Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 31 Oktober 2013

Kontradiksi Penguatan Bahasa (SAIFUR ROHMAN)

Oleh: SAIFUR ROHMAN

Kongres Bahasa Indonesia 2013 di Jakarta, 28-31 Oktober, mengusung tema "Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional". Tema itu beranjak dari bayangan tentang kemampuan bahasa Indonesia sebagai bagian dari bahasa komunikasi internasional.

Fakta-fakta yang dirujuk adalah kebijakan Komunitas ASEAN, jati diri bangsa, persaingan dengan bahasa asing, dan praktik sosial warga bangsa yang menjadi warga dunia.

Dalam konteks pembangunan, bahasa Indonesia dijadikan sebagai medium oleh para pengguna bahasa untuk kemajuan bangsa. Bagaimana gagasan tersebut dituangkan dalam kebijakan-kebijakan konkret pada penyelenggara negara? Dari mana memulainya? Bila pertanyaan tersebut belum memperoleh jawaban yang tepat, pertanyaan selanjutnya: "Tema itu fakta atau fiksi?"

Pengakuan formal

Secara legal perlindungan terhadap bahasa Indonesia melalui UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara tidak memadai karena hanya menjadi obyek pengakuan formal. Demikian pula, RUU Kebudayaan yang dirancang sebagai sebuah strategi pelestarian identitas bangsa itu ternyata tidak mencantumkan langkah-langkah visioner dalam pengembangan bahasa Indonesia. Buktinya, dalam naskah akademik yang diikutsertakan dalam RUU Kebudayaan, bahasa justru tidak mendapat tempat yang bermakna ketika diterjemahkan dalam aspek- aspek kebudayaan.

Fakta tersebut menunjukkan betapa kebijakan-kebijakan pemerintah sebetulnya tidak memiliki orientasi yang jelas, terutama upaya "penguatan bahasa Indonesia dalam komunitas internasional".

Ketidakjelasan itu sebetulnya mengingkari jati diri bangsa yang memiliki warisan kebahasaan yang sangat penting di dunia. Fakta-fakta kebahasaan yang ditemukan Anthony Reid menjadi pijakan untuk mengembangkan studi Asia Tenggara. Disertasinya yang meneliti naskah-naskah Melayu tentang Aceh menjadi bukti untuk menemukan sejarah Asia Tenggara sebagai sebuah budaya yang enclave. Kita akhirnya tahu dari Reid bahwa studi Asia Tenggara tidak bisa dimulai tanpa pemahaman yang baik tentang bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Temuan Reid itu relevan dengan teori Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah tentang relasi positif antara bangsa dan bahasa.

Secara historis, lebih dari dua dekade yang lalu, YB Mangunwijaya sebetulnya telah memiliki gambaran yang jelas tentang eksistensi bahasa dan bangsa Indonesia pada masa depan. Dalam novel Burung-burung Rantau (1992), YB Mangunwijaya berhasil memajang potret sosial warga Indonesia yang telah menjadi warga dunia. Dia menyebut identitas orang-orang Indonesia sebagai manusia "pasca-Indonesia". Dengan identitas pasca-Indonesia, manusia Indonesia menunjukkan prestasi kulturalnya melalui bahasa yang dimiliki. Bahasa menjadi identitas yang memiliki daya saing dengan bangsa lain. Itu berarti warga Indonesia harus berhadapan dengan bangsa lain dari aspek sumber daya manusia, indeks pembangunan manusia, tingkat melek huruf, daya saing, kesejahteraan, dan pelbagai kemajuan di sejumlah aspek kebudayaan.

Dalam banyak hal, lebih dari 85 tahun pasca- Sumpah Pemuda 1928, daya saing Indonesia bukanlah prestasi yang membanggakan. Itu berarti sebuah penguatan bahasa Indonesia hanya bisa dilakukan jika para penutur memiliki prestasi yang bisa diungkapkan melalui bahasa tersebut. Pendeknya, prestasi bangsa memiliki relasi positif dengan penguatan bangsa. Sebaliknya, bangsa yang mundur dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan bahasanya.

Malu aku
Tidak aneh jika Taufiq Ismail menyatakan "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia". Ismail menyaksikan penguasa yang bertindak sewenang-wenang, tidak adil, menculik, dan pidana korupsi. Karena itu, penyair itu membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah melesat jauh sehingga dia "tidak berani berjalan tegak". Setelah puisi-puisinya dalam Tirani dan Benteng yang membakar para pemuda pada 1966 kini puisi Taufiq Ismail telah menjadi potret suram generasi masa kini.

Taufiq Ismail boleh saja malu, tetapi para penyelenggara negeri ini tidak pernah merasa malu sebab martabat bangsa hanya menjadi permainan kata. Dalam sajak "Telur" karya Zawawi Imron dikatakan, dubur ayam yang mengeluarkan telur lebih mulia ketimbang mulut yang menjanjikan telur. Ungkapan puitis itu telah menjadi potret atas rendahnya martabat para penyelenggara negara.

Bila direfleksikan pada kenyataan sekarang ini, banyak kaum elite yang mengungkapkan "kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran", tetapi tidak pernah ada buktinya. Bahasa Indonesia hanya menjadi bahasa slogan dalam praktik-praktik meraih kekuasaan sebagaimana terlihat dalam iklan di media massa.

Ungkapan kaum elite menjadi bagian dari ekspresi untuk menyembunyikan fakta. Sebagai contoh, ungkapan "Adalah 2000 persen fitnah jika saya dekat dengan Bunda Putri" itu seakan- akan dapat diartikan bahwa penutur tidak kenal, apalagi dekat dengan orang tersebut. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak bisa dikatakan benar sampai memperoleh pembuktian yang memadai. Kenyataannya, istilah "fitnah" hanya berhenti sebagai respons temporer dan tidak berlanjut dalam mekanisme formal sebagai upaya pencarian kebenaran.

Atas nama kekuasaan, para penutur menyembunyikan diri dari permainan bahasa, slogan-slogan, dan diksi-diksi yang ambigu. Jadi, pendeknya, penguatan bahasa Indonesia haruslah dimulai dari upaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai media ungkap untuk sebuah kejujuran, jiwa keberanian, dan bukan sebaliknya.

SAIFUR ROHMAN

Pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta

Sumber; http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002883601
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Harapan bagi BPJS Kesehatan (Sulastomo)

Oleh: Sulastomo

Presiden SBY, Senin (21/10/2013), meluncurkan "Gerakan Sadar Memiliki Jaminan Kesehatan".

Sejumlah 140 direktur utama BUMN telah berkomitmen mengikutsertakan karyawannya ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dengan demikian, ketika BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, pesertanya sudah akan mencapai lebih dari 100 juta. Menurut peta jalan BPJS Kesehatan, pada 2019 seluruh penduduk Indonesia telah tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dengan gambaran seperti itu, momentum untuk mengimplementasikan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN ) akan terbuka lebar. Dimulai dengan penyelenggaraan program JKN pada 1 Januari 2014, secara bertahap seluruh penduduk Indonesia akan memperoleh jaminan sosial lainnya: jaminan kecelakaan kerja (JKK ), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), dan jaminan kematian (JKM). Upaya mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial, dengan demikian akan semakin didekati.

Meskipun demikian, masih banyak pertanyaan: bagaimana semua itu dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya? Bagaimana cara memperoleh pelayanan kesehatan? Jenis pelayanan kesehatan apa saja yang akan diperoleh? Bagaimana pembiayaannya? Dapatkah berkelanjutan? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang masih harus dijelaskan kepada masyarakat.

Konsep pengelolaan
Terselenggaranya jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat, dibanyak negara—termasuk di negara-negara tetangga kita—sudah terlebih dahulu diselenggarakan. Indonesia memang agak terlambat. Namun, keterlambatan itu mungkin ada hikmahnya. Kita bisa belajar dari kekeliruan negara lain sehingga kelangsungan jaminan kesehatan yang akan kita selenggarakan lebih terjamin kelangsungan hidupnya: tidak tersendat-sendat, apalagi menimbulkan beban ekonomi yang berat dan akhirnya bangkrut.

Pelajaran itu, antara lain, introduksi konsep yang disebut managed healthcare dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan. Konsep ini memungkinkan kualitas pelayanan dan pembiayaan kesehatan dapat terselenggara seefisien mungkin, tidak boros, mencegah pemakaian yang berlebihan (over utilization) atau pemberian pelayanan kesehatan yang tidak perlu (unnecessary utilization), bahkan kemungkinan penyalahgunaan (abuse of care).

Untuk itu, perlu pemahaman, disiplin dan dukungan semua pihak terkait, baik peserta maupun pemberi pelayanan kesehatan: kalangan dokter dan rumah sakit. Begitu pentingnya introduksi managed healthcare itu, dalam UU No 20/2004 termaktub prosedur-prosedur dan prinsip-prinsip yang perlu dilaksanakan.

Intinya, antara sistem pelayanan dan pembayaran diintegrasikan. Sistem pelayanan diselenggarakan secara berjenjang sehingga sesuai keahlian dan teknologi kedokteran yang diperlukan. Kebebasan peserta untuk memperoleh pelayanan kesehatan ditertibkan melalui konsep dokter keluarga dan rujukan. Pembayaran jasa pelayanan kesehatan diselenggarakan dengan menghapus sistem fee for services yang telah kita kenal selama ini, dengan memperkenalkan pembayaran sistem kapitasi, paket, pradana, atau prospective payment system.

Demikian juga obat-obatan, yang selama ini merupakan porsi yang besar di dalam pembiayaan kesehatan, perlu dilakukan kontrol khasiat dan harganya. Diberlakukan semacam daftar standar dan plafon harga obat sehingga penggunaan obat rasional, tidak berlebih dan tidak kurang. Dengan konsep pengelolaan semacam ini pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai kebutuhan medik pasien, bukan keinginan perorangan. Dengan efisiensi seperti itu, biaya pelayanan kesehatan dapat terselenggara secara optimal, tidak boros sebagaimana dalam sistem fee for services yang ada selama ini.

Semua itu diselenggarakan di dalam mekanisme ekonomi pasar yang dewasa ini telah merebak, termasuk dalam industri kesehatan. BPJS Kesehatan nanti, dengan jumlah peserta yang demikian besar, secara ekonomi akan menguasai pasar pelayanan kesehatan sehingga posisi tawarnya meningkat. Wajar kalau BPJS memperoleh harga khusus, baik dari industri farmasi maupun pemberi pelayanan kesehatan lainnya, para dokter dan rumah sakit. BPJS, dengan demikian, akan memperoleh peluang besar untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medik, dalam jangkauan kemampuan ekonomi pesertanya.

Asuransi sosial
Pemahaman lain terkait pembiayaan kesehatan dalam BPJS adalah introduksi mekanisme asuransi sosial dalam pembiayaan pelayanan kesehatan.

Dengan mekanisme asuransi sosial, premi atau iuran JKN tidak berdasar besarnya risiko sakit seseorang, sebagaimana asuransi kesehatan komersial. Sakit atau tidak sakit, peserta memberikan iuran/premi sebesar persentase gajinya, selain kelompok penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya dibayar oleh pemerintah atau kelompok nonformal. Bagi kelompok formal, iuran dibebankan kepada pekerja dan pemberi kerja, termasuk pemerintah sebagai pemberi kerja pegawai negeri sipil (PNS), sesuai proporsional gaji yang ditetapkan dalam peraturan yang akan diberlakukan.

Dengan mekanisme asuransi sosial, sifat kegotongroyongan lebih lengkap. Tak hanya yang sehat membantu yang sakit, juga antara yang muda dan tua, yang berisiko tinggi dan rendah, dan antara yang kaya dan miskin.

Dengan besarnya cakupan kepesertaan, sesuai prinsip asuransi, manfaat akan semakin besar. Sebaliknya, iuran/premi semakin mengecil. Semua akan memperoleh manfaat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medik, termasuk pelayanan canggih dan biaya tinggi, misalnya operasi jantung, cuci darah, dan kanker. Tetapi, sesuai prinsip asuransi, besaran iuran/premi secara nominal juga harus dapat diwujudkan dalam manfaat pelayanan nonmedik. Misalnya, pelayanan rumah sakit di kelas II, kelas I sebagaimana telah berjalan terhadap pelayanan yang diberikan kepada PNS/PP oleh PT (Persero) Askes Indonesia.

Dengan gambaran di atas, apabila berjalan sebagaimana diharapkan, akan terjadi perubahan besar dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan sebagai "revolusi" di bidang penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Kualitas dan biaya kesehatan akan dapat terkontrol sehingga berbagai keluhan pelayanan kesehatan yang selama ini sering terdengar akan dapat ditekan serendah mungkin. Secara bertahap, wujud kesejahteraan yang berkeadilan sosial dapat didekati, setidaknya dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

(Sulastomo, Ahli Asuransi Kesehatan)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002829148
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jaminan Kesehatan Nasional (Surya Chandra Surapaty)

Oleh: Surya Chandra Surapaty  

Sekitar 60 hari lagi, tepatnya pada 1 Januari 2014, akan mulai berlaku Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia.

Akan terbentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS): BPJS Kesehatan yang merupakan transformasi dari PT Askes (Persero) dan BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan transformasi PT Jamsostek (Persero). BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan 1 Januari 2014 (Pasal 60 UU No 24/2011 tentang BPJS). PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS ketenagakerjaan 1 Januari 2014 [Pasal 62 (1) UU 24/2011]. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan kematian, dan program jaminan pensiun paling lambat 1 Juli 2015.

Kementerian Kesehatan sedang gencar menyosialisasikan program jaminan kesehatan bagian dari jaminan sosial ini dengan istilah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tepatkah penambahan kata "nasional" di belakang Jaminan Kesehatan? Untuk menjawabnya kita perlu mengacu UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24/2011 tentang BPJS. Pasal 18 UU No 40/2004 menyatakan: Jenis program jaminan sosial meliputi: a. Jaminan kesehatan; b. Jaminan kecelakaan kerja; c. Jaminan hari tua; d. Jaminan pensiun; dan e. Jaminan kematian. Jelas tak ada kata "nasional" pada tiap program jaminan sosial tersebut.

Pasal 19 (1) menyebutkan: "Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarakan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas". Pada penjelasan Pasal 19 (1) dituliskan: "Prinsip asuransi sosial meliputi: a. Kegotongroyongan antara orang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah; b. Kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; c. Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan; d. Bersifat nirlaba.

Prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medisnya yang tak terikat besaran iuran yang telah dibayarkannya. Prinsip asuransi sosial perlu ditekankan untuk membedakannya dengan asuransi komersial yang berprinsip: kepesertaan bersifat sukarela dan selektif, iuran atau premi berdasarkan manfaat yang akan diterima, bersifat mengejar laba, dan tak ada unsur kegotongroyongan. Dengan demikian, jika harus ada tambahan atau sisipan kata, yang lebih tepat disebutkan program "Jaminan Sosial Kesehatan" daripada "Jaminan Kesehatan Nasional".

Jaminan sosial lain
Empat jenis program jaminan sosial lain juga diselenggarakan secara nasional. Pasal 29 (1) menyatakan: Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial. Pasal 35 (1): Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan asuransi sosial atau tabungan wajib. Pasal 39 (1): Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial. Sangat kurang tepat jika disebut Jaminan Kecelakaan Kerja Nasional atau Jaminan Hari Tua Nasional dan Jaminan Pensiun Nasional atau Jaminan Kematian Nasional. Yang tepat adalah Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja, Jaminan Sosial Hari Tua, Jaminan Sosial Pensiun, dan Jaminan Sosial Kematian. Namun paling tepat, menurut saya, kelima jenis program jaminan sosial cukup disebut jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Dalam buku Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 pemerintah menerjemahkan Jaminan Kesehatan
Nasional menjadi "INA-MEDICARE (Indonesia Medicare)". Terjemahan ini membuat SJSN bidang kesehatan menyimpang dari dasar filosofis, historis, dan sosiologis pembentukannya. Ada dua pengertian medicare di dunia. Medicare di AS dipahami sebagai jaminan kesehatan buat orang-orang tua, pensiunan, cacat, dan tak mampu. Apakah pemahaman ini menjadikan JKN sama dan sebangun dengan Jamkesmas buat orang miskin dan tak mampu di Indonesia? Apakah pernyataan Dahlan Iskan bahwa JKN akan menanggung 86,4 juta jiwa (yang selama ini tercatat sebagai peserta Jamkesmas) mengindikasikan sumber pembiayaan Jamkesmas bukan hanya dari APBN, melainkan ditambah dengan iuran seluruh personal BUMN?

Pengertian lain medicare adalah seperti di Kanada. Setiap negara bagian menyelenggarakan medicare untuk seluruh masyarakat yang berlaku di semua negara bagian dalam arti secara nasional. JKN di Indonesia sama dan sebangun dengan medicare Kanada, jika pemerintah pusat berniat tetap mempertahankan Jamkesmas dan Jamkesda yang sudah eksis di beberapa provinsi. Nyatanya, menjelang 2014 tak terdengar ada langkah kebijakan pemerintah pusat untuk mengintegrasikan peserta Jamkesda ke dalam peserta Jamkesnas. Dengan demikian, dapatkah dipahami bahwa kata "nasional" dari JKN adalah kumpulan semua daerah dari Jamkesda?

Terjemahan paling tepat Jaminan Sosial Kesehatan di Indonesia adalah "INA Social Health Insurance (INA-SHI)". Sistem ini mengacu model solidaritas sosial di Jerman yang diciptakan Otto Von Bismarck 1883. Budaya dan falsafah gotong royong di Indonesia sangat cocok untuk menyiapkan Jaminan Sosial Kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi.

Kata "nasional" sebetulnya sudah melekat pada nomenklatur Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang terdiri dari sistem pelayanan kesehatan dan sistem pembiayaan kesehatan. Sistem pelayanan akan ditata dari tak terstruktur jadi terstruktur atau rujukan berjenjang. Sistem pembiayaan kesehatan akan diubah dari cara pembayaran langsung dari kantong penderita (out of pocket) jadi pembayaran dari pihak ketiga, yaitu BPJS Kesehatan. Agar tak terjadi sesat pikir dan multitafsir terhadap istilah JKN, maka kembali saja kita kepada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menyebutkan salah satu program jaminan sosial adalah jaminan kesehatan (tanpa tambahan nasional). Kita juga bisa merujuk pada UU tentang BPJS yang menyatakan bahwa BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan (lagi-lagi tanpa kata nasional). Yang perlu dipopulerkan kepada masyarakat bukanlah istilah Jaminan Kesehatan Nasional.

Lebih bermakna jika disosialisasikan bahwa mulai 1 Januari 2014 akan berlaku SJSN yang mencakup program Jaminan Kesehatan. Program ini diselenggarakan BPJS Kesehatan yang terbentuk 1 Januari 2014. Setiap orang wajib menjadi peserta dengan membayar iuran. Bagi yang tak mampu, iurannya dibayarkan pemerintah melalui APBN. Setiap peserta dapat kartu peserta yang berlaku lintas daerah (secara nasional) dan lintas pekerjaan. Kartu boleh kita namakan Kartu Indonesia Sehat, menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

(Surya Chandra S, Anggota DPR Fraksi PDI-P; Ketua Pansus RUU SJSN (2004); dan Wakil Ketua Pansus RUU BPJS (2011))

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002891899
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Nepotisme, Kroniisme, Dinasti (Ignas Kleden)

Oleh: Ignas Kleden

Dalam tinjauan moral dan hukum, korupsi dan segala variannya adalah praktik yang harus ditolak dalam politik yang sehat dan demokratis. Namun, secara sosiologis meluasnya korupsi membawa suatu akibat yang menguntungkan bagi tegaknya public good governance karena bersama dengan terungkapnya kasus korupsi-korupsi besar, tersingkap juga berbagai konspirasi politik dalam bentuk nepotisme yang pada giliran berikutnya melahirkan kroniisme.
Ada persamaan dan perbedaan di antara nepotisme dan kroniisme sebagai praktik dalam birokrasi. Dua praktik itu mempunyai kesamaan bahwa penempatan seseorang dalam birokrasi tidak didasarkan pada kompetensi teknis, tetapi pada faktor-faktor nonteknis. Bedanya, dalam nepotisme, posisi dalam birokrasi ditentukan oleh hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, sedangkan dalam kroniisme posisi itu ditentukan oleh hubungan perkoncoan. Dinasti politik merupakan gejala nepotisme, yang dalam perkembangannya akan menciptakan kroniisme.

Dalam organisasi yang baik, nepotisme dianggap sebagai praktik yang menyimpang. Namun, mengapa menyimpang? Ada pertanyaan kritis menyangkut soal ini yang patut mendapat perhatian. Apa dasarnya bahwa kalau saya menjadi gubernur, saudara-saudara saya tidak boleh bekerja dalam kantor gubernur, sekalipun mereka terbukti sanggup? Kalau mereka sudah melewati semua tes seleksi dengan benar dan lulus tes tersebut, mengapa mereka tak boleh mendapat pekerjaan dan posisi yang mereka kehendaki? Melarang mereka bekerja dalam kantor gubernur hanya karena mereka adalah sanak dan kerabat gubernur, bukankah itu suatu diskriminasi? Selayaknya mereka diterima bekerja sampai terbukti bahwa hubungan kekeluargaannya dengan gubernur membuat mereka melakukan penyimpangan dalam tugas, atau tidak bekerja efektif sebagaimana dituntut oleh tugasnya.

Kiranya jelas bahwa argumen seperti itu didasarkan pada asas nondiskriminasi dan asas praduga tak bersalah. Kita tahu juga bahwa praduga tak bersalah adalah asas yang berlaku dalam pengadilan. Namun, birokrasi pemerintahan dan manajemen organisasi bukanlah pengadilan. Di sini yang perlu dilakukan adalah mencegah kemungkinan dan memperkecil kesempatan untuk melakukan penyimpangan. Dengan demikian, yang harus berlaku dalam organisasi dan manajemen bukanlah asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah, tetapi asas presumption of fallibility atau praduga tentang kemungkinan jatuhnya seseorang dalam kelemahan dan kesalahan karena ketiadaan kontrol. Seorang bos di kantor sebaiknya memercayai semua stafnya. Namun tak berarti lemari besi yang berisi uang kantor boleh dibiarkan tidak terkunci karena sangat besar kemungkinan uang itu menimbulkan godaan untuk diambil.

Rupanya ini juga pertimbangannya mengapa suami-istri tidak diperbolehkan bekerja dalam kantor bank yang sama karena diandaikan bahwa hubungan yang amat dekat antara suami dan istri akan mempersulit terjaganya kerahasiaan bank, yang dapat merugikan kepentingan nasabah serta merugikan reputasi dan kredibilitas bank tersebut. Kalau salah satu dari pasangan suami-istri itu ditolak oleh bank untuk bekerja di bank itu, walaupun yang bersangkutan sudah lulus tes seleksi dengan baik, kebijakan ini bukanlah suatu tindakan diskriminatif, tetapi tindakan preventif untuk mencegah pelanggaran kerahasiaan bank, yang besar kemungkinan akan terjadi, kalau ada hubungan personal yang terlalu dekat di antara karyawan seperti antara suami dan istri. Dalam hal ini, kalau harus ditunggu dulu sampai ada bukti terjadinya pelanggaran kerahasiaan bank, maka situasinya sudah terlambat, dan baik bank maupun nasabah sudah telanjur dirugikan.

Selain itu, cukup terbukti dalam beberapa kasus di Indonesia bahwa hubungan yang terikat oleh faktor kekeluargaan cenderung menjadi tertutup dan eksklusif, terutama apabila para kerabat itu sudah terlibat dalam penyelewengan dan pelanggaran hukum. Ketertutupan itu mempersulit transparansi dan akuntabilitas. Juga menjadi penghambat bagi monitoring dan pengawasan. Akibatnya, penyelewengan dan pelanggaran hukum yang terjadi akan terus menumpuk dari waktu ke waktu, dan merugikan kepentingan publik secara akumulatif.

Memperlemah birokrasi
Contoh ini memperlihatkan bahwa asas presumption of innocence tidak selalu tepat diterapkan di luar pengadilan, seperti juga asas presumption of fallibility tidak akan dibenarkan diterapkan di pengadilan. Di sini kita bisa berkata bahwa kebijaksanaan tercapai kalau kita berpegang pada asas right principle in the right place atau asas yang benar harus diterapkan di tempat yang benar. Inilah pertimbangan utama bahwa nepotisme dianggap praktik yang merugikan birokrasi dan manajemen karena hadirnya terlalu banyak kaum kerabat dalam birokrasi akan memperlemah sifat birokrasi yang seharusnya impersonal. Kita tahu pemerintahan dan birokrasi pemerintahan adalah lembaga publik, yang harus bertanggung jawab atas kepentingan umum melalui kebijakan-kebijakan publik. Karena itu, sifat publik dari jabatan-jabatan pemerintahan perlu dijaga agar tidak dipersulit oleh hubungan-hubungan yang terlalu personal, yang menjadi ciri pemerintahan patrimonial zaman baheula.

Kroniisme juga kadang kala dibela dengan jalan pikiran yang sama. Argumennya, kalau kita memulai suatu usaha, lebih baik memulainya bersama orang-orang yang sudah kita kenal, atau dengan teman-teman yang sudah saling tahu, daripada langsung mengajak orang-orang yang baru saja dijumpai dalam wawancara untuk perekrutan staf. Orang-orang yang sudah dikenal dan teman-teman dekat lebih mudah diramalkan perilakunya, dapat diperkirakan reaksinya dalam menerima usul atau suatu rencana kerja.

Hal-hal ini lebih sulit kalau kita langsung bekerja dengan orang-orang baru karena belum ada pegangan tentang bagaimana mengantisipasi sikap mereka terhadap teguran, peringatan, atau disiplin kantor yang hendak diterapkan. Di sini kita berhadapan dengan tingkat ketidakpastian yang terlalu tinggi, yang akan menyulitkan proses pengambilan keputusan dan menghambat juga implementasi keputusan yang sudah diambil.

Sebaiknya diperjelas di sini bahwa sekelompok orang dengan semangat yang sama dan visi yang sama memang lebih mudah menjalankan suatu usaha bersama, seperti mendirikan koran atau majalah, membangun sekolah, perguruan tinggi, mengelola sebuah klub sepak bola yang profesional, atau membangun sebuah perusahaan bisnis. Dalam situasi semacam itu, orang-orang yang saling mengenal ini tidak dapat dinamakan kroni, tetapi rekan kerja yang kompak yang dipersatukan oleh suatu komitmen yang sama. Perbedaan di antara teamwork dengan kroniisme ialah bahwa yang pertama bekerja untuk kepentingan usaha bersama dengan SOP yang jelas, sedangkan yang kedua bekerja untuk kepentingan dan keuntungan sekelompok orang dalam usaha bersama itu, berdasarkan favoritisme pemimpin kelompok. Kroniisme baru terjadi kalau segelintir orang dari mereka yang telah memulai usaha bersama mendapat dan menikmati keuntungan khusus yang tidak dibagikan kepada rekan-rekan lainnya. Dengan demikian, kroniisme selalu berdiri di atas suatu in-group yang menutup diri dari mereka yang tidak termasuk dalam kelompoknya, dan tidak memperjuangkan kepentingan bersama, tetapi membela suatu egoisme kelompok secara eksklusif.

Dalam politik, kroniisme seperti ini tidak saja menguasai sumber daya ekonomi, tetapi juga sumber daya politik yang berhubungan dengan akses kepada sumber daya ekonomi, dan cenderung berkembang menjadi suatu oligarki dalam pemerintahan. Memang, setiap oligarki selalu dapat berdalih bahwa meskipun kekuasaan ekonomi dan politik hanya ada pada beberapa orang, mereka tetap saja bekerja untuk kepentingan rakyat dan memperjuangkan kemajuan umum. Dalih seperti ini, seandainya pun benar terwujud dalam kenyataan (suatu yang hampir tak mungkin terjadi), secara prinsipiil tidak dapat diterima asas demokrasi. Karena rakyat tidak cukup hanya dijadikan obyek kebaikan dan kemurahan hati melalui kerja yang dilaksanakan "untuk rakyat". Prinsip demokrasi menetapkan bahwa rakyat adalah subyek kekuasaan politik dalam pemerintahan, malah subyek yang terpenting, dan hal ini harus diperlihatkan dalam pemerintahan "dari rakyat" dan "oleh rakyat" dan bukan saja dalam pemerintahan "untuk rakyat".

Dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia saat ini, dapat disaksikan bahwa asas "dari rakyat" dan "oleh rakyat" lebih sering disimulasikan dalam demokrasi prosedural melalui institusi-institusi politik, sementara pemerintahan "untuk rakyat" cenderung diabaikan, khususnya melalui nepotisme dan kroniisme dalam politik.

Beberapa ahli hukum mengatakan bahwa kita sulit mengambil langkah-langkah untuk menentang praktik nepotisme saat ini karena belum ada undang-undang yang melarang praktik nepotisme. Pada hemat saya, keberatan semacam ini tidak mengimplikasikan bahwa nepotisme tidak bisa ditentang, tetapi justru menunjukkan belum lengkapnya sistem hukum kita.

Legislasi yang mempersulit
Pengalaman politik dalam masa pasca-Reformasi memberi beberapa contoh bahwa beberapa praktik yang tadinya dilakukan secara meluas, seperti pemberian hadiah besar-besaran kepada seorang atasan dalam birokrasi pada kesempatan tertentu (seperti pernikahan anaknya, atau hari raya), lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya, karena tanpa sengaja hadiah-hadiah itu berfungsi sebagai gratifikasi yang membuat orang yang menerima tidak dapat bersikap correct dalam jabatannya. Sekarang ini hal itu sudah sulit dilakukan karena sudah ada UU yang melarang gratifikasi semacam itu. Nepotisme jelas merugikan kehidupan politik dan praktik demokrasi karena beberapa kecenderungan dalam wataknya. Sifat eksklusif nepotisme mempersulit terciptanya tata kelola yang baik (good governance) karena kelompok yang mempraktikkan nepotisme cenderung tertutup, serta tidak mudah dimonitor dan diawasi. Ketertutupan itu sendiri sudah bertentangan dengan prinsip equal opportunity atau kesempatan yang sama untuk melakukan partisipasi politik secara terbuka karena peran-peran tertentu dalam pemerintahan sudah diblokir untuk anggota in-group yang menikmati hak-hak istimewa.

Dengan tertutupnya partisipasi politik untuk sebagian warga negara yang tidak termasuk dalam blok nepotisme, baik birokrasi maupun politik Indonesia tidak akan mendapat tenaga-tenaga terbaik dalam menjalankan tugas karena mereka sudah tersingkir secara alamiah dari pola perekrutan yang berlangsung tertutup. Selain itu, nepotisme akan terus berusaha melestarikan vested interest kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan publik dan kemajuan umum. Kekayaan yang ekstrem dari sekelompok orang dan kemiskinan ekstrem dari banyak orang merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun dalam suatu negara yang beradab. Mungkin sudah saatnya perlu disusun legislasi yang akan mempersulit praktik nepotisme, kroniisme, dan dinasti politik dalam pemerintahan karena ini langkah pertama yang efektif menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang menjadi alasan satu-satunya bahwa ada, mengapa harus ada, negara merdeka yang bernama Republik Indonesia.

Ignas Kleden
Ketua Badan Pengurus Komunitas
Indonesia untuk Demokrasi

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002881253
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Damai Masih Jauh dari Palestina (Tajuk Rencana Kompas)

Perkembangan terakhir di Jalur Gaza memberikan gambaran jelas bahwa damai dan perdamaian masih jauh dari Palestina.
Meskipun, kemarin, Israel membebaskan 26 orang Palestina yang ditahan, antara lain ada yang ditahan sejak tahun 1984. Pembebasan tahanan itu merupakan bagian dari kesepakatan untuk mewujudkan perdamaian antara Israel, Otoritas Palestina, dan Amerika Serikat.

Akan tetapi, kesepakatan itu tidak diakui Hamas yang menguasai Jalur Gaza. Hamas menyatakan bahwa Otoritas Palestina yang dikuasai Fatah tidak punya otoritas mengatasnamakan rakyat Palestina untuk berunding dengan Israel. Ini masalah lama yang senyatanya menjadi batu sandungan bagi terciptanya perdamaian karena pihak Palestina sendiri tidak bersatu padu, seia sekata, dalam menghadapi Palestina.

Dua hari sebelum pembebasan tahanan Palestina, Hamas menembakkan rudal ke wilayah Israel, yang kemudian dibalas Israel dengan mengerahkan pesawat tempurnya. Serangan rudal Hamas ke wilayah Israel dan serangan pesawat tempur Israel ke wilayah Gaza bukanlah hal baru.

Kita masih ingat Perang Gaza atau yang oleh Israel disebut "Operation Cast Lead", yang berlangsung selama 22 hari, mulai 27 Desember 2008. Tujuan Israel melancarkan operasi militer, yang menewaskan l1.417 orang Palestina dan hanya 13 orang Israel, itu adalah untuk menghentikan penembakan rudal oleh Hamas ke wilayah Israel dan menghentikan penyelundupan senjata dari wilayah Mesir ke Gaza lewat terowongan.

Tentu alasan Israel itu tidak bisa diterima atau dibenarkan begitu saja. Bukan tanpa alasan kalau Hamas menembakkan rudal ke arah Israel. Bukan tanpa alasan pula kalau Hamas menyelundupkan senjata lewat terowongan.

Jalur Gaza, seluas 365 kilometer persegi dan dihuni lebih kurang 1,5 juta orang, bagaikan penjara terbesar di dunia karena semua akses keluar-masuk ditutup Israel, kecuali akses keluar-masuk ke wilayah Mesir. Itulah sebabnya, Hamas menuntut agar akses keluar-masuk dibuka dan menuntut Israel menghentikan penyerangan terhadap mereka. Namun, tuntutan itu tidak pernah dikabulkan Israel karena Tel Aviv tetap beranggapan bahwa dari wilayah itulah bahaya mengancam mereka. Terbuka akses, baik keluar maupun masuk, ke Gaza dianggap akan mempermudah Hamas mempersenjatai diri.

Selama masalah itu belum terpecahkan, kecil kemungkinan tercipta perdamaian dan kedamaian di Palestina. Masalah Jalur Gaza, persoalan antara Israel dan Hamas, hanya sebagian masalah yang belum terselesaikan dalam konflik Israel-Palestina. Masih banyak persoalan lain yang hingga kini belum terselesaikan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002910901
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Memperkuat Bahasa Indonesia (Tajuk Rencana Kompas)

Kita dukung keinginan menjadikan bahasa Indonesia sebagai embrio bahasa ASEAN. Agar keinginan itu tidak hanya rekomendasi sloganistis kental aroma politik, perlu sejumlah syarat.
Pertama, kembangkan rasa bangga menggunakan bahasa Indonesia tak hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga identitas bangsa. Kegemaran pejabat publik menyelipkan kosakata asing, padahal ada padanannya dalam Indonesia, tentu kontroversial dan kontraproduktif.

Kedua, bahasa adalah konvensi sehingga dijaga jangan muncul seloroh "ayatulloh bahasa" (mengutip Rosihan Anwar). Sebaliknya, jangan biarkan bahasa Indonesia berkembang liar sehingga fungsi pokok sebagai sarana komunikasi mandul, apalagi sebagai identitas diri.

Ketiga, pendidikan sebagai salah satu sarana memperkuat posisi bahasa Indonesia setuju perlu dibenahi. Tak hanya pembenahan dari sisi alokasi jam pelajaran, tetapi juga sistem dan praksis pengajaran bahasa.

Keempat, langkah-langkah persuasif perlu dilakukan, misalnya diintrodusir persyaratan penerimaan pegawai negeri lewat kecakapan berbahasa Indonesia.

Kelima, sebagai sarana membahasakan ilmu pengetahuan, perlu semakin banyak ilmuwan berbagai disiplin ilmu memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi.

Kelima syarat itu jangan mematikan keharusan melihat ke depan dan ke lingkungan global yang tengah berkembang. Menghapus bahasa Inggris sebagai pelajaran wajib dalam Kurikulum 2013 bukan kebijakan yang bijak.

Karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional, selain sebagai sarana lingua franca, juga bahasa keilmuan antarbangsa di dunia, kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Inggris adalah keharusan kalau kita tidak ingin terkucil dari pergaulan dunia.

Potensi besarnya jumlah penutur, argumentasi bahasa Indonesia (sekitar 240 juta) sebagai embrio bahasa ASEAN, seperti yang disuarakan peserta Kongres Bahasa Indonesia X (28-31 Oktober 2013), kurang memadai. Pun dengan dimasukkannya sekitar 30 juta warga Malaysia dan sekitar 420.000 warga Brunei yang bertutur dengan bahasa Melayu. Sebab, kedua bangsa itu selaras menggunakan bahasa Melayu sekaligus Inggris.

Yang dihadapi bahasa Indonesia, meskipun perkembangannya lebih cepat dibandingkan Melayu, laju "kerusakan" berjalan seiring dengan keinginan menjadikannya sebagai embrio bahasa ASEAN. Bahasa komunitas yang sebenarnya dialek suatu komunitas, karena disebar dalam waktu serempak dan luas, diamini sebagai ragam bahasa. Bahasa "gaya bebas" Vicky Prasetyo tanpa sadar mengeksklusifkan bahasa Indonesia sendiri.

Catatan di atas semoga menjadi pertimbangan mencegah rekomendasi kongres yang sloganistis kental aroma politik yang menambah tumpukan sampah rekomendasi dan instruksi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002910567
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 30 Oktober 2013

Mengelola Data Pemilih (Syamsuddin Haris)

Oleh: Syamsuddin Haris

Akurasi data adalah persoalan klasik yang tak pernah benar-benar tuntas di negeri ini. Data jumlah penduduk kategori miskin, misalnya, tidak pernah sama di sejumlah kementerian dan lembaga. Lalu, apakah kisruh daftar pemilih tetap pemilu tahun 2009 akan terulang pada pemilu mendatang?
Pengalaman buruk kisruh DPT lima tahun lalu semestinya menjadi pengalaman pahit dan pelajaran berharga bagi pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membenahi sistem pendataan pemilih. Namun alih-alih berkaca pada pengalaman buruk ketika jutaan pemilih tak bisa menggunakan hak politik mereka, pemerintah dan KPU terkesan menganggapnya sebagai persoalan sepele. Harapan publik agar pemerintah dan KPU duduk bersama menuntaskan data pemilih agar benar-benar akurat tak kunjung dilakukan hingga akhirnya penetapan DPT gagal dilakukan Rabu (23/10) yang lalu.

Sebenarnya tersedia rentang waktu cukup lama bagi pemerintah—Kementerian Dalam Negeri—untuk menyiapkan data penduduk yang akurat sebelum akhirnya dimutakhirkan KPU menjadi data pemilih. Sesuai perintah UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, pemerintah berkewajiban menyerahkan data agregat kependudukan per kecamatan (DAK2) dan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) kepada KPU dan jajarannya paling lambat 16 bulan sebelum pemilu. Data penduduk dan DP4 telah diserahkan oleh Kementerian Dalam Negeri sejak Desember 2012, tetapi tampaknya masih bermasalah sehingga daftar pemilih sementara (DPS), daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP), dan DPT yang menjadi tanggung jawab KPU pun masih amburadul.

Secara nominal selisih data yang dimiliki KPU melalui sistem informasi data pemilih (sidalih) dan data KPU kabupaten/kota se Indonesia "hanya" sekitar 400.000 (Kompas, 24/10). Jumlah ini mungkin relatif kecil dibandingkan total 186 juta pemilih, tetapi karena menyangkut hak politik warga negara, jelas tidak layak untuk memaksakan penetapan DPT ketika sebagian warga negara dicederai hak politiknya.

Pertanyaannya, apakah benar data pemilih bermasalah tinggal 400.000? Soalnya, pada awal Oktober 2013 yang lalu, Kemendagri dan KPU mengakui, masih ada sekitar 20,3 juta data pemilih yang tidak sinkron satu sama lain (antaranews.com, 4/10). Apakah "perbaikan" dan "sinkronisasi" data benar-benar serius dilakukan, atau sekadar kutak-katik di belakang komputer, kita tidak tahu.

Akar masalah
Ada beberapa faktor di balik potensi kisruh data pemilih Pemilu 2014 mendatang. Pertama, kecenderungan umum jajaran pemerintah merekam dan mendokumentasikan data, termasuk data pemilih, dalam perspektif "proyek". Data penduduk bisa dibesarkan atau sebaliknya dikecilkan dalam rangka hitungan proyek yang menguntungkan bagi aparat birokrasi itu sendiri. Kehadiran nomor induk kependudukan (NIK) tunggal diharapkan dapat meminimalkan manipulasi seperti ini, tetapi hingga kini proyek NIK sendiri belum sepenuhnya selesai.

Kedua, perubahan data penduduk (DAK2 dan DP4) menjadi data pemilih (DPS, DPSHP, dan akhirnya DPT) dilakukan dua institusi yang berbeda, yakni pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dan jajaran KPU. Potensi terdokumentasinya data yang tidak akurat dan tak sinkron cenderung tetap tinggi karena rentang tanggung jawab kelembagaan yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Belum lagi menghitung dinamika penduduk yang tinggi (pindah domisili, meninggal, kelahiran baru, dan lain-lain) dalam rentang waktu yang panjang, yakni sejak 2009 hingga akhir 2012. Pertanyaannya, siapa yang mengecek akurasi data penduduk yang disiapkan pemerintah sebelum diserahkan kepada KPU? Tidak ada. Sementara itu, pada tingkat data pemilih, pemutakhiran data pemilih oleh KPU diawasi Bawaslu (nasional dan provinsi) dan Panwaslu (kabupaten/kota).

Ketiga, pemberlakuan stelsel pendaftaran aktif. Seperti diketahui, sejak 2009 diberlakukan stelsel pendaftaran aktif, dalam arti pemilih harus mendatangi petugas pendata pemilih jika namanya belum terdaftar. Pada Pemilu 1999 dan 2004, petugas/panitia pendaftaran pemilih (pantarlih) yang aktif mendata pemilih ke rumah-rumah penduduk.

Pertanyaannya, berapa banyak jumlah warga negara yang benar-benar sadar dan mau mengecek nama mereka di kantor desa, kelurahan, atau di situs web KPU? Patutkah rakyat kita disalahkan apabila mereka tidak sempat mengecek namanya di kantor desa dan kelurahan? Mengapa kita tidak menghitung energi, waktu,
dan biaya yang harus dikeluarkan rakyat kita yang berdomisili di pelosok-pelosok yang jauh dari kantor desa dan kelurahan?

"Roh" pemilu
Pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada), kini telah menjadi keseharian demokrasi kita. Pilkada bahkan berlangsung beberapa kali dalam seminggu di sejumlah daerah yang berbeda di seluruh Tanah Air. Data pemilih semestinya memiliki akurasi tinggi karena setiap kali berlangsung pilkada, KPU setempat melakukan pemutakhiran data pemilih. Karena itu, menjadi keprihatinan kita jika pemerintah dan KPU tidak kunjung mampu mengelola dan menyinkronkan data penduduk dan data pemilih yang bisa berdampak pada tercederainya hak politik sebagian warga negara.

Oleh karena itu, sebelum pengalaman buruk Pemilu 2009 terulang, pemerintah, KPU, dan DPR perlu duduk bersama untuk merumuskan solusi terbaik, tak hanya terkait finalisasi DPT, tetapi juga memastikan agar semua warga negara yang berhak memilih dapat menggunakan hak politik mereka.

Keputusan menunda pengesahan DPT sudah diambil KPU Rabu kemarin. Namun, di luar prosedur formal-administratif dalam bentuk penetapan DPT, di atas segalanya, yang jauh lebih penting adalah memberi jaminan bahwa pemilih yang tidak terdaftar di dalam DPT pun semestinya diberi ruang yang dipermudah untuk menggunakan hak politiknya. Jangan sampai hak politik rakyat dikorbankan demi pemenuhan prosedur pemilu yang semakin birokratis.

Terlampau berat bagi bangsa kita melangkah lebih maju ke depan bila data penduduk dan data pemilih saja tidak terkelola secara benar, akurat, dan akuntabel. Tanpa harus menunjuk siapa yang bersalah, kegagalan mengelola data pemilih secara benar bagaimanapun merefleksikan kualitas pencapaian demokrasi kita.

Persoalannya, data pemilih bukan sekadar deretan nama pemilih berikut identitas administratif lain yang melekat padanya, melainkan justru "roh" pemilu itu sendiri. Di balik data pemilih yang tampak administratif, sesungguhnya terekam harapan jutaan rakyat akan hadirnya para wakil rakyat dan pemimpin yang lebih bertanggung jawab, serta mimpi akan perubahan hidup yang lebih baik bagi mereka. Juga, di balik data pemilih yang cenderung disepelekan itulah masa depan demokrasi dan bangsa kita dipertaruhkan.

Tidak ada pemilu tanpa pemilih, dan tentu saja, tidak ada demokrasi tanpa keduanya. Karena itu, mengelola dan merawat data pemilih secara benar pada dasarnya adalah kewajiban luhur dalam rangka mengelola demokrasi yang kita rebut dengan biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tak ternilai harganya.

(SYAMSUDDIN HARIS, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002809128
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kosongnya Kampus Kita (Agus Suwignyo)

Oleh: Agus Suwignyo

Kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia belakangan ini kosong karena eksodus dosen-dosen dalam tiga gelombang.

Pertama, dosen-dosen itu bereksodus dari profesi kedosenan. Banyak dosen berpindah menjadi pengurus partai politik atau pejabat pada birokrasi pemerintah. Meskipun ada banyak dosen cum politisi-birokrat itu akhirnya berlabuh di penjara karena korupsi, hasrat untuk hijrah ke pusaran kekuasaan terus meluas. Seorang rekan dosen yang baru menjadi doktor bercerita, ia ingin menjadi politisi lewat Pemilu 2014.

Kedua, eksodus dosen dari niat dan orientasi kehidupan intelektual. Sebagian dosen yang tetap di kampus umumnya tak lagi berniat menjadi intelektual, tetapi pejabat struktural kampus. Orientasinya bukan lagi karya penelitian, publikasi ilmiah, dan pelayanan bermutu kepada mahasiswa, melainkan posisi manajerial.

Hal itu tergambarkan dalam pertanyaan, "Setelah lulus S-3 jadi apa?" Seolah-olah seorang doktor harus menduduki posisi struktural di kampus. Kehausan akan kekuasaan terpancar sama gamblangnya pada kelompok dosen yang beralih profesi menjadi politisi partai atau pejabat pemerintah.

Seperti koleganya yang telah hijrah ke pemerintahan, saat ini satu demi satu akademisi cum politisi kampus, yakni rektor dan mantan rektor atau pejabat perguruan tinggi serta guru besar, sedang diadili dengan dugaan tindak pidana korupsi (Kompas 25/9/2013). Meskipun demikian, posisi struktural seperti dekan dan rektor tetap diperebutkan.

Ketiga, eksodus dosen dari profil dan watak kecendekiawanan. Mereka umumnya semakin tidak menunjukkan gereget kerja akademik yang menginspirasi. Sebagian menjalani profesi kedosenan sebagai business as usual dengan menjadikan tuntutan administratif karier (kepangkatan, sertifikasi, lembar kinerja) sebagai acuan produktivitas tertinggi dan satu-satunya.

Profil kecendekiawanan tereduksi menjadi sebatas terpenuhinya tuntutan administrasi karier, yang memang berdampak pada penghasilan dosen. Dalam konteks ini, lenyapnya watak kecendekiawanan sebagaimana tecermin dalam pelanggaran etika akademik, misalnya plagiarisme, adalah akibat, bukan sebab, dari merosotnya mutu profesionalitas dosen sebagai akademisi.

Delegitimasi
Gelombang eksodus dosen menegaskan bahwa pendidikan tinggi kita sedang menghadapi problem delegitimasi parah. Di tengah lemahnya legasi intelektual (Kompas, 19/9/2013) dan lenyapnya ruh perguruan tinggi (Kompas, 17/9/2013), indikasi praktik korupsi oleh insan-insan akademisi menunjukkan bahwa institusi publik mana pun rentan oleh praktik-praktik penyalahgunaan wewenang dan anggaran.

Selain itu, jelaslah bahwa penyebab brain-drain tenaga terdidik Indonesia bukan melulu dampak negeri-negeri tetangga merekrut dosen-dosen terbaik kita, melainkan juga menguatnya syahwat akan kekuasaan para akademisi yang kehilangan jati diri intelektualnya.

Delegitimasi pendidikan tinggi juga berarti bahwa kampus-kampus kita kosong dari nilai-nilai dan standar moral untuk rujukan. Gambaran tentang universitas sebagai sumber terang kebajikan telah tertutupi aneka kasus etika dan pidana yang justru mengukuhkan pendidikan tinggi sebagai salah satu sumber imoralitas masyarakat.

Apalagi, sejumlah mantan dosen cum narapidana korupsi dengan mudah kembali mengajar di kampus sebagai "orang hebat di bidangnya". Atau, dosen yang dipecat karena kasus plagiarisme di suatu perguruan tinggi dengan mudah diterima di perguruan tinggi lain.

Tak perlu heran jika suatu saat nanti kampus-kampus di Indonesia akan berisi pengajar berprofil "istimewa": mantan narapidana, plagiaris, politisi kampus, dan mantan pemangku kuasa negeri yang, merujuk Sukardi Rinakit (Kompas, 8/10/2013), "pintar tetapi tidak terpelajar".

Kasus-kasus hukum pada sejumlah pejabat struktural kampus tampaknya belum mengubah cara pandang sivitas akademika tentang karakter kehidupan dan kepemimpinan kampus yang seharusnya. Semangat melayani dalam kesetaraan dan subsidiaritas (primus inter pares) yang menjadi ciri keutamaan pendidikan universiter digeser oleh semangat saling menguasai. Prinsip-prinsip kolegialitas dalam kehidupan kampus telah lenyap.

Asketisme
Kampus kosong adalah fenomena pergeseran "nilai asketisme intelektual", yaitu etos kerja akademik yang menuntut ketekunan dan kesetiaan dalam pencarian kebenaran ilmiah. Menjadi asketis secara intelektual berarti menapaki alam pikir sunyi, jauh dari gegap gempita apresiasi publik dan kekuasaan politik.

Pergeseran nilai-nilai asketis ditandai migrasi akademisi dari elite fungsional menjadi elite politik. Nilai-nilai asketisme bergeser maknanya karena tekanan ekosistem sosial. Nilai-nilai asketis suatu generasi, meskipun dapat dibandingkan, tidak dapat diukur dengan tolok nilai serupa karena setiap zaman punya standar dan moralitasnya sendiri.

Dengan pemahaman tersebut, fenomena kampus kosong sebenarnya bukan persoalan individual dosen. Ia persoalan kolektif dan sistemik, yang bersumber pada ketidaksesuaian perubahan cepat pranata sosial (misal menyangkut transparansi pengelolaan perguruan tinggi), dengan perubahan karakter kolektif manusia yang lambat.

Untuk menghentikan fenomena kosongnya kampus, perlu upaya sistemis melalui kebijakan hulu hilir yang integral dan bersifat ngemong. bukan sekadar menghakimi.

(Agus Suwignyo, Pedagog Cum Sejarawan Pendidikan Fakultas Ilmu Budaya UGM)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002712078
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Teror Polisi (Al Araf)

Oleh: Al Araf

Penembakan misterius terhadap anggota polisi akhir-akhir ini meningkat. Sejak Juli 2013 tercatat lima aksi penembakan, rata-rata berlangsung di Jabotabek.
Pelaku sepertinya tak lagi takut menjadikan aparat penegak hukum sebagai target.

Meningkatnya aksi penembakan terhadap polisi tentu keprihatinan kita bersama. Ia tak hanya teror terhadap polisi, juga serangan terhadap institusi penegak hukum dan rasa aman masyarakat. Polisi yang tugasnya melindungi masyarakat saja rentan jadi sasaran, apalagi orang biasa. Lagi pula, sebagian besar pelaku belum juga tertangkap.

Motif teror
Berbagai spekulasi mengenai pelaku dan motif di balik aksi itu sudah disampaikan banyak pengamat. Sebagian besar cenderung mengarahkan bahwa pelaku ialah teroris dari jaringan kelompok radikal ideologi agama yang hendak balas dendam kepada polisi. Tindakan polisi melalui Densus 88 dalam membongkar, menangkap, dan memburu jaringan teroris tersebut menjadikan polisi sebagai target balas dendam.

Pandangan itu tentu bisa saja benar. Namun, membangun kesimpulan demikian masih terlalu dini dan cenderung terburu-buru, khususnya terhadap aksi penembakan polisi di depan Gedung KPK. Pandangan itu cenderung membatasi kemungkinan pelaku dari kelompok lain dengan motif yang berbeda. Apalagi penyelidikan oleh polisi sendiri masih berlangsung.

Penembakan terhadap polisi bisa dilakukan siapa saja. Jika urusannya berkaitan dengan kerja polisi, polisi tak hanya berurusan dengan kelompok teroris, tapi juga dengan sindikat narko- tika dan pelaku kriminal lainnya. Maka, terbuka kemungkinan pelaku itu aktor lain dengan tujuan yang lain pula.

Motif tindakan terorisme jangan selalu disimplifikasi agama belaka. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa aksi terorisme bisa juga dilatari motif etnonasionalisme seperti yang dilakukan kelompok Liberation Tigers of Tamil Eelam atau Macan Tamil. Cara-cara teror kadang-kadang digunakan pula dalam perang bisnis narkotika seperti dalam perang kartel narkoba di Meksiko.

Selain itu, aksi teror tidak selalu dilakukan aktor nirnegara. Bisa dilakukan aktor negara atau kelompok masyarakat, tetapi disponsori negara. Terorisme negara atau pemerintahan teror pernah masif terjadi di masa Perang Dingin. Dalam bentuk rezim pemerintahan totaliter, teror negara di masa Perang Dingin ditujukan untuk menghadapi kelompok oposisi.

Indonesia sendiri mengalami era pemerintahan teror di masa Orde Baru. Negara melalui aparatusnya waktu itu mempraktikkan aksi teror terhadap masyarakat: penculikan, pembunuhan, dan penembakan misterius. Tujuannya melanggengkan rezim Soeharto.

Meski pada saat ini sistem politik kita demokrasi, bukan tak mungkin terorisme bisa berlatar politik, etnonasionalisme, ideologi, agama, atau kriminal. Aksi terorisme dengan motif apa pun selalu menggunakan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan rasa takut yang meluas. Ia tidak menjadikan korban sebagai sasaran yang sesungguhnya, tetapi hanya sebagai taktik mencapai tujuan.

Dengan demikian, terlalu terburu-buru menyimpulkan bahwa pelaku penembakan anggota polisi, khususnya yang terjadi di depan Gedung KPK, adalah kelompok teroris lama dan bermotifkan agama. Pernyataan Wakapolri Oegroseno agar Polri jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa pelaku aksi teror adalah kelompok radikal lama adalah tepat.

Kesimpulan yang pasti mengenai siapa pelaku dan apa motif tentu hanya bisa diperoleh jika pelaku tertangkap. Dari sini polisi bisa mengungkap pelaku dan motif yang sebenarnya.

Polisi hingga kini tak kunjung berhasil menangkap pelaku aksi-aksi penembakan itu, khususnya yang terjadi di depan Gedung KPK. Padahal, jika itu terorisme berbasis agama, polisi biasanya mudah dan cekatan menangkap para pelakunya. Polisi kali ini tampaknya menghadapi pelaku yang terlatih dan lebih profesional.

Pelaku profesional
Terlatih dan profesional? Ya, sasaran penembakan itu sedang bergerak. Terhadap yang begini dibutuhkan keahlian khusus. Pelaku juga sangat selektif memilih target, dilakukan pada malam hari, sebagian besar terjadi di sekitar Jabotabek, serta menggunakan senjata api dan kendaraan bermotor. Pelaku juga tampaknya pandai bersembunyi.

Penembakan anggota polisi di depan Gedung KPK menunjukkan pelaku tidak hanya memiliki kemampuan teknis menggunakan senjata api, tetapi juga andal dan profesional. Teroris bermotif agama biasanya hit and run. Pada kasus ini, pelaku memiliki mental luar biasa "dingin": sebelum pergi dengan tenang memastikan bahwa korban telah tewas.

Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah sudah sehebat itukah jejaring terorisme bermotif agama menggunakan senjata api dan sudah semakin pandaikah mereka bersembunyi sehingga Densus 88 kesulitan melacak?

Kita tentu pantas khawatir. Berlarut-larutnya pengungkapan kasus ini akan menjadi teror berkepanjangan. Tidak hanya terhadap aparat polisi, tapi juga masyarakat umum sebab penembakan seperti itu bisa saja terus berulang. Apalagi dalam waktu dekat ini kita akan memasuki bulan-bulan panas menjelang Pemilu 2014.

Dalam menghadapi aksi teror kali ini, Polri tampaknya perlu dan harus membuat langkah penanganan yang lebih komprehensif. Mulai dari deteksi dini dengan peningkatan jejaring intelijen yang lebih baik dan luas hingga aksi penindakan yang lebih profesional dan proporsional menangkap para pelaku.

Lebih dari itu, pengungkapan kasus ini juga sangat membutuhkan dukungan dan kemauan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa dukungan presiden, polisi akan mengalami kesulitan di dalam menemukan para pelaku teror polisi, khususnya yang terjadi di depan Gedung KPK.

Sayangnya, hingga kini presiden minim sekali—kalau tidak ingin dikatakan tidak peduli— merespons dan menyikapi kasus penembakan beruntun dan sistematis terhadap aparat kepolisian.

Negara tidak boleh kalah menghadapi tindakan teror yang dilakukan orang atau organisasi tidak dikenal. Negara harus memastikan kepada publik bahwa rasa aman masyarakat tetap terjamin. Dengan demikian, siapa pun pelaku penembakan itu, aparat kepolisian tidak boleh takut mengungkap dan menangkapnya.

(Al Araf, Direktur Program Imparsial; Pengajar FISIP Universitas Al Azhar dan Paramadina)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002882670
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tentang Kapolri Baru (M Nasser)

Oleh: M Nasser

Tulisan Hermawan Sulistyo di Kompas (24/10/2013) tentang Kapolri baru dan sumber daya manusia Polri sangat menarik dan layak dijadikan bahan pendalaman.
Sebagai staf ahli Kapolri yang gemar mendorong akuntabilitas Polri, catatan guru besar riset LIPI ini saya pandang akurat, detail, dan menyentuh permasalahan mendasar di Polri. Ada kalimat kunci yang ditulis beberapa kali, "...Kunci keberhasilan kepemimpinan Kapolri transisi terletak pada kebijakan penataan SDM. Harus drastis dan radikal sebab waktu Sutarman tidak lama...".

Ini adalah pernyataan jujur dan berani yang bagi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sejalan dengan arah kebijakan SDM yang sedang disiapkan sebagai bagian arah bijak Polri 2014-2019. Harus diakui banyak keganjilan dalam manajemen SDM Polri selama ini. Sebagian kalangan berpendapat, kebijakan SDM Polri bukan saja perlu dievaluasi sebagai bentuk pertanggungjawaban, melainkan juga perlu secara berani untuk total mengubahnya.

Kasus perwira menengah yang ditemukan di lift Mabes Polri membawa dana Rp 200 juta merupakan pintu masuk untuk menjawab begitu banyak pertanyaan tentang manajemen SDM Polri selama ini. Kompolnas sendiri menerima sangat banyak keluhan, komplain, dan bahkan protes dari banyak perwira Polri yang merasa ada sesuatu yang tidak beres tetapi sukar terkatakan. Ketika hal tersebut dikonfirmasi ke pejabat terkait, Kompolnas selalu menerima jawaban normatif, "Ah, itu suara perwira yang tidak berprestasi", atau "Suara orang yang sakit hati saja". Tidak pernah ada semangat yang lebih terbuka untuk mendalami informasi ini.

Sebagai contoh ada, AKBP yang baru tiga bulan menempati jabatan Wadir Lantas (IIIB1) langsung diangkat pada jabatan Karo SDM (IIB3) dengan pangkat baru KbP. Padahal ada Peraturan Kapolri yang jelas menyebutkan bahwa kenaikan seperti itu membutuhkan syarat minimal 1 tahun menduduki masa jabatan lama. Ada pula ditemukan KbP keluaran 1981 sudah tiga tahun pada jabatan Karo Polda tipe B (IIB3), padahal menyelesaikan jenjang pendidikan tertinggi Sespati 6 tahun lalu.

Contoh di atas hanya bagian kecil dari begitu banyak temuan Kompolnas yang tidak terjawab. Tentu saja Kompolnas cemas dan khawatir apabila hal-hal seperti ini tidak ditanggulangi secara serius oleh Kapolri baru, akan berpotensi menurunkan semangat kerja dan bahkan semangat dedikasi anggota.

Jalan keluar
Dalam lanjutan tulisannya Hermawan menulis, "...Apa yang bisa dilakukan Kapolri baru? Pertama-tama, ia harus mencari asisten SDM Kapolri yang mampu merestrukturisasi postur angkatan serta berani menolak titipan karier dari politisi, pejabat, dan pengusaha".

Saran ini sebuah langkah manajerial yang perlu penuh keberanian dari seorang Kapolri baru mengingat putusan ini menjadi harapan banyak pihak, termasuk Kompolnas, walau akan bertarung mengalahkan ewuh pakewuh internal. Kapolri agar rajin mendengar dan menerima masukan dari pengawas internal dan eksternal serta mendayagunakan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) secara maksimal atas temuan atau informasi adanya pejabat Polri yang bertindak kurang terpuji.

Berikan perhatian khusus dan jangan ditoleransi, jangan ragu dan bimbang jika ada kapolda, wakapolda, dan direktur kriminal di sejumlah polda—atau kapolres dan kasat reserse di tingkat polres—yang suka memihak pada sengketa tanah atau bermain perkara yang ada wilayahnya. Segera copot dan ganti dengan pejabat lain yang bersih dan berintegritas. Polri punya stok sangat melimpah atas kualifikasi terakhir ini, baik di tingkat perwira tinggi (pati), apalagi setingkat komisaris besar (kombes).

Apabila itu dilakukan segera dalam 100 hari pertama, akan melahirkan preseden baru dalam penanganan SDM Polri. Kompolnas siap bekerja sama untuk memberikan informasi dan pandangan karena Kompolnas menerima banyak masukan tentang hal-hal seperti ini.

Kinerja pemberantasan korupsi oleh Polri juga akan jadi alat ukur keberhasilan Sutarman sebagai Kapolri. Ada enam langkah yang perlu dipertimbangkan Kapolri baru dalam rangka pemberantasan korupsi.

Pertama, Polri harus memiliki strategi dasar dalam menentukan sektor prioritas pemberantasan korupsi. Atas dasar itu segera lakukan pemetaan kerawanan korupsi yang terjadi yang mungkin dapat dilakukan Polri di seluruh jajaran dan lini.

Kedua, Polri segera melakukan berbagai cara untuk percepatan proses penyelidikan dan penyidikan. Hal ini penting dilakukan karena kinerja Polri akan sangat bergantung pada kinerja instansi lain, seperti kejaksaan, BPK/BPKP, dan KPK. Di sini Polri harus cerdas dalam meningkatkan koordinasi dan kerja sama lintas instansi. Terwujudnya sinergitas antara Polri dan lembaga-lembaga ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penuntasan kasus korupsi yang diklaim sebagai prioritas negara dan pemerintah saat ini.

Ketiga, segera buat program untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia penyidik tindak pidana korupsi. Cari personel terbaik dan uji integritas mereka dengan sungguh-sungguh, bekerja sama dengan KPK dan bangun barisan penyidik korupsi yang andal. Mereka inilah yang dapat disebut Densus Anti-Korupsi.

Keempat, Kapolri perlu menyusun strategi dasar dan bentuk-bentuk tindakan kepolisian dalam rangka pengembalian aset hasil tipikor. Lakukan pula koordinasi intensif antarlembaga yang memiliki kompetensi dalam mengembalikan aset, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Kelima, Polri harus bersungguh-sungguh membangun sistem dan mekanisme implementasi bagi pembuka aib (whistle blower) sesuai Inpres No 1/2013.

Terakhir, keenam, Polri perlu menetapkan sasaran prioritas yang dibidik, yakni korupsi oleh penegak hukum dan korupsi pada jajaran penyelenggara negara. Dalam tataran ini sungguh sangat penting Polri memberikan contoh dengan tidak pilih bulu dan tidak terpengaruh semangat korps yang sempit jika menemukan ada korupsi, suap, atau gratifikasi pada anggota Polri.

(M Nasser, Komisioner Kompolnas)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002878662
Powered by Telkomsel BlackBerry®

AS Perlu Temui Sahabat-sahabatnya (Tajuk Rencana Kompas)

Pelihatannya Amerika Serikat semakin terpojok dalam urusan kegiatan spionase yang dilaporkan dilakukan Badan Keamanan Nasional (NSA) AS.
Setelah Brasil, Jerman, Meksiko, dan Perancis, kini giliran Spanyol yang mengecam program spionase AS. Berita utama harian terkemuka Spanyol, El Mundo dan El Pais, melaporkan, NSA mengawasi 60,5 juta panggilan telepon di Spanyol.

Seperti juga berita-berita soal program spionase lain yang dilakukan NSA, semuanya bersumber dari dokumen rahasia yang dibocorkan oleh eks analis dan kontraktor NSA, Edward Snowden, yang kini hidup di pengasingan di Rusia.

Kementerian Luar Negeri Spanyol memanggil Duta Besar AS untuk Spanyol guna membahas soal tuduhan bahwa NSA memantau pembicaraan telepon dari puluhan juta warga, pebisnis, dan politisi Spanyol.

Namun, Pemerintah Spanyol tidak terburu-buru dalam menyikapi soal tuduhan spionase yang dilaporkan diadakan oleh NSA. Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy mengatakan, negaranya sedang mencari informasi lebih lanjut. Itu pula sebabnya, Spanyol menolak seruan Jerman untuk bergabung bersama 28 negara anggota Uni Eropa lain untuk mencapai "kesepakatan tanpa spionase".

Sikap paling keras terhadap penyadapan yang dilakukan AS itu ditunjukkan oleh Jerman. Hal itu bisa dimengerti. Di masa kepemimpinan Nazi, seluruh kegiatan warga Jerman dimata-matai oleh pemerintah, demikian juga dengan warga Jerman Timur di bawah kekuasaan komunis. Itu menjadikan warga Jerman sangat traumatis apabila kegiatan mereka dimata-matai.

Gedung Putih membantah telah menyadap atau memantau 60,5 juta telepon di Spanyol. AS juga tegas membantah bahwa Presiden Barack Obama mengetahui aktivitas agen mata-mata AS memantau telepon seluler Kanselir Jerman Angela Merkel. AS pun menyebut pemberitaan surat kabar terkemuka Perancis, Le Monde, bahwa NSA menyadap 70,3 juta percakapan telepon di Perancis sebagai informasi yang tidak akurat dan menyesatkan.

Dalam keadaan seperti ini, bantahan yang dikeluarkan AS tidak banyak gunanya. Oleh karena itu, Pemerintah AS sebaiknya mengadakan pertemuan dengan negara-negara sahabatnya, dan menjelaskan secara rinci mengenai duduk soalnya. Misalnya, mengapa sampai Edward Snowden memiliki dokumen rahasia yang isinya sebagaimana dilaporkan dalam surat kabar terkemuka di Inggris, Jerman, Perancis, dan Spanyol?

Kita sangat berharap AS tidak bersikap defensif, serta mau secara terbuka dan jujur membicarakan apa yang terjadi. Dan, jika dimungkinkan, ke depan kegiatan spionase untuk mengatasi terorisme sebaiknya dilakukan bersama dengan negara-negara sahabatnya, dan bukan dengan memata-matai mereka.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002892986
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Memanfaatkan Tambang (Tajuk Rencana Kompas)

Eksploitasi sumber daya alam di sejumlah tempat di Tanah Air, alih-alih memakmurkan rakyat, yang terjadi justru kerusakan lingkungan.
Harian ini kemarin mengangkat sebagai berita utama kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir besi di Sulawesi Utara, di pesisir selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, hingga Nusa Tenggara Timur.

Kerusakan begitu masif sehingga masyarakat setempat menolak, di beberapa tempat disertai konflik dan kekerasan. Hal itu harus dilihat dalam konteks kelangsungan hidup warga untuk jangka panjang dan berkelanjutan.

Sementara penambangan akan berakhir begitu sumber daya alam habis, masyarakat di sekitarnya harus menanggung dalam waktu panjang akibat berubahnya ekosistem. Nelayan dan petani terkena dampak langsung, yaitu merosotnya produksi hasil laut dan pertanian yang merupakan sumber hidup mereka. Hutan bakau yang susah payah tumbuh dan berfungsi melindungi pantai dari gerusan ombak laut hilang karena pengerukan pasir besi.

Kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi pada penambangan pasir besi. Semua penambangan mengoyak muka Bumi. Bila penambangan di permukaan tanah, yang tersisa lubang-lubang besar. Ironisnya, sebagian besar hasil tambang itu diekspor mentah dengan harga rendah.

Pertanyaannya, mengapa praktik eksploitasi alam yang merusak terus terjadi? Salah satu penyebabnya, keinginan pemerintah daerah memperoleh pendapatan secara gampang dengan memberikan izin penambangan. Memang pemerintah daerah mendapatkan pemasukan, tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan.

Terbukti dari waktu ke waktu harga komoditas, termasuk tambang dan mineral, selalu berfluktuasi. Ketergantungan tinggi pada ekspor bahan mentah hasil tambang saat ini, misalnya, tidak menyumbang positif pada neraca perdagangan nasional ketika harga merosot di pasar internasional.

Eksternalitas (konsekuensi aktivitas ekonomi yang harus ditanggung pihak ketiga yang tidak terlibat, dalam hal ini warga setempat) yang terjadi negatif. Eksternalitas negatif itu hampir tidak pernah masuk di dalam anggaran belanja dan pendapatan daerah dan nasional. Eksploitasi sumber daya alam tanpa diikuti pemulihan lingkungan secara menyesatkan dianggap positif sebab memberi pendapatan bagi kas daerah atau negara dan lapangan kerja.

Pemerintah telah mencoba mengurangi dampak negatif dengan mengharuskan pengolahan hasil tambang. Selain untuk nilai tambah, juga lapangan kerja, alih teknologi, dan mengerem kerusakan lingkungan. Yang diperlukan konsistensi pelaksanaan peraturan dalam jangka panjang.

Kapasitas pejabat pemerintah di pusat dan daerah harus terus ditingkatkan, selain membangun kelembagaan untuk mencegah praktik rente ekonomi. Dengan demikian, ada keseimbangan antara memanfaatkan sebesar-besarnya kekayaan alam dengan kemakmuran adil dan merata.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002890125
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 29 Oktober 2013

Jaringan Politik Kekerabatan (Dinna Wisnu)

Oleh: Dinna Wisnu  

Menjelang Pemilu 2014, lagi-lagi polemik politik kekerabatan, yang dipopulerkan dengan istilah politik dinasti, muncul ke permukaan. Kasus dinasti keluarga Atut dari Banten menjadi momok yang mendorong sejumlah pihak untuk menetapkan pembatasan syarat jabatan untuk kepala daerah melalui RUU Pilkada.
Coba kita letakkan polemik itu dalam proporsinya. Politik kekerabatan sesungguhnya dipraktikkan di banyak negara, tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Di Amerika Serikat, kita kenal dinasti Kennedy dan George Bush. Sebelum itu, ada juga John Adams (presiden kedua AS) yang putranya, John Quincy Adams, menjadi presiden keenam AS.

Ada pula Franklin Delano Roosevelt (presiden ke-32 AS) yang adalah sepupu Theodore Roosevelt (presiden ke-26 AS). Roosevelt sendiri dikatakan memiliki hubungan kekerabatan dengan 11 presiden: 5 berdasarkan hubungan darah dan 6 lain karena pernikahan.

Dinasti politik dan partai
Asia mungkin surganya dinasti politik di mana banyak kepala pemerintahan punya hubungan kekerabatan dengan pemimpin sebelumnya. Di ASEAN, kita temukan itu di Singapura (keluarga Lee), di Malaysia (keluarga Razak), di Thailand (keluarga Shinawatra), di Filipina (keluarga Marcos dan Aquino), serta di Indonesia (keluarga Soekarno).

Selain istilah dinasti politik, ada pula istilah dinasti partai. Istilah ini merujuk pada partai-partai yang dibangun dengan mengandalkan ketokohan atau nama yang sudah cukup dikenal. Istilah ini sering dipakai dalam menganalisis situasi politik di India dan negara-negara di Asia Selatan. Contohnya: Partai Kongres di India yang sangat mengandalkan nama Gandhi untuk menjalankan partainya. Partai ini menempatkan beberapa keluarga Gandhi sebagai pemimpin partai dan juga perdana menteri. Tidak hanya Partai Kongres, ada 12 dari 62 partai lain yang tersebar di beberapa negara bagian India menganut partai dinasti.

Di Pakistan ada People's Party yang dipimpin keluarga Bhutto. Sesaat setelah Benazir Bhutto terbunuh, partai memutuskan bahwa penggantinya adalah anak tunggalnya, yakni Bilawal Bhutto Zardari. Namun, karena belum cukup umur dan belum tamat sekolah, sang ayah, Asif Ali Zardari, menjadi co-chairman dan menjalankan keputusan partai sehari-hari hingga sang anak cukup umur.

Contoh-contoh itu menggambarkan betapa jamaknya kekuasaan politik yang diwarnai hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Namun, kita tak bisa lantas mengatakan keluarga itu melakukan politik dinasti atau dinasti politik. Berkuasanya keluarga Bush dari Partai Republik adalah melalui sebuah proses seleksi partai ketat. Walaupun Bush Jr dianggap tidak punya kewibawaan atau kecerdasan seperti ayahnya, ternyata ia berhasil lolos seleksi partai dan bahkan berkuasa selama dua periode.

Dalam kasus dinasti partai di India, Pradeep Chhibber (2011) mengatakan dua hal yang memengaruhi sebuah partai berubah menjadi partai dinasti. Pertama adalah ketika partai tidak memiliki dukungan organisasi massa independen yang mampu memobilisasi suara atau tidak memiliki prosedur demokratis di dalam partai. Partai yang tidak punya organisasi massa umumnya mengandalkan ketokohan sebagai brand name dan menunjuk pengurus partai atas dasar kekuasaan yang dimilikinya itu.

Kedua adalah ketika keuangan partai bersifat ilegal dan dikuasai secara sentralistik oleh pemimpin partai. Dalam kondisi seperti itu, transaksi politik yang terjadi akan menciptakan defisit keterwakilan partai atas suara masyarakat yang memilihnya.

Kasusnya beda dengan di Filipina, karena dinasti politik di sana berkembang dan bertahan akibat langgengnya sistem patron dari segelintir keluarga kaya yang pernah dihadiahi tanah oleh penjajah Spanyol. Pada masa itu, Spanyol menggunakan metode bagi lahan untuk menciptakan loyalitas kepada pimpinan
yang dicangkok oleh Spanyol sambil melakukan konsolidasi horizontal dari tiap tuan tanah yang dilindungi oleh Spanyol tadi.

Karena tidak pernah ada terobosan land reform (reformasi kepemilikan lahan), maka kekuasaan para tuan tanah berakumulasi terus dan mereka kemudian mendirikan partai-partai politik. Partai politik di Filipina sangat rentan didikte oleh
segelintir keluarga dan sering kali antarkeluarga bekerja sama untuk memenangi kekuasaan. Filipina memang meloloskan UU Antidinasti Politik, tetapi keefektifan UU tersebut dipertanyakan karena struktur masyarakatnya tak berubah.

Politik dinasti di Indonesia
Di Indonesia, politik kekerabatan dapat ditelusuri dari zaman Orde Baru dan Reformasi. Periode Orde Baru ditandai hadirnya patrimonial state, di mana negara berperan besar melahirkan kepentingan bisnis tertentu dengan memanfaatkan fasilitas negara termasuk akses terhadap modal. Pengorganisasian ala kongkalikong ini dapat dilakukan oleh berbagai jaringan yang juga mewakili kekuatan politik. Misalnya lewat jaringan keluarga, jaringan militer, jaringan Golkar (sebelum menjadi partai), jaringan himpunan kemahasiswaan,
jaringan keagamaan, dan lain-lain.

Pada periode Reformasi, liberalisasi ekonomi dan demokrasi telah mengurangi peran pemerintah pusat, tetapi tercipta sentra-sentra kekuasaan baru yang lebih tersebar dengan jaringan yang semakin beragam, tetapi sulit ditembus masyarakat awam. Sejumlah pengamat menyebut tren ini sebagai oligarchic state karena jejaring kekuasaan ini berhasil mengakali mekanisme kompetisi yang fair.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa jaringan politik kekerabatan tidak akan hancur hanya karena suatu UU. Kita harus memperhatikan faktor sosiologis dan historis, apalagi karena akan ada saja jaringan lain yang siap menggantikan dinasti yang tersingkir. Satu hal yang mampu memberikan jaminan akan kompetisi yang fair dalam politik (maupun bisnis) adalah jika birokrasi yang menggawangi proses seleksi politik (maupun ekonomi) bersikap profesional, transparan, dan akuntabel.

Saat ini KPK sudah berhasil membongkar beberapa jaringan yang berusaha menggembosi wibawa negara, tetapi hal ini harus terus dilanjutkan untuk membongkar semua jaringan yang berpotensi memenjarakan Indonesia dalam pola oligarki.

(DinNa wisnu, Direktur dan Co-founder Paramadina Graduate School of Diplomacy, Jakarta)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002829102
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Masyarakat Maritim ASEAN (Bayu A Yulianto)

Oleh: Bayu A Yulianto

Salah satu fakta tak terhindarkan dari rencana pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 adalah wilayah negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, didominasi laut.
Pada titik ini laut bisa menjadi satu modalitas bagi proses integrasi kawasan. Akan tetapi jika tak terkelola dengan baik, sebaliknya, laut dapat memicu disintegrasi yang mengarah pada bentuk-bentuk konflik, baik antarnegara maupun antarwarga. Dibutuhkan diskusi antarpemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk mendorong berdirinya komunitas maritim ASEAN.

Paradoks regionalisme
ASEAN adalah manifestasi dari konsep regionalisme ekonomi. Meskipun dianggap sebagai satu proses transformasi paling ideal dari sebuah hubungan multilateral, perspektif regionalisme tidak sepi dari kritik. Regionalisme adalah perluasan dari paham neoliberal yang menempatkan negara sebagai the necessary evil. Satu cara pandang yang mengharapkan agar negara tidak lagi terlalu banyak mengurusi persoalan-persoalan di dalam masyarakat, meskipun mereka juga berharap agar negara juga mampu menjamin keamanan masyarakat dari segala macam bentuk ancaman, baik dari luar maupun dari dalam. Ringkasnya: di satu sisi menolak, tetapi di sisi lain berharap.

Berkaca pada posisi yang paradoksal seperti itu, maka regionalisme menuntut satu prasyarat penting dalam konteks hubungan negara bangsa, yakni membuat sebanyak mungkin peluang hubungan antara satu kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat lain dalam satu kawasan. Negara diharapkan lebih membuka diri pada proses-proses sosial yang mungkin muncul ketika relasi antarwarga itu terbangun. Batas-batas negara yang semula pejal, dalam konteks regionalisasi ekonomi diharapkan menjadi lebih cair sehingga dimungkinkan adanya aliran manusia dan modal yang lebih cepat serta bebas hambatan.

Pada posisi seperti inilah kritik terhadap cara pandang regionalisme mulai mengemuka. Salah satunya terkait persoalan kedaulatan nasional. Pengembangan kawasan ekonomi multilateral mensyaratkan bentuk-bentuk pengurangan dominasi peran negara bangsa dalam urusan-urusan masyarakat, terutama terkait dengan persoalan investasi.

Regionalisasi, yang merupakan perluasan makna dari globalisasi, dianggap sebagai satu kekuatan positif yang mesti direspons dengan ramah oleh negara. Padahal, seperti banyak ditengarai, globalisasi menyimpan paradoks. Di dalam globalisasi ada kesempatan sekaligus ancaman.

Oleh karena itu, penyiasatan-penyiasatan pada level negara jadi sangat penting. Posisi negara untuk menciptakan keamanan, keadilan, dan kemakmuran tidak mungkin terhapuskan, bahkan oleh peluang besar yang ditawarkan oleh pasar dalam globalisasi dan regionalisasi ekonomi itu sendiri.

Konteks maritim
Paradoks regionalisme yang telah diuraikan di atas menemukan kontekstulitasnya pada persoalan kemaritiman, terutama terkait aliran manusia, aliran modal, dan tata batas teritorial negara. Dengan demikian, tantangan ke depan adalah bagaimana persoalan-persoalan kunci terkait relasi antarnegara dan relasi antarwarga ASEAN yang eksis di laut bisa dikonstruksikan sebagai arena baru dari sebuah proses integrasi kawasan yang tetap mengedepankan kedaulatan setiap negara. Di sini penting untuk memulai inisiatif komunikasi yang didasari oleh satu kesamaan kepentingan, sekaligus kesamaan nasib: nasib bangsa- bangsa ASEAN yang peradaban maritimnya terdegradasi.

Degradasi kultur maritim nyatanya bukan hanya domain Indonesia. Hans Dieter Evans (2011) dalam salah satu tulisannya tentang Malaysia juga merasakan kegalauan yang sama. Ia mempertanyakan mengapa bangsa Malaysia saat ini seperti menjauh dari laut. Padahal di masa lalu etnis mayoritasnya memiliki keterkaitan erat dengan kebudayaan Polinesia yang memiliki pengalaman panjang mengarungi samudra.

Kenyataan yang sama sepertinya juga terjadi di negara-negara anggota ASEAN lain, seperti Filipina, Thailand, dan Vietnam. Padahal, sampai hari ini kawasan Asia Tenggara adalah jalur pelayaran tersibuk yang menghubungkan Barat dan Timur selama beberapa abad lamanya.

Sejarah mencatat banyak muncul bandar-bandar kosmopolitan yang melayani para pengarung samudra dari sejumlah bangsa di sepanjang jalur pelayaran Asia Tenggara: mulai dari Selat Malaka sampai Laut China Selatan. Kesamaan sejarah dan nasib kekinian ini sepertinya bisa jadi titik berangkat yang sama di antara setiap negara anggota ASEAN. Dibutuhkan satu kesadaran kolektif bahwa masa depan hubungan multilateral kawasan ini terletak di laut.

Oleh karena itu, inisiatif Indonesia untuk mendorong konektivitas maritim di kawasan patut diapresiasi sebagai satu optimisme baru pola interaksi di antara warga negara di kawasan ini. Norma-norma baru perlu ditumbuhkan sebagai antisipasi untuk mencegah munculnya benturan ataupun konflik di laut.

Laut harus dijadikan sebagai arena di mana interaksi sosial, ekonomi, politik, dan kultural antarwarga bangsa bisa terjadi. Negara dengan aparatusnya bertugas menjaga keamanan kawasan agar tetap kondusif bagi proses interaksi tersebut.

Daulat masyarakat ASEAN
Karena proses interaksi antarwarga yang makin meluas, konstruksi kedaulatan nasional terkait batas atau teritorial negara memiliki kemungkinan dimaknai ulang tanpa harus mengurangi wibawa negara. Norma-norma baru yang mengikat para pencari ikan dari negara masing-masing juga perlu disusun sehingga bisa mengikat setiap pihak. Tentu saja di sini pilihannya adalah apakah konstruksi norma baru itu berangkat dari apa yang selama ini sudah berjalan baik di tingkat negara maupun di tingkat masyarakat, atau sebaliknya: konstruksi norma regional itu jadi acuan bagi norma-norma pada tingkat nasional dan lokal.

Sepertinya yang pertama lebih relevan untuk dipilih. Sebab acuan pada tingkat regional semestinya memiliki dasar-dasar empiris pada tingkat lokal sehingga selain memperkecil benturan horizontal antarwarga pencari ikan di laut, mekanisme tersebut juga bisa melindungi hak-hak komunal pada tingkat lokal.

Di sini jelas bahwa jika kawasan laut ASEAN ingin dijadikan sebagai kawasan laut bersama, yang paling penting adalah melindungi hak-hak kolektif yang sampai hari ini masih hidup di dalam masyarakat lokal. Apalagi secara sosiologis hampir semua negara anggota ASEAN, kecuali Singapura, adalah negara berkembang yang sebagian besar penduduknya tinggal di wilayah pedesaan dan bergantung secara langsung pada alam.

Selain penetapan batas teritorial negara, perlindungan terhadap masyarakat yang menggantungkan hidup pada laut harus dilihat sebagai manifestasi dari kedaulatan nasional setiap negara. Perlindungan terhadap hak komunal juga sebagai upaya menjamin rasa keadilan tetap hadir bagi masyarakat.

Bagi Indonesia, bermacam inisiatif dapat mulai digulirkan untuk mendorong satu tatanan pengelolaan sumber daya laut dan masyarakat maritim kawasan yang berkeadilan. Masyarakat maritim sendiri, mengacu Janizewski (1985), adalah satu tatanan masyarakat yang tidak saja tinggal dekat laut dan menggantungkan kebutuhan hidupnya pada laut. Di dalam masyarakat maritim juga muncul berbagai ikatan sosial dan bermacam obligasi sosial yang berhubungan dengan laut. Identitas kolektif mereka pun terbentuk dari proses pemaknaan bersama tentang laut.

Salah satu inisiatif yang bisa dijalankan adalah produksi pengetahuan mengenai masyarakat maritim di sejumlah negara di ASEAN. Inisiasi ini tentu bukan dalam kerangka mendominasi ASEAN, melainkan sebagai upaya untuk memperkuat landasan pengetahuan bagi masyarakat agar bisa membangun satu proses interaksi sosial maritim yang mampu mendorong integrasi sosial dan meminimalisasi konflik. Upaya ini juga bisa dimaknai sebagai jalan untuk mengembalikan kejayaan maritim kawasan.

(Bayu A Yulianto, Mengajar Sosiologi Maritim di Prodi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002758822
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Problematika Privatisasi Uang Negara (W RIAWAN TJANDRA)

Oleh: W RIAWAN TJANDRA

Status hukum uang negara yang ditempatkan melalui keputusan penyertaan modal oleh pemerintah/pemerintah daerah dalam bentuk saham di BUMN yang berbadan hukum persero masih terus dijadikan polemik hukum.

Bahkan kini bukan hanya jadi wacana publik, melainkan juga sudah ada beberapa pihak yang mengajukan uji materi untuk membatalkan pengaturan yang menempatkan uang yang dikelola badan usaha milik negara (BUMN) sebagai bagian dari keuangan negara di Mahkamah Konstitusi.

Selama ini, pengaturan hukum mengenai status uang negara di BUMN didasarkan ketentuan Pasal 2 huruf g UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, yang antara lain terdapat frasa: "...termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah" yang telah menempatkan uang negara di BUMN sebagai cakupan rezim hukum keuangan negara.

Sapi perah politik
Pengaturan status hukum uang negara di BUMN, sebagaimana diatur Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara, tak lepas dari amanat Pasal 23 E UUD 1945 yang menempatkan seluruh tipologi kekayaan negara/daerah yang bersumber dari keuangan negara di bawah otoritas audit dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Konstelasi politik hukum yang mengiringi proses amandemen UUD 1945 telah memberikan pengaruh signifikan terhadap upaya penguatan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri. Penguatan kedudukan BPK dalam konstitusi yang dijabarkan dalam UU No 15/2006 didasarkan atas paradigma untuk mengamankan dan mengembalikan aset-aset negara yang cukup banyak yang telah berpindah tangan ke tangan kekuasaan oligarki politik yang bersenyawa dengan kekuasaan oligarki ekonomi di negeri ini.

Mencermati sejarah pengaturan mengenai status hukum uang negara di BUMN sebenarnya sejak berlakunya UU Keuangan Negara pada masa Hindia Belanda yang dikenal dengan Indonesische Comptabiliteit Wet, yang kemudian diubah jadi UU Perbendaharaan Indonesia, telah menganut definisi luas terhadap makna keuangan negara yang menempatkan uang di BUMN sebagai cakupan rezim hukum keuangan negara.

Hal itu berarti apa yang diatur dalam UU Keuangan Negara saat ini sudah memiliki latar belakang historis yang sangat kuat.

BUMN sering dijadikan arena transaksi dan negosiasi kepentingan politik antara penguasa dan pengusaha yang membahayakan keselamatan uang negara. Buruknya manajemen BUMN di masa lalu, ditambah rendahnya kapasitas institusi-institusi bisnis negara itu dalam menginternalisasikan tata kelola perusahaan yang baik, telah membawa uang negara yang dipisahkan dengan semangat menambah penghasilan negara untuk kemakmuran rakyat tersebut ke dalam lorong- lorong gelap siklus rente ekonomi-politik.

Selama ini BUMN juga sering dijadikan sapi perah politik, menyebabkan kerugian keuangan negara dalam jumlah fantastis. Tengoklah kasus yang muncul di beberapa BUMN besar, seperti di PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) yang telah diproses hukum melalui perkara tindak pidana korupsi oleh KPK di Pengadilan Tipikor.

Jika ditinjau dari "teori sumber" uang negara yang dipisahkan dari APBN untuk diinvestasikan di BUMN, jelas bersumber dari uang rakyat di APBN. Hal itu berimplikasi harus tunduk pada mekanisme pengelolaan, pertanggungjawaban dan pemeriksaan yang sama dengan aliran uang negara lainnya.

Asas kelengkapan yang dikenal dalam hukum keuangan negara mengharuskan seluruh uang negara bersifat transparan dan tak ada yang terlepas dari pengawasan parlemen sebagai representasi rakyat. BUMN tak boleh berlindung di balik otonomi badan hukum privat untuk melucuti akses pengawasan rakyat terhadap uang negara yang dipisahkan.

Persengkongkolan korupsi politik antara elite politik, birokrat dan penguasa BUMN selama ini telah menyebabkan lemahnya internalisasi nilai-nilai tata kelola perusahaan yang baik.

Hal itulah yang menyebabkan UU No 19/2003 tetap menempatkan pengawasan atas tata kelola penggunaan uang negara di bawah otoritas BPK, yang dalam konstitusi pasca-amandemen diletakkan sebagai lembaga auditif tertinggi untuk mengawasi seluruh penggunaan negara di mana pun uang negara mengalir.

Status uang negara terhadap kekayaan negara yang dipisahkan dan ditempatkan di BUMN tak perlu menjadi halangan bagi inovasi dalam mengelola BUMN. Justru seharusnya akan menjadikan para pengelola BUMN lebih cermat dalam mengelola uang yang dihasilkan dari keringat rakyat tersebut.

Negara kesejahteraan
Penempatan uang negara di BUMN dalam beberapa teori sering dibenturkan dengan independensi badan hukum korporasi yang harus diberi ruang untuk mengelola secara privat dalam mengantisipasi konsekuensi menghadapi risiko bisnis. Hal itu sering menimbulkan dilema antara independensi korporasi untuk melakukan inovasi dengan ancaman jerat UU Tipikor, karena sebagian kekayaan yang dikelolanya bersumber dari uang negara ketika korporasi menghadapi risiko bisnis.

Dalam kondisi tersebut, teori transformasi uang negara yang menganggap uang negara berubah menjadi uang privat dalam BUMN berstatus persero dianggap jadi jalan keluar untuk melepaskan jerat UU Tipikor. Cara pandang ini justru bisa menyeret terlalu jauh paradigma pengelolaan BUMN terlepas dari akar filosofi Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki landasan negara kesejahteraan dalam mengelola perekonomian di negeri ini, bukan landasan negara kapitalistik yang memisahkan negara dan rakyat dalam usaha perekonomian negara.

Pembatalan berlakunya Pasal huruf g UU No 17/2003 justru mengancam kesahihan makna Pasal 33 UUD 1945. Juga membahayakan akuntabilitas pengelolaan tak kurang dari Rp 3.000 triliun uang rakyat di BUMN!

(W RIAWAN TJANDRA, Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002570342
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sertifikasi Hasil Pemilu (Ramlan Surbakti)

Oleh: Ramlan Surbakti

Mampukah ketua dan anggota kelompok pelaksana pemungutan suara di tempat pemungutan suara menyertifikasi hasil pelaksanaan Pasal 154 dan Pasal 178 UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD?

Maksudnya, apakah para petugas pemungutan dan penghitungan suara mampu mengklasifikasi pilihan, mencatat, dan menjumlah hasil pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara dalam sertifikat hasil penghitungan suara secara benar dan akurat? Pertanyaan ini muncul dalam suatu diskusi di antara beberapa teman yang peduli pada pemilu yang berintegritas.

Berbagai persoalan
Apa yang terjadi pada Pasal 154 dan Pasal 178 tersebut? Pasal 154 berisi tentang cara memberikan suara dan pilihan yang tersedia bagi pemilih, sementara Pasal 178 berisi rumusan ketentuan tentang suara yang dapat dinyatakan sah.

Pasal 154 berbunyi: "Pemberian suara untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara."

Dua persoalan muncul dari pasal ini. Pertama, menyamakan pilihan pemberian suara untuk pemilu anggota DPR dan DPRD dengan pilihan memberikan suara untuk pemilu anggota DPD. Hal ini keliru karena peserta pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan peserta pemilu anggota DPD adalah perseorangan. Namun, persoalan ini kemudian diperbaiki pada rumusan Pasal 178 yang berisi tentang suara sah untuk pemilu anggota DPR dan DPRD (Ayat 1) dipisahkan dari suara sah untuk pemilu anggota DPD (Ayat 2).

Persoalan kedua menyangkut berbagai pilihan yang tersedia bagi pemilih ketika pemberian suara untuk pemilu anggota DPR dan DPRD sehingga sukar diklasifikasi, dicatat, dan dijumlah secara benar dan akurat. Persoalan kedua ini berkaitan erat dengan Pasal 178 Ayat (1). Pasal 178 Ayat (1) berbunyi: "Suara untuk pemilu anggota DPRD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila (a) surat suara ditandatangani oleh ketua KPPS; dan (b) tanda coblos pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berada pada kolom yang disediakan; atau (c) tanda coblos pada tanda gambar partai politik berada pada kolom yang disediakan."

Pasal 178 Ayat (1) ini mengandung dua persoalan. Huruf c sesungguhnya sudah terkandung dalam huruf b, khususnya bagian pertama dari huruf b. Namun, adanya rumusan huruf c akan melahirkan ketidakpastian hukum: apakah cara coblosan huruf c berbeda dengan cara coblosan yang terkandung dalam huruf b.

Akan tetapi, persoalan terberat justru isi huruf b. Jika dibaca secara cermat, rumusan huruf b sekurang-kurangnya mengandung dua tafsiran. Pertama melihat lima cara mencoblos yang masuk kategori sah. Pertama, mencoblos kolom nomor partai politik. Kedua, mencoblos kolom tanda gambar partai politik. Ketiga, mencoblos kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Keempat, mencoblos kolom nomor partai politik dan kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Kelima, mencoblos kolom tanda gambar partai politik dan kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Dari kelima alternatif pemberian suara ini terdapat dua potensi persoalan. Pertama, para politisi di DPR ternyata memandang nama partai tidak penting disebut dalam surat suara. Bagi sebagian partai politik hal itu tak jadi masalah karena nama partai tertulis dalam tanda gambar partai tersebut, tetapi bagi sebagian partai lain nama partai tidak tertulis dalam tanda gambar partai. Kedua, kemungkinan pemilih mencoblos kolom nomor partai dan kolom tanda gambar partai sekaligus. Intensi pemilih jelas menggambarkan pilihan kepada partai, tetapi mungkin akan dikategorikan tidak sah karena tanda coblos lebih dari sekali pada partai politik.

Kalau bacaan ini benar, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menyertifikasi hasil pencoblosan (mencatat dan menjumlah hasil pencoblosan) pemilih dalam sertifikat hasil penghitungan suara secara benar dan akurat. Setidaknya terdapat tiga tugas ketua dan anggota Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS) dalam proses sertifikasi hasil penghitungan suara.

Pertama, menentukan apakah tanda coblos dalam surat suara termasuk kategori suara sah atau tidak sah. Kedua, menempatkan tanda coblos pemilih pada perolehan suara nomor partai politik, atau pada perolehan suara tanda gambar partai politik, atau pada perolehan suara calon, atau pada perolehan suara nomor partai politik dan nama calon, atau pada perolehan suara tanda gambar partai politik dan nama calon. Ketiga, menjumlahkan perolehan suara partai politik dan menjumlah perolehan suara nama calon.

Tanda coblos pada kolom nama nomor partai atau pada kolom tanda gambar partai politik dianggap sebagai perolehan suara suatu nama partai politik tertentu. Akan tetapi, hal ini lebih bersifat kesimpulan logis daripada berdasarkan ketentuan formal. Sebab, Pasal 154 dan Pasal 178 tersebut sama sekali tidak menyebut nama partai politik. Suara yang diberikan kepada seorang nama calon otomatis akan menjadi suara partai politik yang mengajukan calon tersebut. Tetapi hal itu lebih bersifat logika (kesimpulan logis) daripada berdasarkan ketentuan formal, mengingat tidak ada satu pasal pun dalam UU Pemilu itu yang menyatakan secara tegas kesimpulan tersebut.

Sejumlah potensi persoalan muncul dari tugas ketiga ini: kekeliruan dalam mengklasifikasi tanda coblos pada kolom apa saja yang termasuk perolehan suara partai politik; kekeliruan dalam mengklasifikasi tanda coblos pada kolom apa saja yang termasuk perolehan suara nama calon; kekeliruan dalam mengklasifikasi tanda coblos pada kolom apa saja yang termasuk perolehan suara partai dan perolehan suara seorang nama calon; serta kekeliruan dalam menjumlah perolehan suara partai dan dalam menjumlah perolehan suara nama calon. Singkat kata, permasalahan yang muncul dalam proses sertifikasi hasil pemungutan suara tidak hanya kemungkinan peningkatan jumlah suara tidak sah, tetapi terutama kemungkinan kesalahan dalam proses sertifikasi. Sebab, pilihan yang dibuka untuk pemberian suara terlalu kompleks sehingga tidak saja timbul berbagai penafsiran atas maksud ketentuan tersebut, juga sukar dilaksanakan.

Tafsiran kedua berangkat dari asumsi bahwa desain surat suara yang ditetapkan oleh KPU akan berisi dua kolom tempat tanda coblos untuk setiap partai politik peserta pemilu. Kolom pertama berisi nomor, nama partai politik, dan tanda gambar partai politik. Sementara kolom kedua sebanyak jumlah calon (yang diajukan setiap partai di setiap daerah pemilihan), berisi nomor dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Asumsi ini muncul tak hanya berangkat dari desain surat suara yang baik, yaitu pilihan yang ditawarkan sedikit dan mudah dipahami, tetapi juga berdasarkan desain sistem pemilihan umum yang dianut dalam UU Pemilu, yaitu hanya dua pilihan yang ditawarkan kepada pemilih: memilih satu partai politik peserta pemilu atau memilih satu nama calon yang diajukan suatu partai politik.

Akan tetapi, tafsiran kedua ini berangkat dari asumsi, bukan dari teks resmi UU. KPU hanya dapat membuat desain surat suara seperti itu berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Pemilu, bukan berdasarkan asumsi yang seharusnya.

Perlu direvisi

Untuk menjamin integritas proses pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara, rumusan Pasal 154 perlu direvisi sehingga mudah dipahami dan disertifikasi oleh petugas KPPS. Rumusan revisi yang disarankan tidak hanya memisahkan cara pemberian suara untuk pemilu anggota DPR dan DPRD dari cara pemberian suara untuk pemilu anggota DPD, tetapi juga menyederhanakan alternatif pilihan.

Pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan mencoblos satu kali pada kolom berisi nomor, nama, dan tanda gambar partai dan/atau pada kolom yang berisi nomor dan nama calon pada surat suara. Rumusan revisi terhadap Pasal 178 Ayat (1) huruf b berbunyi sebagai berikut: tanda coblos pada kolom yang berisi nomor, nama, dan tanda gambar partai politik dan/atau tanda coblos pada kolom yang berisi nomor dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Selain itu, ketentuan huruf c perlu dihapuskan karena sudah termasuk dalam rumusan huruf b.

Revisi ini sangat penting karena hasil pemilu ditentukan tidak saja oleh kemampuan ketua dan anggota KPPS melaksanakan proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS, juga rumusan pemberian suara yang mudah dipahami dan disertifikasi oleh petugas KPPS tersebut. Rumusan Pasal 154 dan Pasal 178 terlalu kompleks untuk dapat dipahami dan disertifikasi secara benar dan akurat oleh seluruh petugas KPPS. Seluruh tahapan pemilu lainnya, seluruh biaya pemilu yang dikeluarkan, dan penggunaan perangkat teknologi informasi yang canggih dan mahal akan tidak berguna jika hasil pelaksanaan pemungutan suara tidak dapat disertifikasi secara benar dan akurat oleh petugas KPPS.

Alternatif format hukum
Ada empat alternatif format hukum yang tersedia untuk merevisi kedua pasal tersebut. Pertama, mengubah UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, khususnya Pasal 154 dan Pasal 178 tersebut. Hal ini merupakan format hukum yang ideal, tak hanya karena memang tugas dan kewenangan DPR bersama Presiden membuat/mengubah undang-undang, tetapi juga perubahan dapat dilakukan sesuai dengan isi yang diharapkan. Kelemahan cara ini tidak saja akan memakan waktu yang agak lama, tetapi juga dapat berkembang ke isu lain.

Kedua, perubahan kedua pasal itu melalui peraturan pemerintah pengganti UU (perppu). Kalau isi perubahan itu disepakati semua pihak, perubahan dengan format ini tidak saja akan dapat dibatasi sesuai yang diharapkan, tetapi juga dapat dilakukan dalam waktu singkat.

Ketiga, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan kedua pasal tersebut. Namun, cara ini sangat tidak ideal karena MK tidak memiliki kewenangan menawarkan rumusan pengganti kedua pasal tersebut.

Keempat, perubahan kedua pasal tersebut melalui peraturan pelaksanaan oleh KPU. Perubahan isi kedua pasal itu dapat dilakukan sesuai dengan yang diharapkan, tetapi mengandung potensi digugat kepada Mahkamah Agung karena dianggap tidak sesuai dengan isi undang-undang. Karena itu, perubahan melalui perppu merupakan format hukum yang paling tepat dari segi isi dan waktu.

(Ramlan Surbakti, Wakil Ketua KPU 2001-2007)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002756021
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tenggelamnya Isu Kepemudaan (Tajuk Rencana Kompas)

Hasil jajak pendapat harian ini kemarin tentang kepedulian kaum muda selama tiga tahun terakhir rasanya mewakili pengamatan dan perasaan kita.
Peranan kaum muda, di rentang usia lebih muda sebagai agen perubahan, mengalami titik balik pascareformasi 1998. Era sekitar Proklamasi, era '60-an, '70-an, '80-an, dan '90-an tinggal kenangan heroik. Menurut 73,6 responden, pemuda tidak ikut ambil bagian dalam mewujudkan butir-butir sila Pancasila. Optimistis sekaligus pesimistis.

Melemahnya wacana peranan pemuda, padahal secara kuantitatif keterlibatan mereka dalam bidang praksis politik dan advokasi masyarakat semakin besar, menunjukkan rasa owel kaum tua (>30 tahun) menyerahkan estafet peranan mereka kepada pemuda. Jumlah anggota legislatif terus meningkat, tetapi tetap didominasi kaum tua, pun para calon presiden dan calon wakil presiden yang dijagokan maju dalam tahun 2014.

Tenggelamnya isu kepemudaan menjadi lebih serius ketika didasarkan pada ketidakpercayaan. Bacaan atas kondisi itu identik dengan wacana tentang peranan kaum perempuan dalam politik. Titik simpulnya terletak pada ikhlas dan tidaknya mengalokasikan tempat dan kesempatan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik dan praksis pemerintahan.

Kelebihan dalam hal kecepatan pengambilan keputusan dan proses adaptasi tertutup oleh pengingkaran afirmasi kaum tua. Ketidaksiapan, kementakan (kemungkinan), dan serba tanggung dihinggapkan sebagai kesimpulan belum adanya kompetensi sekaligus otoritas dominasi kaum muda sebagai pengambil keputusan-keputusan strategis.

Tanpa sengaja, para gerontolog mengumbar kekuasaan dalam praksis pemerintahan gerontokratis seperti terlihat dari nama-nama capres dan cawapres 2014 yang didominasi kaum tua. Semakin sah pembenaran itu ketika kaum muda sendiri yang memperoleh kesempatan pun tidak kapabel, bahkan lebih ganas nafsu koruptifnya, dan lebih "maju" ikut arus pragmatisme berlebihan.

Merangsang dan menghidupkan semangat dan praksis bisa menghargai kemampuan kaum muda harus direbut oleh kaum muda sendiri. Potensi menjadi generasi emas harus direbut oleh kaum muda sendiri. Dengan memperpanjang usia kaum muda di bawah 40 tahun sehingga persentasenya 60 persen total penduduk Indonesia, potensi itu bisa terwujud dengan sejumlah syarat.

Pertama, kaum tua yang duduk di posisi strategis perlu tinggalkan sikap gerontokratis, dan tinggalkan slogan-slogan pemuasan diri. Kedua, bagi kaum muda—yang incumbent dalam posisi-posisi politik yang strategis—perlu menampilkan kinerja lebih baik dan tidak larut dalam mengumbar nafsu koruptif. Ketiga, manfaatkan kesempatan potensi bonus demografis tanpa menunggu "budi baik" kaum tua.

Kalau ketiga syarat itu terabaikan, semakin tenggelam pula wacana tentang kepemudaan, senyampang itu kaum muda tetap jadi generasi lebay dan memble.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002878551
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger