Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 31 Desember 2013

Soal Panggilan Timwas Century kepada Wapres (Satya Arinanto)

SEBAGAIMANA diberitakan di media massa, Tim Pengawas Bank Century mengundang Wakil Presiden Boediono untuk hadir dalam rapat dengan Timwas.
Terkait undangan ini, dengan tetap menghormati lembaga, tugas dan wewenang DPR, Boediono menyatakan dengan menyesal tidak dapat menghadiri undangan tersebut. Hal itu telah ditegaskan oleh Wapres melalui juru bicaranya, Yopie Hidayat.

Salah satu alasan yang dikemukakan anggota Timwas Century ialah bahwa undangan tersebut dimaksudkan agar Boediono mengklarifikasi pernyataannya. Saat menyampaikan keterangan di Panitia Khusus (Pansus) Bank Century, Boediono menyatakan bahwa Bank Century ditalangi. Namun, setelah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi untuk kedua kalinya, Boediono menyatakan Bank Century diambil alih. Isi keterangan yang dianggap berbeda itulah di antaranya yang jadi alasan Timwas memanggil Wapres.

Menurut penelusuran penulis, rencana Timwas mengundang Wapres sebenarnya sudah terdengar sejak sekitar April 2013. Dengan demikian, sebenarnya itu bukan baru muncul belakangan ini. Karena Boediono kemudian menyatakan dengan menyesal tidak dapat menghadiri undangan itu, muncul pertanyaan apakah penyampaian undangan ini— atau lebih lazim disebut sebagai pemanggilan—sudah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum?

Perspektif hukum
Undangan itu sebenarnya memiliki permasalahan yang mendasar jika ditinjau dari perspektif hukum, khususnya hukum tata negara. Pertama, ditinjau dari sisi kelembagaan, lembaga Timwas Century dibentuk setelah Sidang Paripurna DPR pada 4 Maret 2010 memutuskan Opsi C sebagai rekomendasi dari Pansus Century. Opsi C itu pada intinya merekomendasikan bahwa seluruh dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang berindikasi perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum berikut pihak-pihak yang bertanggung jawab agar diserahkan kepada lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan KPK sesuai kewenangannya.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 81 Ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah (atau yang dikenal sebagai UU MD3), diatur tentang adanya sepuluh alat kelengkapan DPR, termasuk pansus. Adapun timwas tidak termasuk dalam sepuluh alat kelengkapan utama DPR tersebut; tetapi menurut ketentuan huruf k dari pasal dan ayat ini, timwas dapat dikategorikan sebagai alat kelengkapan lain DPR.

Kedua, dari sisi tugas dan wewenang. Berdasarkan Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 77 Ayat (1) UU MD3, DPR mempunyai hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Jika ini dikaitkan dengan permasalahan kelembagaan tadi, dapat dinyatakan kewenangan timwas tidak sama dengan pansus. Pansus dibentuk sebagai pelaksanaan hak angket DPR. Pada saat Pansus Century bekerja, mekanisme kerjanya masih didasarkan pada UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR.

Berdasarkan Pasal 77 Ayat (3) UU MD3, hak angket adalah hak DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam penjelasan pasal ini diuraikan pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wapres, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian.

Berdasarkan Pasal 3 UU No 6 Tahun 1954, Panitia Angket— yang dalam konteks kasus Century tugas dan wewenangnya dijalankan Pansus Hak Angket Century—memang berhak melakukan pemanggilan kepada semua penduduk dan warga negara Indonesia. Namun, UU No 6 Tahun 1954 tersebut telah dicabut Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dalam nomor perkara 8/PUU-VIII/2010 tanggal 31 Januari 2011. Dari sisi tugas dan wewenang ini, timwas dibentuk dengan maksud  untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi DPR berupa Opsi C itu.

Dengan demikian, pada intinya timwas berwenang mengawasi kinerja lembaga-lembaga penegak hukum, yaitu memastikan bahwa Polri, Kejagung, dan KPK menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya untuk menyelesaikan permasalahan Century. Di samping itu, timwas juga bertugas mengawasi pelaksanaan rekomendasi dan proses penelusuran aliran dana serta pemulihan aset dengan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jadi, berbeda dengan pansus, timwas tak berwenang melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak lain di luar ketiga aparat penegak hukum itu, termasuk tidak berwenang melakukan pemanggilan kepada Wapres Boediono.    

Pemulihan aset
Sebagaimana kita ketahui, ketika Pansus Century sedang bekerja, Wapres Boediono telah dua kali menghadiri undangan rapat Pansus, yaitu pada 22 Desember 2009 dan 12 Januari 2010. Pada saat itu, Boediono telah menyampaikan keterangan, data, dan informasi yang ia ketahui terkait bail out Bank Century. Dengan sikap kooperatif, Boediono juga telah dua kali memenuhi permintaan keterangan sebagai saksi oleh KPK. Dalam proses pemeriksaan tersebut, semua fakta, data, informasi, dan dokumen yang terkait dengan permintaan keterangan sebagai saksi juga telah disampaikan kepada KPK.

Di samping itu, menurut pengamatan penulis, ketiga aparat penegak hukum yang disebut dalam rekomendasi Pansus Century—Polri, Kejagung, dan KPK—selama ini juga telah menjalankan rekomendasi DPR itu sesuai tugas dan wewenangnya. Dalam konteks hukum, mereka menjalankan sebagian dari kekuasaan kehakiman. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang terkait kekuasaan kehakiman, khususnya Pasal 24 Ayat (1), kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, seyogianya proses yang dijalankan ketiga aparat penegak hukum ini tak diintervensi oleh pihak mana pun, termasuk oleh pihak tim pengawas. Akan lebih bijak jika, sesuai isi rekomendasi tentang tugas dan wewenangnya, pihak tim pengawas lebih memfokuskan diri pada pelaksanaan kewenangan mereka, khususnya proses pemulihan aset.

Sebagaimana kita ketahui, pada 16 Juli 2013 Majelis Arbiter International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) menolak gugatan yang diajukan terpidana kasus Bank Century, Rafat Ali Rizki, dan menerima eksepsi Pemerintah RI. Dalam gugatan yang diajukan 12 Mei 2011 di Singapura, pada intinya Rafat memosisikan diri selaku pemegang saham Bank Century yang menganggap Pemerintah RI telah melanggar ketentuan perjanjian investasi bilateral atau bilateral investment treaty (BIT) antara Indonesia dan Inggris dalam penyelamatan Bank Century. Rafat antara lain menuntut Pemerintah RI membayar ganti rugi 75 juta dollar AS.

Gugatan ini diajukan dengan dua alasan. Pertama, terkait masalah investasi di mana Rafat merasa dirugikan atas pengucuran bail out Bank Century. Kedua, Rafat menilai bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonisnya 15 tahun penjara secara in absentia bertentangan dengan hak asasi manusia. Berdasarkan putusan arbitrase tersebut, investasi itu dinyatakan tidak mendapatkan perlindungan BIT dan Majelis Arbiter juga tidak memiliki yurisdiksi untuk memeriksa perkara.

Dalam kaitan dengan putusan ICSID, dan juga dengan masih diperlukannya sinergi yang lebih kuat dalam proses pemulihan aset (asset recovery), ada baiknya Timwas DPR bersinergi dengan aparat penegak hukum untuk menyelesaikan proses pemulihan aset ini. Hal ini disebabkan tugas dan wewenang lain dari timwas, yakni melakukan penelusuran aliran dana, juga telah diselesaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan melalui laporan hasil auditnya. Apabila permasalahan undangan (pemanggilan) terhadap Boediono masih dilanjutkan, hal ini niscaya akan menjadi kontraproduktif terhadap tujuan luhur menyelesaikan kasus Century itu sendiri, karena hal itu justru lebih mengesankan adanya aspek penekanan terhadap politik daripada aspek hukumnya.  

Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI; Mantan Anggota Tim Ahli MPR dalam Perubahan UUD 1945; Mantan Anggota Tim Ahli Pemerintah dalam Penyusunan UU MD3

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003747455
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Politik Pangan Global (Dwi Andreas Santosa)

CONTROL oil and you control nations; control food and you control the people." Kalimat yang diucapkan Henry Kissinger tersebut sangat relevan saat ini.

Pertarungan ke depan adalah pertarungan dalam mengamankan pasokan pangan suatu negara bagi penduduknya, pertarungan memperebutkan pasar pangan global, hingga pertarungan dalam upaya memperebutkan dan mengakses sumber daya produktif berupa lahan melalui apa yang dikenal dengan land grabbing.

Geopolitik sektor pangan berbeda dengan geopolitik di sektor energi. Produsen energi, dalam hal ini minyak bumi, kurang memiliki peran, sebaliknya justru pengguna energi yang memegang peran besar dalam percaturan ekonomi dan politik global (The End of Oil, Roberts 2005).

Pemakaian energi menentukan hierarki negara-negara di dunia. Semakin besar suatu negara mengonsumsi energi, semakin tinggi hierarki negara tersebut di dunia. Amerika Serikat membakar
sekitar 19,2 juta barrel minyak per hari, sedangkan Indonesia hanya sekitar 1,4 juta barrel per hari. Pemakaian minyak bumi di China saat ini sekitar 10,3 juta barrel per hari atau meningkat sebesar 448 persen hanya dalam kurun waktu dua dekade. India juga muncul sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru di dunia. Negara tersebut mengonsumsi minyak bumi sebesar 3,6 juta barrel per hari atau meningkat sebesar 300 persen dalam dua dekade terakhir (US Energy Information Administration, 2012, The Richest, 13/5/2013).

Di sektor pangan yang terjadi sebaliknya. Dulu diasumsikan negara-negara yang mampu memproduksi pangan untuk rakyatnya dan bahkan mengekspornya ke negara lain—yang tahun 1960-an diwakili negara-negara berkembang—justru dipandang kurang maju. Berkaitan dengan asumsi ini, negara berkembang mulai mengalihkan perhatiannya ke industri dan jasa dan melupakan sektor pertanian. Peran ini kemudian diambil alih negara-negara maju yang saat ini menjadi produsen pangan global. Korporasi mereka menguasai semua lini, dari penyediaan sarana produksi, pengembangan benih, pupuk, dan pestisida, hingga perdagangan pangan internasional.

Bersamaan dengan itu, pertumbuhan permintaan pangan dan produk pertanian lainnya mulai meningkat pesat di negara-negara berkembang. Saat ini terjadi peningkatan tajam konsumsi gandum, beras, produk hewani, buah-buahan, dan sayuran akibat meningkatnya pendapatan dan urbanisasi yang pesat. Permintaan untuk jagung juga meningkat tajam terutama untuk pakan dan bioenergi, yang menjadi salah satu pemicu krisis pangan di 2008. Negara berkembang akan memainkan peran besar bukan sebagai negara produsen pangan, melainkan justru menjadi pasar global pangan. Diproyeksikan sekitar 86 persen peningkatan konsumsi serealia global antara tahun 1995 hingga 2025 akan datang dari negara berkembang (International Food Policy Research Institute/IFPRI, 2002). Pertumbuhan permintaan serealia terbesar akan datang dari Asia, terutama Asia Tenggara, India, dan China. Angka yang hampir mirip terjadi pada pertumbuhan permintaan daging dan unggas serta produknya.

Tahun 2025 Asia akan mengalami defisit serealia sebesar 135,4 juta metrik ton, China 39,8 juta metrik ton, India 17,9 juta metrik ton, dan Asia Tenggara 5,8 juta metrik ton. Angka defisit tersebut mengalami peningkatan drastis dibandingkan tahun 1995. Pada tahun tersebut, seluruh wilayah Asia mengimpor serealia sebesar 67,8 juta metrik ton, bahkan India pada tahun 1995 masih mendulang surplus sebesar 3,5 juta metrik ton (IFPRI, 2002) dan berlanjut hingga sekarang.

Negara berkembang akan mengalami defisit serealia 239,7 juta metrik ton pada 2025 atau meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan 1995, yaitu 108,4 juta metrik ton. Tidak hanya serealia, Asia dan negara berkembang lain semakin lama akan semakin bergantung pada impor sumber pangan lainnya, seperti daging, kedelai, tepung, dan umbi-umbian. Riset lain menghasilkan ramalan yang lebih mencemaskan. Pada 2025, Asia Selatan akan mengalami defisit pangan 25,1 juta ton serta Asia Timur dan Tenggara 126,9 juta ton. Seluruh dunia juga mengalami krisis pangan dengan defisit 68,8 juta ton.

Geopolitik pangan
Lalu, dari manakah semua permintaan pangan tersebut terpenuhi? Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan terkait pangan dan pertanian di negara-negara berkembang, maka negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia akan semakin besar peranannya dalam geopolitik pangan. Ironis, negara berkembang yang semula eksportir pangan semakin lama akan semakin tergantung dari negara maju untuk memenuhi kebutuhan paling dasar dari penduduknya.

Pada tahun 2025, negara maju akan mengalami surplus produksi serealia 247,5 juta metrik ton, yang meningkat hampir 2,5 kali dari 30 tahun sebelumnya, yaitu 107,6 juta metrik ton. Produksi daging, tepung, dan umbi-umbian di negara maju akan mengalami surplus masing-masing 3,9 juta metrik ton, 3 juta metrik ton, dan 19,8 juta metrik ton. Hanya kedelai yang akan mengalami defisit 7,6 juta metrik ton. Surplus pangan yang sedemikian besar harus disalurkan ke wilayah lain dengan mempertahankan sekuat tenaga politik perdagangan bebas ala WTO. Negara-negara eksportir pangan dunia menggunakan berbagai upaya untuk menekan negara importir pangan, terutama negara berkembang, agar terus bergantung pada impor dari negara maju.

Hal tersebut diperlihatkan dengan gamblang melalui pertarungan terbuka di pertemuan WTO di Bali (3-6/12/2013) antara Amerika Serikat, yang didukung negara-negara maju dan eksportir pangan lainnya, melawan India, yang berjuang sendirian. India menginginkan subsidi pertanian lebih dari 10 persen dari total output pertanian dan membayar hasil produksi petani India di atas harga pasar untuk produk yang dibeli oleh pemerintah untuk cadangan pangan. Amerika Serikat menjadi oponen vokal terhadap India dan mengecam India karena mengeluarkan usulan yang melawan spirit perdagangan bebas yang secara umum bertujuan untuk mengurangi—bukan meningkatkan—intervensi negara terhadap pasar. Ironis, negara-negara berkembang lainnya termasuk Indonesia, yang seharusnya mendukung India, justru pada posisi sebaliknya.

Amerika Serikat dan negara maju lainnya menyubsidi petani kaya mereka dengan nilai yang luar biasa besar, yaitu sekitar 360 miliar dollar AS per tahun (Brown, 2012) setara Rp 4.140 triliun, yang jauh lebih besar dari total subsidi yang diberikan semua negara berkembang untuk petaninya. Dengan subsidi yang sedemikian besar, produksi pertanian mereka meningkat dan terjadi surplus pangan yang kemudian dilepas ke pasar internasional dengan harga rendah artifisial yang menghancurkan pertanian negara berkembang. Dominasi tersebut ingin terus dipertahankan dengan menghambat upaya negara berkembang untuk melindungi petaninya.

Sikap Indonesia
Meskipun ada prasangka bahwa kerasnya India bertahan pada posisinya berkaitan dengan program populis menghadapi pemilu India pada tahun depan, sikap India tersebut sangat tepat karena menunjukkan dengan tegas pembelaan India terhadap petani kecil mereka yang menyusun lebih dari setengah lapangan pekerjaan di India. Pembelaan India terhadap petani kecilnya sudah cukup lama yang mewujud dalam peningkatan produksi pangan di India. India saat ini merupakan eksportir neto pangan. Pada tahun 2011 India mampu mengekspor beras 4,5 juta ton, jagung 2,2 juta ton, dan tepung kedelai 4,2 juta ton.

Sikap India menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia yang menjadi importir belasan produk pangan dari negara lain. Kita tidak bisa menggantungkan diri pada produksi pangan dunia di masa depan. Akibat penguasaan sektor pertanian dan pangan yang semakin mengerucut ke perusahaan multinasional dan spekulan pangan, harga pangan mulai merangkak naik. Dalam 10 tahun terakhir ini harga semua serealia meningkat di atas 100 persen dan tiga krisis pangan terjadi hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Jika negara-negara maju menaati semua klausul di WTO dengan menurunkan subsidi bagi petani mereka, maka harga pangan di masa depan akan semakin tinggi lagi. Iklim yang semakin sulit diprediksi dan konversi pangan ke energi akan memperparah kondisi tersebut. Semoga ini menyadarkan kita dan terutama pemerintah untuk lebih memerhatikan sektor pangan dan pertanian dan melindungi petani kecil kita dari politik pangan global yang tidak adil.

Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003721660
Powered by Telkomsel BlackBerry®

RI dalam Sistem Hukum Internasional (Abdul Hakim G Nusantara)

SISTEM hukum internasional hak asasi manusia sebagai fondasi hubungan antarnegara disepakati negara-negara pendiri PBB pada 26 Juni 1945 di San Francisco, AS.
Piagam PBB menegaskan tujuan organisasi internasional antara lain  untuk memajukan serta mendorong penghormatan HAM dan kebebasan dasar seluruh umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Meletakkan HAM sebagai tujuan hubungan antarnegara adalah lompatan besar dalam peradaban manusia. Ia mengubah secara mendasar tujuan, ruang lingkup, dan sifat hubungan internasional yang selama berabad-abad didasarkan semata pada kepentingan politik, ekonomi, dan militer.

HAM yang semula isu domestik negara-negara industri maju, sejak berakhirnya Perang Dunia II, mengalami internasionalisasi ketika ditempatkan sebagai salah satu tujuan pencapaian PBB. Pada 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi Umum HAM (DUHAM). Ini semakin menguatkan posisi HAM sebagai tujuan hubungan internasional di mana pribadi manusia diakui eksistensinya dan jadi obyek pemajuan dan perlindungan HAM.

DUHAM PBB memang bukan produk hukum mengikat. Namun, substansi yang terkandung di dalamnya diakui dan dijalankan secara konsisten oleh banyak negara sehingga norma-norma DUHAM setara dengan hukum kebiasaan internasional.

Secara gradual masyarakat internasional melalui PBB membangun sistem hukum internasional HAM dengan menuangkan nilai dan norma yang terkandung dalam DUHAM ke dalam sejumlah kovenan internasional, yang secara hukum mengikat semua negara pihak. Pada tahun 1966, Majelis Umum PBB mengesahkan kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya serta kovenan internasional hak-hak sipil dan politik. Pada periode selanjutnya, Majelis Umum PBB mengesahkan beberapa kovenan yang bersifat khusus, seperti kovenan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, kovenan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), kovenan hak anak, kovenan menentang penyiksaan dan perilaku kejam lain atau perlakuan atau hukuman merendahkan, kovenan perlindungan buruh migran, serta kovenan perlindungan orang-orang dari penghilangan paksa.

Empat tujuan
Indonesia secara resmi terintegrasi ke dalam sistem internasional HAM pada 28 September 1950,  saat resmi menjadi anggota ke-60 PBB. Walaupun  sudah terintegrasi ke dalam sistem hukum internasional HAM sejak 1950, Indonesia termasuk negara yang tersendat untuk menjadi pihak dalam sejumlah kovenan internasional.

Sistem politik otoriter yang menguasai Indonesia sangat menghambat keikutsertaan Indonesia sebagai pihak dalam beberapa kovenan internasional HAM. Rezim Orde Baru lebih mengedepankan hak-hak ekonomi, sosial dan hak atas pembangunan serta mengesampingkan hak-hak sipil dan politik.

Dalam semangat hak atas pembangunan itulah, Indonesia meratifikasi CEDAW dan kovenan hak anak. Untuk memoles citra HAM-nya yang sangat buruk di dunia internasional, rezim Orde Baru pada 1985 menandatangani kovenan PBB menentang penyiksaan, tanpa pernah meratifikasinya sampai 1998. Jatuhnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi  membuka jalan lebar bagi Indonesia untuk masuk lebih dalam ke sistem hukum internasional HAM, dengan meratifikasi lebih banyak lagi kovenan HAM PBB.

Ada sejumlah alasan di balik peratifikasian sejumlah kovenan HAM itu. Pertama, memenuhi kebutuhan hukum rakyat dan orang asing yang tinggal di Indonesia atas pemajuan dan perlindungan HAM. Kedua, memudahkan kerja sama internasional di beragam bidang, khususnya guna memajukan dan melindungi HAM WNI, termasuk antara lain TKI yang tinggal di beberapa negara. Ketiga, sebagai dasar dan acuan reformasi hukum guna memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia dan internasional. Keempat, nilai dan norma keadilan sosial ekonomi yang terkandung dalam kovenan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan perangkat hukum internasional HAM yang dipandang mampu mengimbangi dan mengendalikan globalisasi ekonomi yang didominasi paham neoliberalisme.

Apabila empat tujuan itu bisa dicapai, dengan sendirinya akan memperkuat legitimasi dan citra Indonesia di publik domestik dan internasional. Saat ini, Indonesia masih jauh dari empat tujuan ratifikasi kovenan HAM tersebut. Indonesia tampak masih sibuk memoles citranya sebagai negara yang seolah-olah menghormati sepenuhnya hukum dan HAM. Padahal, di mana-mana dilaporkan masih banyak pelanggaran HAM yang fundamental, seperti penindasan dan kekerasan yang dihadapi kalangan minoritas agama, etnis, dan politik, serta para mahasiswa pengunjuk rasa.

Selain itu, masih begitu banyak produk legislasi dan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan hukum internasional HAM, di antaranya KUHP, KUHAP, UU Antipornografi, UU Keormasan, serta sejumlah peraturan pemerintah dan perda. Pemerintah dan DPR dengan sengaja mengabaikan lemahnya mekanisme pemantauan kepatuhan HAM.

Empat kebijakan
Guna mencapai empat tujuan peratifikasian sejumlah kovenan HAM, beberapa kebijakan harus segera dilakukan. Pertama, pemerintah dan DPR harus segera mereformasi beragam produk hukum yang tidak sesuai hukum internasional HAM. Kedua, hakim, polisi, jaksa, dan pejabat pemerintah menjalankan secara taat asas hukum internasional HAM dalam melayani kepentingan masyarakat. Ketiga, memperbaiki mekanisme pemantauan kepatuhan HAM dengan memperkuat kompetensi dan efektivitas Komnas HAM. Keempat, pendidikan HAM yang terus-menerus di kalangan pejabat publik dan masyarakat luas.

Empat kebijakan itu merupakan kewajiban internasional Indonesia sebagai negara pihak dari sejumlah kovenan internasional yang sudah diratifikasi. Kewajiban internasional tersebut, atas alasan darurat yang luar biasa, bisa saja tertunda. Namun, penundaan itu bersifat temporer.

Saat ini pemerintah tidak sedang menghadapi keadaan darurat. Jadi, Indonesia tidak bisa  menunda atau tidak melaksanakan kewajiban internasional HAM-nya atas alasan hukum internalnya menghalanginya. Alasan seperti itu jelas ditolak Konvensi Vienna tentang Hukum Perjanjian.

Abdul Hakim G Nusantara, Advokat; Arbiter; Ketua Komnas HAM Periode 2002-2007

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003542422
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Upaya Menjaga Kerukunan (Kompas)

Upaya menciptakan kerukunan dan perdamaian, seperti ditegaskan kembali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi tanggung jawab bersama.
Penegasan yang disampaikan Presiden pada Puncak Perayaan Natal Bersama Tingkat Nasional di Jakarta, Jumat malam itu, sangatlah relevan bagi kepentingan eksistensi bangsa Indonesia yang bersifat majemuk dari aspek suku, kepercayaan, dan kebudayaan.

DESAKAN dan seruan menjaga kerukunan dan menciptakan kehidupan damai memang perlu terus-menerus disampaikan. Lebih-lebih karena kerukunan, perdamaian, dan toleransi merupakan hal vital bagi keberlangsungan hidup berkomunitas, bahkan bernegara. Komunitas atau negara akan ambruk jika tidak ada kerukunan dan perdamaian.

Kiranya dalam konteks itu pula ketika Presiden berpesan kepada para pemimpin agama untuk membangun semangat kerukunan di kalangan umatnya masing-masing. Setiap komunitas, termasuk dalam lingkungan agama, rawan menghadapi bahaya konflik dan perpecahan jika tidak ada kerukunan. Tidak kalah rawannya potensi konflik dalam hubungan dengan komunitas agama lain. Berbagai prasangka akan mudah muncul jika tidak dikembangkan semangat kerukunan, perdamaian, dan toleransi oleh para pemangku kepentingan.

Sudah terbukti, bangsa dan negara terjerumus dalam ketegangan dan konflik, bahkan perang saudara, karena gagal menjaga dan memelihara kerukunan serta perdamaian. Tragisnya lagi, kekacauan atau perang selalu gampang dimulai, tetapi tidak gampang dihentikan.

Atas dasar itu, muncul berbagai wacana bagaimana menyediakan dana untuk program pengembangan kesadaran dan perilaku tentang kerukunan, toleransi, dan perdamaian. Biayanya pasti jauh lebih murah ketimbang dana yang dikeluarkan untuk menghentikan konflik dan permusuhan. Desakan tentang pentingnya kerukunan, seperti disampaikan Presiden, dapatlah dipandang sebagai bagian dari upaya pencegahan atas ancaman kekacauan, permusuhan, dan konflik di antara sesama warga masyarakat.

Upaya preventif itu harus dilakukan bersama-sama. Menurut Presiden, sikap toleransi dan kerukunan harus dibangun sejak kanak-kanak. Orangtua dan guru memiliki tugas dan tanggung jawab besar untuk itu. Secara lebih khusus Presiden menyerukan para pemuka agama menjadi contoh dalam menciptakan kerukunan di kalangan umatnya. Pemimpin harus memberikan contoh dan keteladanan, bukan justru memberikan hasutan yang membahayakan semangat kerukunan.

Jelas pula, upaya menciptakan kerukunan dan perdamaian harus menjadi tugas dan tanggung jawab semua warga masyarakat, bukan hanya tanggung jawab negara. Tugas dan tanggung jawab itu tidak akan pernah berakhir karena tuntutan kehidupan damai dan toleransi senantiasa dibutuhkan tanpa pernah mengenal batas waktu.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003890459
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 30 Desember 2013

TAJUK RENCANA Kekerasan Pecah Lagi di Mesir (Kompas)

PROSES demokrasi di Mesir semakin diwarnai kekerasan setelah dua mahasiswa tewas dalam bentrokan antara mereka dan polisi.
Bentrok antara mahasiswa dan polisi pecah sejak Kamis pekan lalu. Mahasiswa menolak keputusan pemerintahan sementara di Mesir yang menetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris. Protes dilakukan mahasiswa Al Azhar di Kairo dan universitas lain.

Perkembangan terakhir tersebut semakin memperdalam perpecahan di Mesir. Ketika Presiden Hosni Mubarak dipaksa mengundurkan diri, Mesir kemudian untuk pertama kali menyelenggarakan pemilu secara demokratis pada tahun 2011.

Muhammad Mursi yang didukung Ikhwanul Muslimin memenangi pemilu tersebut. Dalam perjalanannya, sebagian rakyat Mesir merasa aspirasi mereka tidak terwakili. Militer kemudian mengambil alih kekuasaan pada 3 Juli 2013. Pemerintahan sementara menjalankan roda pemerintahan saat ini.

Kekerasan di Mesir belakangan mengambil korban jiwa masyarakat sipil dan militer. Hari Minggu kemarin, sebuah bom meledak di dekat markas intelijen pemerintah di Provinsi Sharqiyah, di timur laut Kairo. Setidaknya lima orang terluka.

Selasa pekan lalu, bom mobil bunuh diri menghancurkan kompleks kepolisian di kota Mansoura, Provinsi Daqahlia, di utara Kairo. Sedikitnya 15 orang tewas, termasuk warga sipil. Kelompok Ansar al-Beit al-Moqaddas, Rabu, mengaku bertanggung jawab.

Perkembangan sepekan terakhir menimbulkan kekhawatiran Mesir akan semakin terperosok dalam kekerasan berkepanjangan.

Ancaman pemerintah sementara menghukum berat mereka yang membantu Ikhwanul Muslimin menimbulkan perlawanan pendukungnya, termasuk mahasiswa.

Saat ini pemerintah sementara dan pendukungnya tengah gencar mengampanyekan agar rakyat berpartisipasi dalam referendum konstitusi baru pada 14-15 Januari 2014. Hal ini menimbulkan penolakan kelompok antipemerintah yang menyerukan agar rakyat mendukung mereka.

Masyarakat dunia mengharapkan rakyat Mesir dapat menyelesaikan perbedaan di antara mereka melalui cara-cara demokratis dan damai. Pemerintahan demokratis pilihan rakyat diyakini menjamin perdamaian sepanjang proses demokrasi bersifat substansial, menampung secara adil aspirasi semua pemangku kepentingan di negeri itu.

Mesir yang damai penting untuk stabilitas Timur Tengah yang tengah bergejolak, masyarakat dunia, dan terlebih lagi bagi rakyat Mesir sendiri. Tanpa situasi stabil dan damai, pembangunan sulit terlaksana. Kemiskinan dan ketimpangan sosial yang menjadi alasan Hosni Mubarak digulingkan sulit hapus apabila konflik terus terjadi. Pada ujungnya, rakyat yang akan menanggung dampaknya.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

ANALISIS EKONOMI Menata Sistem Perdagangan: Kembali ke Jati Diri

DEKLARASI Djuanda, 13 Desember 1957, menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan. Dengan garis pantai 95.181 kilometer, terpanjang keempat di dunia, gugusan 17.500 pulau membentuk zamrud khatulistiwa. Dengan laut hampir dua pertiga keseluruhan wilayah Indonesia seluas 5,2 juta kilometer persegi, sungguh lautlah yang merajut pulau-pulau itu menjadi negara kesatuan maritim Indonesia. Laut bukan penghambat sehingga harus dibangun jembatan untuk menghubungkan dua pulau besar.

Rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda bukti nyata bahwa pemerintah melawan kodrat. Jembatan Selat Sunda bakal memperkokoh dominasi transportasi darat yang membuat ongkos logistik di Indonesia tergolong paling mahal di dunia. Berdasarkan kajian Bank Dunia (2013), ongkos logistik di Indonesia 27 persen produk domestik bruto (PDB), jauh lebih tinggi ketimbang Singapura sebesar 8 persen, Malaysia 13 persen, Thailand 20 persen, dan bahkan lebih tinggi ketimbang Vietnam yang 25 persen PDB. Hampir separuh ongkos logistik di Indonesia disedot ongkos transportasi.

Buruknya sarana pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya tecermin dari kemerosotan tajam unsur infrastruktur dalam logistics performance index (LPI) Indonesia dari urutan ke-69 tahun 2010 menjadi ke-84 tahun 2012. Padahal, untuk kurun waktu yang sama, unsur lainnya, kecuali customs, telah menunjukkan perbaikan berarti. Misalnya, timeliness dari ke-69 menjadi ke-41, logistics quality and competence dari ke-92 menjadi ke-61, tracking and tracing dari ke-80 menjadi ke-51, dan international shipments dari ke-80 menjadi ke-57. Kondisi infrastruktur yang kedodoran inilah yang membuat LPI keseluruhan Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga di luar Kamboja, Laos, dan Myanmar. Indonesia juga kalah jauh dibandingkan dengan negara Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC).

Sepanjang kebijakan pemerintah tidak mengacu pada jati diri bangsa dan persoalan logistik yang di hulu tidak serius ditangani, pembenahan di hilir akan sangat bersifat tambal sulam dan ad hoc. Contoh paling mutakhir adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern yang ditetapkan 12 Desember 2013. Peraturan ini merupakan pengganti dari peraturan serupa yang ditetapkan tahun 2008. Persoalan yang sangat strategis untuk menciptakan perekonomian yang efisien, yaitu menjadikan produk dalam negeri menjadi tuan di negerinya sendiri dan berdaya saing, menciptakan iklim persaingan yang sehat dan berkeadilan (level the playing field), serta melindungi kedaulatan konsumen, sangat tidak memadai kalau diatur sekadar dengan ketetapan menteri. Itulah akibat dari belum hadirnya undang-undang perdagangan yang sudah sekitar satu dasawarsa dipersiapkan.

Tidak heran kalau isi Peraturan Menteri Perdagangan yang baru ditetapkan itu lebih banyak bersifat normatif dan mengambang. Terkait jumlah gerai toko modern yang boleh dimiliki sendiri oleh pelaku usaha, Pasal 16 Ayat 1 menyatakan paling banyak 150 gerai, sedangkan Pasal 3 Ayat 1 menyatakan jumlah segala bentuk perdagangan eceran dan pengaturan lokasinya ditetapkan pemerintah daerah setempat. Banyak lagi isi peraturan yang sebenarnya sudah nyata-nyata merupakan domain pemerintah daerah sehingga tak perlu lagi diurusi Kementerian Perdagangan.

Terkandung maksud pula dalam peraturan itu membatasi barang impor, dengan mewajibkan pusat perbelanjaan dan toko modern menyediakan barang dagangan produksi dalam negeri paling sedikit 80 persen dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan (Pasal 22 Ayat 1) dan harus mengutamakan yang dihasilkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) (Pasal 17 Ayat 1). Namun, tekad itu tampaknya setengah hati karena ada embel-embel "sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan toko modern". Kewajiban 80 persen produksi dalam negeri juga bisa ditawar setelah mempertimbangkan rekomendasi dari forum pemangku kepentingan yang akan dibentuk.

Peraturan Menteri Perdagangan ini yang hampir pasti menambah panjang persyaratan yang tak perlu dan justru menambah ketidakpastian berusaha, seraya diragukan keefektifannya memberdayakan UMKM serta menjadikan produksi dalam negeri menjadi tuan di negerinya sendiri. Bagaimana mungkin barang dalam negeri yang dihasilkan UMKM bisa berjaya di pasar domestik kalau per Desember 2012 hanya 7.561 produk yang mendapatkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan berstatus SNI aktif. Paling banter barang lokal yang merajai pasar eceran adalah yang diproduksi perusahaan nasional besar dan korporasi transnasional. Kebanyakan mereka memiliki sistem logistik modern sehingga mampu menyiasati buruknya sistem logistik nasional. Mayoritas UMKM harus berjibaku menekan ongkos logistik dan ongkos produksi karena tidak memiliki keekonomian skala (economies of scale).

Syukurlah terselip dalam Peraturan Menteri Perdagangan terbaru ini pengaturan yang melindungi pemasok, khususnya pelaku UMKM. Persoalan yang selama ini kerap dikeluhkan pemasok kecil antara lain adalah persyaratan perdagangan (trading terms), seperti mekanisme pembayaran, biaya promosi, rabat, dan pembebasan listing fee khusus untuk UMKM. Pengaturan itu sepatutnya terpatri dalam undang-undang perdagangan sehingga memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Yang paling penting, undang-undang perdagangan nanti mampu mengintegrasikan perekonomian domestik dengan mengedepankan visi maritim sehingga seluruh sumber daya yang kita miliki betul-betul bersinergi menghasilkan struktur pengusaha yang kokoh dan konsumen yang berdaulat.

Faisal Basri, Ekonom

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003889730
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 28 Desember 2013

Semiotika Amuk (Acep Iwan Saidi)

PERISTIWA itu terjadi Kamis siang, 14 November 2013. Di ruang Pengadilan Mahkamah Konstitusi, sekelompok orang mengamuk. Beberapa orang naik ke atas meja, yang lain melempar dan memorakporandakan ruangan.
Dalam serapah, pecahan kaca berhamburan di lantai. Hamdan Zoelva, hakim ketua yang memimpin sidang, menghindar keluar. "Ini yang pertama kali terjadi," katanya.

Besoknya harian ini mengangkat kasus itu dengan kepala berita: "Wibawa MK Hancur Lebur" (Kompas, 15/11). Beberapa pengamat pun menganalisis, menghubungkan peristiwa tersebut dengan ditangkapnya Akil Mochtar, bekas Ketua MK, sebagai tersangka koruptor. Fadjroel Rachman dalam acara Gestur di TVone (13/11), misalnya, mengatakan, peristiwa itu merupakan representasi dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK karena kasus Akil.

Tajuk Rencana harian ini (16/11) menyebut peristiwa itu sebagai tindakan premanisme akibat akumulasi kekecewaan terhadap kinerja MK. Namun, dari arah lain, hakim konstitusi Patrialis Akbar membantah. Ia berujar, "Penilaian saya, ini tidak ada hubungannya dengan kasus Pak Akil." Patrialis justru menuduh balik pengamat. Pengamatlah, katanya, yang turut memberi andil pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK (14/11).

Lantas, bagaimana kasus ini harus diurai? Patrialis tentu boleh menyangkal. Hanya saja, siapa pun tidak bisa membantah bahwa peristiwa itu terjadi setelah penangkapan Akil. Harus pula diingat bahwa sebelumnya mengemuka desakan beberapa pihak untuk meninjau ulang semua putusan MK tentang sengketa pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Padahal, sebelum Akil tertangkap, MK adalah "Lembaga Dewa". Tidak ada satu pihak pun berani menentang. Putusan MK adalah ibarat takdir.

Namun, keragu-raguan terhadap pendapat Patrialis tidak serta-merta membenarkan pendapat yang menghubungkan peristiwa itu dengan kasus Akil. Soalnya, kini kehidupan berbangsa kita sedang serba tidak jelas. Di bawah langit hitam krisis ekonomi global, sebagian elite pejabat (eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif) justru sibuk dengan diri sendiri. Ada yang merasa terus-menerus difitnah dan harus memberikan hak jawab; ada yang mendirikan panggung di mana-mana agar bisa pentas pada 2014; ada pula yang menguras sejumlah jurus untuk menyelamatkan diri dari tuduhan KPK.

Pada hemat saya, yang terjadi di Gedung MK juga berada di dalam pusaran kabut demikian. Langit Indonesia memang makin mendung—meminjam judul cerita pendek Ki Panji Kusmin yang pada tahun 1960-an menjadi kontroversi.

Kabut dusta
Dalam perspektif semiotika, kabut tebal yang menggulung kehidupan bernegara dan berbangsa kita hari ini telah menyebabkan kekaburan tanda. Dengan kata lain, tidak ada tanda yang dengan jelas dapat dibaca. Terjadi kesimpangsiuran "gestur" di situ. Lihatlah, orang yang berpenampilan baik, bahkan agamis, tiba-tiba menjadi tersangka korupsi.

Situasi demikian jelas menjadikan semiotika sebagai ilmu tafsir tanda menjadi terancam. Bagaimana tidak, ketika logika tanda menjadi jungkir balik, ia tidak bisa lagi dibaca dengan nalar yang sehat. Tanda-tanda tidak serta-merta dapat dihubungkan secara logis dengan referennya. Terjadi pembelokan realitas dalam relasinya dengan tanda. Akibatnya, terjadilah beraneka ketidakjelasan.

Beberapa tanda bertubrukan dalam "horizon harapan" masyarakat yang notabene haus mendapatkan makna pada setiap wacana. Alih-alih mendapatkannya, wacana itu sendiri menjadi bejana tempat bahasa diporakporandakan. Tidak ada kejelasan pesan dan makna dalam setiap wacana. Semua hal terperangkap di ruang gelap tanda. Semua tanda adalah dusta.

Umberto Eco (1979) memang pernah mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang dusta. Namun, istilah itu dipakai untuk menjelaskan karakter metafora. Metafora adalah bahasa figuratif, yang menempatkan makna dalam bingkai asosiasi, yang logikanya terletak pada kesamaan sifat tertentu. Perempuan, misalnya, diasosiasikan dengan mawar. Substitusi perempuan dengan mawar jelas dusta. Namun, itu adalah "dusta metaforik", dusta yang tetap mempertahankan logika melalui kesamaan sifat sehingga kita masih dituntun untuk bisa menemukan maknanya. Namun, kekaburan tanda dalam realitas politik dan ketatanegaraan kita adalah kekaburan makna sebagai dusta yang sebenarnya. Tidak ada logika yang bisa menuntun kita ke arah pemahaman makna yang berbasis akal sehat.

Terkait dengan kasus kerusuhan di MK, kita tidak bisa serta-merta menyebutnya sebagai representasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK. Soalnya, bisa saja sejumlah pihak memancing di air keruh, memanfaatkan krisis di MK untuk betul-betul menjatuhkan lembaga hukum ini. Bahwa kasus pengkhianatan Akil dianggap sebagai penyebab munculnya ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum sangatlah logis. Hal ini berarti bahwa tidak ada relasi tanda yang pasti di antara kerusuhan dan kasus Akil.

Namun, kedua-keduanya berakhir pada muara yang sama, yakni rontoknya arsitektur hukum. Inilah yang saya sebut sebagai semiotika amuk: tanda yang saling melepaskan diri dan bertubrukan menuju kehancuran.

Pusat yang rapuh
Semiotika amuk sedemikian faktanya tidak hanya berlaku untuk kasus di MK, tetapi dalam banyak kasus lain seputar tata kelola negara bangsa. Penyebabnya adalah intrik yang begitu hebat terjadi di pusat politik. Intrik terjadi karena putusnya tali yang mengikat kebersatuan kepentingan. Di dalam dunia politik, kita mafhum bahwa setiap kepala adalah kepentingan. Namun, politik yang sehat tidak pernah menyebabkan perang kepentingan menjadi liar.

Pengendali keliaran politik semestinya adalah kepemimpinan yang "merekat" keseluruhannya. Kepemimpinan menjadi perekat ketika ia berdiri di atas netralitas semua kepentingan. Di situlah kepemimpinan mengakar menjadi pasak yang mencengkeram dan melangit menjadi menara pengintai bagi keseluruhan elemen kepentingan. Di situ pemimpin adalah Garuda: sayapnya merangkul, sedangkan matanya tajam mengawas.

Ketika kepemimpinan telah menempati posisi demikian, ia akan menjadi pusat segala tanda, sebuah titik ordinat yang menyatukan beberapa titik subordinat di sekelilingnya.

Sebaliknya, ketika titik ordinat retak, hancur pula semua titik subordinatnya. Ketika pusat menjadi tanda ambigu, samar pula semua tanda yang berelasi di seputarnya.

Dan inilah yang sedang terjadi dalam realitas berbangsa kita sekarang: pusat yang rapuh, dan karena itu, seluruh bangunan kehidupan berbangsa di sekelilingnya terguncang.

Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003469952
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Paket Bali dan Negara Berkembang (Khudori)

DI luar dugaan, Konferensi Tingkat Menteri IX WTO di Bali akhirnya berhasil menyepakati Paket Bali. Dirjen WTO Roberto Azevedo dan Ketua Konferensi WTO yang juga Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan bungah.
Setelah macet 12 tahun tanpa hasil, sebagian agenda Putaran Doha bisa diselesaikan. Roberto dan Gita yakin hasil ini akan mengembalikan kepercayaan 160 anggota WTO tentang pentingnya kerja sama multilateral.

Paket Bali berisi tiga hal: fasilitas perdagangan, paket pembangunan untuk negara kurang berkembang, dan pertanian. Dua paket pertama mulus disetujui. Perundingan paling alot terjadi pada agenda pertanian. Dimotori India, kelompok G-33 yang dipimpin Indonesia mendesakkan penaikan subsidi pertanian, dari 10 persen menjadi 15 persen tanpa batas waktu. Sekitar 40 persen dari 1,2 miliar penduduk India bekerja di pertanian dan terancam kelaparan. India berkepentingan menjamin hak pangan warga tanpa diatur-atur WTO.

Memaknai Paket Bali
Dimotori AS, negara-negara maju menentang India. Argumennya, subsidi untuk memperkuat cadangan pangan mendistorsi pasar jika merembes. Usulan India akhirnya disetujui jadi bagian Paket Bali dengan peace clause empat tahun. Setelah itu dijanjikan ada solusi permanen. Pertanyaannya, benarkah negara berkembang diuntungkan Paket Bali? Benarkah Paket Bali mencerminkan free and fair trade seperti diyakini SBY? Bisakah negara berkembang memanfaatkan 1 triliun dollar AS yang didorong perdagangan dunia?

Paket Bali sejatinya tidak mengubah apa-apa. Negara maju tetap pada wajahnya yang lama: banyak menuntut tetapi pelit memberi. Pertama, peace clause empat tahun sejatinya hanyalah omong kosong. Itu karena hasil negosiasi dengan tenggat empat tahun tersebut telah ditukar (trade off) dengan fasilitas perdagangan yang akan meliberalisasi secara luas pasar di negara-negara berkembang. Lagi pula, skema peace clause hanya berlaku untuk cadangan pangan, bukan untuk yang lain. Janji solusi permanen juga tak jelas bagaimana wujudnya dan kapan akan diberlakukan? Boleh jadi, empat tahun lagi negara maju berganti taktik.

Kedua, Paket Bali mencerminkan tetap berlanjutnya diskriminasi. Menurut WTO, dengan mengamini argumen AS, subsidi guna memperkuat cadangan pangan mendistorsi perdagangan. Di lain pihak, subsidi pangan dan pertanian di negara-negara maju tetap dibolehkan oleh WTO. Ini tecermin dari tetap dilegalkanya subsidi ekspor dan dukungan domestik yang oleh WTO dimasukkan dalam Green Box, Blue Box, dan de minimis.

Ketiga, inti Paket Bali tetap berfokus pada akses pasar (market access). Ini tecermin dari disetujuinya poin-poin dalam fasilitas perdagangan. Isu ini memang eksklusif milik negara-negara maju. Dengan disetujuinya poin fasilitas perdagangan, lewat WTO negara-negara maju bisa mendesak dibangunnya sejumlah fasilitas seperti kepabeanan, pelabuhan, dan perizinan serta fasilitas pengukuran kesehatan di negara berkembang. Itu semua memakan biaya besar. Padahal, fasilitas ini tak lain untuk melancarkan lalu lintas barang impor di negara-negara berkembang. Impor bakal membanjir, termasuk ke Indonesia.

Janji negara-negara berkembang akan menikmati kue ekonomi yang didorong oleh perdagangan dunia hanya janji surga. Dengan pelbagai standar teknis internasional dan asal barang, persyaratan lingkungan dan kesehatan di negara-negara maju akan cukup efektif membendung masuknya aneka produk dari negara berkembang. Selain pelbagai hambatan new non-tariff barrier itu, negara maju juga memberlakukan tarif eskalasi untuk sejumlah produk olahan. Dengan cara itu, sulit produk negara berkembang menembus pasar negara maju. Negara maju hanya tertarik membuka pasar bahan baku.

Kemenangan korporasi
Menurut sebuah studi Bank Dunia, skenario Putaran Doha hanya memberikan keuntungan kepada negara-negara maju. Menurut Bank Dunia, negara-negara berkembang hanya memperoleh sekitar 16 miliar dollar AS, sementara negara-negara maju mendapatkan keuntungan hingga 96 miliar dollar AS sampai 2015. Yang paling diuntungkan adalah korporasi. Menurut World Trade Report 2013, "80 persen ekspor AS dikuasai satu perusahaan besar, 85 persen ekspor Eropa ada di tangan 10 persen eksportir besar, dan 81 persen ekspor terkonsentrasi pada lima perusahaan ekspor di negara berkembang". Jadi, Paket Bali adalah kemenangan korporasi.

Keempat, Paket Bali menegaskan adanya dua dunia di belahan bumi: utara yang makmur dan kaya serta selatan yang miskin dan melarat. Ada negara berpendapatan per kapita lebih dari 40.000 dollar AS, tetapi jumlah penduduk yang pendapatan per kapita 1.000 dollar AS per tahun atau kurang amat banyak. Lebih dari 1,2 miliar orang atau satu dari setiap lima penduduk dunia harus hidup dengan 1 dollar AS per hari atau kurang. Mereka miskin, kurang gizi, rentan terhadap bencana dan gejolak, serta akses terhadap kesehatan dan pendidikan rendah. Negara-negara ini masih bergulat dengan persoalan kebutuhan dasar.

Di sisi lain, negara-negara maju yang telah mencapai tahapan tertinggi dari pembangunan industri, jasa, dan perdagangan terus melakukan ekspansi pasar guna menghindari stagnasi ekonomi. Negara-negara ini terus mengejar kemajuan tiada henti, tanpa mau tahu pelbagai masalah yang membelit negara-negara berkembang dan miskin: rendah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, serta lemah akses pasar dan modal. Apakah demikian ini yang dinamakan perdagangan bebas yang bukan hanya free, melainkan juga fair trade?

Yang amat disesalkan adalah peran Indonesia. Sebagai tuan rumah, Indonesia lebih banyak mendorong Paket Bali agar segera (bisa) disepakati. Sebagai Ketua G-33, posisi Indonesia juga "abu-abu". Tak jelas kepentingan nasional yang diperjuangkan. Sebagai tuan rumah, di mata dunia luar Indonesia akan dipuji WTO dan korporasi karena telah berhasil memfasilitasi terus berlanjutnya mesin ekonomi WTO dan perputaran kapital mereka. Di dalam negeri, Indonesia kembali menuai kecaman karena tak gigih membela kepentingan nasional. Jangan-jangan memang kita tak merumuskan semua itu?

Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003718908
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Imparsialitas Perguruan Tinggi (F Budi Hardiman)

MASIH diingat dalam literatur Eropa, Plato membeli halaman kuil Hekademos dari uang tebusan atas dirinya yang akan dijual sebagai budak oleh seorang tiran.
Kampus tertua, Akademia, didirikan atas tebusan kebebasan itu. Kisah itu mengingatkan kita kembali bahwa perguruan tinggi didirikan bukan demi uang atau kuasa, melainkan demi intelektualitas yang esensinya adalah kebebasan berpikir. Kemajuan peradaban modern menambahkan dua nilai dasariah lagi, yaitu imparsialitas dan universalitas. "Sebuah universitas... menurut namanya," demikian tulis John Henry Newman dalam The Idea of a University, "bertugas untuk mengajarkan pengetahuan universal." Newman bicara tentang kultur intelektual yang membagikan pengetahuan secara imparsial. Kampus adalah ruang untuk berpikir jernih. Dewasa ini, justru ketika globalisasi menyebarkan universalisme dan kebebasan, secara ironis muncul tendensi partikularisasi di kampus-kampus kita.

Bukan hanya agama sebagai identitas, melainkan juga orientasi bisnis membuat ruang berpikir itu menjadi keruh dan bising. Sekarang ini, justru dalam demokrasi, kampus ikut dalam hiruk-pikuk kepentingan. Yang terancam di sini adalah imparsialitas. Situasi tersebut mendesak kita untuk menimbang kembali peran perguruan tinggi kita pada umumnya dalam menyongsong Pemilu 2014. Bagaimanakah perguruan tinggi memainkan peran khasnya di tengah-tengah turbulensi politis kita?

Reproduksi ruang publik
Dikatakan dengan padat, peran perguruan tinggi dalam demokrasi adalah reproduksi ruang publik. Ia harus mendorong—mengacu pada Kant—public use of reason. Bersama pers dan masyarakat warga, ia berkontribusi dalam regenerasi, multiplikasi, dan ekspansi bentuk-bentuk komunikasi yang bebas dan setara dalam masyarakat demokratis. Ruang publik direproduksi lewat distribusi hak-hak komunikasi warga yang praktis dilakukan lewat institusi pendidikan.

Tugas itu terkait "Tridarma Perguruan Tinggi". Pertama, pengajaran memungkinkan sosialisasi nilai-nilai kewarganegaraan yang mengalihkan para mahasiswa dari yang privat ke dalam yang publik. Kedua, penelitian membuka wawasan-wawasan baru dan kesadaran-kesadaran baru untuk menemukan tidak hanya potensi-potensi, tetapi juga kendala-kendala masyarakat kita dalam demokratisasi. Ketiga, pengabdian kepada masyarakat merupakan tugas penyadaran hak-hak komunikasi publik dalam demokrasi pada umumnya dan pemilu pada khususnya. Hasil pelaksanaan ketiga pilar itu adalah "keadaban publik" (public civility).

Bagian sentral keadaban publik adalah pelaksanaan pemilu yang berintegritas. Integritas pemilu memang banyak bergantung pada para aktor dalam partai-partai, lembaga-lembaga pengawas, dan para pemilih. Namun, tanpa peran perguruan tinggi, integritas pemilu sulit diwujudkan. Dalam hal ini perguruan tinggi menduduki posisi khas sebagai otoritas intelektual bagi pencarian keadilan sebagai fairness. Suaranya otoritatif untuk menyingkap apa yang adil dan tak adil, dan apa yang benar dan salah, hanya jika ia bersikap imparsial dan tidak terjebak entah dalam jeratan kepentingan bisnis-politis ataupun eksklusivisme agama.

Reproduksi ruang publik memang tugas politis, tetapi tugas itu tidak mengubah perguruan tinggi menjadi lembaga politis. Public use of reason dilakukan oleh warga yang tak langsung terlibat politik, tetapi memiliki efek politis. Kampus harus bebas dari politisasi agar tetap menjangkau kepentingan semua pihak dan tidak tersandera oleh kepentingan segelintir orang. Bicara tentang "peran politis" perguruan tinggi, yang kita maksudkan tak lain daripada ikut menjaga fairness dan integritas proses demokratis. Dalam arti ini imparsialitas perguruan tinggi terdapat dalam pemihakannya pada kebenaran.

Tiga tantangan
Menyongsong Pemilu 2014 ada sekurangnya tiga tantangan yang dihadapi perguruan tinggi dalam melaksanakan peran khasnya sebagai otoritas intelektual. Tantangan pertama terkait dengan pasar. Globalisasi yang disertai ekspansi pasar telah ikut mendorong proses komersialisasi pendidikan. Jika tidak hati-hati, perguruan tinggi dapat kehilangan otonominya dan mengikuti dikte kepentingan pemodalnya. Politik uang dapat terjadi dalam bentuk transaksi gelap kekuasaan antara politikus dan pengusaha yang berbisnis pendidikan. Antisipasi harus dilakukan mengingat di era reformasi ini banyak akademisi kampus menjadi politikus, sehingga jika tidak hati-hati, kampus kehilangan imparsialitasnya. Terjun ke politik adalah hak konstitusional para insan kampus, tetapi pemakaian hak itu menjadi berlebihan jika kampus dijadikan basis massa partai tertentu. Tim-tim sukses dapat mengoyak kampus dalam pusaran kepentingan uang dan kuasa.

Jika di satu kutub kita temukan politisasi kampus, ada juga bahaya dari kutub lawannya, yaitu depolitisasi kampus sebagai akibat merebaknya kultur konsumerisme. Iklim komersialisasi telah membuat banyak kampus kita lebih melayani pasar daripada melakukan inovasi-inovasi kreatif untuk demokrasi. Difrustrasikan oleh fakta bahwa koruptor-koruptor besar juga ada di lingkungan kampus, apatisme terhadap pemilu menjadi respons wajar. Namun, jika jumlah "golput" meningkat di kalangan kampus, bukanlah solusi yang didapat, melainkan problem baru bahwa perguruan tinggi ikut andil dalam membiarkan status quo negeri ini. Cacat dalam imparsialitas dibuat tak hanya dengan melayani kepentingan oligarkis bisnis-politis, tetapi juga mengubur kesadaran politis lewat gaya hidup konsumeris.

Tantangan kedua terkait dengan eksklusivisme agama. Sebuah universitas tentu boleh berbasis agama tertentu, tetapi sejauh tetap ingin menyadang namanya, universitas berkewajiban untuk membangun "loyalitas konstitusi". Civitas academica bukanlah anggota civitas Dei, bukan umat, melainkan warga res publica. Newman yang melihat pentingnya teologi dalam kurikulum universitas tetap mendesak agar para mahasiswa dipersiapkan untuk mengenali "maksim-maksim dunia ini". Artinya, kampus bukan biara, seminari, atau pesantren.

Namun, banyak perguruan tinggi kita gagap terhadap "pemucatan identitas" akibat globalisasi. Mereka menguatkan identitas partikular dengan mencangkokkan eksklusivisme agama ke dalam visi mereka. Mereka lupa bahwa tugas mereka sebagai otoritas intelektual adalah rekonstruksi identitas bersama lewat ruang publik. Tetapi bagaimana mereka bisa menjadi pionir dalam proyek "identity in the making" kalau dijadikan kantong massa bagi partai-partai berbasis agama? Kampus seharusnya merupakan ruang depolitisasi agama dan bukan sebaliknya.

Tantangan ketiga terkait dengan birokrasi pendidikan. Sistem perizinan, subsidi, hibah, dan tunjangan yang diberikan oleh birokrasi dimaksudkan untuk menguatkan fungsi akademis perguruan tinggi. Jika tidak hati-hati, kebijakan ini sekadar melatihkan kegigihan administratif dan kurang merangsang inovasi akademis. Tumbuh dalam kultur yang masih feodal, para insan kampus kita lebih gemar mencari status daripada berinovasi dalam riset, lebih pintar menganggarkan proyek-proyek daripada menghasilkan temuan ilmiah yang mencengangkan dunia.

Arogansi birokratis
Jika Newman dan para penulis Eropa lain mewaspadai arogansi intelektual, kita terlebih perlu mewaspadai arogansi birokratis. Kebanyakan orang kampus lebih bangga diri menjadi rektor, wakil rektor, atau dekan daripada menjadi peneliti atau expert. Dalam atmosfer seperti ini muncul loyalis-loyalis pejabat-pejabat tertentu yang dalam periode tertentu berasal dari partai-partai tertentu. Rezim berubah, kampus pun ganti warna. Contoh terkenal untuk sikap partisan atas birokrasi adalah filsuf Martin Heidegger yang waktu itu sebagai rektor di Freiburg memihak Nazi dan menjadi antisemitis terhadap koleganya sendiri, Karl Jaspers. Siapa dapat menjamin bahwa sikap partisan seperti itu tidak ada di kampus-kampus kita?

Mengingat martabatnya sebagai otoritas intelektual, sebuah perguruan tinggi yang tunduk pada kepentingan-kepentingan partikular, entah dari pasar, agama, atau birokrasi, kiranya lebih merugikan demokrasi daripada menguntungkannya. Kalkulasi strategis membuatnya oportunis, dan kata Newman, "kalkulasi tak pernah membuat seorang pahlawan". Publik mengharapkannya tetap memiliki suara profetis di tengah-tengah turbulensi politis.

F Budi Hardiman, Pengajar STF Driyarkara

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003718320
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Doa Akhir Tahun 2013 (Indra Tranggono)

PADA akhir 2013 ini beragam permintaan seluruh umat manusia menyerbu "Departemen Pengabulan Doa" di surga. Para malaikat terpaksa kerja lembur menyeleksi jutaan doa yang pantas dan tidak pantas diajukan kepada Tuhan. Doa standar seperti harapan atas keselamatan manusia dan dunia langsung diloloskan.
Namun, doa-doa "krusial", misalnya doa para koruptor agar dibebaskan dari hukuman, sengaja mereka tahan. Dalih mereka, doa macam itu tidak pantas diajukan kepada Tuhan.

Para malaikat sangat yakin bahwa Tuhan berada di belakang para penegak hukum dan lembaga peradilan yang bersih. Tuhan sangat membenci dan mengutuk korupsi dan koruptor yang telah menghancurkan masa depan umat manusia, ciptaan-Nya.

Ketika para malaikat hendak istirahat, tiba-tiba muncul gemerencang doa dan permintaan yang keras mengentak. Setelah diselidiki, ternyata suara itu datang dari para tokoh elite  Indonesia. Mereka ingin menjadi presiden Republik Indonesia. Para malaikat merasa sungkan menyampaikan permintaan itu kepada Tuhan.

Bagi para malaikat, Tuhan terlalu mulia untuk dimohon mengurusi permintaan klise yang rutin muncul setiap lima tahun sekali itu. Apalagi, kebanyakan calon dan presiden petahana tampak kurang serius. Ketika dikabulkan permintaannya menjadi presiden, umumnya mereka melempem menjalankan tugas-tugas profetik dan lupa janji-janjinya.

Lalu, persoalan ketidakadilan dan korupsi tetap saja menjadi menu rutin dalam kepemimpinan mereka. Mereka selalu berdalih "sedang belajar memimpin negara" tanpa memberi batasan waktu masa belajarnya.

Kesatria politik
Para malaikat geleng-geleng kepala. Betapa degradasinya bangsa ini, pikir mereka. Di negeri ini tidak muncul lagi  banyak pemimpin sejati seperti pada saat awal negeri ini berdiri. Waktu itu para malaikat bisa tersenyum melihat generasi bangsa ini yang tampil trengginas membangun peradaban bangsa.

Secara fisik mereka tampil sangat sederhana bahkan hidup pas-pasan, tetapi kepala mereka selalu mendidih dan menderu seperti mesin lokomotif. Perjalanan menempuh bermil-mil persoalan ditunaikan dengan jiwa yang bersih. Satu-satunya pamrih hanyalah mewujudkan kesejahteraan bangsa.

Generasi negarawan itu  adalah para kesatria politik yang berani pasang badan terhadap segala risiko dalam memimpin perubahan. Mereka menjalani peran politik secara bermartabat: berbasis etik dan etos.

Etika mendorong mereka menjalankan peran dan fungsi politik untuk mewujudkan cita-cita sosial: masyarakat bangsa berkeadilan, berkemakmuran, dan bermartabat. Etos mendorong mereka mampu menjalankan tugas-tugas profetik secara jujur, gigih, dan kreatif. Mereka membebaskan rakyat mereka dari kemiskinan dan kebodohan, serta meninggikan rakyat secara eksistensial.

Selalu monoton
"Saya sering mengelus dada mendengarkan suara hati mereka. Bunyinya selalu monoton. Hanya keuntungan, keuntungan, dan keuntungan," keluh salah satu malaikat.

Malaikat lain pun berucap, "Ya, tapi bagaimanapun bangsa ini harus ditolong. Masih banyak orang baik di negeri ini."

"Caranya?" sergah malaikat yang lainnya lagi.

"Tangkap, adili, dan hukum semua koruptor Merekalah biang keladi keterpurukan negeri ini sehingga tak ada ruang bagi orang-orang baik," ujar salah satu malaikat.

"Siapa yang berani? KPK? Tugas mereka sudah sangat berat menangani kasus korupsi pinggiran yang jumlahnya ribuan hingga belum sempat menyentuh korupsi pada inti kekuasaan."

"Itulah kelemahan KPK. Mestinya mereka berani langsung menyendok bubur tepat di bagian tengah. Otomatis korupsi di pinggiran akan tergulung," ujar malaikat yang lain.

Tak punya kapasitas
Tak ada respons. Ide itu dianggap mustahil. Akhirnya para malaikat memutuskan untuk mengurusi doa dan permintaan orang-orang menderita yang jumlahnya terus meningkat. Mereka tak beda dengan kaum usiran di negerinya sendiri, baik secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.

"Masak kita tega membiarkan negeri ini kembali dikuasai orang-orang yang tidak punya kapasitas brahmana sekaligus kesatria. Ingat Pemilu 2014 sudah dekat, nih," bisik salah satu malaikat.

"Apa orang macam itu  masih ada di negeri ini?" tanya malaikat yang lain.

Dari tempat-Nya yang jauh, Tuhan pun tersenyum. Para malaikat sangat memahami senyuman Tuhan, Sang Mahapem- buat Skenario.

Harapan pun mekar dalam dada para malaikat.

INDRA TRANGGONO, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003827418
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Kontroversi Ziarah PM Shinzo Abe

ZIARAH PM Jepang Shinzo Abe ke Kuil Yasukuni di Tokyo, Kamis (26/12), memicu kemarahan dua tetangganya, China dan Korea Selatan.
Kuil Yasukuni yang dibangun tahun 1869, pada masa Restorasi Meiji itu, dianggap sebagai simbol agresi militer Jepang pada masa Perang Pasifik (1941-1945). Itu sebabnya, kunjungan Abe ke kuil itu dianggap China dan Korsel sebagai memberikan penghormatan kepada para penjahat perang Jepang yang telah menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan pada negara-negara yang mereka duduki dalam Perang Pasifik dulu.

Kemarahan Pemerintah China dan Korsel atas ziarah itu ditunjukkan dengan memanggil masing-masing Duta Besar Jepang untuk China di Beijing dan Duta Besar Jepang untuk Korsel di Seoul.

Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyebut apa yang dilakukan Abe telah mendorong Jepang ke arah yang "sangat berbahaya". Sementara Menteri Kebudayaan, Olahraga, dan Turisme Korsel Yoo Jin-ryong menyebut tindakan itu sebagai perbuatan yang menyalahi sejarah.

Namun, kita harus menyadari bahwa pandangan China dan Korsel itu, yang menempatkan diri sebagai korban itu barulah pandangan dari satu sisi. Ada juga pandangan dari sisi lain, yakni pandangan Abe. Menurut Abe, kunjungannya ke Kuil Yasukuni sama sekali tidak bertujuan menghormati penjahat perang. Ia datang untuk berdoa, dan "melapor" kepada arwah para korban perang masa lalu, tentang upayanya memastikan tidak akan ada lagi rakyat (Jepang) menderita dan mengalami kengerian akibat perang.

Mengingat, Kuil Yasukuni itu tidak hanya menjadi tempat untuk menghormati ratusan orang yang kini dianggap sebagai penjahat perang, tetapi juga untuk menghormati 2,5 juta orang yang menjadi korban perang. Selain itu, menurut Abe, adalah normal bagi pemimpin di Jepang untuk berziarah dan menghormati mereka yang gugur demi negeri itu. "Dan, saya berdoa bagi perdamaian. Jangan sampai Jepang melancarkan perang lagi," ujar Abe, seraya mengatakan, "Tidak bermaksud melukai hati China dan Korsel."

Setiap perbuatan memang dapat dinilai dari berbagai sisi, tetapi harus diakui bahwa mungkin pemilihan waktu (timing)-nya yang kurang tepat. Mengapa Abe harus berkunjung ke Yasukuni di saat hubungan antara Jepang dan China sedang memanas karena sengketa wilayah di Laut China Timur. Itu pula sebabnya, Amerika Serikat pun menyesalkan pemilihan waktu pelaksanaan ziarah itu.

Sama seperti Amerika Serikat, kita pun berharap Jepang dan dua tetangganya itu mampu mencari cara konstruktif untuk mengatasi masalah sensitif itu dan tetap menjaga hubungan baik dan kerja sama demi mempertahankan perdamaian dan stabilitas di kawasan itu.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003868355
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Mengendalikan Harga

HARGA-harga yang melonjak naik menjelang Natal dan Tahun Baru seakan menjadi hal rutin, walaupun menjadi tugas pemerintah mengendalikan harga.
Pada setiap menjelang hari besar nasional, termasuk Natal, dan akhir tahun selalu terjadi kenaikan permintaan barang dan jasa, termasuk pangan.

Masyarakat menyambut datangnya hari istimewa tersebut secara khusus juga. Salah satu cara adalah dengan menghidangkan makanan yang tidak dijumpai dalam menu sehari-hari. Tidak mengherankan jika harga makanan melonjak naik karena permintaannya meningkat.

Situs Kementerian Perdagangan mencatat kenaikan harga berbagai jenis makanan di sejumlah kota. Kenaikan terjadi, antara lain, pada daging sapi yang menembus Rp 100.000 per kilogram. Harga cabai, daging ayam, sayuran, hingga telur ayam juga naik dengan besaran bervariasi.

Kenaikan harga tersebut sebetulnya dapat diantisipasi karena selalu datang setiap tahun. Harga terbentuk karena permintaan dan penawaran. Kekurangan pasok atau distribusi barang dan jasa tidak lancar dapat menyebabkan kelangkaan dan menaikkan harga.

Menjadi tugas pemerintah memastikan harga pangan stabil dan terjangkau rakyat, terutama pangan segar. Selain menjadi amanat konstitusi, memenuhi kebutuhan pangan rakyat juga penting untuk mengendalikan inflasi. Sepanjang tahun 2013 kita merasakan pengaruh tingginya harga bahan pangan dalam membentuk inflasi.

Pemerintah sudah mengupayakan peningkatan produksi pangan meskipun hasilnya diharapkan dapat lebih optimal. Namun, kenaikan harga tidak dinikmati secara adil oleh petani produsen. Salah satu penyebabnya adalah sistem logistik belum efisien. Masih perlu dikembangkan penampung saat produksi berlebih, seperti penyimpanan dingin agar bahan makanan dapat bertahan lebih lama.

Jika berjalan sedikit keluar Jakarta, misalnya ke wilayah sekitar Puncak, Jawa Barat, sebagai penghasil sayur segar, kita melihat transportasi menjadi tidak efisien karena jalan di sentra produksi banyak yang rusak. Stasiun agrobisnis juga belum berfungsi optimal dalam mengumpulkan dan menyeleksi sayuran yang akan dikirim ke Jakarta.

Mengambil hikmah dari tingginya permintaan masyarakat pada hari-hari besar, untuk menstabilkan harga, meningkatkan akses konsumen pada pangan murah dan berkualitas, memberi petani keuntungan layak, dan membuat perekonomian lebih efisien, penyediaan pangan tidak cukup hanya berhenti di sektor produksi. Hal ini juga berlaku pada produk barang dan jasa lain.

Koordinasi antarlembaga di pusat serta antara pemerintah pusat dan daerah tetap perlu terus diupayakan seperti berulang kali ditekankan Presiden. Bekerja secara terkoordinasi bukan pekerjaan mudah dalam sistem demokrasi saat ini. Namun, hanya dengan bekerja tanpa sekat-sekat pengendalian harga akan berjalan efektif. Pembangunan Indonesia pun melaju seperti harapan kita.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003868122
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 27 Desember 2013

Negara Wajib Hadir, Bukan Cuma Menonton (Hasil Diskusi KOMPAS)

Pengantar Redaksi:

Reformasi sudah berjalan 15 tahun, tetapi kelembagaan yang menjamin bekerjanya sistem pemerintahan berkelanjutan dan bervisi kedaulatan bangsa agar dapat berkompetisi secara global belum terbangun. Harian "Kompas" bekerja sama dengan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada DKI Jakarta menggelar diskusi bertema "Transformasi Sistemik Indonesia 2014" pada 3 Desember 2013. Diskusi menghadirkan panelis Pratikno (Rektor UGM), Syamsuddin Haris (profesor riset LIPI), Hendri Saparini (Direktur Eksekutif Core Indonesia), Bambang Kesowo (mantan Mensesneg), Yudi Latif (Direktur Eksekutif Reform Institute), dan dipandu Arie Sudjito (sosiolog UGM), serta dihadiri sejumlah undangan terbatas. Laporan diskusi ditulis M Hernowo, Wisnu Nugroho, Ninuk Mardiana P, dan Mohamad Subhan SD yang disajikan di bawah ini, serta di halaman 5 dan 6.

INDONESIA saat ini sangat demokratis. Namun, kualitas dan efektivitas demokrasi dan pemerintahan hasil pemilu masih jauh dari harapan publik. Terlebih lagi, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi sangat masif dan terus terjadi.

Konflik sosial juga tak kunjung surut. Tindak kekerasan dan anarki sektarian yang mengancam pluralitas bangsa seakan tidak dapat diatasi. Bangsa pun seperti tak berkutik ketika berhadapan dengan negara-negara tetangga yang kerap melakukan tindakan jahil. Di sektor ekonomi, realitas harus diterima ketika semua bahan pangan harus diimpor, sementara sektor migas, perbankan, dan telekomunikasi dikuasai asing.

Dalam perjalanan menjadi Indonesia, butuh penegasan kembali terminal-terminal tujuan. Apabila terminal tujuan akhir sudah jelas, harus mampu membangun energi kolektif untuk merumuskan yang mesti dilakukan sebagai bangsa.

Dalam konteks globalisasi, terminal utama adalah memenangi kompetisi global mengingat globalisasi telah menembus pelosok desa di semua sektor kehidupan dan masyarakat Indonesia semakin termarjinalkan. Terlebih lagi, struktur ekonomi global sangat hegemonik. Dana Moneter Internasional, misalnya, meminta Indonesia melupakan sektor pertanian. Itu berarti Indonesia yang berpenduduk lebih dari 240 juta orang "dilarang" bicara kedaulatan pangannya sendiri.

Keadaan Indonesia berbeda dari negara tetangga yang menyiapkan strategi untuk melindungi rakyatnya. Malaysia, misalnya, menetapkan 24 jenis pangan strategis dan mengontrol melalui undang-undang untuk mengendalikan pasokan dan UU pengontrol harga. Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan senada.

Kedaulatan
Pilar sistem ekonomi Indonesia sesungguhnya sangat kuat dalam UUD 1945, yaitu pengelolaan APBN untuk kesejahteraan rakyat (Pasal 23), rakyat berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak (Pasal 27), pemerintah wajib memenuhi kebutuhan dasar dan memberikan layanan dasar (Pasal 28), pengelolaan ekonomi berbasis kebersamaan (Pasal 33), penguasaan negara atas cabang produksi (Pasal 33), penguasaan dan kepemilikan negara atas kekayaan alam (Pasal 33), serta pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar fakir miskin dan anak telantar (Pasal 34).

Dalam praktik, pemenuhan kebutuhan dasar dan layanan dasar nyatanya banyak diserahkan kepada pasar dan swasta asing. Meski konstitusi mengamanatkan negara harus menjamin pemenuhan kebutuhan dasar, hal tersebut tidak mudah dipenuhi karena neoliberalisme merasuk di semua sektor, termasuk yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sampai 15 tahun reformasi, masih sulit menentukan ke mana arah perjalanan Indonesia. Penyebabnya, negara ini tidak memiliki peta jalan jangka panjang. Sering kali penyelesaian masalah bersifat jangka pendek dan sektoral.

Setidaknya ada lima akar persoalan bangsa ini: warisan struktural ekonomi-politik-kultural kolonialisme; sistem otoriter yang panjang sejak era Demokrasi Terpimpin hingga Orde Baru; pola transisi demokrasi yang tidak menjanjikan demokrasi substansial yang terkonsolidasi; reformasi institusional tambal sulam; serta pendangkalan politik yang bermuara pada absennya etika dan moral aktor demokrasi dan penyelenggara negara.

Politik kini tidak lagi dilihat sebagai kebebasan memproduksi kebajikan dan keutamaan bagi kehidupan bangsa, tetapi lebih sebagai kesempatan yang disediakan oleh hak dasar yang melekat pada setiap manusia bebas.

Politik hanya menjadi kekuasaan, tidak penting lagi apakah bermanfaat bagi masyarakat secara kolektif atau justru menjadi monster yang berpotensi menghancurkan kolektivitas. Parpol, yang semestinya menjadi tempat mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan bangsa, justru berkembang menjadi tempat untuk mencari nafkah.

Elite politik juga tidak konsisten. Tidak ada upaya serius dan konsisten membangun skema presidensial yang koheren. Hal itu bisa dilihat dari UU politik. Sistem perwakilan dan sistem pemilu (baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden, maupun pemilihan kepala daerah) tak didesain untuk mendukung skema sistem presidensial.

Membangun sistem
Pemilu-pemilu setelah Orde Baru justru melahirkan raja-raja kecil korup dan tidak bertanggung jawab. Seharusnya pemilu presiden mendahului pemilu legislatif sebagai konsekuensi logis sistem presidensial, paling tidak simultan dengan pemilu legislatif seperti di sejumlah negara. Dengan demikian, ambang batas pencalonan presiden tidak diperlukan lagi.

Agar bangsa Indonesia mampu bersaing secara global, pembenahan harus dilakukan dalam tataran instrumental dan kelembagaan, terutama institusi politik, termasuk dalam fungsi dan kewenangannya.

Ada dua hal penting untuk mentranformasikan demokrasi, yaitu melalui jejak masyarakat politik (political society) dan masyarakat sipil (civil society).

Dalam konteks masyarakat politik, penting melanjutkan reformasi kelembagaan dan penataan skema pemilu. Dalam konteks masyarakat sipil, terus didorong membangun saling percaya, kerja sama, dan konsolidasi antarelemen. Apalagi tonggak penting republik, seperti Sumpah Pemuda atau Pancasila, sebenarnya produk masyarakat sipil.

Banyak produk penting berasal dari visi masyarakat sipil yang dibajak masyarakat politik ke arah tidak produktif. Contohnya, amandemen konstitusi. Hal-hal baik yang dikerjakan para pendiri bangsa dikapling-kapling untuk kepentingan parpol dan kelompok.

Cahaya menanti di depan mata. Pemilu 2014 sangat strategis, harus melahirkan pemimpin yang menyelesaikan masalah bersifat jangka pendek dan sektoral, sekaligus bervisi jauh ke depan.

Pemimpin masa depan harus mampu membangun sistem, menjadi fondasi sekaligus peta jalan bangsa, disertai tindakan konkret. Inilah saatnya masyarakat politik menciptakan cahaya yang menyinari bangsa ini.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003794151
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sistem, Birokrasi, dan Regulasi… (Mohamad Subhan SD)

PEMBENAHAN sistem seharusnya menjadi pekerjaan penting untuk menata ulang pengelolaan negara. Penyelenggaraan negara yang lebih mengandalkan figur pemimpin hanya menjadi "obat sakit kepala" yang mampu bertahan sesaat. Tak pernah menyembuhkan untuk jangka waktu panjang. Contohnya, banyak inisiatif bagus yang bermunculan di sejumlah daerah sejak era otonomi daerah kini mungkin tinggal kenangan. Mengapa?

Masalahnya adalah sejumlah best practices yang dihasilkan dengan pendekatan inkremental tersebut lebih mengandalkan pada inisiatif pemimpin setempat. Ada beberapa daerah di tingkat kabupaten/kota yang memperlihatkan prestasi baik. Sebut saja Kabupaten Jembrana, Kabupaten Lamongan, Kota Blitar, Kota Solo, atau yang sekarang ini tengah naik daun, semisal Provinsi DKI Jakarta dan Kota Surabaya.

Itulah pelajaran berharga dan penting dalam sejarah tata kelola pemerintahan. Namun, contoh baik dari daerah yang sempat memperlihatkan prestasi tersebut memang tidak lepas dari figur pemimpinnya.

Terlalu bersandar pada figur bukanlah solusi tepat untuk mengelola pemerintahan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Bahkan, sebaliknya mengandung sejumlah kerawanan. Kerawanan paling jelas adalah hilangnya praktik pemerintahan yang baik.

Peran birokrasi
Hal itu seperti nasib daerah-daerah di atas yang kini barangkali tidak "segemerlap" sebelumnya. Begitu kepala daerahnya berhenti atau diganti, langsung segala praktik pemerintahan yang baik itu menguap pula. Seperti Jembrana pada lima tahun pertama sangat mengesankan, tetapi habis setelah itu.

Karena itu, sangat penting mewujudkan pencapaian praktik pemerintahan dalam kerangka sistem, bukan bergantung pada faktor orang. Pengabaian selama ini dalam membangun sistem itu melemahkan daya saing Indonesia memenangi kompetisi global.

Padahal, reformasi politik telah memberi modal awal untuk konsolidasi energi bangsa, terutama penyebaran kekuasaan, rotasi kepemimpinan, legitimasi politik, dan hak politik warga negara. Tidak diperdebatkan lagi pemimpin ke depan, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus memiliki kemauan politik membangun sistem, mendorong perencanaan pembangunan komprehensif dan melaksanakannya secara konsisten.

Tidak mudah membangun sistem di tengah karakter elite yang lebih memilih demokrasi prosedural ketimbang demokrasi substantif karena lebih mudah menjalaninya.

Birokrasi yang merupakan salah satu lokomotif tata kelola penyelenggaraan negara sampai sekarang masih terasa berat untuk melaju cepat. Semua lembaga pemerintahan harus melakukan reformasi, antara lain perampingan kelembagaan untuk efisiensi dan efektivitas. Selama ini birokrasi terlalu tambun, terlalu banyak lembaga baru, termasuk berbagai komisi negara.

Lembaga-lembaga baru (auxiliary state institution) itu justru menjadi mainan baru, termasuk mengooptasi para aktivis. Terjadi absorbsi aktivis masyarakat sipil ke dalam berbagai elemen lembaga baru berupa komisi negara. Seperti memberi gula-gula, dengan konsekuensi beban negara makin luas.

Reformasi birokrasi pemerintahan pun lalu dimaknai secara sempit berupa peningkatan remunerasi sebagai upaya peningkatan kinerja pegawai sekaligus tindakan untuk mencegah korupsi. Namun, cara itu bukan resep mujarab karena setiap kali ada saja penyelenggara negara tersangkut kasus korupsi.

Karena itu perlu untuk memahami bahwa birokrasi bukan melulu bermakna pegawai negara. Secara filosofis, birokrasi berarti suatu tatanan kewenangan. Birokrasi tidak berfungsi dan tidak bergerak ke mana-mana tanpa ada manusia yang melaksanakan.

Kualitas birokrasi
Seperti pernah dikatakan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, di tangan pelaksana yang tidak cakap, birokrasi menjadi tidak efektif. Di tangan pelaksana yang korup, birokrasi akan memakan misi organisasi yang diembannya.

Di tangan pelaksana yang bengis, beroperasi pula birokrasi penindas. Dengan lingkungan seperti itu, birokrasi memang sangat rentan dihadapkan pada kualitas pelaksana dan kultur yang melingkupinya yang kemudian terlihat sebagai kultur birokrasi.

Reformasi birokrasi memang butuh tenaga ekstra yang tidak kenal lelah. Sambil terus melakukan pembenahan-pembenahan birokrasi, penataan regulasi juga tidak kalah pentingnya. Bukan hanya banyak regulasi tumpang tindih, tetapi juga penegakannya masih menjadi persoalan hingga kini.

Regulasi sejatinya memberikan jaminan dan perlindungan. Tanpa itu, sistem yang dibangun dan birokrasi yang dibenahi mungkin tidak akan berarti apa-apa. Dan, Pemilihan Umum 2014 sebagai penanda mandat baru bisa menjadi momentum melakukan penataan-penataan tersebut sehingga praktik baik yang telah dicapai menjadi warisan penting bagi penyelenggara negara. (Mohamad Subhan SD)

Sumber:
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Supaya Tidak Makin Dangkal (WISNU NUGROHO)

APA yang salah dengan rangkaian pemilihan umum dan proses demokrasi kita? Mengapa yang mendapat mandat politik kini satu per satu terbukti berkhianat terhadap rakyat? Apakah Pemilu 2014 yang ada di depan mata cukup menjanjikan untuk suatu transformasi menuju demokrasi substansial yang terkonsolidasi bisa mewujud? Apakah semua proses demokrasi ini akan berujung pada kekecewaan juga?
Gugatan ini mengemuka saat mengambil jeda atas jalannya demokrasi di Indonesia, terutama sejak Reformasi 1998 mempercepat lajunya. Menjelang Pemilu 2014, gugatan itu makin lantang disuarakan dengan pijakan kekecewaan yang nyata.

Pemilu relatif bebas, adil, dan demokratis sejak 1999. Tahun 2004, pemilu presiden langsung bahkan disusul dengan pemilu kepala daerah. Meskipun demikian, kualitas dan efektivitas pemerintahan hasil pemilu nyata-nyata mengecewakan publik.

Kini kita mendapati korupsi meluas dan menjangkau aras tertinggi di negeri ini. Kita tidak terlalu yakin kapan korupsi akan berhenti. Tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan suap merupakan puncak dari kekecewaan.

Apabila mau lebih optimistis, langkah tegas KPK sebenarnya menghadirkan harapan membaiknya Indonesia. Korupsi tidak akan mendapat tempat karena siapa saja bisa di penjara. Namun, kondisi lain membuat kita harus realistis meletakkan harapan itu.

Berakar panjang
Tumpukan kekecewaan ini tidak datang tiba-tiba. Melihat lebih jauh, terpetakan lima akar persoalan, yaitu warisan struktural ekonomi-politik-kultural kolonialisme; sistem otoriter yang panjang (Demokrasi Terpimpin Soekarno dan Orde Baru era Soeharto); pola transisi demokrasi tidak menjanjikan demokrasi substansial yang terkonsolidasi; reformasi institusional tambal sulam berdampak pada pilihan-pilihan politik serba ambigu; serta pendangkalan pemahaman politik yang bermuara pada absennya etika dan moralitas para aktor demokrasi dan penyelenggara negara.

Dalam perspektif teoretis Alfred Stepen (1993), transisi demokrasi setelah Orde Baru terjadi karena tekanan dan desakan kekuatan oposisi yang tidak terlembaga. Karena tidak muncul dari dalam, perubahan mendasar tidak hadir.

Ada kesepakatan memperkuat sistem demokrasi presidensial. Namun, tidak ada diskusi dan argumen mengapa hal itu disepakati, kecuali stigma negatif terhadap demokrasi parlementer. Tidak ada upaya serius membangun skema presidensial yang koheren dan konsisten dengan pilihan sistem perwakilan, sistem pemilu, dan sistem kepartaian.

Inkonsistensi itu tampak dalam perluasan otoritas DPR dan pelemahan otoritas presiden. Pada saat bersamaan, politik tidak dilihat sebagai kebebasan memproduksi kebajikan dan keutamaan bagi kehidupan kolektif. Politik menjadi sangat konkret: hanya soal kekuasaan yang terdiri atas bagaimana merebut dan kemudian mempertahankan. Tidak penting apakah kekuasaan itu bermanfaat atau justru menjadi monster penghancur kolektivitas bangsa.

Pendangkalan pemahaman yang sama berlaku atas partai politik, pemilu, dan demokrasi. Tidak heran jika para elite parpol setelah Soeharto tidak punya proposal genuine mengenai reformasi. Tidak juga memiliki visi bagaimana seharusnya bangsa ini ditata ulang untuk mewujudkan cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan. Akibatnya, parpol yang seharusnya menjadi tempat mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan bangsa justru menjadi tempat mencari nafkah dalam pengertian sepenuh-penuhnya. Dalam ungkapan Bung Hatta, "Partai dijadikan tujuan dan negara sebagai alatnya." Pendangkalan terjadi dalam kancah politik kita.

Bola liar
Menghadapi pendangkalan ini, apa yang bisa dilakukan? Sebelum menjawab, perlu dipetakan masalah yang nyata di depan mata dan dianggap seolah-olah tidak ada. Format pemilu presiden tidak menjanjikan presiden yang mumpuni kemampuannya dan akuntabel. Format pemilu legislatif demikian juga karena bertumpu pada popularitas, kemampuan finansial, dan hubungan nepotis. Tradisi seleksi kepemimpinan belum melembaga.

Dalam kondisi ini, penataan menyeluruh diperlukan agar pilihan atas skema sistem demokrasi presidensial koheren dan konsisten dengan pilihan sistem perwakilan, skema dan format pemilu, serta sistem kepartaian. Jika amandemen kelima konstitusi diniscayakan, perlu kesepakatan nasional agar tak menjadi "bola liar" mengarah pada tambal sulam baru hasil amandemen.

Perlu ditata skema pemilu yang mengarah pada penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif secara simultan/serentak agar format pemilu presiden dan koalisi tidak "didikte" hasil pemilu legislatif. Pemilu presiden dan pemilu legislatif serentak menjadi "pemilu nasional" yang diselenggarakan 2,5 tahun mendahului "pemilu lokal" untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD.

Perubahan ini tidak bisa diharapkan semata-mata dari elite parpol. Rakyat selaku pemilik kedaulatan dan pemberi mandat politik dalam pemilu harus terus meneriakkan ketidakadilan, kebusukan, ketakpedulian, dan sikap mati rasa para elite penyelenggara negara atas nasib dan masa depan bangsa.

Kerja sama dan konsolidasi sejumlah elemen masyarakat sipil diperlukan. Perlu kerja besar pencerdasan dan penyadaran rakyat sebagai "warga negara", bukan sekadar "massa" yang mudah diprovokasi dan dimanipulasi oleh mereka yang "mengail di air politik yang keruh" untuk kepentingan mereka masing-masing.

Tanpa mengupayakan langkah-langkah ini, kancah politik kita akan semakin dangkal dan akan segera tiba saatnya karam.

(WISNU NUGROHO)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003629629
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Membangun Ekonomi Berdaulat (Ninuk Mardiana P)

PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia yang tampak tinggi beberapa tahun terakhir hingga di atas 6 persen tiba-tiba melorot pertengahan tahun ini. Nilai tukar rupiah juga terus melemah. Harga berbagai bahan makanan segar stabil tinggi dibandingkan dengan harga tahun lalu.
Untuk mencegah inflasi dan menahan agar jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengimpor berbagai pangan segar yang sebetulnya dapat diproduksi di dalam negeri, termasuk cabai.

Di sektor energi, rencana mengembangkan energi terbarukan tidak kunjung terealisasi meskipun Indonesia adalah salah satu pemilik energi panas bumi terbesar di dunia, panas matahari sepanjang tahun, energi nabati, dan energi air.

Menjelang tenggat larangan ekspor bijih mineral mentah (ore) pada 12 Januari 2014, muncul berita di media massa bahwa pemerintah ancang-ancang berubah haluan. Lobi pengusaha begitu kuat sampai-sampai dikabarkan ada rencana pemerintah memberikan pengecualian kepada beberapa perusahaan. Sementara harian ini Selasa (24/12) memberitakan, Kementerian ESDM bertahan melarang ekspor semua mineral mentah sesuai jadwal sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Ilustrasi di atas menggambarkan tidak jelasnya visi pemerintah dalam membangun Indonesia. Strategi pemerintahan tidak koheren sehingga berbagai kebijakan terkesan reaktif dan tumpang tindih.

Tidak mengherankan apabila pemerintah dituding merancang pembangunan tanpa dilandasi UUD 1945. Alasannya, banyak kewajiban konstitusi tidak menjadi visi pemerintah. Pemerintah bahkan masuk pusaran neoliberalisme.

Melihat arah pembangunan saat ini, Pemilu 2014 menjadi sangat penting untuk melahirkan pemimpin yang memiliki visi Indonesia seperti yang dicita-citakan UUD 1945, yaitu masyarakat adil, makmur, dan mampu bersaing dalam globalisasi.

Kedaulatan
Dalam banyak hal, pemerintah lepas tangan dari kewajiban yang ditetapkan konstitusi. Pasal 28 UUD 1945 menetapkan pemerintah wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar bagi masyarakat.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan dasar, sampai saat ini pemerintah tidak menetapkan jenis pangan strategis, kecuali berkonsentrasi hanya pada beras, meskipun di dalam rencana jangka menengah pemerintah menetapkan swasembada beras, kedelai, jagung, gula, dan daging sapi.

Penetapan pangan strategis menuntut adanya kebijakan komprehensif untuk memenuhi ketersediaannya, mulai dari produksi hingga sampai di tangan konsumen dalam jumlah, kualitas, dan harga yang terjangkau rakyat banyak.

Ironisnya, jalan keluarnya adalah impor pangan. Kebijakan tersebut melupakan produsen dan kemampuan produksi dalam negeri beserta nilai tambahnya, termasuk sisi peningkatan kapasitas riset dan inovasi produksi pangan segar dan hasil olahannya. Belum lagi jika membahas soal ketahanan dan kedaulatan pangan.

Berbagai forum ekonomi internasional di mana Indonesia mengikatkan diri, Indonesia didorong untuk "melupakan" sektor pangan. Forum seperti Organisasi Perdagangan Dunia juga mendorong terbukanya pasar 240 juta orang di Indonesia bagi produk pertanian dunia. Dengan 40 persen dari penduduk masih prasejahtera, harga pangan yang mahal sama saja dengan menihilkan hak asasi rakyat.

Dengan alasan tidak memiliki anggaran, pemerintah bukan hanya melepaskan kewajiban kepada swasta asing, melainkan juga kepada swasta nasional. Contohnya, penyediaan rumah bagi rakyat. Harga rumah terus naik, tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan. Tanah pun dibiarkan menjadi barang spekulasi sehingga harganya naik terus.

Penciptaan lapangan kerja juga tidak dirancang mengatasi persoalan ketenagakerjaan. Dengan lebih dari separuh pendidikan angkatan kerja hanya SMP ke bawah, mereka tidak mungkin didorong bersaing di dalam pasar kerja. Meskipun demikian, tidak ada program khusus untuk meningkatkan keterampilan mereka. Di sisi lain, jumlah sarjana yang menganggur terus meningkat. Di sini, peran pendidikan dalam arti luas menjadi penting selain industrialisasi dan penanaman modal.

Daftar di atas bisa diperpanjang, mulai dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar seperti air bersih untuk seluruh rakyat (bukan dengan menjual mata air untuk industri air kemasan), kepemilikan asing di bank yang diizinkan pemerintah menjadi 99 persen, hingga liberalisasi sektor sumber daya alam.

Ironisnya, dalam kompetisi di tengah globalisasi dengan membuka pasar bagi produk dan investasi asing, Indonesia berada pada posisi semakin tersisih.

Keterbukaan pasar telah merasuk hingga ke desa-desa dan kaki lima di hampir semua sektor kehidupan. Indonesia tidak mampu mengambil nilai lebih pembangunan dan terbebani dampak pembangunan saat ini.

Dengan kata lain, kedaulatan sebagai bangsa saat ini melemah bukan karena peperangan fisik, melainkan karena tidak memiliki visi pembangunan yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak.

Transformasi dan kepemimpinan

Pemilu 2014 akan sangat penting bagi Indonesia karena merupakan kesempatan untuk memilih pemimpin yang mampu mentransformasi kelembagaan untuk membawa Indonesia bersaing di percaturan global. Apalagi pada akhir 2015 akan dimulai perdagangan bebas dan lalu lintas orang tanpa pembatasan di ASEAN melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Pemimpin mendatang harus memiliki visi dan garis ideologi dalam pembangunan ekonomi berdasarkan UUD 1945 dan bekerja untuk kepentingan nasional. Juga wajib memiliki kemauan politik untuk membangun sistem, mendorong perencanaan pembangunan yang komprehensif, dan melaksanakannya dengan konsisten.

Masyarakat harus berani menuntut kepada para calon pemimpin visi dan strategi yang dituangkan ke dalam rencana kerja jangka menengah dan panjang dan tidak dapat diubah begitu saja di tengah jalan.

Kesepakatan bahwa tujuan akhir menjadi Indonesia adalah memenangi kompetisi global agar sederajat dengan negara-negara makmur lainnya memerlukan transformasi kelembagaan. Kebijakan yang diambil harus terintegrasi untuk menopang pemenangan kompetisi tersebut. Hulunya adalah birokrasi yang memiliki kompetensi, direkrut berdasarkan kemampuan, dan berpihak pada kepentingan nasional. (Ninuk Mardiana P)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003854877
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Masyarakat Sipil sebagai Katup Pengaman (M Hernowo)

MASYARAKAT sipil. Itulah jawaban yang muncul jika ditanya siapa pembuat tonggak-tonggak besar bangsa Indonesia? Pancasila, UUD 1945, dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan visi dan produk masyarakat sipil.
Masyarakat politik biasanya hanya pengambil manfaat dari gerakan yang dimulai masyarakat sipil, seperti terlihat dari gerakan Reformasi 1998 yang awalnya dimulai masyarakat sipil.

Sejarah Indonesia juga melahirkan banyak tokoh yang menjadi mercusuar masyarakat sipil. Kebesaran Presiden Abdurrahman Wahid yang bergema sampai sekarang lebih merupakan buah kiprahnya di masyarakat sipil, bukan masyarakat politik.

Gerakan masyarakat sipil memiliki dua ciri, yaitu kesukarelaan dan tak punya kepentingan langsung dengan kekuasaan politik. Indische Partij yang berdiri Desember 1912 sebagai partai politik pertama di Hindia Belanda, esensi sebenarnya adalah gerakan masyarakat sipil.

Perserikatan Nasional Indonesia yang didirikan Soekarno pada 4 Juli 1927, dan kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia, juga lebih pas sebagai gerakan masyarakat sipil.

Kondisi sebaliknya terjadi saat ini. Sejumlah organisasi massa yang menyatakan diri gerakan masyarakat sipil sebenarnya lebih menunjukkan ciri gerakan masyarakat politik, bahkan menjadi bagian dari parpol. Hal ini terjadi karena kuatnya intensitas politik ormas tersebut.

Dugaan munculnya kekuatan uang dalam pemilihan pimpinan beberapa ormas menjadi tanda lain matinya aspek kesukarelaan gerakan masyarakat sipil, digantikan dengan kepentingan.

Jadi, jika pada awal berdirinya Republik Indonesia banyak parpol yang esensinya masyarakat sipil, sekarang ada banyak organisasi massa tetapi esensinya gerakan masyarakat politik.

Gagal bertransformasi
Erosi gerakan masyarakat sipil menjadi masyarakat politik menjadi kerugian dan kejatuhan terbesar masyarakat sipil setelah era Orde Baru. Gerakan masyarakat sipil, yang awalnya merupakan lokomotif perubahan politik, pelan-pelan mengalami pembusukan karena pudarnya aspek kesukarelaan dan kuatnya motif terhadap kekuasaan.

Kapitalisasi dunia pendidikan menjadi salah satu sebab mundurnya gerakan masyarakat sipil. Cirinya, perguruan tinggi menerima ribuan mahasiswa dalam satu angkatan. Uang membanjir masuk ke universitas dengan biaya kuliah tiap semester mencapai belasan juta rupiah.

Kondisi itu membuat suara kritis mahasiswa sebagai bagian dari sikap kritis masyarakat makin jarang terdengar. Kampus cenderung diisi mahasiswa dari kelompok ekonomi menengah atas yang umumnya tak melihat ada masalah dalam hidupnya.

Keadaan diperparah kedangkalan dan etos manajerial yang tak memberikan tempat terhadap hal-hal bersifat filosofis. Akibatnya, proses bukan yang utama. Kurikulum mendorong kompetensi dengan menghilangkan dimensi integritas. Intinya, mahasiswa hanya didorong secepat mungkin menyelesaikan kuliah.

Transformasi demokrasi Indonesia yang mengandung anomali ikut memicu erosi gerakan masyarakat sipil. Biasanya, liberalisasi ekonomi diiringi menyempitnya peran negara hingga kebebasan pasar terbuka lebih lebar. Namun, hal itu tak terjadi di Indonesia.

Komisi independen
Pembentukan sejumlah komisi negara independen era reformasi membuat sejumlah pegiat gerakan masyarakat sipil masuk di dalamnya dan sekaligus menjadikan beban dan cakupan negara meluas. Hal-hal yang sebelumnya merupakan lahan masyarakat sipil diambil alih negara. Fenomena ini antara lain terjadi dalam pengelolaan zakat yang sebelumnya menjadi urusan masyarakat. Saat ini sedang dibuat undang-undang tentang zakat dan Kementerian Agama menjadi pengelolanya.

Pemilihan komisioner komisi negara umumnya juga dilakukan berdasarkan aplikasi. Ini membuat pegiat gerakan masyarakat sipil yang masuk di dalamnya sejak awal diposisikan di bawah kekuatan politik. Mereka yang terpilih juga belum tentu calon terbaik. Idealnya, komisioner komisi negara dipilih berdasarkan nominasi, bukan aplikasi.

Negara seharusnya memberdayakan melalui kebijakan negara. Untuk mengembangkan gerakan masyarakat sipil di Australia, misalnya, perusahaan yang menyumbang gerakan masyarakat sipil mendapat insentif pengurangan pajak.

Indonesia Corruption Watch menjadi contoh pemberdayaan gerakan masyarakat sipil yang konsisten. ICW yang awalnya merupakan kelompok kecil terus diperkuat dan membuktikan prestasinya. Kini, ICW menjadi mitra sejumlah komisi negara antara lain dalam mendeteksi rekam jejak calon anggota komisi atau pejabat tertentu.

Pemberdayaan gerakan masyarakat sipil dibutuhkan karena akan berfungsi sebagai katup pengaman ketika negara tidak dapat maksimal menjalani perannya. Masalahnya, yang dikerjakan negara cenderung bukan pemberdayaan. Lalu, siapa yang jadi katup pengaman negara? (M Hernowo)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003782412
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Perdamaian dan Toleransi

TEMA pesan Hari Natal yang dikumandangkan Paus Fransiskus masih terngiang di telinga kita. Dari balkon Basilika Santo Petrus di Vatikan, Paus menyerukan suatu dunia yang lebih baik.
Pesan tersebut aktual karena dewasa ini kekerasan masih berkecamuk di Suriah, juga di beberapa negara Afrika, sementara perundingan masih terus berlangsung antara Israel dan Palestina.

Terhadap negara-negara yang masih dilanda konflik, dalam pesan "Urbi et Orbi" (Kepada Kota dan Dunia) Paus menyerukan dialog. Misalnya kepada pihak-pihak yang bertikai di Sudan Selatan.

Menarik pula untuk kita catat pandangan Paus, bahwa "perdamaian bukanlah keseimbangan kekuatan (antara) pihak yang berlawanan. (Hal ini menurut Paus menyembunyikan konflik dan perpecahan.) Perdamaian mensyaratkan komitmen harian."

Sebelum menjadi komitmen—dan praksis—harian, kita bisa melihat operasionalisasi pandangan Paus di atas pada momen-momen khusus hari raya. Saat umat Kristiani di Indonesia merayakan Natal tahun ini dengan melaksanakan ibadah di gereja dan berkumpul bersama keluarga, sebagian umat beragama lain di beberapa daerah turut membantu keamanan di gereja, juga saling mengunjungi.

Berlangsungnya perayaan Natal secara damai dan tenteram, tidak dilaporkan adanya ancaman atau teror apa pun, amat melegakan kita. Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Benny Susetyo menyatakan, "Semakin tumbuh kesadaran, Natal menjadi perayaan bersama bangsa Indonesia. Sebagaimana hari libur keagamaan lain, hari libur Natal yang bersamaan dengan liburan akhir tahun menjadi momentum untuk memperkuat kebersamaan."

Benny menambahkan, "Semakin tumbuh kesadaran bahwa kita sebangsa dan setanah air."

Sementara Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat, menyebutkan, keikutsertaan umat beragama lain dalam merayakan budaya hari raya keagamaan satu agama kian menumbuhkan ingatan bawah sadar bagi masyarakat bahwa ada sejumlah agama di Indonesia yang memiliki hari-hari besar istimewa yang dirayakan.

Kita garis bawahi baik pandangan Paus dalam skala global maupun apa yang disampaikan, dan dilaksanakan, oleh para tokoh nasional di atas. Jika kita sudah dapat menyelenggarakan ibadah hari raya setiap agama di Tanah Air dengan lancar dan damai, tradisi ini juga ingin kita jadikan praksis harian sebagaimana diamanatkan Paus Fransiskus.

Tujuan akhirnya adalah hidup bersama dengan saling menghargai kepercayaan masing-masing saudara sebangsa dan setanah air. Itulah wujud toleransi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003855090
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Kekerasan di Mesir Mencemaskan

KONFLIK politik yang terjadi di Mesir mulai dicemaskan akan menuju ke arah model kekerasan seperti yang terjadi di Irak dan Lebanon.
Selasa (24/12) dini hari lalu, ledakan dahsyat, yang diduga bom mobil bunuh diri, meluluhlantakkan gedung kompleks kepolisian di kota Mansoura, Provinsi Daqahlia, sekitar 125 kilometer di utara Kairo. Sedikitnya 15 orang tewas, termasuk 9 polisi, dan lebih dari 100 orang luka-luka akibat ledakan bom itu.

Kelompok yang menamakan diri Ansar al-Beit al-Moqaddas, Rabu, mengklaim bertanggung jawab atas ledakan bom itu. Kelompok itu juga menyatakan bertanggung jawab atas upaya pembunuhan yang gagal terhadap Menteri Dalam Negeri Mohamed Ibrahim, September lalu. Namun, pemerintah sementara Mesir belum mengetahui identitas dan jaringan kelompok itu.

Sejak penggulingan Presiden Muhammad Mursi, 3 Juli lalu, serangan terhadap sasaran militer dan polisi terus terjadi di seluruh penjuru Mesir, terutama di Semenanjung Sinai. Ada kekhawatiran jika konflik politik ini tidak segera ditangani dengan benar, aksi kekerasan itu akan bereskalasi di negeri piramida itu.

Ledakan bom mobil terjadi saat pemerintah sementara dan para pendukungnya sedang gencar berkampanye agar rakyat berpartisipasi dalam referendum atas konstitusi baru yang akan diselenggarakan 14-15 Januari mendatang. Kubu oposisi menyerukan agar rakyat memboikot referendum, atau memberikan suara tidak setuju terhadap konstitusi baru.

Tidak jelas ke mana kelompok Ansar al-Beit al-Moqaddas yang meledakkan bom mobil di Mansoura berafiliasi.

Perdana Menteri Mesir Hazem el-Beblawi dalam jumpa persnya, Selasa malam, mendeklarasikan kelompok Ikhwanul Muslimin, yang saat ini merupakan kelompok oposisi terbesar di Mesir, sebagai kelompok teroris. Ia menyebutkan, yang terjadi di Mansoura sangat berbahaya, dan berjanji akan terus memerangi teroris.

Sikap keras juga ditunjukkan oleh Kantor Kepresidenan Mesir, yang berjanji akan bertindak tegas untuk menghadapi kekuatan pengacau di dalam negeri, ataupun pihak asing yang membantunya.

Sebaliknya, kelompok Ikhwanul Muslimin mengecam keras ledakan bom mobil di Mansoura itu dan menyebutkan, hal itu merupakan serangan terhadap persatuan dan kesatuan rakyat Mesir.

Pemerintah sementara Mesir yang didukung militer itu tidak mempunyai pilihan lain, kecuali bekerja sama dengan segenap lapisan masyarakat, terutama aparat keamanan, guna menghadapi kemungkinan bereskalasinya aksi teroris di masa mendatang. Walaupun sulit, hal itu perlu diupayakan sekuat tenaga, jika tidak ingin Mesir menjadi seperti Irak dan Lebanon.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003855200
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger