlukan tindakan koreksi yang mendasar dan drastis. Ditambahkan, yang diperlukan bukan lagi sekadar kemauan politik, melainkan juga keberanian melakukan tindakan politik.

Masalahnya, apabila langkah tersebut menyangkut perubahan, adakah keberanian membangun konsensus politik yang diperlukan menggeser prioritas dan alokasi dalam politik anggaran? Bukankah
itu domain DPR? Pertanyaan lanjutan: dalam situasi dan sistem politik yang ada dewasa ini, mungkinkah koreksi itu dilakukan? Bukankah presiden saja nyatanya tidak bisa (atau tidak berani) melakukannya?

Mengapa presiden dibawa-bawa dalam soal ini? Problem yang terjadi, sekalipun bermula dari tatanan di hulu, sebaran berikut imbasnya sudah merata menghinggapi kondisi, pola, dan gaya hidup rakyat pada umumnya. Ketika semua persoalan dan segala kebutuhan perbaikannya sudah berlangsung dalam tataran negara, tidak keliru jika akhirnya sampai pada satu titik : fungsi dan tanggung jawab kepala negara.

Ketika semua berpangkal dari sistem politik dan jalan keluar juga tidak terlepas dari mekanisme politik, wajar saja apabila semuanya menoleh kepada posisi kepala negara sebagai "pengampu" negara. Namun, dalam negara yang committed terhadap prinsip demokrasi, presiden sebagai kepala negara juga harus mengikuti apa pun aturan main dan mekanisme politik yang berlaku. Apabila kebuntuan bermula dari tatanan berikut mekanismenya, pembenahannya juga harus ditujukan terhadap tatanan dan mekanisme itu.

Kalangan politik, media, akademik, peneliti, dunia usaha, ataupun kalangan pegiat (aktivis—bahkan wakil presiden—sependapat bahwa situasi yang morat-marit memang bermula dari sistem dan praktik politik tidak kondusif pula. Pada akhirnya, memang itulah pangkalnya. Oleh karena itu, upaya perbaikan juga tidak mungkin dilakukan dan diwujudkan tanpa pembenahan kelembagaan politik tersebut terlebih dahulu, kewenangannya masing-masing, dan tata hubungan kerja di antara mereka.

Pembenahan institusi
Dalam konteks permasalahan inilah, pembenahan institusional tadi dipandang perlu dilakukan. Yang dimaksud pembenahan institusional adalah pembenahan aspek kelembagaan politik negara, fungsi, kewenangan, dan tata hubungan mereka. Kelembagaan politik tersebut, terutama menyangkut badan-badan perwakilan khususnya DPR (termasuk pengaturan fungsi dan kewenangannya) serta sistem kepartaian, pemilihan umum, pemerintahan daerah (termasuk keuangan daerah), serta tata hubungan antarlembaga negara, khususnya DPR dan presiden.

Memangnya ada kontribusi faktor presiden dalam keruwetan tersebut? Kendali negara serta arah dan strategi pembangunan jelas dari presiden. Maraknya kesenjangan dalam kehidupan rakyat adalah buah strategi pembangunan yang bagaimanapun jelas bermasalah. Itu sebabnya, dalam seminar nasional di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Juli lalu, direkomendasikan reorientasi pikir dan paradigma baru untuk membangun Indonesia yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun, di sisi lain, perbaikan dan perubahan arah/strategi ataupun paradigma itu tidak mungkin dilakukan presiden sendiri. Pertama, kuantifikasi strategi dalam program-program tahunan terjabar dalam politik anggaran dan RAPBN yang menjadi domain kewenangan DPR. Bukan soal fungsi budgeter yang harus diubah atau dikurangi, melainkan menggeser titik berat dan prioritas dalam politik anggaran adalah kewenangan DPR.

Kedua, merajalelanya politik uang juga berada di kisaran mekanisme kerja tadi. Oleh karena itu, pembenahan ulang aturan tentang fungsi dan kewenangan DPR, kepartaian, dan sistem pemilu menempati urutan pertama. Berikutnya, pembenahan ulang aturan pilkada dan pemda.

Mungkinkah hal itu terlaksana? Semi- nar nasional di Lemhannas justru memberi rekomendasi. Pertama, pembenahan cukup dilakukan di tataran instrumental dan tidak perlu menjamah tataran konstitusi. Dengan kata lain, pembenahan cukup dilakukan dengan/melalui perubahan UU yang mengatur kelembagaan tadi dan tak perlu dikaitkan dengan segi-segi fundamental melalui amandemen konstitusi. Kedua, dengan memperhatikan dinamika politik, pembenahan dilakukan setelah 2014. Itu berarti, disarankan menjadi agenda pemerintahan baru hasil Pemilihan Presiden 2014.

(Bambang Kesowo, Dewan Penasihat Ikatan Alumni Lembaga Ketahanan Nasional)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002279971
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger