Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 30 Januari 2014

Demografi Politik Pemilu 2014 (Ribut Lupiyanto)

SETIAP menjelang pemilu, daya tawar rakyat kian menguat. Partai politik dan  calon legislator akan berpacu demi memikat dan mengikat dukungan rakyat. Optimalisasi strategi dan pendekatan menjadi kunci agar kampanye berbuah kursi di parlemen.
Suara sebagai ukuran kemenangan pemilu sifatnya kuantitatif. Suara profesor nilainya sama dengan petani. Melihat kenyataan ini, ditambah pemberlakuan sistem suara terbanyak, dapat diprediksi siapa yang mampu mendapat kursi  adalah mereka yang memahami karakter rakyat. Caleg  mesti melek kondisi dan peta demografi politik.

Demografi merupakan bagian studi kependudukan yang mempelajari penduduk terutama mengenai jumlah, struktur, dan perkembangannya (IUSSP, 1982). Kenyataannya, faktor yang memengaruhi karakter dan perkembangan penduduk tak hanya faktor demografi. Yaukey (1990) mengatakan, variabel demografi akan sering berhubungan timbal balik dengan variabel nondemografi. Salah satu hubungan tersebut melahirkan demografi politik yang  mempelajari hubungan aspek penduduk dan politik.

Secara garis besar terdapat tiga variabel penting demografi politik. Pertama, jumlah penduduk. Setiap wilayah dengan jumlah penduduk besar tentu memiliki jumlah pemilih yang besar pula.

Kedua, struktur atau komposisi penduduk. Komposisi penduduk bisa diamati dari segi jender, golongan umur, ekonomi, dan pendidikan. Kementerian Dalam Negeri (2012) melaporkan,  49,13 persen penduduk Indonesia adalah perempuan. Artinya, perempuan adalah konsumen politik potensial. Dari segi golongan umur yang paling potensial adalah pemilih muda dan pemula. Penduduk berusia 45 tahun ke bawah mencapai 60 persen dari populasi. Penduduk dari segi ekonomi terpilah jadi  golongan atas dan menengah ke bawah.

Penduduk miskin, hingga Maret 2013, tercatat 28,07 juta jiwa atau 11,37 persen. Penduduk kelas menengah diperkirakan mencapai 55 persen (Bank Dunia, 2012). Selanjutnya dari aspek pendidikan, BPS (2012) melaporkan rata-rata pendidikan penduduk Indonesia adalah lulusan SMP atau sederajat.

Ketiga, distribusi penduduk. Distribusi wilayah dapat dipahami dalam desa-kota. Jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan mencapai 54 persen (LGFE-UI, 2012). Distribusi sosial dapat diamati melalui keberadaan komunitas, baik komunitas sosial, ekonomi, budaya, maupun ideologi dan agama.

Peta demografis di atas adalah obyek politik pada Pemilu 2014. Politik sejati akan senantiasa memaknai setiap kondisi sebagai peluang. Optimalisasi penangkapan peluang dari peta tersebut butuh strategi pemenangan. Caleg, parpol, dan capres mesti mempertimbangkan demografi politik sebagai basis pemenangan.

Dinamika pemenangan
Dari segi wilayah, pemenangan dapat dilakukan dengan memfokuskan diri menguasai wilayah padat penduduk. Kantong-kantong penduduk seperti wilayah urban dan pinggiran kota menjadi lahan rebutan yang tidak bisa terhindari. Pemilu 2009 sudah membuktikan, anggota legislatif yang terpilih sebagian besar berasal dari wilayah ini.

Dari segi jender, pemilih perempuan menarik dibidik. Pemberlakuan sistem afirmatif menjadikan parpol minimal memiliki 30 persen  caleg perempuan. Caleg ini penting didorong fokus menggarap segmen perempuan karena kedekatan emosionalnya.

Dari segi golongan usia perlu kejelian strategi dan pendekatan khusus kepada pemilih muda dan pemula. Gaya muda, bahasa gaul, kegiatan ringan, dan lainnya dapat jadi pertimbangan. Matta (2013) menyebut pemilih muda sebagai the new majority dan pemilih pemula sebagai the native democracy. Kedua kelompok ini menanti visi dan agenda baru dari setiap peserta pemilu.

Dari segi kondisi ekonomi dan edukasi, kampanye perlu meyakinkan mereka bagaimana nanti memperjuangkan kesejahteraannya. Isu pendidikan gratis, kesehatan gratis, lapangan kerja, kemudahan berusaha yang logis dan sederhana dicerna umumnya laku untuk segmen ini. Perlu pendekatan yang dapat dipahami golongan ini jika ingin diterima dan dipilih.

Dari segi distribusi, perlu pemetaan isu yang tepat serta pendekatan yang sesuai karakter obyek pemilih. Isu desa tentu beda dengan kota, begitu pula karakter penduduknya. Distribusi sosial dapat dioptimalkan melalui pendekatan komunitas. Komunitas lebih homogen dan hampir sama kebutuhannya sehingga cukup efektif jika bisa mendekatinya.

Jabaran di atas menunjukkan pasar politik potensial secara demografis. Parpol dan caleg perlu memahami bahwa rakyat bukanlah konsumen politik semata. Rakyat adalah tuannya parpol, di mana caleg yang terpilih akan menjadi wakilnya rakyat. Potensi demografi politik ini semoga benar-benar dimanfaatkan parpol dan caleg dengan semangat dan komitmen pendidikan politik, sekaligus menjunjung tinggi filosofi kedaulatan rakyat.

Ribut Lupiyanto, Deputi Direktur  Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA) Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004336509
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Melepas Belenggu Partai (Adnan Pandu Praja)

PADA era Orde Baru yang didominasi militer, Soeharto menentukan orang-orang yang duduk di DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. Maka, segala keluaran yang akan dihasilkan oleh lembaga-lembaga tersebut tentu berdasarkan pesanan rezim Soeharto.

Itulah yang akan terjadi jika kewenangan didominasi tangan besi eksekutif: sama sekali mengabaikan check and balances dan menafikan hak-hak rakyat sesuai amanat UUD 1945.

Belajar dari kondisi itu, reformasi 1998 mengubah bandul dominasi tata kelola negara dari eksekutif ke legislatif. Dalam perkembangannya, kita merasakan amanat tersebut diselewengkan. Atas nama kepentingan partai, seorang anggota Dewan mencari sumber-sumber pendanaan secara tak sehat, ditandai dengan banyak anggota Dewan yang dijerat KPK. Sampai saat ini sudah 73 anggota Dewan yang telah terjaring KPK. Sepertinya jumlah tersebut akan terus bertambah.

Ada empat alasan kekhawatiran profil Dewan hasil Pemilu 2014 juga tak akan jauh berbeda. Pertama, anggota Dewan yang diusulkan partai politik tidak diseleksi berdasarkan kompetensi, rekam jejak, dan yang paling utama integritasnya.

Kedua, calon anggota Dewan tidak membuat visi misi atau rencana kerja konkret dan terpublikasi dengan baik. Dengan begitu, kinerja yang bersangkutan dapat dievaluasi jika terpilih sebagai anggota Dewan.

Ketiga, forum tempat orang mengadukan perilaku anggota Dewan, yaitu Badan Kehormatan, cenderung mandul dan tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Bahkan, yang terjadi akhirnya saling menyandera.

Keempat, parpol tak membuka peluang pengaduan yang memungkinkannya untuk mengadili anggota Dewan dari partainya. Padahal, hanya parpol yang bisa melakukan pergantian antarwaktu terhadap anggota Dewan dari parpolnya di DPR.

Menghadapi realitas tersebut, KPK dituntut melakukan terobosan untuk mencegah semakin terpuruknya negara ini. Meski sekarang sedang dibahas revisi UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dapat diduga hasilnya tak akan berbeda karena sarat tawar-menawar kepentingan antar-parpol. Karena itu, ada beberapa landasan yang dapat digunakan KPK untuk mengambil peran lebih besar guna memperbaiki situasi ini.

Pertama, Pasal 14 UU No 30/2002 tentang KPK mengamanatkan tugas monitoring atau pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara kepada KPK. Untuk melaksanakan hal itu, KPK berwenang melakukan kajian dan memberi saran untuk melakukan perubahan sistem yang rawan korupsi.

Kedua, fakta menunjukkan, forum rapat dengar pendapat (RDP) di DPR yang seharusnya jadi forum pengawasan terhadap kinerja mitra eksekutif tidak dapat digunakan secara maksimal. Misalnya, penggunaan temuan hasil audit BPK sebagai alat pengawasan. Yang sering telihat, forum digunakan sebagai ajang show of force, bahkan tidak jarang pihak yang bertanya justru meninggalkan acara RDP saat pertanyaan akan dijawab. Akibatnya, persoalan mendasar yang terjadi di mitra kerja eksekutif tak pernah tuntas dan selalu saja menjadi temuan berulang oleh BPK.

Ketiga, tidak ada mekanisme kontrol langsung yang dibangun partai politik ataupun institusi lain agar konstituen dapat mengevaluasi kinerja anggota Dewan yang mewakilinya.

Dengan demikian, mekanisme yang selama ini terjadi semata- mata merupakan implementasi check and balances eksekutif antarlembaga tinggi negara yang sarat kepentingan. Alhasil, beberapa hal yang menghambat terjadinya siklus tata hubungan antarlembaga ini perlu ditata kembali. Idealnya pada setiap RDP yang utama selalu mengacu pada temuan dan rekomendasi BPK sehingga RDP akan lebih fokus dan berkualitas serta akan dapat memecahkan masalah-masalah yang cenderung berulang tersebut, bukan berdasarkan isu-isu di media semata.

Pada dasarnya forum RDP adalah titik sentral dari siklus hubungan kelembagaan antara eksekutif, legislatif, BPK, dan yudikatif. Pemahaman yang mendalam dan konstruktif terhadap output dan outcome RDP seharusnya mewarnai kinerja mitra kerjanya di masa depan. RDP seyogianya diarahkan tak hanya untuk sebesar-besarnya bagi implementasi ke arah kemakmuran rakyat dalam memenuhi standar hidup layak semata (pasif), tetapi juga pada people empowering dalam menghadapi tuntutan keadaan (aktif).

Tanggung jawab
Selama 10 tahun hadir, KPK telah meneguhkan eksistensi di bidang penindakan. Dampaknya, KPK dapat jadi faktor determinan dalam kebijakan jangka pendek yang bersifat pencegahan. Misalnya, awal bulan ini forum koordinasi KPK, Menteri Keuangan, dan Menteri/Kepala Bappenas antara lain telah berhasil menghemat potensi penyalahgunaan Dana Optimalisasi 2014 sebesar Rp 600 miliar di sektor perhubungan. Tahun lalu, KPK berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara Rp 6,7 triliun terkait rencana pengalihan suplai gas untuk pabrik pupuk Semen Gresik kepada sektor swasta.

Pada tahun politik 2014 ini, yang akan menentukan anggota Dewan 5 tahun mendatang, KPK perlu memainkan posisi yang semakin strategis dan dominan. Setidaknya melakukan framing kepada para calon, baik sebelum maupun setelah mereka terpilih. Yang utama: mereka melepaskan relasi negatif kepada partai yang membelenggunya. Selain itu, anggota Dewan terpilih juga harus merasa "terancam" untuk setiap saat bisa di-recall melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) oleh partainya.

Perlu dibangun basis pemantauan kinerja anggota Dewan di setiap daerah pemilihan secara sistematis. Dengan begitu, mau tidak mau anggota Dewan akan secara berkala mempertanggungjawabkan mandat kepada konstituen dan tidak secara sembrono menggunakan RDP sebagai ajang "menghakimi" mitra kerja tanpa dasar argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.

Membangun siklus hubungan antarlembaga di sekitar 500 kabupaten/kota tentu tidak dapat dilakukan oleh KPK sendiri. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan. Dukungan ini akan sangat dimudahkan berkat dukungan situs KPK, radio streaming KPK dengan nama Kanal KPK, dan yang akan segera diresmikan TV streaming KPK.

Untuk dapat mewarnai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 5 tahun sebagai turunan dari visi misi calon presiden atau wakil presiden pemenang pemilu, KPK perlu melakukan framing sebelum visi misi dibuat oleh calon melalui mekanisme induksi. Visi misi para calon agar berpijak pada kenyataan riil 10 tahun KPK berkiprah. Ini adalah sebagian tanggung jawab yang harus diambil KPK.

Adnan Pandu Praja, Pimpinan KPK

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004317627
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Presiden dan Orang Miskin (Adjie Suradji)

WAJAH semringah para tokoh calon presiden 2014 yang tergambar di halaman pertama harian ini (8/1) membuat hati berbunga-bunga. Namun, ketika membaca Tajuk Rencana di halaman berikutnya, "Jumlah Orang Miskin Bertambah", kesedihan menyerang.
Apakah presiden Republik Indonesia sekarang—dan yang akan datang—betul-betul berniat memberantas kemiskinan?

Ada yang perlu dicermati. Guru terbaik mengentaskan dari kemiskinan adalah orang miskin itu sendiri. Artinya, untuk mengentaskan dari kemiskinan tidak bisa dilakukan hanya dari balik kaca jendela gedung-gedung mewah dan Istana Presiden.

Kemiskinan tercipta oleh struktur, kebijakan pemerintah, dan sistem dalam masyarakat. Dalam pengentasan dari kemiskinan, yang diperlukan bukan program "dahsyat" yang didukung dana atau dianggarkan dari APBN (APBD), melainkan lingkungan yang mampu melahirkan kreativitas rakyat miskin bisa berkembang.

Di dunia ini pernah lahir pahlawan-pahlawan kemanusiaan, di antaranya Pierre Tritz (Yayasan ERDA, Filipina), Bunda Teresa (Ordo Missionaries of Charity, India), dan Muhammad Yunus (Grameen Bank, Banglades). Dengan prinsip kerja tanpa pamrih, mengedepankan pendekatan cinta kasih, dan perjuangan heroik, mereka ikut mencerdaskan bangsa dan mengentaskan dari kemiskinan—tanpa program dan anggaran "sepeser pun" dari pemerintah.

Semua orang miskin di Indonesia, yang tercatat per September 2013 sebanyak 28,55 juta orang, selalu memimpikan setiap presiden akan berusaha meningkatkan kualitas hidup mereka. Kualitas hidup diukur dari tiga kriteria. Pertama, derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup sebagai makhluk hayati. Kedua, derajat dipenuhinya kebutuhan hidup yang manusiawi. Ketiga, derajat kebebasan untuk memilih, termasuk kebebasan memilih agama dan pendidikan.

Miskin bukan pilihan
Juli 2014 dilaksanakan pemilu presiden (pilpres) lagi. Namun, entah, apakah nama orang miskin juga ada dalam daftar pemilih tetap yang amburadul itu?

Kepemimpinan seorang presiden dianggap berhasil apabila ia mampu meninggalkan warisan yang bisa menginspirasi sekaligus memberikan dorongan energi positif kepada rakyat, terutama rakyat miskin, untuk bisa meningkatkan kehidupan lebih baik. Fenomena ini sekaligus menjelaskan betapa kualitas, kredibilitas, dan integritas seorang presiden menjadi yang utama.

Rakyat miskin adalah cermin negara yang paling buruk. Sebab, dalam teori dasar demokrasi, keberhasilan pembangunan ekonomi dan politik diukur dari sejauh mana tingkat kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial tercipta.

Setidaknya ini yang pertama harus diketahui para kandidat presiden. Korelasinya dengan Pilpres Juli 2014, yang diimpikan orang miskin tampilnya sosok presiden—siapa pun dia—yang bertipologi sebagai pemimpin bangsa. Pemimpin yang memiliki empati dan bisa memandang kemiskinan rakyatnya sebagai bentuk ketidakadilan: ekonomi, hukum, kesehatan, dan keamanan.

Tak ada orang yang bercita-cita jadi miskin. Tetapi, yang bercita-cita jadi presiden banyak. Jika capres punya strategi dengan alokasi dana puluhan hingga ratusan miliar demi menaikkan elektabilitas, orang miskin juga punya strategi meski itu sebatas untuk mencari makan, sekadar memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Orang tidak dihargai dan dianggap tidak punya harga diri selama hidup terjepit kemiskinan (Muhammad Yunus). Dan, Tuhan tak pernah bertanya apakah orang miskin Indonesia mau menerima hidupnya? Hidup bukan pilihan. Satu-satunya yang bisa dipilih dalam kehidupan adalah bagaimana menjalaninya (Henry Ward Beecher, 1813-1887).

Kehidupan orang miskin ibarat burung. Semoga para capres 2014 lebih berempati kepada orang-orang miskin di Indonesia.

Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004445057
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Bertumbuhnya Ideologi Kebencian (Todung Mulya Lubis)

SEJAK kanak-kanak, saya selalu bangga dengan persatuan Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan kita sebagai bangsa.
Saya menghafal penjelasan guru sekolah yang mengatakan bahwa Indonesia terdiri atas ribuan pulau, suku, etnisitas, agama, dan latar belakang budaya serta ideologi. Semua itu diikat oleh semangat "satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan".

Tak pernah saya merasa asing. Saya adalah bagian dari bangsa besar bernama Indonesia, yang kalau keluar berpaspor Indonesia, dan kalau mengibarkan Merah Putih bangga dan berkaca-kaca. Melihat pemain bulu tangkis memperoleh medali emas, saya juga terharu dan bangga. Hasil jerih payah bangsa ini berhasil merajut kebersamaan yang mengharukan.

Satu hari saya berjalan bersama advokat Yap Thiam Hien di tengah kota Banda Aceh, yang dulu bernama Kutaraja. Yap menunjukkan gereja tempat keluarganya beribadah. Di Ambon saya bertemu keluarga yang sebagian beragama Islam dan sebagian lagi beragama Kristen. Mereka makan dan bernyanyi bersama. Di Semarang saya bertemu keluarga sederhana yang berbeda suku dan agama, China, Jawa, Kristen, dan Islam. Di Jakarta saya ketemu orang Batak hidup rukun dan bahagia dengan orang Banjar. Semuanya tak mempersoalkan perbedaan. Semuanya melihat diri mereka sebagai manusia  yang punya otonomi personal, punya kebebasan, dan melaksanakan kebebasan mereka dengan tanggung jawab dalam sebuah keluarga, komunitas, dan bangsa.

Saya tak mengatakan tak ada konflik, pertentangan, atau ketegangan. Di sana-sini ada konflik dan ketegangan. Sesekali ada tawuran antarkampung karena anak gadis di kampung yang satu digoda oleh pemuda kampung sebelah. Atau karena kalah pertandingan sepak bola. Ada juga ketegangan karena khotbah yang emosional. Atau ada keluarga yang mengadakan pesta dengan musik terlalu keras.

Semua itu adalah ketegangan yang sehat dan masih bisa dikelola. Saya sama sekali tak terganggu. Malah saya menganggap semua konflik dan ketegangan itu merupakan bagian dari nation and character building yang dewasa. Kita sedang melangkah menjadi bangsa yang besar.

Kemajemukan digugat 
Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini—sejalan menguatnya demokrasi dan hak asasi manusia—ruang kebebasan semakin terbuka. Media sosial juga memberi tempat bagi kebebasan menyatakan pendapat. Berbagai aliran pendapat menyeruak ke permukaan. Sebagian malah secara diametral bertentangan dengan semangat demokrasi dan hak asasi manusia, bertentangan dengan kemajemukan kita sebagai bangsa, bertentangan dengan keutuhan kita sebagai sebuah bangsa.

Kemajemukan digugat, kesatuan bangsa digugat, dan keutuhan teritorial ikut terganggu. Importasi pikiran dari luar masuk tanpa filter, dan seluruh perjuangan pendiri negara ini seperti dipersalahkan. Demokrasi ditafsirkan sebagai mayoritas absolut; minoritas harus tunduk kepada mayoritas. Perlindungan terhadap minoritas itu tak dihormati. Tafsir terhadap agama juga makin dipaksakan dengan kekerasan di mana perbedaan tafsir sama sekali diharamkan. Kebebasan beragama yang dianut oleh UUD 1945 tak dihormati. Suara untuk menghidupkan Piagam Jakarta terdengar meski tak gemuruh, tetapi suara itu muncul dalam berbagai sikap intoleransi terhadap kelompok minoritas dan kelompok seagama yang tak setafsir.

Dalam bahasa hukum, telah muncul kembali permusuhan dan kebencian (sosial) di muka umum melalui tulisan atau orasi yang sering sekali sangat kasar. Media sosial kita penuh kebencian dan permusuhan. Demonstrasi dan poster di berbagai pojok jalan sering menghasut dan mengafirkan kelompok lain. Gerakan sektarian memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk yang disertai tindak kekerasan. Telah muncul apa yang disebut sebagai hate speech yang dulu diatur dalam Pasal 156, 156a, dan 157 KUHP yang kita kenal sebagai pasal-pasal penyebar kebencian (hatzaai artikelen).  Tetapi, pasal-pasal yang dulu digunakan pemerintah kolonial untuk mematikan perlawanan pribumi terhadap kolonialisme, juga oleh pemerintahan Orde Baru untuk menindas perlawanan kelompok-kelompok kritis seperti mahasiswa dan buruh, sekarang sudah dianggap tak bisa diperlakukan lagi: dinyatakan bertentangan dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan UUD 1945.

Sekarang pernyataan kebencian dan permusuhan hanya bisa dikejar atas dasar pasal-pasal penghinaan, pencemaran nama baik dan fitnah (Pasal 310, 311 KUHP), dan Pasal 27 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No 11/2008). Hanya saja, pasal-pasal tersebut di atas sangat terbatas daya jangkaunya, dan dalam banyak hal tak mampu menjangkau pernyataan kebencian dan permusuhan. Sekarang, mungkin ada yang berpikir ulang untuk menghidupkan kembali pasal-pasal yang mengatur mengenai hate speech tersebut, yang dulu ditolak karena penyalahgunaan tafsir oleh penguasa pada waktu itu. Kita semua tak mau pasal-pasal hate speech dipakai sebagai instrumen mematikan perbedaan pendapat, kritik, atau oposisi. Tetapi, pada sisi lain kita harus akui: pernyataan kebencian dan permusuhan di muka umum dengan niat jahat, sistematis, dan disertai kekerasan haruslah juga bisa dihukum. Tak boleh ada impunitas.

Fenomena hate speech bisa muncul dalam berbagai bentuk: tulisan, orasi, poster, demonstrasi, dan khotbah. Bisa juga dalam berbagai pengumuman yang menolak kemajemukan seperti yang tecermin dalam tulisan Achmad Munjid, "Pengajaran Agama Interreligius" (Kompas, 4 Januari 2014).

Fenomena ini digambarkan sebagai kelumpuhan nalar kita dalam merawat kemajemukan (pluralisme). Dari sejumlah kasus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, kita akan melihat secara telanjang bahwa kebencian dan permusuhan itu telah semakin deras dan keras. Pilar-pilar pluralisme yang dibangun oleh pendiri negara ini semakin rapuh dimakan rayap-rayap intoleransi, kebencian, dan permusuhan.

Negara lakukan pembiaran
Sungguh saya khawatir menatap masa depan. Merebaknya hate speech, absennya akuntabilitas, dan diamnya negara, kalau keadaan ini tak dilawan, maka jangan heran jika hate speech ini akan bermetamorfosis menjadi ideologi kebencian (ideology of hatred). Jika ideologi kebencian ini melembaga, nasib kemajemukan, nasib dari nation yang bernama Indonesia akan berada di ujung tanduk.

Dalam bahasa Niza Yanay dalam bukunya, The Ideology of Hatred, ideologi kebencian ini bisa ditafsirkan sebagai
signifier of danger dalam konteks relasi kekuasaan. Kebencian tak lagi semata-mata anti-Islam, anti-Kristen, anti-China, atau anti-Jawa. Ideologi kebencian ini akan jadi instrumen kekuasaan, langsung dan tak langsung, baik oleh negara maupun non-negara dalam pembenaran terhadap intoleransi, sektarianisme, dan diskriminasi.

Dalam konteks kekinian Indonesia, ideologi kebencian ini diperankan oleh kelompok atau organisasi yang tak memberi ruang bagi pluralisme dalam arti luas. Negara jadi pihak yang bertanggung jawab karena melakukan pembiaran. Sekarang Indonesia belum cerai-berai, tapi sekat-sekat pemisah mulai ditegakkan. Kita hidup dalam sebuah negara, tapi kita hidup terpisah-pisah, kita sama tetapi tidak sama, separate but equal. Di dinding rumah kita tulisan Bhinneka Tunggal Ika seperti bergetar, menunggu jatuh ke lantai.

Indonesia belum bubar. Tetapi, jangan meremehkan menyebarnya ideologi kebencian yang akan menghilangkan Indonesia dari peta dunia.

Todung Mulya Lubis, Ketua Yayasan Yap Thiam Hien

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004273265
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Memaknai Tahun Baru Imlek (Kompas)

BANJIR kembali menggenangi sebagian wilayah Jakarta sejak Rabu dini hari kemarin dan hujan masih mungkin turun hingga dua hari ke depan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan hujan dalam intensitas sedang hingga lebat terjadi di pantai utara Jawa hari ini dan Jumat besok. Di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi besok curah hujan akan lebih merata sehingga diperkirakan daerah yang terkena dampak dapat lebih luas.

Curah hujan yang merata sepanjang Januari menyebabkan banjir tak kunjung usai. Keadaan ini ditambah dengan naiknya muka air laut 25-31 Januari yang membuat air lambat surut di daerah-daerah tepi pantai.

Banjir di berbagai tempat kemarin terjadi bersamaan dengan akan datangnya tahun baru Imlek, tradisi penting yang dirayakan sebagian warga Tionghoa, pada Jumat besok.

Sebagian ada yang percaya Imlek harus disertai turunnya hujan sebagai pertanda rezeki dan kesuburan, meskipun bukan berarti identik dengan hujan dan banjir.

Kelahiran tahun baru Imlek berkaitan dengan masyarakat agraris, yaitu penanda dimulainya saat bercocok tanam. Imlek yang mengikuti perhitungan peredaran bulan terjadi antara akhir Januari hingga bulan Februari. Di Indonesia bersamaan dengan musim hujan, sementara di daratan China menandai datangnya musim semi yang disertai turunnya hujan.

Semangat tahun baru adalah menyambut datangnya siklus baru kehidupan. Pada masyarakat agraris, menjaga keseimbangan lingkungan sangat penting.

Dalam masyarakat yang lebih modern, perkembangan ilmu dan teknologi membantu manusia memanfaatkan alam dengan lebih baik. Dalam praktiknya, banyak yang kemudian lupa memelihara keseimbangan lingkungan, seolah penguasaan iptek dapat menaklukkan kekuatan alam.

Perubahan iklim yang diyakini telah terjadi adalah akibat penggunaan iptek untuk mempermudah kehidupan melalui eksploitasi energi fosil. Iptek pula yang membuat manusia dapat menghindari penyakit infeksi. Populasi manusia yang membesar cepat mendorong cenderung tak terkendalinya eksploitasi alam.

Seluruh dunia merasakan dampak gangguan keseimbangan alam, begitu pula di Indonesia. Saat musim hujan, air tak mampu kita manfaatkan untuk cadangan saat musim kemarau, bahkan berubah menjadi bencana. Tiba kemarau banyak orang kesulitan air bersih.

Semangat tahun baru Imlek menyambut datangnya awal datangnya siklus baru kehidupan dapat dimaknai sebagai memelihara kehidupan, menjaga keseimbangan alam. Kita memulainya dari lingkungan terkecil, dari diri sendiri, keluarga, lingkungan tempat tinggal. Memulai dengan tidak membuang sampah sembarangan hingga menjaga keseimbangan alam di sepanjang daerah aliran sungai. Hanya dengan cara tersebut, kedatangan siklus baru kehidupan akan membawa kelimpahan berkah bersama.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004461580
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Sisa Perang Dingin atas Ukraina (Kompas)

PENGUNDURAN diri Perdana Menteri Ukraina Mykola Azarov telah meredakan gelombang demonstrasi, paling tidak untuk sementara.
Langkah pengunduran diri Azarov (66) dikatakan atas alasan pribadi untuk kesatuan Ukraina, tetapi sesungguhnya karena terdesak oleh gelombang demonstrasi dalam beberapa bulan terakhir. Gelombang demonstrasi bahkan memuncak sekitar dua pekan terakhir sebagai protes atas undang-undang yang melarang segala bentuk demonstrasi di jalanan. Keadaan Kiev, ibu kota Ukraina, digambarkan memanas cepat ketika tiga demonstran tewas. Kekacauan tampak dramatis karena demonstran menduduki gedung dan kantor pemerintahan.

Arah penyelesaian krisis Ukraina masih belum jelas meski kalangan oposisi merasa di atas angin setelah PM Azarov mengundurkan diri. Kegembiraan oposisi bertambah karena Presiden Viktor Yanukovich memberikan konsesi dengan membebaskan para demonstran yang ditahan. Sementara oposisi bersedia meninggalkan kantor pemerintah, tetapi tetap bersiaga di sudut-sudut jalan.

Sungguh menarik mengkaji krisis sosial politik Ukraina, yang berlangsung sejak November lalu. Gelombang protes pecah segera setelah Presiden Yanukovich menolak menandatangani pakta perdagangan dengan negara-negara Barat yang bergabung dalam Uni Eropa. Penolakan dilakukan Yanukovich karena lebih memilih melanggengkan hubungan dengan Rusia yang berambisi mengajak Ukraina membentuk Uni Eurasia, pesaing Uni Eropa. Apalagi Rusia sudah memberikan talangan utang 15 miliar dollar AS kepada Ukraina, ditambah pemotongan harga gas.

Kenyataan itu memperlihatkan, bangsa Ukraina terpecah dalam tarikan pengaruh Uni Eropa dan Rusia. Kelompok oposisi yang didominasi kaum nasionalis cenderung berkiblat ke Uni Eropa karena secara historis dekat dengan Ukraina. Namun, pemerintahan Presiden Yanukovich ingin menjaga hubungan dengan Rusia atas pertimbangan pragmatis ekonomi.

Jelas sekali, krisis sosial politik Ukraina memperlihatkan dampak perpecahan Uni Soviet akhir tahun 1990-an belumlah selesai. Sebagai ahli waris utama Uni Soviet, Rusia pada dasarnya tidak ingin kehilangan pengaruhnya di kalangan negara-negara bekas anggota Uni Soviet seperti Ukraina. Namun, tidak sedikit negara-negara bekas anggota Uni Soviet bergabung dengan Uni Eropa, yang tentu saja membuat Rusia terusik.

Segera terlihat pula sisa-sisa Perang Dingin dalam kemelut di Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin misalnya menegaskan, negara-negara asing, dalam hal ini Barat, tidak boleh mencampuri urusan internal Ukraina. Sebaliknya Amerika Serikat, yang berhadapan dengan Uni Soviet (kini Rusia), dan Uni Eropa mengisyaratkan dukungan kepada oposisi Ukraina. Negara itu pun terjepit.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004464937
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 29 Januari 2014

Fikih Sosial Kiai Sahal (Sholahuddin)

"Kiai Sahal Mahfudh adalah kiai yang berani menyeberang dari tradisinya sendiri."
(Azyumardi Azra)

UMAT nahdliyin dan umat Islam Indonesia berduka terkait wafatnya Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh, Jumat (24/1) dini hari lalu. Kiai Sahal adalah sosok kiai yang alim ilmu ushul fiqih dan menjadi pencetus gagasan fikih sosial. Sejumlah karangan bunga ungkapan belasungkawa datang dari Presiden RI, pejabat, tokoh ormas Islam dan NU sendiri.

Sebagai seorang kiai-intelektual, Kiai Sahal memiliki penguasaan khazanah klasik Islam yang tidak perlu diragukan lagi. Kepakarannya dalam bidang fikih mampu mengantarkan kiai yang santun ini mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Salah satu gagasan penting yang dihasilkan Kiai Sahal adalah gagasan mengenai fikih sosial. Menurut Kiai Sahal, fikih perlu dihadirkan dalam bentuk yang baru, yang bukan hanya mengatur halal-haram, hitam-putih hukum-hukum Islam saja. Fikih juga digunakan sebagai alat untuk melakukan transformasi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.

Secara epistemologis, fikih sosial dibangun di atas lima metodologi transformatif, yaitu kontekstualisasi doktrin fikih; beralih dari mazhab qouli (tekstual) menuju manhaji (metodologis); verifikasi doktrin yang ashal (fundamental-permanen) yang tidak bisa berubah, dan far'u (instrumental) yang bisa berubah; menghadirkan fikih sebagai etika sosial; dan mengenalkan pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial budaya. 

Lima metodologi ini bisa kita kaji dalam produk pemikiran Kiai Sahal itu, antara lain  pendayagunaan zakat, konservasi ekologis, emansipasi perempuan, pendidikan integralistik, pluralisme, dan pengentasan warga dari kemiskinan. Ia tetap berpijak pada kekayaan tradisi pesantren melalui pendekatan sosial humaniora yang transformatif.

Kritisisme sang kiai
Jelas di sini kita melihat bagaimana kritisisme Kiai Sahal terhadap fikih konvensional yang demikian hegemonik. Fikih seolah menjadi disiplin yang kaku, rigid, dan tidak bisa menjawab perkembangan zaman yang semakin maju.  

Fikih sebagai pengejawantahan ajaran Tuhan dalam realitas individu dan sosial kehilangan fungsi transformasi, baik secara struktural maupun kultural.  Fikih terjebak oleh tekstualitas, formalitas, dan simbolitas. Di sisi lain, perilaku masyarakat jauh dari nilai-nilai agama, khususnya doktrin fikih. Sekularitas, hedonitas, dan imoralitas menjadi fakta sosial yang lepas dari bimbingan agama.

Fikih sosial Kiai Sahal bergerak untuk mengubah kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran masyarakat Kajen Pati, dari secara geografis tandus dan kering menjadi kaya, maju, dan, berperadaban. Bagi masyarakat tradisional, miskin-kaya adalah sebuah takdir Tuhan. Manusia tinggal menjalani hidup ini apa adanya, taken for granted. Namun, kiai santun tersebut terpanggil melakukan perubahan paradigmatik.

Fikih sosial dijadikan sebagai basis kritisisme Kiai Sahal atas fikih konvensional yang sulit menerima dijadikan sebagai alat untuk transformasi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Namun, jangan Anda bayangkan kritisisme Kiai Sahal ini sama seperti kritisismenya Sadiq Jalal al-Azm, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Ulil Abshar-Abdalla. Kritisisme Kiai Sahal adalah kritisisme moderat. Dia tak mau melampai tabu-tabu agama (Islam). Ada rambu-rambu ortodoksi yang masih dipegang dengan teguh oleh kiai karismatik ini. Dia tidak mau larut dalam ingar-bingar kontroversi. Dia menjauhi kontroversi yang, menurut dia, tidak perlu.

Semangat kritisisme Kiai Sahal ini berasal dari semangat "ijtihad" yang menggelora pada dirinya. Menurut Kiai Sahal, ijtihad merupakan kebutuhan mendasar. Karena kebutuhan mendasar, dia berusaha untuk membekali dirinya sendiri dengan prasyarat-prasyarat keilmuwanan dan standar moral yang dijadikan modal memenuhi kebutuhan ijtihad tersebut.

Kiai Sahal berpendapat bahwa fikih sebetulnya adalah wilayah ijtihad, maka suatu ijtihad yang tidak mendatangkan kemaslahatan umum (maslahat al-ammah) haruslah direvisi. Di sini kita lihat bagaimana konsep kemaslahatan umum yang digunakan oleh Kiai Sahal mengadopsi konsep maslahat Imam Abu Ishaq As-Syatibi (W. 1388) yang terdapat dalam kitab Al-muwafaqaat.

Kiai Sahal menulis: "Pada prinsipnya tujuan syariat Islam yang dijabarkan oleh para ulama dalam ajaran fikih (fikih sosial) ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat, dan bernegara. Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi saling memengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syariat Islam yang dijabarkan oleh fikih sosial dengan bertitik tolak dari lima prinsip maqasid syari'ah (MA Sahal Mahfudh: Nuansa Fiqih Sosial, 4-5).

Kiai Sahal tidak heroik memproklamasikan ijtihad sebagaimana banyak agamawan lantang menggalakkan ijtihad. Kiai Sahal lebih tawaduk dan jauh dari sikap takabur. Kiai Sahal melakukan ijtihad dan mempromosikan hasilnya kepada masyarakat lewat karya-karyanya. Tulisannya pada 1985 tentang ijtihad sebagai kebutuhan, dan juga gagasan-gagasan dia tentang kontekstualisasi fikih, dan lain-lain, cukup menjadi bukti bahwa dia juga mempromosikan keniscayaan ijtihad itu.

Kritisisme moderat
Dalam hal ini yang menarik adalah bahwa dia menyarankan agar seorang mujtahid haruslah mempunyai "kepekaan sosial" dan mampu melakukan "analisis sosial" yang bagus. Ini maknanya bahwa seorang mujtahid haruslah mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai ilmu-ilmu sosial. Ini yang missing dalam kriteria ijtihad dalam fikih klasik, setidaknya tidak terungkapkan secara eksplisit. Ini adalah salah satu kritik mendasar dia terhadap praktik ijtihad konvensional yang sering kali hanya bersifat tekstual, dan mengabaikan realitas sosial.

Dia tidak memungkiri bahwa secara implisit prasyarat pengetahuan sosial itu memang ada, sebagaimana terjadi pada Imam Syafi'i dengan qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru)-nya. Namun, yang implisit ini perlu dieksplisitkan dan menjadi prasyarat tambahan bagi para mujtahid.

Maka, benar apa yang ditulis Azyumardi Azra bahwa Kiai Sahal adalah kiai yang menyeberang dari tradisinya sendiri, dengan mengambil jalan kritisisme moderat. Selamat jalan, Kiai. Kita semua akan meneruskan gagasan fikih sosialmu.

Sholahuddin, Pemerhati Fikih Sosial dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali'ul Falah (STAIMAFA), Pati

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004440359
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Ubah Fokus Pendidikan (JC Tukiman Taruna)

SEKURANG-kurangnya tiga alasan mengapa fokus pendidikan kita harus "balik kanan" 180 derajat. Akan tetapi, kita harus menunggu pergantian rezim, mengingat penguasa saat ini ingin zona nyaman dan programnya tidak diganggu gugat.

Analisis ini dapat  dipandang tak etis, tetapi mungkin saja justru sangat etis. Bertens (2000) menegaskan bahwa untuk menentukan sesuatu etis atau tidak etis, orang harus mempertimbangkan tiga tolok ukur moral: hati nurani, kaidah emas, dan audit sosial. Perihal hati nurani, jelas bahwa setiap orang menggunakannya bergantung pada tingkat ketajaman masing-masing.

Dalam tolok ukur kaidah emas disebutlah kata mutiara ini: hendaklah memperlakukan orang lain seperti anda sendiri ingin diperlakukan. Di sini berlaku ungkapan Jawa tepa salira, tenggang rasa: jika Anda tak ingin sakit hati, janganlah menyakiti hati pihak lain.

Sementara itu, tolok ukur audit sosial menyebutkan bahwa di- minta atau tidak, hendaklah siapa pun (terutama penguasa)  menyadari bahwa pihak lain (sebutlah masyarakat) pasti sudah dengan sendirinya memberikan penilaian terhadap program penguasa. Tulisan ini berpijak pada tolok ukur audit sosial itu.

Budget
Semua pihak tahu bahwa budget untuk fungsi pendidikan tertinggi dibandingkan budget fungsi mana pun. Tolok ukur audit sosial serta-merta dan wajar akan mengatakan (bahkan menuntut), "Dengan alokasi anggaran terbesar di fungsi pendidikan, apa hasil besar yang telah dan dapat dirasakan masyarakat?"

Pada 2013, budget fungsi pendidikan Rp 345,3 triliun. Bahkan, pada 2014 ada kenaikan sekitar 7,5 persen, yaitu Rp 371,2 triliun. Pada 2013, alokasi budget untuk Kemdikbud Rp 51,130 triliun (15 persen dari anggaran seluruh fungsi pendidikan). Untuk 2014, anggaran Kemdikbud Rp 82,7 triliun (22 persen dari budget fungsi pendidikan). Fakta lapangan pada 2013 salah satunya menyebut- kan bahwa ternyata di tingkat pendidikan dasar sekitar 480.000 anak  (dari 42 juta) drop out ketika mereka berada di kelas II dan III SD (Kompas, 31/12/2013).

Fakta lainnya, angka partisipasi murni (APM) SMP/sederajat 16,95 persen lebih rendah daripada APM SD/sederajat di tahun yang sama. Artinya, wajib belajar sembilan tahun tercapai tidak lebih dari 80 persen dan itu menunjukkan betapa masih ada persoalan penting menyangkut penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Belum tuntasnya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun ditinjau dari sisi anggaran memang beralasan sekali karena pada 2013 ternyata alokasi anggar- an untuk pendidikan dasar hanya 23 persen, untuk pendidikan menengah 22 persen, dan sisanya (55 persen) dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Inilah "balik kanan" pertama yang harus terjadi di tahun-tahun mendatang, yaitu alokasi anggaran untuk pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah harus jauh lebih besar daripada alokasi untuk pendidikan tinggi.

Balik kanan 180 derajat ini tak cukup hanya pada alokasi anggarannya, tetapi juga para pejabat di Kemdikbud karena dalam lima tahun terakhir ini mereka didominasi unsur perguruan tinggi.

Paradigma "wong cilik"
Tidak tuntas di wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun (anak usia 7-15 tahun) agaknya menjadikan "ketakutan" tertentu dalam diri Kemdikbud dan akhirnya tidak berani mencanangkan wajib belajar 12 tahun. Lalu dirumuskanlah Pendidikan Menengah Universal (PMU) dan mulai 2014 konon PMU sangat diutamakan agar kelak pada 2020 sebanyak 97 persen anak usia 16-18 tahun mendapat pendidikan menengah (Kompas, 19/8/2013).

Konsep PMU tidak sangat tegas, kecuali hanya menekankan bahwa PMU adalah bentuk investasi yang mengantarkan generasi sekarang menjadi generasi masa depan yang kompeten dan produktif. Maka, PMU perlu dilandasi tiga kriteria: nondiskrimi- natif, afirmatif, dan kualitas (Bambang Indriyanto dalam majalah pendidikan Merah Putih, Edisi 58, Desember 2013). Ketidaktegasan ini sebaiknya menjadi momentum "balik kanan" kedua bagi penguasa ke depan yang konon selalu mengumandangkan jargon demi kesejahteraan wong cilik.

Intinya, setelah balik kanan pertama, maka pada balik kanan kedua ini harus berani ditetapkan dan ditegaskan pentingnya wajib belajar 12 tahun. Pemaknaan tentang wong cilik jangan terbatas pada aspek dan hitungan ekonomi yang mengarah kepada mereka yang miskin, tetapi juga harus fokus kepada wong cilik dalam arti anak usia 0-18 tahun dalam segala aspek kebutuhannya, terutama pendidikan.

Dunia pendidikan dewasa ini sudah sangat kapitalistis. Contoh sangat jelas adalah kegiatan studi banding ke luar negeri yang dilakukan, baik siswa, kepala sekolah, maupun guru (termasuk di perguruan tinggi). Studi banding ke luar negeri sebenarnya hanya pergi pesiar, wisata, dan belanja, tetapi dibungkus studi banding tanpa pernah mempertimbangkan sebanding atau tidak.

Paulo Freire pernah menegaskan dalam Sekolah, Kapitalisme Yang Licik (ed M Escobar, 1998), tindakan pendidikan adalah tindakan politik yang sangat memengaruhi cara pandang setiap orang dalam mengkritik sistem kehidupan dan pendidikan yang sangat diwarnai corak kapitalisme. Sayangnya, sekolah justru menanamkan cara pandang dan sistem kapitalisme itu.

Sekolah selalu gagal menanamkan dan menghadirkan realitas sosial yang harusnya digumuli sekolah (siswa dan guru) karena proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dalam membaca realitas sosial secara kritis dan cerdas. Mengambil contoh yang saat ini sedang terjadi terkait bencana alam, apakah Kemdikbud punya terobosan agar sekolah mengajarkan realitas sehari-hari tentang banjir, tanah longsor, gempa? Tidak.

Karena itu, diperlukan "balik kanan" ketiga. Penguasa ke depan hendaknya benar-benar menyadari bahwa pendidikan harus berhasil menanamkan bela rasa kepada wong cilik dalam arti golongan miskin menderita, maka sekolah harus dijauhkan dari pola pikir kapitalistis. Alokasi dana fungsi pendidikan 65 persen terserap untuk gaji dan berbagai tunjangan guru (dan dosen). Karena itu, penguasa ke depan harus berhasil menuntut guru benar-benar mencurahkan seluruh perhatiannya kepada tertanamnya bela rasa kepada wong cilik.

JC Tukiman Taruna, Pemerhati Pendidikan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004335312

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Penyelundupan Anggaran Pemilu (Reza Syawawi)

TAK ada yang menduga apa yang sedang dipikirkan pemerintah ketika mengalokasikan anggaran pengawasan pemilu untuk membiayai saksi partai politik di tempat pemungutan suara. Seolah-olah tanpa beban, anggaran sekitar Rp 600 miliar akan digelontorkan untuk membiayai para saksi.
Semasih sebagian elite dan petinggi parpol cenderung korup dengan "mencuri" anggaran negara melalui proyek pemerintah, sangat tak pantas jika uang yang dikelola dalam APBN kembali "dirampok" untuk membiayai parpol. Bagi parpol, ketika laporan keuangan partai masih tertutup, pengucuran anggaran itu dianggap wajar belaka.

Tak berlebihan mengatakan bahwa alokasi anggaran semacam ini sebagai bentuk "persekongkolan" baru pengawas pemilu, DPR, dan pemerintah (Kementerian Dalam Negeri). Parahnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) justru menjadi corong bagi parpol melegalkan praktik itu.

Dana politik
Regulasi yang mengatur tentang dana politik sangat jelas melarang parpol menerima dana dari APBN/APBD di luar ketentuan yang ada. Parpol hanya boleh menerima bantuan keuangan dari pemerintah melalui APBN/APBD atas dasar perolehan suara dan memiliki kursi di lembaga legislatif dalam pemilu sebelumnya (Pasal 34 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik).

Di sisi lain, penggunaan bantuan keuangan dari APBN/ APBD diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat. Prinsipnya, bantuan keuangan kepada parpol yang bersumber dari APBN/APBD tidak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemilu (baca: saksi).

Dalam konteks pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), alokasi anggaran dalam APBN/APBD untuk membiayai saksi parpol adalah bentuk pelanggaran atas ketentuan Pasal 139 Ayat 1 Huruf (c) UU No 8/2012 bahwa peserta pemilu dilarang menerima pendanaan yang bersumber dari pemerintah. Dari sudut konsep penganggaran, sumber pendanaan dari pemerintah mengarah pada alokasi anggaran pada APBN.

Dengan semua ketentuan di atas, pengucuran dana APBN untuk membiayai saksi parpol di tempat pemungutan suara (TPS) adalah bentuk pelanggaran atas undang-undang. Pemerintah dan DPR selaku pemegang kuasa atas penganggaran yang seharusnya memahami soal aturan itu justru jadi aktor utama atas semua pelanggaran ini.

Dalam kasus ini, pemerintah dan DPR sebetulnya menunjukkan "wajah aslinya". Tak dapat dimungkiri bahwa keduanya memang berasal dari entitas yang bernama parpol. Maka, tidaklah mengherankan apabila peruntukan alokasi anggaran itu disetujui.

Bagi parpol, di tengah tingginya biaya politik, pengucuran anggaran ini tentu menjadi dana segar untuk membiayai kegiatan politiknya (saksi). Maka, relasi antara persetujuan alokasi anggaran itu di tingkat APBN dan kebutuhan parpol saat ini menjadi tak terbantahkan.

Lalu, di mana peran Bawaslu? Bawaslu berubah menjadi "alat" bagi pemerintah dan DPR menyalurkan dana itu kepada parpol. Tujuannya sangat jelas: menghindari agar dana APBN tak secara langsung diberikan kepada parpol.

Jalur penyelundupan
Bawaslu telah menyediakan diri menjadi jalur "penyelundupan" anggaran kepada parpol. Padahal, jika anggaran tersebut diarahkan untuk penguatan kelembagaan pengawas pemilu di daerah, ini jauh lebih memungkinkan dibandingkan dengan mengambil alih tanggung jawab membiayai saksi parpol.

Dari sisi institusi, penguatan pengawas pemilu jauh lebih menjamin terselenggaranya pengawasan pemilu yang independen. Maka, pembiayaan saksi parpol oleh APBN tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi sekaligus juga melemahkan pengawasan pemilu.

Dalam konteks hukum, alokasi anggaran ini jelas mengarah pada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah, DPR, dan Bawaslu. Ada upaya yang sistematis dari ketiga lembaga ini untuk melegalkan praktik penyalahgunaan anggaran dalam pengawasan pemilu.

Untuk itu, perlu kiranya ada kebijakan meninjau ulang pengalokasian anggaran. Bawaslu sebagai lembaga yang dimanfaatkan sebagai corong "penyelundupan" anggaran seharusnya berani menolak anggaran itu digunakan untuk membiayai saksi dari parpol.

Jika tidak, Bawaslu akan menjadi lembaga yang paling dipersalahkan karena memfasilitasi parpol mendapat dana APBN di luar ketentuan yang diperbolehkan. Pelaksanaan Pemilu 2014 tentu akan kehilangan legitimasinya sebagai sarana demokrasi karena diselenggarakan dengan cara-cara yang melanggar hukum.

Penyelundupan anggaran pemilu untuk kepentingan parpol jelas telah mencederai kepercayaan publik terhadap parpol
dan pengawas pemilu. Bawaslu yang seharusnya mengawasi setiap tahap penyelenggaraan pemilu telah berubah menjadi "penyelundup" anggaran pemilu.

Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004419185
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Membenahi G-20 (Tony Abbott)

WALAUPUN  pemulihan krisis keuangan global berlangsung lambat, keadaan dunia sebenarnya lebih baik dari yang kita sering yakini.
Dengan bergulirnya tahun 2014, menjadi lebih mudah optimistis. Di Amerika Serikat, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mencapai hampir 3 persen dengan terciptanya satu juta lapangan kerja tahun lalu. Di China, pertumbuhan sedikit menurun, tetapi kemungkinan besar akan tetap di atas 7 persen. Eropa pada akhirnya menikmati pertumbuhan lagi. Tentu saja pemulihan masih rapuh dan pengurangan pembelian obligasi oleh AS akan memerlukan manajemen yang cerdas.

Meski demikian, pantaslah diingat bahwa secara global pendapatan per kapita telah meningkat lebih dari 60 persen selama dasawarsa yang lalu dan kelas menengah global diharapkan meningkat dari 1,8 miliar menjadi sekitar 3,2 miliar dalam jangka 10 tahun. Di banyak negara berpenduduk padat di dunia, seperti China, India, dan Indonesia, beratus juta penduduk telah naik kelas masuk golongan menengah.

Banyak dari hal ini merupakan hasil olah pikir kita: keyakinan bahwa perdagangan yang lebih bebas dan pemerintahan yang lebih ramping akan memperkukuh kesejahteraan; insting bahwa warga negara yang telah diberdayakan dapat berbuat lebih besar lagi untuk diri mereka dibandingkan dengan apa yang pemerintah pernah lakukan terhadap mereka.

Dasar yang jelas
Pelajaran dari sejarah mutakhir adalah kemajuan nyata selalu dibangun di atas dasar-dasar yang jelas. Anda tidak dapat membelanjakan uang yang tidak Anda peroleh; tidak ada negara yang pernah memperoleh kesejahteraan dengan penarikan pajak atau subsidi; dan keuntungan bukanlah kata yang kotor karena keberhasilan dalam usaha merupakan kebanggaan.

Bagaimanapun juga, Anda tidak dapat membangun masyarakat yang tangguh tanpa ekonomi yang kuat untuk mendukungnya dan Anda tidak dapat membangun ekonomi yang tangguh tanpa usaha swasta yang menguntungkan. Tantangannya, di mana saja, adalah bagaimana mendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan dan yang dihela oleh sektor swasta.

Tahun ini, sebagai Ketua G-20, Australia berada di posisi yang unik membantu mendorong pertumbuhan global. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari kondisi global dan kebijakan dalam negeri.

G-20 ada untuk menangani hal-hal yang di luar kapasitas negara-negara bangsa untuk menanggulanginya sendiri-sendiri. Agenda kami akan fokus pada hal-hal di mana aksi internasional yang terkoordinasi dapat memberi nilai tambah: perdagangan, infrastruktur, perpajakan, dan perbankan.

Sebagaimana selalu perdagangan adalah yang pertama–karena setiap kali seseorang berdagang dengan bebas dengan orang lain, kekayaan meningkat. Setidaknya G-20 harus memperbarui tekad menentang proteksionisme dan memilih pasar yang lebih bebas. Setiap negara harus bertekad membuka perdagangan melalui aksi bilateral, plurilateral dan multilateral, dan reformasi dalam negeri untuk membantu dunia usaha berkiprah secara
penuh dalam perdagangan global.

Dalam perjalanan waktu, perdagangan memberi manfaat kepada setiap orang karena negara-negara pada akhirnya fokus pada apa yang terbaik mereka lakukan. Ekonomi global yang lebih besar dengan investasi lintas batas yang lebih kukuh pada akhirnya membantu setiap orang karena hal ini menghasilkan kekayaan yang lebih besar dan pada akhirnya menciptakan lapangan kerja yang lebih besar.

Salah satu dampak samping globalisasi adalah kemampuan yang lebih besar untuk mengambil keuntungan dari rezim pajak yang berbeda-beda.

Mengejar kesempatan
G-20 akan membahas masalah bisnis yang mendatangkan keuntungan guna mengejar kesempatan dari pajak bukannya dari pasar. Prinsip utamanya adalah Anda seperti biasa membayar pajak di negara di mana Anda memperoleh pendapatan.

Bagi pemimpin negara-negara yang menghasilkan 85 persen produk domestik bruto (GDP) dunia tinggal menyetujui prinsip-prinsip yang diperlukan agar perpajakan tersebut berlaku adil di dunia yang mengglobal akan menjadi langkah besar ke depan.

Saya berharap akan terjadi diskusi terbuka yang hanya dihadiri oleh para pemimpin G-20 tentang masalah terbesar yang kita hadapi, termasuk digitalisasi serta dampaknya pada pajak, perdagangan, dan integrasi global.

Hampir setiap negara memiliki defisit prasarana dan berjuang keras mendanai infrastruktur yang diperlukannya. Di seluruh dunia, OECD memperkirakan, diperlukan lebih dari 50 triliun dollar Australia untuk investasi infrastruktur menjelang 2030.

Semestinya proyek infrastruktur lebih mudah dijalankan dan kita dapat melakukannya dengan menarik modal swasta yang lebih banyak ke proyek tersebut melalui kebijakan harga yang masuk akal dan praktik-praktik peraturan yang lebih baik.

Saya berharap dapat menghimpun para pembuat kebijakan, penyandang dana, dan pengusaha konstruksi mencari cara-cara yang praktis guna meningkatkan pendanaan infrastruktur jangka panjang.

G-20 mengasumsikan bentuk yang sekarang ini merupakan tanggapan atas krisis yang terjadi akibat praktik-praktik perbankan yang buruk.

Inti karya G-20 adalah membangun ketahanan sektor keuangan, membantu untuk mencegah dan mengelola kegagalan lembaga-lembaga keuangan global yang penting, menjadikan pasar-pasar derivatif lebih aman, dan memperbaiki pengawasan sektor lembaga pembiayaan nonbank.

Peraturan sektor keuangan selalu tambal sulam. Tantangan bagi pihak berwenang adalah selalu mengikuti perkembangan, bukannya tertinggal darinya sebagaimana yang terjadi menjelang krisis tersebut.

Sejauh pemahaman Australia, tugas G-20 adalah membuat hidup lebih mudah bagi rakyat yang pemerintahnya terikat untuk melayaninya. Pada akhirnya, G-20 bukanlah tentang kami di pemerintahan, ini tentang rakyat, para tuan kami.

Tony Abbott, Perdana Menteri Australia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004418615
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA NSA Juga Lakukan Spionase Industri (Kompas)

BOLA salju yang digelindingkan Edward Snowden, mantan pega-wai kontrak Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), masih terus bergulir.
Dalam sebuah wawancara yang disiarkan ARD, televisi publik Jerman, Minggu (26/1) malam, Snowden mengatakan, NSA tidak membatasi kegiatan mata-matanya hanya pada isu-isu keamanan. NSA juga aktif dalam spionase industri dan akan mengambil data intelijen apa pun yang bisa diperolehnya.

Snowden menyebut nama perusahaan terkemuka Jerman, Siemens, sebagai salah satu sasaran aksi mata-mata NSA. "Kalau ada informasi di Siemens yang menguntungkan bagi kepentingan nasional—bahkan jika tidak ada hubungannya dengan keamanan nasional—mereka tetap akan mengambil informasi itu," ujar Snowden, yang menurut ARD, diwawancarai di Rusia, tempat Snowden mendapatkan suaka sementara. Sayangnya, ia tidak menyebutkan apa yang dilakukan NSA dengan informasi yang diperoleh dari Siemens.

Tidak jelas apakah masih ada informasi lain yang akan dibocorkan oleh Snowden. Sebab, menurut dia, ia tak lagi memiliki dokumen NSA karena telah menyerahkan semuanya kepada sejumlah wartawan pilihan. Ia juga mengaku tidak lagi memiliki pengaruh lebih lanjut terkait dengan publikasi dokumen tersebut.

Menarik untuk mengikuti sejauh mana aktivitas NSA dan seberapa luas kegiatan spionase NSA akan dibocorkan. Ini yang masih kita tunggu.

Daya rusak bola salju tentang spionase NSA memang tak lagi sebesar ketika pertama-tama kegiatan spionase yang dilakukan oleh NSA itu dibocorkan Snowden. Meskipun demikian, hal itu tetap mencoreng wajah NSA.

Apalagi sebelumnya, harian The New York Times bulan ini melaporkan bahwa NSA memasang peranti lunak di hampir 100.000 komputer di seluruh dunia sehingga memungkinkan badan itu melakukan pengawasan.

Sesungguhnya tidak ada yang baru dengan spionase industri, banyak negara juga melakukannya. Dalam pameran dirgantara atau pameran otomotif kita kerap terkejut ketika menemukan banyaknya kemiripan dalam produk-produk yang dipamerkan. Yang berbeda hanyalah kegiatan yang dilakukan secara diam-diam oleh NSA itu diungkapkan kepada publik.

Aksi pembocoran kegiatan spionase NSA yang dilakukannya, menurut Snowden, membuat para pejabat Amerika Serikat ingin membunuhnya. Kendati demikian, ia tetap bisa tidur nyenyak karena yakin bahwa membocorkan aktivitas NSA itu hal yang benar.

Menarik untuk mengkaji, mengapa Rusia hanya memberikan suaka sementara kepada Snowden....

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004447317
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Negara Bayar Biaya Saksi (Kompas)

PEMERINTAH mengalokasikan anggaran membayar biaya saksi parpol pada pemilu 9 April. Biaya yang dianggarkan sebesar Rp 654 miliar.
Namun, sejauh terekam dalam pemberitaan media massa, dari mana datangnya usulan dana saksi parpol dibiayai pemerintah itu tak jelas. Pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu saling lempar tanggung jawab, sementara parpol terbelah.

Pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, mengatakan, keberadaan dana saksi parpol itu berawal dari usulan Bawaslu terkait dengan tambahan anggaran untuk mitra pengawas pemilu lapangan. Namun, anggota Bawaslu, Daniel Zuchron, mengaku hanya mengusulkan anggaran untuk program mitra pengawas pemilu lapangan. "Kami hanya menjalankan apa yang sudah disepakati pemerintah dan DPR," kata Daniel.

Pendapat parpol terbelah. Partai Nasdem menolak dana saksi parpol diambil dari APBN. Hal senada disampaikan Ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie yang tidak setuju dana saksi parpol dibayari pemerintah. Sementara partai yang setuju dengan dana saksi dibiayai pemerintah dengan berbagai alasan, antara lain Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Model lempar badan kerap terjadi dalam praktik penyusunan anggaran. Ketika sebuah pos anggaran mendapat kritik publik, pihak berkepentingan berbalik badan. Namun, realitasnya praktik budgeting di DPR tetap saja berjalan. Praktik budgeting di DPR sering berbeda dengan retorika di media massa.

Yang harus menjadi pertimbangan adalah apakah memang pantas negara masih harus mengeluarkan dana Rp 654 miliar untuk membiayai saksi-saksi dari partai politik. Selama ini parpol juga sudah mendapat bantuan Rp 108 per suara nasional yang diperoleh. Total dana bantuan parpol selama setahun sekitar Rp 9,1 miliar.

Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, calon anggota legislatif juga mengerahkan saksi untuk mengawal bukan hanya suara parpol, melainkan juga suara dari caleg yang diwakili. Persaingan di antara caleg pun terjadi.

Jika dana saksi parpol tetap akan dibayari pemerintah, patut dipertanyakan, siapa yang akan menyalurkan dana saksi tersebut? Apakah dibayarkan oleh aparat pemerintah, aparat Badan Pengawas Pemilu (yang jumlahnya terbatas), ataukah diserahkan kepada partai politik? Lalu, bagaimana dengan mekanisme pertanggungjawabannya?

Di tengah kompleksitas itu, rasanya belum saatnya pemerintah membayari biaya saksi partai politik. Untuk mengawasi agar pemilu berlangsung jujur, adil, dan transparan, yang harus didorong justru partisipasi politik masyarakat. Ruang partisipasi publik yang sifatnya sukarela dan tidak mengandalkan dana pemerintah itulah yang harus didorong untuk mencegah berbagai kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Partisipasi publik untuk mengawasi kualitas pemilu ini yang ruangnya harus dibuka lebar karena komitmen kelompok masyarakat ini bukan pada uang, melainkan pada terlaksananya pemilu yang kian berkualitas.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004441543
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 28 Januari 2014

Media Sosial dan Keberadaan Kita (Agus Sudibyo)

MEDIA sosial dalam berbagai bentuknya memainkan peranan yang semakin diperhitungkan dalam wacana publik di Indonesia dewasa ini.
Hampir tak ada perkembangan sosial politik yang luput dari kritisisme aktivis media sosial. Hampir tidak ada isu aktual
yang tak digunjingkan melalui ruang media sosial. Semua pihak—masyarakat, pemerintah, politisi, penegak hukum, selebritas, aktivis—merasa berkepentingan mengikuti perdebatan media sosial, mempertimbangkannya sebagai saluran komunikasi dan informasi yang cukup menentukan.

Harus diakui, fenomena media sosial berkontribusi positif bagi proses demokratisasi dan deliberasi di Indonesia. Media sosial memungkinkan individu bertindak sebagai subyek yang otonom di ruang publik. Setiap warga didorong untuk secara partisipatoris terlibat dalam proses pencarian, penyebaran, dan pertukaran  informasi. Setiap orang adalah jurnalis, setiap orang adalah sumber.

Media sosial menutupi kelemahan praktik komunikasi di media massa. Dalam statusnya sebagai ruang publik, media massa kenyataannya tak memberikan akses memadai kepada orang kebanyakan untuk terlibat dalam berbagai perdebatan. Pemberitaan media terkondisikan untuk selalu mengutip sumber elite: pemerintah, DPR, akademisi, pengamat, dan aktivis LSM.

Tanpa banyak disadari, orang kebanyakan hanya jadi penonton dalam diskursus media. Elitisme juga terjadi dalam pemilihan tema berita. Sebagian besar pemirsa televisi kita adalah kelas menengah ke bawah, tetapi dialog-dialog di televisi hampir selalu hanya mencerminkan problem, minat, atau sensibilitas kelas menengah ke atas.

Persoalan ini berhasil diatasi media sosial dengan menawarkan platform yang memungkinkan perwujudan egalitarianisme dan kesetaraan. Media sosial memungkinkan setiap orang berpendapat langsung, terlibat dalam diskusi, bahkan turut menentukan tema yang perlu didiskusikan. Siapa pun boleh berbicara tentang apa saja. Siapa pun boleh berdiskusi dan menyanggah pendapat siapa saja. Dari perspektif demokrasi dan deliberasi publik, ini adalah kemajuan yang patut disambut.

Persoalannya, diskusi di ruang publik juga harus dilandasi etika dan kepantasan. Kebebasan berpendapat kita dibatasi hak orang lain untuk diperlakukan secara adil serta hak semua orang atas ruang publik yang steril dari sumpah seranah, sikap permusuhan, dan pergunjingan pribadi. Jika disepakati bahwa media sosial adalah sebentuk ruang publik, tentu prinsip ini juga harus berlaku untuk media sosial tanpa pengecualian.

Keadaban publik
Pada titik inilah kita mendapati problem surplus kebebasan berpendapat dalam arena media sosial. Kebebasan berpendapat itu belum sepenuhnya dilandasi penghormatan terhadap hak-hak orang lain dan nilai-nilai keadaban publik. Dalam berbagai isu, media sosial tampak digunakan sebagai sarana menghujat, mencaci maki, atau merendahkan pihak tertentu. Yang kita temukan di media sosial tidak sekadar kritik yang argumentatif, tetapi juga kritik yang apriori dan kasar. Dengan mudahnya satu pihak menghakimi pihak lain tanpa ada mekanisme klarifikasi dan umpan balik.

Hiperaktualitas dan interaktivitas sebagai keunggulan komparatif media sosial telah mendorong kita untuk melontarkan pernyataan   spontan,  otomatis, dan tanpa berpikir panjang. Gairah dan suasana diskusi di media sosial mengondisikan kita berbicara sesegera dan seaktual mungkin, "jangan sampai didahului orang lain". Akibatnya, kita kerap tak sempat menimbang-nimbang kepantasan dan dampak suatu pernyataan. Kita baru menyadari ketika sudah muncul kontroversi, debat kusir, atau penghakiman terhadap suatu pihak.

Meminjam istilah Hannah Arendt, kita kehilangan kemampuan untuk berdialog dengan diri sendiri dan mempertimbangkan kata hati sebelum bertindak dan berucap. Kemampuan yang sangat penting agar kita mampu menenggang nasib dan perasaan orang lain, tak sekadar mengikuti naluri-naluri yang egoistik-anarkis. Kemampuan menenggang nasib dan perasaan orang lain inilah esensi sesungguhnya dari hidup bermasyarakat.

Selain itu, diskusi di media sosial memungkinkan kita menyamarkan identitas diri dan berbicara secara anonim. Persoalannya, sebagaimana dikatakan sosiolog George Simmel, di mana ada anonimitas di situlah muncul potensi iresponsibilitas. Tentu tidak semua anonymous adalah pribadi-pribadi yang
tidak bertanggung jawab. Namun, tidak sedikit orang yang menggunakan nama samaran atau akun anonim untuk berbicara seenaknya dan mem-bully orang lain. Menggunakan analogi Simmel, mereka seperti manusia-manusia bertopeng yang dapat bertindak jahat terhadap orang lain tanpa seorang pun tahu siapa jati dirinya, tanpa harus bertanggung jawab.

Sungguh disayangkan jika negativitas media sosial itu justru menutupi potensi-potensi demokratif-deliberatif sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sudah semestinya kita berharap kebiasaan menumpahkan kemarahan atau ketidaksetujuan di media sosial dengan sumpah seranah, cemoohan, dan penistaan—sebagaimana sering terjadi belakangan ini—hanya gejala sementara. Kita berharap kebiasaan buruk itu hanya gejala residual yang tidak permanen dan tidak mencerminkan perkembangan keadaban kita sebagai bangsa.

Bagaimana kita mampu mengatur diri dalam bersikap dan berperilaku di media sosial pada akhirnya juga menentukan bagaimana kualitas keadaban kita. Dalam konteks ini, ada baiknya para aktivis jejaring sosial melangkah lebih jauh dalam merumuskan semacam kode etik berkomunikasi dan berinteraksi di media sosial. Hal ini bukan ide baru, tetapi mendesak diwujudkan. Meski tak akan mudah dalam pelaksanaannya, tetap lebih baik jika aktivis jejaring sosial mampu mengatur dirinya sendiri daripada inisiatif itu diambil dan dilaksanakan oleh negara.

Agus Sudibyo, Koordinator Perumusan Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004156801
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mengevaluasi Kurikulum 2013 (Ki Supriyoko)

SEORANG mahasiswa program magister pada satu perguruan tinggi mengajukan judul tesis tentang evaluasi implementasi Kurikulum 2013 di wilayah kabupaten tertentu.
Sang dosen calon pembimbing pun memberi arahan: topik tersebut tak layak diteliti, apalagi jadi tesis sebagai simbol keberhasilan studi pascasarjana. Argumentasinya, Kurikulum 2013 baru efektif diberlakukan satu semester tak layak dievaluasi. Kalaupun dipaksakan, hasilnya pasti buruk; proses dan produknya.

Pendapat subyektif bahwa hasil evaluasi Kurikulum 2013 pasti buruk kiranya perlu mendapat perhatian kita, terutama para pengambil keputusan pendidikan di negeri ini. Pada sisi lain, pendapat bahwa Kurikulum 2013 yang baru satu semester diimplementasi tidak layak dievaluasi kuranglah benar. Berdasarkan teori evaluasi, suatu kurikulum yang sudah dijalankan selama satu semester sudah layak dilakukan; bahkan dalam satu caturwulan pun, kalau sistemnya caturwulan, layak dilakukan.

Evaluasi proses
Sebenarnya evaluasi proses menyangkut banyak aspek, tetapi dalam tulisan ini difokuskan pada banyaknya sekolah yang pada 2013 mendapat kepercayaan untuk mengimplementasikannya.

Apabila kita membuka portal "EPIK: Sistem Elektronik Pemantauan Implementasi Kurikulum 2013" milik Kemdikbud, pada 2013 implementasi Kurikulum 2013 baru pada 6.973 sekolah (2.865 SD; 1.535 SMP; 1.431 SMA; dan 1.142 SMK). Kalau dilihat lokasi sekolahnya, ternyata 3.598 (52 persen) di Pulau Jawa.

Kalau jumlah sekolah di Indonesia lebih dari 200.000 sekolah, 6.973 sekolah yang jadi sasaran implementasi Kurikulum 2013 tak hanya  3,5 persen. Jumlah ini terlalu sedikit untuk implementasi suatu kurikulum baru. Untuk rintisan saja jumlah ini sangat sedikit. Untuk mengimplementasi kurikulum baru, idealnya paling tidak 50 persen dari keseluruhan sekolah, dan untuk rintisan idealnya paling tidak 10 persen. Angka yang 3,5 persen itu idealnya untuk uji coba.

Antara implementasi, rintisan, dan uji coba memiliki persyaratan dan perilaku yang berbeda. Implementasi dilakukan untuk kurikulum yang sudah "jadi" dan dalam perlakuannya sudah tidak ada (banyak) perbaikan. Rintisan dilakukan untuk kurikulum "hampir jadi" dan dalam perlakuannya dimungkinkan ada (banyak) perbaikan. Uji coba untuk kurikulum "belum jadi" dan dalam perlakuannya dimungkinkan banyak perbaikan, bahkan  dimungkinkan tidak dilanjutkan sampai tahap implementasi.

Implementasi kurikulum pada sekolah yang terlalu sedikit jumlahnya, apalagi terpusat pada suatu lokasi, sangat besar risikonya; baik risiko substantif (sulitnya menyamakan kesetaraan substansi antarsekolah), risiko representatif (sulitnya mengukur representativitas karakter sekolah), dan risiko implementatif (sulitnya mengimplementasikan kurikulum tahapan berikutnya). Implementasi Kurikulum 2013 mengalami semua risiko tersebut.

Evaluasi produk
Implementasi Kurikulum 2013 ibarat orang berlari sambil membetulkan tali sepatu. Artinya sudah lari meski persiapannya belum selesai. Implementasi Kurikulum 2013 juga demikian; sudah diimplementasi meski persiapannya belum selesai.

Apa persiapan yang belum selesai? Banyak guru yang menjalankan kurikulum baru, tetapi belum mendapat penataran; banyak kepala sekolah juga belum ditatar; dan buku-buku yang mendukung kurikulum baru pun belum semua dimiliki sekolah.

Sebenarnya banyak konsep bagus dalam Kurikulum 2013. Misalnya konsep tematik integratif di SD, tapi tidak bisa terlaksana dengan baik karena pemerintah sibuk "membetulkan tali sepatu". Konsep tematik integratif sangat baik, tapi pelaksanaannya perlu kesiapan guru; dalam hal ini gurunya harus profesional, menguasai banyak materi, pandai mengintegrasi materi satu dengan yang lain, serta pandai menyampaikannya kepada peserta didik. Hal inilah yang belum dimiliki kebanyakan guru SD kita.

Hal yang sama juga terjadi di SMP. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang diubah konsep dari mata pelajaran menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran menuntut semua guru SMP menguasai TIK dalam pembelajaran. Konsep ini sangat bagus, tetapi dalam realitasnya banyak guru SMP yang kurang familiar dengan TIK.

Dengan kenyataan seperti itu, sulit menyatakan Kurikulum 2013 telah berhasil dijalankan.

Ki Supriyoko, Wakil Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa dan Doktor Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004338009
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Media Meliput Bencana (Ignatius Haryanto)

SEJAK awal 2014 kita menyaksikan sejumlah bencana alam terjadi di banyak wilayah Indonesia. Jakarta diterjang banjir tiap tahun. Lalu kita pun menyaksikan Manado tiba-tiba disergap banjir, longsor. Di sejumlah wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah pun mengalami longsor. Kita pun disuguhi berita meletusnya Gunung Sinabung di Sumatera Utara.
Media adalah alat yang memungkinkan kita mengetahui perkembangan yang ada. Dan dengan peliputan yang intensif, kita mengetahui perkembangan bencana tersebut dari menit ke menit, jam per jam. Di antara sejumlah liputan tersebut, terkadang kita masih melihat bagaimana media kadang kala terasa kurang pas dalam peliputan terhadap bencana seperti ini.

Kita melihat, misalnya, di Jakarta seorang reporter televisi mencemplungkan dirinya ke tempat banjir dan memberikan laporan langsung. Pertanyaannya: apakah melaporkan tersebut perlu hingga sampai nyemplung di lokasi banjir tersebut? Lalu kita pun mendengar beberapa reporter punya pertanyaan yang agak seragam: "Sudah dapat bantuan, Pak/Bu?"

Meliput peristiwa bencana tetap harus dengan memelihara kehati-hatian. Masih ingat kejadian kecelakaan yang dialami dua kamerawan SCTV dan wartawan Lativi serta dua orang dari Puslabfor ketika meliput bangkai kapal Levina I pada 25 Februari 2007? Tugas wartawan adalah untuk meliput, bukan diliput (karena wartawan celaka, atau meninggal, wartawan malah menjadi bahan liputan lain). Pengambilan posisi gambar oleh reporter televisi harus tetap memperhatikan hal ini.

Sensitivitas wartawan atau media terhadap para korban atau mereka yang selamat adalah hal yang perlu sangat diperhatikan. Ahmad Arif—penulis buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010)—pernah membahas hal ini. Ia memberikan ilustrasi, misalnya: Mereka yang jadi korban bencana atau mereka yang menjadi pengungsi pun merasa gerah dengan banyak pihak datang untuk bertanya, tetapi hidup mereka yang tinggal di tenda pengungsian tak berubah juga.

Jebakan dalam liputan berita
Wartawan perlu untuk memahami ketidakpuasan atau keputusasaan semacam ini. Wartawan dalam menjalankan tugas untuk mendapatkan informasi terkadang perlu menarik diri sedikit dan membayangkan diri dalam posisi mereka sehingga mereka tak merasa diobyekkan semata.

Pertanyaan reporter akan mencerminkan bagaimana integritas wartawan dan medianya terkait masalah ini. Jadi, pertanyaan "Apakah Bapak/Ibu sudah dapat bantuan" seolah-olah mau menunjukkan bahwa para korban ini harus mengemis minta bantuan. Pertanyaan akan lebih tepat kalau menanyakan secara umum saja bagaimana mereka mendapatkan makanan dan minuman setiap harinya.

Jebakan terbesar media pada masa sekarang adalah persaingan untuk menjadi yang tercepat dalam menyampaikan berita (bukan bersaing menjadi yang paling akurat; dengan sedikit mengabaikan soal kecepatan). Di sini surat kabar akan berhadapan dengan televisi, radio, media daring, dan lain-lain. Perlu dirumuskan posisi redaksional yang lebih jitu menghadapi soal ini: keakuratan harus didahulukan ketimbang kecepatan. Namun, pada saat kecepatan dikorbankan, media juga memberikan kedalaman, perspektif yang lebih luas, serta juga memberikan makna atas fenomena yang terjadi tersebut. 

Pada saat banjir di Jakarta sedang dalam situasi menegangkan, naik-turunnya debit air menjadi hal pokok yang diangkat oleh media. Akan tetapi, sedikit media yang kemudian memberikan suatu perbandingan terhadap kondisi serupa yang terjadi tahun lalu. Pemberitaan media terkadang seolah meneror masyarakat dengan angka-angka yang secara kumulatif terdengar terus menaik, tetapi tak diberikan konteks bahwa kondisi ini tak separah tahun lalu, misalnya. Grafik akan sangat menolong untuk melakukan perbandingan tersebut.

Bagaimana media bersikap?
Banyak media terlihat masih gagap memahami bahwa Indonesia adalah negeri penuh gunung api serta potensi bencana lain di tengah perubahan iklim dunia yang tengah terjadi ini. Oleh karena itu, ada baiknya setiap media memiliki sejumlah wartawan yang siap diterjunkan untuk peliputan bencana ini dengan mengikuti sejumlah pelatihan yang dilakukan beberapa pihak. Di lain pihak, dengan mempelajari lebih jauh karakter bencana yang terjadi dari waktu ke waktu, media pun bisa menghadirkan pemberitaan yang lebih bermakna kepada masyarakat.

Sebagai perbandingan, kita bisa melihat bagaimana televisi NHK di Jepang meliput peristiwa gempa di Jepang tahun 2011. Silakan cari di Youtube, dan Anda tak akan melihat bagaimana NHK menggambarkan mayat bergelimpangan, atau air mata kesedihan yang diperas sampai habis. Tak ada detail (atau teknik kamera close up) atas kesedihan. Peristiwa gempa dan tsunami setelahnya digambarkan dengan teknik kamera long shoot.

Mereka yang menonton akan merasakan kengerian atas fenomena alam tersebut, tapi NHK tak mengeksploitasi kesedihan para korban. NHK amat sadar dengan posisinya sebagai lembaga penyiaran publik dan memilih untuk tidak menyiarkan gambar-gambar dramatis. Nilai di balik ini adalah bagaimana orang Jepang dan NHK menerima peristiwa alam ini sebagai bagian dari fenomena yang tak terhindarkan. Namun, sebagai bangsa, mereka ingin tetap tegar, ingin bangkit, tak mau mengemis-ngemis bantuan, penuh kebersamaan untuk bangkit dan menapaki hidup baru. Sikap dan integritas seperti ini yang penting dimiliki media (juga bangsa kita).

Media juga perlu menggunakan pendekatan peace journalism, juga pendekatan jurnalisme empati. Jurnalisme empati digambarkan oleh Ashadi Siregar sebagai "seorang jurnalis berusaha memasuki kehidupan subyek, dengan sikap etis agar tidak melakukan penetrasi yang sampai mengganggu kehidupan subyek".

Media juga bisa menunjukkan kerja pemerintah dalam penanggulangan bencana, juga pelbagai inisiatif masyarakat menolong sesama. Hal ini penting untuk menumbuhkan adanya harapan di balik peristiwa dahsyat bencana tersebut. Dengan media yang lebih sensitif, memberi makna di balik peristiwa, publik pun akan mendapat manfaat dari suatu peliputan yang lebih bermutu, lebih elegan, dan memberi nilai dalam memaknai di balik peristiwa tersebut.

Ignatius Haryanto, Peneliti Media di LSPP; Pengajar Jurnalistik

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004358526
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Spektrum Otonomi Kekhususan (Irfan Ridwan Maksum)

POLITIK yang memanas pada 2014 ini diperkirakan dibarengi dengan pergeseran hubungan pusat-daerah.
Pergeseran pola hubungan itu telah berulang kali terjadi. Perpindahan dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan lalu bergeser ke masa demokrasi liberal, kemudian dari demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin, dari demokrasi terpimpin ke masa Soeharto, hingga yang terakhir ini dari masa Soeharto ke masa Reformasi selalu ditandai dengan pergeseran pola hubungan pusat-daerah.

Bahkan, jauh sebelumnya, menurut Hoessein (1993), pada 1903 di bumi Nusantara terjadi perubahan pola hubungan pusat-daerah lantaran di Belanda terjadi perputaran arus politik yang keras menyangkut hubungan antara raja, perdana menteri, menteri urusan negeri jajahan, dan gubernur Hindia Belanda.

Tampaknya hubungan pusat- daerah yang mengguncang adalah soal keinginan beberapa daerah mengikuti Aceh, Yogya, Papua, dan Jakarta untuk mendapat kekhususan.  Sementara itu, kita tahu Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) geram mengatasi persoalan Jakarta dengan kekhususannya sebab tak mampu menghadapi kekuasaan beberapa unit pusat yang semestinya memberi kontribusi di wilayahnya. Persoalan Papua tak kunjung padam. Masalah bendera Aceh belum tuntas. Daerah Istimewa Yogyakarta menimbulkan efek berantai kepada sejumlah wilayah bekas kesultanan di Indonesia.

Gradasi
Kekhususan dalam otonomi muncul karena ketakpuasan daerah akan kebijakan pusat. Pertanyaannya, apakah dalam konteks negara bangsa, perubahan yang timbul mendorong diskriminasi hubungan pusat-daerah. Munculnya istilah khusus ini merupakan respons atas standardisasi, biasanya dilakukan di berbagai negara yang berbentuk kesatuan.

Di negara federal, kekhususan amat jarang muncul. Kalaupun ada, ia muncul didorong faktor budaya yang amat sulit diakomodasi dalam struktur dasar federalnya. Contohnya, Negara Bagian Quebec di Kanada. Struktur pemerintahan federal Kanada tak menampung kekhasan kultural penduduk Quebec sehingga penduduknya menuntut lebih dari sekadar tata kelola yang ada.

Sebagai catatan: di negara federal, negara bagian masing-masing memiliki UUD yang antara lain mengatur struktur pemerintahan daerah masing-masing. Di negara kesatuan hal tersebut tak mungkin sebab hanya satu UUD. Struktur pemerintahan di bawahnya secara nasional diatur dalam satu UU mengenai pemerintahan daerah yang berdasar UUD tersebut.

Sebetulnya dapat dipolakan gradasi kekhususan yang terjadi dalam relasi pusat-daerah. Gradasi itu umumnya ditengarai tiga aspek: (1) pola tata kelola internal; (2) besar kewenangan; (3) besar sumber keuangan. Tuntutan yang bergulir setelah Papua, Aceh, dan Yogya agaknya lebih ke sumber keuangan,  tuntutan kekhususan yang amat vulgar.

Secara konseptual, dalam desentralisasi,  besar kewenangan dan besar sumber keuangan mengikuti apa yang menjadi makna otonomi itu sendiri. Sudah seharusnya daerah yang tidak memiliki laut, katakanlah, tidak mengurusi soal kelautan atau berbagai hal mengenai laut.

Begitu pula mengenai sumber keuangan, terdapat block grant yang mengikuti kemauan daerah jika dikembangkan sesuai dengan konsep dan spirit block grant. Tentu antara satu daerah dan daerah lain akan berbeda dalam hal ini, terlebih karena terdapat pendapatan asli daerah.

Kekhususan masa depan
Dua pertimbangan kekhususan yang mungkin dapat dibuat di Indonesia di masa depan.

Pertama, menyangkut kekhususan untuk daerah-daerah metropolitan dan megalopolitan. Kedua, kekhususan dengan sistem nonprefektorat.

Kota-kota besar Indonesia jika tidak diakomodasi dalam kekhususan—seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Semarang, dan Bandung—tetap akan berperilaku standar dan tidak mampu bersaing dengan kota-kota internasional lainnya di dunia. Kekhususan yang dimaksud bukan kekhususan seperti Jakarta sekarang, melainkan terobosan fungsional dalam tata kelola internal kotanya.

Pertimbangan menyusun kekhususan di negara Indonesia yang menganut prefektoral terintegrasi sejak masa Hindia Belanda juga dapat dilakukan dengan menyusun pola nonprefektorat. Artinya, kita rancang respons tuntutan daerah akan kekhususan dengan memberikan peluang tata kelola internalnya dengan tidak menganut wakil pemerintah, seperti negara-negara yang berkiblat ke Inggris-Amerika Serikat yang berpola fungsional.

Di daerah-daerah tersebut, DPRD menjadi pengendali utama dengan kepala daerah diambil dari anggota DPRD sebagai CEO (commissioner-system), atau berpola managerial yang diambil dari elemen masyarakat yang dipilih DPRD (council-manager system). Jadi, bukan soal wewenang atau sumber keuangan semata.

Kedua pola di atas, jika diterapkan di Indonesia, tampaknya tidak mengganggu struktur negara Indonesia sebagai negara kesatuan dan mendorong relasi yang lebih akomodatif, fleksibel, berkarakter lokal, dan mendorong keefektifan dan efisiensi pemerintahan. Semoga.

Irfan Ridwan Maksum, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004338117
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kebijakan Luar Negeri Indonesia 2014 (Beginda Pakpahan)

KITA sudah berada di tahun 2014. Ada beberapa pertanyaan yang perlu kita pikirkan dan telaah bersama: sejauh mana kebijakan luar negeri Indonesia pada 2013? Apa yang perlu dilakukan dan diperhatikan pada 2014?
Argumen saya adalah kebijakan luar negeri Indonesia cukup aktif dalam meningkatkan citra Indonesia sebagai aktor regional dan global. Hal ini diperlihatkan dengan pelaksanaan pelbagai forum regional dan global. Salah satunya adalah Konferensi Tingkat Tinggi APEC dan Perundingan Putaran Doha/WTO di Bali.

Namun, hal-hal tersebut tidak terlalu banyak dimengerti mayoritas rakyat Indonesia, terutama berbagai implikasi yang bisa menggerus kesejahteraan mereka setelah terlaksananya sejumlah perjanjian tersebut.

Lalu, Indonesia sedang berusaha meningkatkan perannya sebagai aktor regional dan negara pemain tengah yang terkadang masih lemah kapasitas internalnya karena problem domestiknya. Dalam artian, masih ada kesenjangan antara target kebijakan luar negeri dan sumber daya yang dimiliki Indonesia. Karena itu, prioritas kebijakan luar negeri Indonesia perlu disesuaikan dengan kemampuan domestik yang dimilikinya. Penataan ke dalam atas sektor-sektor politik dan ekonomi menjadi awal dari kebijakan luar negeri Indonesia di tahun 2014.

Kebijakan luar negeri 2013
Kebijakan luar negeri Indonesia mencakup beberapa hal, seperti kemitraan strategis, diplomasi ekonomi, penyelesaian perbatasan, perlindungan tenaga kerja Indonesia, penyelesaian tumpang tindih kedaulatan di Laut China Selatan, kepedulian Indonesia terhadap negara-negara tertinggal di Asia Tenggara, keanggotaan Indonesia dalam forum regional dan internasional (ASEAN, APEC, WTO, dan G-20), peningkatan potensi pasar nontradisional bagi Indonesia di Afrika, dan membangun kerja sama dengan negara-negara di kawasan Pasifik Barat Daya.

Dari berbagai kebijakan di atas, bisa dilihat ada campuran dimensi politik dan ekonomi dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Untuk dimensi politik, Indonesia bisa mencari titik tengah sementara dari fragmentasi yang terjadi di antara negara-negara anggota ASEAN terkait dengan penyelesaian Laut China Selatan.

Lalu, Indonesia ikut serta dalam pengembangan demokrasi melalui diskusi dan tukar pengalaman di antara negara-negara demokrasi di dunia. Contohnya, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan negara-negara demokrasi di dunia, Bali Democracy Forum, 7-8 November 2013. Indonesia mendorong adanya promosi nilai-nilai demokrasi dan tukar-menukar pengalaman pelaksanaan demokrasi antarnegara dan konsolidasi demokrasi dalam masyarakat yang plural. 

Untuk dimensi ekonomi dan pembangunan, prioritas kebijakan luar negeri Indonesia terkait erat dengan perdagangan, investasi, pemberdayaan sumber daya manusia, dan perluasan pasar. Contohnya, pada Oktober 2013, Indonesia bisa membuat APEC relevan kembali dalam kerja sama ekonomi dan pembangunan di Asia dan Pasifik dengan mendorong tercapainya kesepakatan perdagangan yang lebih luas/bebas bagi negara-negara di kawasan ini. Beberapa bulan kemudian Indonesia menjadi fasilitator guna mendorong tercapainya kesepakatan Paket Bali dari kerangka besar perundingan Putaran Doha, 3-7 Desember 2013. 

Yang bisa dilakukan
Pemerintah Indonesia perlu menentukan tujuan politik, ekonomi, dan pembangunan yang jelas dan terukur sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Perlu diingat, ada keterkaitan erat antara kebijakan politik dan ekonomi nasional dengan kebijakan luar negeri Indonesia. Secara umum Pemerintah Indonesia perlu meminimalkan antara harapan atas kebijakan luar negerinya dan bebagai kenyataan sumber daya yang dimilikinya. Tujuannya agar kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dimilikinya tidak jauh. 

Secara khusus Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan empat hal penting dalam memformulasikan kebijakan luar negeri Indonesia di tahun 2014.

Pertama, pemerintah perlu lebih menyeimbangkan diplomasi politik dan ekonomi. Indonesia cukup diakui untuk diplomasi politik di kawasan Asia Tenggara dan Timur, khususnya dalam penanganan klaim yang tumpang tindih dan kompleks antara China dan beberapa negara ASEAN (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei) terhadap Laut China Selatan. Namun, untuk diplomasi ekonomi, Indonesia belum optimal dalam melindungi kepentingan nasionalnya. Contohnya, Indonesia lebih sebagai fasilitator dan penata kegiatan dari perundingan Putaran Doha di Bali. Indonesia terkesan belum optimal dan pasif dalam perundingan tersebut.

Menariknya, perdebatan Ame- rika Serikat dan India mendominasi isu-isu krusial di perundingan Doha di Bali. India terlihat jelas dalam memperjuangkan agenda Grup 33, khususnya penyimpanan bahan pangan publik karena isu tersebut terkait erat dengan ketahanan pangan dan keberlangsungan sektor pertaniannya. Ditambah lagi Kuba, Bolivia, Venezuela, dan Nikaragua yang memiliki pandangan bahwa ada ketimpangan Paket Bali antara negara maju dan berkembang serta tidak ada isu embargo perdagangan barang dalam teks akhir dari deklarasi bersama di Bali. 

Kedua, Pemerintah Indonesia perlu lebih konkret dalam menata koordinasi antara lembaga dan instansi yang terkait dengan formulasi dan pelaksanaan kebijakan luar negerinya. Koordi- nasi yang baik antara kementerian yang menangani kebijakan ekonomi di hulu dan di hilir perlu diperbaiki agar tidak terjadi kontradiksi dalam kebijakan ekonomi nasional.

Contohnya, peningkatan harga kedelai, gula, jagung, dan daging sapi perlu menjadi perhatian kita semua. Penyelesaian koordinasi antara lembaga yang menangani produksi bahan pangan dan perdagangan perlu selaras dan tidak saling berbeda dalam melaksanakan kebijakan pangan nasional. Tidak bisa dimungkiri, kondisi dalam negeri di atas memengaruhi diplomasi luar negeri Indonesia pada Putaran Doha di WTO atau perundingan perjanjian perdagangan bebas yang sedang berjalan saat ini.

Ketiga, penataan koordinasi dan penguatan internal Indonesia menjadi hal yang mutlak dan penting. Alasannya, kebijakan luar negeri Indonesia adalah perluasan dan promosi dari kebijakan politik dan ekonomi pembangunan domestik. Pemerintah Indonesia perlu serius menjawab isu-isu yang kompleks, seperti tata pemerintahan yang baik dan pemberantasan korupsi.

Agenda domestik
Dengan penanganan isu-isu di atas dengan baik, diharapkan ada dukungan dan keselarasan antara kebijakan dalam negeri dan luar negeri dalam mendukung agenda-agenda pembangunan ke depan, seperti revitalisasi sektor pertanian dan kehutanan di Indonesia, pengembangan sumber daya manusia, peningkatan teknologi dan inovasi, solusi hubungan pusat dan daerah, serta manajemen keuangan nasional dan keterkaitannya dengan pasar keuangan global. Tidak bisa dimungkiri, agenda-agenda domestik akan saling terkait dengan perkembangan isu-isu ekonomi dan pembangunan di tingkat global.     

Untuk saat ini, ada baiknya Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan yang ikut serta dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia bisa bekerja sama dalam membenahi ketiga hal di atas.

Ada hal lain yang perlu jadi perhatian kita semua: perubahan kepemimpinan nasional pada September 2014. Alasannya, kepemimpinan nasional yang baru akan mendapat beban yang berat untuk menentukan prioritas dan melaksanakan kebijakan luar negeri Indonesia. Pastinya pemimpin Indonesia yang akan naik di tahun 2014 perlu menyelesaikan ketiga hal penting di atas dalam mempersiapkan dan menjalankan kebijakannya.

Beginda Pakpahan, Analis Politik dan Ekonomi Urusan Global dari UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003869320
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Prospek Penyelesaian Krisis Suriah (Kompas)

PROSPEK penyelesaian krisis politik Suriah masih belum jelas, tetapi hasil pertemuan delegasi pemerintah dan oposisi di Geneva sungguh melegakan.
Kedua pihak, dalam pertemuan dua hari akhir pekan lalu, bersepakat mengatasi persoalan kemanusiaan. Delegasi pemerintah, misalnya, bersedia membebaskan kaum perempuan dan anak-anak dari Homs, kota yang dikepung pasukan Presiden Bashar al-Assad.

Homs dan Aleppo merupakan dua kota yang menjadi pusat pertarungan keras antara pasukan pemerintah dan gerilyawan oposisi sekitar tiga tahun terakhir. Sejak tahun lalu, Homs diambil alih dan dikepung pasukan pemerintah yang menimbulkan persoalan kemanusiaan. Bukan hanya kekuatan oposisi yang terjepit, melainkan keselamatan ribuan penduduk sipil, terutama kaum perempuan dan anak-anak, juga terancam. Kesepakatan membebaskan kaum perempuan dan anak-anak tentu saja melegakan.

Pemerintah dan oposisi juga sepakat membebaskan tawanan yang menurut oposisi jumlahnya mencapai 50.000 orang. Sungguh melegakan pula, kedua pihak sepakat membuka jalan masuk bagi konvoi bantuan kemanusiaan PBB ke wilayah yang dikepung pasukan pemerintah dan yang diduduki kekuatan oposisi.

Pertemuan Geneva dengan segala hasilnya merupakan perkembangan menarik dalam upaya mengatasi konflik politik di Suriah yang berlangsung tiga tahun terakhir. Kedua pihak yang bertikai akhirnya bisa duduk bersama, membahas persoalan yang dihadapi bangsa dan negerinya. Kesepakatan yang dicapai akhir pekan lalu diharapkan akan membuka peluang yang lebih besar dalam mengatasi konflik yang telah meminta korban jiwa dan kerugian harta benda. Hampir tidak ada hari berlalu tanpa korban jiwa. Paling tidak 130.000 orang tewas dan jutaan orang menjadi pengungsi.

Keprihatinan meningkat karena tidak terlihat tanda-tanda konflik akan segera surut, tetapi cenderung bertambah buruk. Oposisi terus meningkatkan serangan dalam upaya mengakhiri pemerintahan Presiden Assad yang dinilai otoriter dan korup, sementara penguasa terus mempertahankan posisinya.

Keadaan bertambah runyam karena kelompok radikal, termasuk jaringan Al Qaeda, menyusup masuk ke Suriah, mau bermain di air keruh. Upaya menyelesaikan krisis Suriah bertambah runyam karena situasi regional tidak kondusif. Sejumlah negara di kawasan Timur Tengah diguncang krisis politik, sementara konflik Palestina-Israel tetap menjadi bara dalam sekam.

Sangatlah diharapkan krisis Suriah dapat diselesaikan oleh bangsa Suriah sendiri. Krisis yang dibiarkan berlanjut tidak hanya dapat membuat Suriah terperosok dalam kehancuran, tetapi juga menghambat upaya menciptakan situasi Timteng yang lebih kondusif.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004421560
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Penyelamatan Benda Cagar Budaya (Kompas)

BELUM selesai Sinabung, banjir Jakarta, dengan kerusakan dan korban lebih kecil terjadi banjir Pati dan gempa bumi di Jawa Tengah selatan.
Tidak kalah penting kerusakan karena bencana alam, saat yang sama kita melakukan pengeroposan. Yang pertama lebih banyak oleh otonomi alam, yang kedua oleh kebodohan dan nafsu serakah kita mengedepankan kepentingan bisnis pragmatis. Sudah lama dan sekarang semasif maraknya korupsi, kita lalai melestarikan benda cagar budaya.

Penyelamatan Kompleks Muaro Jambi yang arealnya lebih luas daripada Candi Borobudur terabaikan dan penambangan pasir secara gegabah yang mengakibatkan hilangnya sejumlah temuan arkeologis di kawasan Gunung Kelud—dua peristiwa yang diangkat harian ini pekan lalu. Itu baru dua di dua lokasi: Jambi dan Jawa Timur.

Sudah pasti perusakan, pengeroposan, dan pembiaran di sejumlah tempat sudah, masih, dan akan terus terjadi. Hilangnya hampir semua kepala patung di Candi Dieng, dihancurkannya sejumlah situs dan bangunan, seperti di Bandung dan Jakarta, serta sejumlah peradaban (hasil kebudayaan) satu garis lurus dengan praktik korupsi.

Akar masalah kelalaian ini tidak beranjak dari gaya hidup aji mumpung atau takut tidak komanan dalam kondisi negara serba semrawut. Tidak hanya cara berpikir dan bertindak serba pragmatis—faktor fungsi menjadi kriteria pertama—tetapi dalam kondisi serba boleh plus ketidakhadiran pemerintah, dengan lancar jaya vandalisme semakin menjadi-jadi, pun dengan dalih turisme.

Kita ingin mewariskan yang serba baik. Namun, kenyataannya gaya carpe diem (nikmati hari ini) mendominasi cara berpikir dan bertindak. Masih slogan sebab terbukti tidak hanya terjadi pada kasus rusaknya benda cagar budaya, tetapi juga ke berbagai bentuk lain, seperti penggundulan hutan dan keengganan kita belajar dari keberhasilan atau kegagalan masa lalu.

Utopis kita harapkan perubahan paradigma dalam skala besar. Dengan topik di atas kita persempit rusak dan terlalaikannya warisan benda cagar budaya. Istilah yuridis dalam UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya dan aturan pelaksanaan tahun 1993 kenyataannya mandul. Pasalnya tidak bisa diterapkan. Boro-boro tebang pilih seperti dalam kasus korupsi, bahkan mengenai klasifikasi benda cagar budaya pun belum ada kesepakatan.

Kita memang masih belajar melestarikan cagar budaya. Bahkan, tidak hanya "baru belajar", tetapi kita juga sengaja melenyapkan yang serba masa lalu demi "masa depan lebih baik". Ketika otonomi alam memperlihatkan kuasanya, kita manusia berlomba ikut merusaknya. Keprihatinan ini mengentakkan harapan, selain penegakan hukum soal benda cagar budaya juga kesadaran bersama tentang historiografi Indonesia!

Lebih sulit membongkar budaya merusak peradaban daripada memperbaiki kerusakan alam dan lingkungan akibat keserakahan kita!

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004399907
Powered by Telkomsel BlackBerry®

ANALISIS POLITIK Indonesia Raya (SUKARDI RINAKIT)

DI akhir acara yang dipandunya, Najwa Shihab bertanya kepada Megawati Soekarnoputri mengenai keinginan, cita-cita, dan mata hatinya. Dengan menahan air mata, Megawati menjawab, "Indonesia Raya." Saya tertegun mendengar itu.

Anda boleh tidak setuju dengan pendapat penulis. Kini, sulit sekali mencari pemimpin politik seperti Megawati. Selain kaya pengalaman dan matang secara politik, dia juga meletakkan seluruh hatinya untuk Republik. Sejujurnya, saya tidak tahu siapa di antara para kandidat presiden yang sudah mendeklarasikan diri untuk maju pada Pemilu 2014 yang akan menjawab dengan spontan "Indonesia Raya" jika kepada mereka ditanyakan cita-citanya.

Oleh karena itu, siapa pun yang dekat dengan Megawati, sama seperti siapa pun yang dulu dekat dengan ketiga bung besar (Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir), sejauh ia mau membuka diri dan mata hati, maka transfer pemikiran, cita-cita, sikap politik, dan ideologi kebangsaan otomatis terjadi. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, misalnya, merupakan salah satu contoh dalam cakupan ini. Pada sosok seperti dia, harapan tentang kesejahteraan rakyat bisa diletakkan.

Indonesia yang dangkal
Sulitnya mencari elite di Tanah Air yang dengan tulus berkehendak mewujudkan Indonesia Raya menunjukkan bahwa Indonesia saat ini adalah Indonesia yang dangkal. Ini terjadi hampir di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada tingkat partai politik, misalnya, mudah sekali elite partai mengubah kesepakatan yang sudah dilontarkan kepada publik. Sebagai contoh adalah Partai Demokrat. Sejak awal penyelenggaraan konvensi, mereka menyatakan bahwa pemenang konvensi calon presiden dari partai itu akan ditentukan oleh dua variabel, yaitu hasil jajak pendapat tiga lembaga survei yang mereka kontrak dan pertimbangan Majelis Tinggi Partai Demokrat yang diketuai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, tiba-tiba ada pernyataan dari salah seorang petinggi partai bahwa apabila hasil jajak pendapat ketiga lembaga independen itu berbeda satu dan yang lain, akan diabaikan dan dipergunakan mekanisme yang lain. Mudah ditebak, mekanisme tersebut tentu bermuara pada hak istimewa Majelis Tinggi, dalam hal ini pertimbangan mutlak SBY.

Dilihat sekilas, tidak ada yang salah dari rencana partai itu untuk mengabaikan hasil survei tersebut. Namun, sulit untuk tidak mengatakan bahwa langkah politik semacam itu adalah dangkal. Politik hanya dilihat sebatas perebutan kekuasaan dengan cara memunculkan kandidat presiden yang secara subyektif mereka pilih. Politik tidak mereka lihat sebagai sesuatu yang lebih bernyawa, yaitu seni mempergunakan kekuasaan demi kepentingan umum.

Praktik politik dangkal tersebut, apabila dijalankan, dipastikan akan semakin memerosotkan dukungan masyarakat terhadap Partai Demokrat. Selain itu, juga berpotensi memunculkan musuh-musuh baru, terutama dari para peserta konvensi karena merasa keputusan Majelis Tinggi tidak adil. Ini belum lagi jika manuver Anas Urbaningrum dan para loyalisnya ikut diperhitungkan.

Situasi politik seperti itu tidaklah sederhana. Demokrasi dangkal (prosedural) yang berlaku selama ini menyimpan keputusasaan publik dan bara konflik. Rakyat yang secara umum kecewa kepada partai, pejabat publik, dan birokrasi yang miskin akuntabilitas akhirnya terpaksa berperilaku tidak demokratis. Mereka bersandar pada ikatan-ikatan primordial.

Seperti dicatat oleh Michael Johnston, mereka akan memilih politisi yang berasal dari daerah sendiri. Meskipun dari segi kualitas dan kapabilitas kepemimpinan rendah, politisi tersebut diharapkan akan sedikit memperhatikan tanah kelahirannya. Maka, kalau dia kalah, kecurigaan terjadinya kecurangan dan politik transaksional dari oponen cepat menyebar dan memanaskan suhu politik.

Kedangkalan politik tersebut ketika bertemu dengan budaya pop yang berkembang secara ekstrem dalam satu dekade terakhir maka yang terjadi adalah penguatan pencitraan dan pragmatisme. Selain itu, seperti dinyatakan Hayono Isman dalam kuliah umum yang diselenggarakan Soegeng Sarjadi Syndicate, Kamis (9/1), pragmatisme politik tersebut telah mengikis gotong royong sebagai jiwa bangsa. Karena itu, gerakan nasional untuk menghidupkannya mutlak diperlukan dan dimotori oleh kepemimpinan nasional.

Dengan demikian, kerja politik tidak terjebak pada pencitraan yang ditandai dominasi rapat dan bincang-bincang politik elite, seperti yang selama ini berlangsung. Jika hal itu terus berlaku, ranah politik akan sering terguncang oleh simpang siur pernyataan para menteri, presiden, dan pejabat publik lain tanpa mereka sendiri tahu kebatinan publik sebenarnya.

Tujuan bernegara
Secara teoretis, kedangkalan politik di Tanah Air bisa dibalik menjadi kebajikan politik masif. Di sini yang diperlukan adalah contoh hidup dan ketokohan sehingga optimisme publik bangkit. Tokoh yang sudah digembleng ideologi dan cita-cita mewujudkan Indonesia Raya adalah simbol yang tepat untuk itu.

Secara prediktif dia akan konsisten mempergunakan kekuatan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta dalam perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. Itulah Indonesia Raya!

SUKARDI RINAKIT,  Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004421499
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 27 Januari 2014

Prospek Pemberantasan Korupsi (J Danang Widoyoko)

TAHUN 2014, pemerintahan Presiden SBY akan berakhir setelah dua periode memimpin Indonesia dengan salah satu program utamanya adalah pemberantasan korupsi. Karena itu, sangat penting untuk melakukan evaluasi secara kritis tentang strategi pemberantasan korupsi yang saat ini telah dilakukan, terutama agar pemerintahan baru dapat belajar dan meningkatkan efektivitasnya.
Survei Indeks Persepsi Korupsi yang dilansir oleh Transparency International (TI) terbaru menempatkan Indonesia pada peringkat ke-114 dari 176 negara dengan skor 32. Skor itu sama dengan hasil survei 2012. Artinya, terjadi stagnasi dalam pemberantasan korupsi. Mengapa pemberantasan korupsi terkesan berjalan di tempat? Bukankah KPK sampai saat ini banyak menangkap koruptor?

Berbeda dengan persoalan sosial yang lain, mengukur tingkat korupsi relatif lebih sulit. Karena korupsi termasuk tindak pidana, pelaku atau informan cenderung menutupi tindakannya untuk menghindari sanksi hukum.

Karena itu, dalam studi-studi kuantitatif, korupsi diukur melalui persepsi responden. Jadi, bukan korupsi yang diukur, melainkan persepsi responden terhadap korupsi seperti yang dilakukan oleh TI. Sesungguhnya, pada 2013, TI malah membuat indeks dari 13 survei korupsi yang dibuat oleh lembaga lain sehingga survei TI ini disebut survei dari survei.

Sebagian survei yang mengukur tingkat korupsi di Indonesia cenderung bias investor. Salah satunya Political Economy Risk and Consultancy (PERC) yang menanyakan soal korupsi kepada investor asing. Jadi, survei PERC yang dirujuk TI sesungguhnya korupsi di Indonesia menurut persepsi investor asing. Selain PERC, ada survei-survei lain yang digunakan, sebagian besar untuk kepentingan bisnis dan membatasi korupsi di sektor publik.

Karena yang diukur adalah pelayanan publik, khususnya untuk kepentingan bisnis dan investasi, bisa dimengerti jika tak ada kemajuan dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, ada kontradiksi antara hasil survei dan penegakan hukum. Yang diukur dalam survei pelayanan publik, sedangkan aspek yang menonjol dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah penegakan hukum, terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Memang ada satu sumber survei TI terkait penegakan hukum, yakni World Justice Rule of Law Index. Namun, survei ini lebih memotret persoalan hukum dan hak asasi manusia serta korupsi oleh penegak hukum dan militer. Apa yang dilakukan KPK tidak cukup tergambar. Jadi, antara yang diukur dan yang dilakukan adalah dua hal yang berbeda. Namun, kontradiksi ini juga menunjukkan ada masalah dalam strategi pemberantasan korupsi.

Presiden tidak bekerja
Selama ini pemberantasan korupsi lebih fokus pada penegakan hukum. Ini bukan strategi yang salah, bahkan sangat perlu, tetapi penegakan hukum saja tak cukup. Untuk menuntaskan satu perkara butuh waktu lama, belum lagi sumber daya yang terbatas. KPK hanya memiliki anggaran dan staf terbatas dan sebagian besar kasus yang ditangani terjadi di Jakarta. Kinerja polisi dan kejaksaan masih jauh dari apa yang telah berhasil dicapai KPK. Namun, pada saat yang sama, reproduksi korupsi terus berjalan. Ribuan atau bahkan jutaan koruptor baru terus direproduksi setiap hari oleh sistem sosial dan birokrasi yang korup.

Untuk memberantas korupsi, tidak cukup hanya penegakan hukum. Pencegahan adalah aspek penting, terutama deteksi dini dan koreksi sebelum suatu kebijakan menjadi tindak pidana korupsi. Di dalam UU, KPK memang memiliki tugas melakukan pencegahan dan pendidikan selain penindakan. Namun, dengan keterbatasan sumber daya dan wewenang, praktis KPK tidak bisa bekerja sendirian. Banyak rekomendasi untuk pencegahan dan perbaikan sistem yang disodorkan KPK tidak digubris oleh kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. Bukankah perbaikan sistem justru tugas presiden yang notabene adalah atasan dari menteri dan instansi pemerintah lainnya?

Jelas, buruknya peringkat kita dalam survei TI dan survei lainnya karena presiden tidak bekerja. Barangkali presiden merasa sudah bekerja dengan memberikan instruksi atau menyampaikan pidato. Namun, implementasi kebijakan butuh lebih dari sekadar itu, terutama untuk memastikan perintahnya dijalankan oleh semua level birokrasi. Ini yang absen dari presiden. Birokrasi bekerja sendiri-sendiri dan tidak ada monitoring serta kontrol efektif dalam pencegahan korupsi, terutama untuk memastikan pengawasan berjalan.

Pengawasan internal mestinya jadi komponen penting dalam pencegahan korupsi. Presiden bisa menggunakan lembaga pengawas internal seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau inspektorat untuk mengawasi birokrasi yang jadi prioritas. Jika ketahuan korupsi, langsung diambil tindakan oleh presiden. Pelaku korupsi langsung menerima sanksi internal dan kebijakan diperbaiki sebelum kasusnya menjadi tindak pidana. Namun, jika praktik korupsi terus berjalan meski sudah diperingatkan, itu jadi tugas penegak hukum. Pengawas internal seharusnya menjadi sumber informasi bagi penegak hukum, bukan malah menutup-nutupi praktik korupsi seperti yang selama ini terjadi.

Dengan waktu tersisa saat ini, agaknya sulit berharap kepada presiden sekarang. Problem kebijakan tak efektif bukan hanya dalam pemberantasan korupsi, juga bisa dilihat pada banyak persoalan lain. Negara dianggap absen karena presiden tak bekerja secara nyata untuk menyelesaikan bermacam persoalan. Saatnya kita mendorong presiden baru kelak agar pemberantasan korupsi memiliki prospek di masa depan, terutama dengan visi pencegahan yang kuat untuk melengkapi penindakan yang telah dilaksanakan oleh KPK.

J Danang Widoyoko, Koordinator Badan Pekerja ICW

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004317206
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger