Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Oktober 2014

Keluar dari Jebakan Involusi (Ignas Kleden)

SETIAP bangsa mengalami bahwa tidak ada perkembangan sosial yang bersifat unilinear, bagaikan jalan lurus ke depan dengan gerak maju yang serba mulus. Selalu ada faktor-faktor obyektif yang dapat menghambat.
Sekalipun demikian, kemajuan tak hanya ditentukan oleh faktor-faktor obyektif, tetapi juga oleh peranan subyektivitas orang-orang yang terlibat di dalamnya, Kemajuan demokrasi di Indonesia yang tadinya banyak dipuji dunia luar telah menandai tahun-tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peralihan pimpinan nasional yang berlangsung tanpa krisis politik adalah hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Tak ada lagi "perang suksesi".

Memang, konflik horizontal masih muncul di sana-sini, dan beberapa aksi teroris masih terjadi, demikian pula ketegangan sektarian antarkelompok. Meski demikian, pemerintahan berjalan tanpa krisis politik. Rakyat menikmati kebebasan menyatakan pendapat, sementara pers Indonesia tak lagi diintimidasi intervensi penguasa. Di atas semuanya, dunia menaruh hormat yang tinggi karena rakyat Indonesia dapat memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat secara langsung, mulai tingkat tertinggi menyangkut presiden dan anggota DPR hingga tingkat paling bawah dalam pemilihan kepala desa.

Kemudian dalam kampanye calon presiden di televisi tahun ini muncul pertanyaan dari pihak Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, apakah pemilihan kepala daerah masih perlu diteruskan secara langsung atau sebaiknya melalui DPRD. Alasannya, pemilihan langsung banyak bersangkut paut dengan hubungan kedaerahan dan kekerabatan serta mudah menimbulkan konflik horizontal, di samping membutuhkan biaya amat besar. Pemilihan tak langsung oleh DPRD akan menghemat triliunan rupiah. Jokowi menjawab, hal terpenting dalam pemilihan langsung adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Persoalan biaya dan penyelesaian konflik horizontal adalah masalah teknis yang harus diselesaikan dan bisa diselesaikan.

Jangan salahkan rakyat
Dengan argumen-argumen yang solid, banyak penulis telah membantah keberatan terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung. Tulisan ini memilih untuk memberi perhatian khusus kepada alam pikiran atau visi soal perkembangan sosial. Pada titik inilah dipertaruhkan subyektivitas dalam menghadapi kemajuan. Rakyat kita sering dipersalahkan dalam banyak hal, tetapi rakyat tidak bisa dipersalahkan karena meluasnya praktik politik uang di Indonesia. Siapa yang mulai memperkenalkan politik uang?

Dengan pasti bisa dikatakan, politik uang berawal dari para elite politik karena merekalah yang mempunyai dana dan kemudian percaya bahwa kehendak rakyat dapat dibeli dengan uang. Lalu terjadilah transaksi, lalu berkembanglah jual-beli suara. Dalam jual-beli ini, lambat laun permintaan suara oleh para elite politik terus meningkat sehingga, sesuai dengan mekanisme pasar, permintaan yang meningkat akan menaikkan harga suara pemilih. Transaksi jadi mahal dan menyebabkan pemilihan kepala daerah
memerlukan biaya tinggi, bahkan sangat tinggi.

Namun, biaya tinggi hanyalah akibat politik transaksional yang diperkenalkan elite politik. Ironis sekali bahwa yang merupakan akibat ini kemudian dijadikan sebab dan alasan dalam menolak pemilihan langsung dan menggantinya dengan pemilihan tak langsung oleh DPRD. Padahal, biaya tinggi itu bisa diatasi kalau para elite politik menghentikan praktik politik uang, sambil mendidik masyarakat bahwa pemilihan bukanlah pasar gelap dengan tawar-menawar secara liar, tetapi hak dan kesempatan bagi rakyat untuk menentukan siapa yang layak dan sanggup memimpin mereka meningkatkan taraf hidup dan menciptakan kesejahteraan dengan keadilan.

Tentu saja setiap kampanye perlu biaya  (untuk transportasi, iklan, atribut, konsumsi pertemuan, dan lain-lain). Namun, biaya kampanye tidak perlu mencakup dana untuk membujuk konstituen dan membeli suara mereka. Sayangnya, setelah politik transaksional ini menjadi amat mahal, rakyat kembali dipersalahkan seakan mereka belum cukup matang untuk memilih secara langsung sehingga pemilihan kepala daerah harus diserahkan kembali ke DPRD.

Semua orang tahu, DPR di Indonesia sekarang ini pada segala tingkatannya bukanlah lembaga negara dengan nama yang harum. Sebuah survei tentang Indeks Demokrasi Indonesia yang dilaksanakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan bahwa dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain seperti pemerintah daerah, pengadilan atau partai politik, DPRD adalah lembaga negara yang mempunyai indikator kinerja paling buruk untuk tahun 2013. Dengan tiga tingkat skor yang ditetapkan, yaitu 80-100 sebagai indikator kinerja yang baik, 60-79 untuk kinerja yang sedang, dan di bawah angka itu adalah indikator kinerja yang buruk, skor untuk kinerja DPRD adalah 36,62.

Dapat dibayangkan jadinya kalau pilkada akan dilaksanakan lembaga dengan kinerja yang paling buruk ini. Pengandaian bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD bakal lebih murah biayanya dan lebih baik hasilnya sudah dapat ditolak sejak awal. Selain itu, pilkada oleh DPRD akan membuat posisi politik kepala daerah tak independen terhadap DPRD dan menghilangkan kesetaraan Trias Politika di daerah.

Peristiwa ini terjadi pada saat pemilihan langsung di Indonesia mulai mengilhami beberapa negara lain untuk melakukan hal yang sama. Malaysia, Myanmar, dan Mesir sedang berpikir untuk menerapkan pemilihan langsung, sementara Hongkong bergolak dalam Umbrella Revolution untuk menuntut pemilihan eksekutif Hongkong secara langsung dan menolak sistem pemilihan melalui perwakilan yang dikehendaki Pemerintah Beijing. Suatu koinsidensi yang amat menyakitkan bahwa saat puluhan ribu pengunjuk rasa berdemonstrasi di pusat keuangan Hongkong menuntut pemilihan langsung sambil menghadapi hadangan polisi, DPR kita memutuskan melalui voting pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali berlaku.

Kemajuan digugurkan
Diberlakukannya pilkada secara tak langsung ini menjadi contoh bagi aborted progress, yaitu kemajuan yang mengalami keguguran atau digugurkan oleh subyektivitas orang-orang yang terlibat di dalamnya, khususnya mereka yang mengambil keputusan. Kecenderungan ini mengakibatkan gagalnya perkembangan menuju tahapan yang lebih maju karena prosesnya melingkar-lingkar ke dalam dengan kerumitan semakin tinggi, tetapi hanya menghasilkan gerak di tempat.

Tidak terjadi evolusi karena perkembangan terjebak dalam involusi, yang buat sebagian disebabkan oleh subyektivitas yang ingin maju, tetapi takut menanggung risiko dan konsekuensi kemajuan. Ada keinginan mendukung penegakan hukum dan gerakan anti korupsi, tetapi keinginan ini mengalami keguguran karena disertai kehendak untuk membubarkan Komisi PK. Ada keinginan untuk mempunyai kabinet dengan menteri-menteri yang clear and clean, tetapi langkah Presiden Jokowi untuk meminta nasihat KPK tentang nama-nama calon menteri dipersoalkan.

Ada hasrat memajukan pendidikan nasional, tetapi perencanaan pendidikan selalu bersifat centang perenang karena dikelabui kepentingan pragmatis.  Dari tahun 1945 hingga 2014 sudah terjadi pergantian kurikulum  sebanyak 10 kali, yang berarti setiap kurikulum rata-rata  berlaku kurang dari 7 tahun.   Atau, ada keinginan menegakkan kedaulatan rakyat, tetapi hak rakyat memilih pemimpinnya diambil kembali dan diberikan kepada DPRD.

Kecenderungan kepada aborted progress ini bahkan terlihat juga pada Presiden Yudhoyono menjelang akhir masa jabatannya. Dalam sebuah pernyataan publik, dia mengumumkan bahwa dirinya dan partai yang dipimpinnya bakal mendukung pilkada secara langsung. Dengan kekuasaan legislasinya yang besar sebagai presiden, dia dapat mencabut kembali Amanat Presiden pada RUU Pilkada dengan akibat RUU ini batal dibahas dan tidak diperdebatkan dalam DPR. Apa pun sebabnya, hal ini tidak dilakukannya.

Selain itu, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dia dapat memerintahkan fraksi partainya untuk mendukung penuh opsi pemilihan langsung. Yang terjadi kemudian adalah Fraksi Partai Demokrat menyatakan meninggalkan sidang paripurna ketika menghadapi voting, dengan akibat bahwa opsi pilkada melalui DPRD dimenangi Koalisi Merah Putih. Akan menghina kecerdasan umum (insulting public intelligence) kalau kita masih diminta percaya bahwa langkah Fraksi Partai Demokrat itu diambil tanpa sepengetahuan atau bahkan bertentangan dengan kehendak Ketua Dewan Pembina.

Dua usul dapat diajukan di sini demi perbaikan. Pertama, para legislator kita di DPR sebaiknya merenungkan kembali tugas utama mereka sebagai wakil rakyat dan tidak bertindak semata-mata sebagai machttechniker atau teknisi kekuasaan yang lihai memainkan kekuasaan, tanpa sensibilitas sedikit pun tentang yang akan ditanggung rakyat akibat permainan mereka dengan kekuasaan. Menurut nasihat Bung Karno, machtsvorming, yaitu perebutan kekuasaan, adalah hal penting dalam politik karena politik tanpa kekuasaan adalah nonsense. Namun, perebutan kekuasaan harus disertai dengan kemampuan menggunakan kekuasaan demi kepentingan umum, perlu disertai machtsaanwending karena tanpa kapasitas penggunaan kekuasaan dengan benar, para legislator akan bertindak seperti pemilik mobil mewah yang tidak tahu menyetir Jaguar dan menabrak mati orang-orang di jalanan.

Kedua, dalam jangka panjang psikologi aborted progress sangat perlu diatasi. Setiap political will baru ada artinya apabila tujuan yang dikehendaki dalam politik, tidak digugurkan di tengah jalan karena orang tidak bersedia menanggung risiko dan konsekuensi dari tujuan yang hendak dicapai. Tidak akan membawa kemajuan apa pun kalau setelah melantik Presiden Jokowi bersama wakilnya Jusuf Kalla pada 20 Oktober yang lalu, langsung ada niat untuk menjatuhkannya melalui pemakzulan (impeachment) setelah satu atau dua tahun, atau mempersulit implementasi kebijakannya di DPR melalui kekuasaan mayoritas anggota Dewan.

Dalam hal itu, negara maju seperti Amerika Serikat atau negara lain amat memuliakan apa yang dinamakan national interest. Dengan berbagai perbedaan paham dan perbedaan kepentingan tiap orang akan tunduk pada apa yang mereka yakini sebagai kepentingan nasional. Lawan politik yang bersaing keras dengan seorang presiden dalam masa kampanye dan pemilu akan merasa hormat kepada presiden yang telah dipilih oleh rakyat dan siap membantunya apabila diminta. Kalau ini tidak dilakukan, kita akan terus-menerus terjebak dalam aborted progress karena kita sendiri menciptakan hambatan bagi tercapainya apa yang diinginkan dalam politik nasional.

Dalam hal ini, pimpinan nasional sepatutnya menjadi representasi yang hidup bagi kepentingan nasional dan tidak maju mundur untuk menyelamatkan kekuasaan dan citranya sendiri, dengan berusaha menyenangkan segala pihak. Yang kita inginkan adalah kehadiran seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam keadaan kritis dan berkata dengan penuh keyakinan: ini tanggung jawab saya. Seorang pemimpin tidak perlu mengatakan segala sesuatu, tetapi yang dikatakannya haruslah dapat dipercaya dan dijadikan pegangan seluruh bangsa.

Ignas Kleden Sosiolog; Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009751198
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kembali ke Teknokrasi (Arif Sumantri Harahap)

DI dalam filsafat Jawa ada istilah "mamayu hayuning bawono", artinya "menata kehidupan dunia lebih baik". Itu menjadi tugas para wiku, batara, dan begawan, yang sekarang ini dapat diartikan sebagai kaum teknokrat.
Joko Widodo telah menjadi presiden dan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Dalam pidato pertama setelah pelantikan, Jokowi mengajak kita untuk bekerja, kerja, dan kerja agar Indonesia Raya menjadi kuat, makmur, dan besar.

Namun, pengumuman Kabinet Kerja yang perlu waktu sampai seminggu setelah pelantikan memicu berbagai tanggapan. Ketika Presiden Soekarno pada tahun 1960 memutuskan membentuk Dewan Pembangunan Nasional, ia menunjuk wakil-wakil dari Nasakom dan Golongan Fungsional. Tidak ada seorang pun ahli dari universitas.

Yang khas saat itu adalah kepentingan struktur fisik pada perencanaan yang dihasilkan oleh dewan itu. Meliputi 17 sektor, hal itu dimuat dalam 8 jilid buku yang berisi 1945 alinea. Total melambangkan 17-8-1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rencana itu tidak berhasil mencapai target karena tujuannya terlalu ambisius serta tidak konsisten dengan kenyataan ekonomi dan sosial di negeri ini.

Pergantian Presiden Soekarno kepada Soeharto ditandai oleh pembentukan pemerintah radikal dalam hal kebijakan negara. ABRI memegang kekuasaan untuk meluputkan  negara dari kejatuhan ke dalam komunisme dan mencegahnya dari kehancuran ekonomi.

Barangkali karena kelompok militer mengutamakan disiplin dengan cara berpikir yang rasional dan realistis, mereka sadar untuk melibatkan ilmuwan dalam membangun negara. Pada tahun 1966, Soeharto meminta jasa kaum cendekia untuk duduk dalam Tim Ahli Ekonomi Presiden. Sebagian besar adalah ahli ekonomi dari Universitas Indonesia, seperti Ali Wardhana, Moh Sadli, Emil Salim, dan Subroto. Mereka adalah para teknokrat yang didefinisikan sebagai  engineer or social scientist  in position of power. Sebelumnya mereka berkumpul di Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas) yang diketuai Widjojo Nitisastro.

Yang menarik perhatian dari pergantian pimpinan nasional dari Presiden Soekarno kepada Soeharto adalah menonjolnya peranan kaum teknokrat. Pendidikan keahlian mereka umumnya dari  Amerika Serikat. Oleh sebab itu, tidak mengejutkan jika David Ransom di dalam Ramparts menyebut mereka sebagai "Berkeley Mafia". Artikel itu dianggap bias, tetapi introduksi masalahnya cukup sukses karena menunjuk pada latar belakang pendidikan teknokrat-kita itu yang berasal dari University of California, Berkeley.

Indonesia dan globalisasi
Menurut kalangan akademisi, dalam membentuk  kabinet ada tiga hal penting. Pertama, dari luar kita sedang menghadapi globalisasi tanpa mengenal batas negara, seedless. Arus globalisasi tidak dapat dibendung, menerpa peri kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Kedua, menghadapi masalah dalam negeri yang marak dengan korupsi dan kemiskinan. Globalisasi, masalah korupsi, dan kemiskinan terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, menghadapi ketiga masalah ini, kabinet setidaknya harus memiliki teknokrat yang diandalkan.

Selain tiga begawan di atas, posisi menteri luar negeri juga diharapkan dapat menjalankan politik luar negeri RI bebas aktif secara konsekuen, tidak mudah dibelokkan ke kanan atau ke kiri. Posisi menteri luar negeri penting karena mencerminkan pandangan presiden dalam menjalankan haluan negara yang mengutamakan kepentingan di dalam negeri. Untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut diperlukan teknokrat yang ahli dalam bidangnya. Pilihan Presiden Jokowi terhadap Retno LP Marsudi diharapkan bisa mengawal kebijakan politik luar negeri yang bisa memasarkan Indonesia untuk kesejahteraan rakyat.

Proses seleksi
Keinginan dua serangkai JKW-JK  membentuk kabinet  sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengalaman Soekarno dan Soeharto. Hanya saja, kabinet JKW-JK sarat dengan muatan politik, keseimbangan etnik, jender, agama, profesional, dan ambisi untuk mengembalikan bangsa Indonesia pada kejayaan sejarah Nusantara di bawah Sriwijaya atau Majapahit.

Boleh saja hal itu terjadi, tetapi dalam mewujudkannya perlu bantuan kelompok individu untuk memberikan masukan kepada presiden dan wakil presiden sebelum keputusan diambil. Untuk itu terdapat dua cara dalam menyeleksi  para pembantu presiden ini, yaitu dengan menggunakan metode posisi (position method) dan reputasi (reputation method).

Dengan metode posisi, kita melihat posisi strategis dalam pengambilan keputusan di negeri ini. Siapa yang mendudukinya akan mempunyai pengaruh besar. Orang-orang ini mengendalikan persimpangan lalu lintas informasi dan arus komunikasi yang menentukan dari pemerintahan sehingga pemilihannya perlu berhati-hati. Tidak hanya keahlian yang perlu diperhatikan, tetapi juga integritasnya.

Dengan metode reputasi, yang dilihat bukan pekerjaan atau kedudukan, melainkan reputasi atau "keterkenalan" orang itu dalam membuat keputusan. Mungkin mereka tidak dalam posisi tingkat tinggi, tetapi sudah terkenal sebagai "otak" yang menentukan kebijakan.

Seorang yang berposisi tinggi yang menandatangani setiap keputusan mungkin saja hanya "tukang stempel". Ia menandatangani apa saja yang diajukan pembantu-pembantunya. Tidak diragukan lagi nama-nama teratas yang masuk dalam kategori metode di atas antara lain Dr Ing BJ Habibie yang kala itu sedang berada di luar negeri.

Dia diminta Soeharto pulang ke Indonesia untuk mengisi jabatan Menteri Riset dan Teknologi dalam Kabinet Pembangunan. Untuk itu jangan sungkan untuk memanggil pulang apabila ada teknokrat Indonesia yang sedang mengajar di luar negeri.

Bukan boneka
Isu yang dilontarkan Koalisi Merah Putih tentang adanya "tangan asing"  yang mendukung pemerintahan Jokowi  patut mendapat perhatian. Teknokrat yang berpendidikan luar negeri bukanlah pemerintahan ras para ahli atau oleh ahli-ahli asing. Teknokrasi sebenarnya tidak bertentangan dengan demokrasi karena partai politik terwakili.

Dalam pemerintahan yang teknokratis, partai politik ditantang untuk menampilkan politisi-politisi ahli yang tidak sekadar populer. Tugas berat ini harus dilaksanakan partai koalisi dan oposisi agar sistem politik Indonesia tidak terarah pada  pola yang tidak senjang.

Pemerintahan membutuhkan politisi-politisi yang dapat menghubungkan secara baik antara mereka dan rakyat. Pemerintah memerlukan keikutsertaan para politisi yang mengenal dan berhubungan erat dengan rakyat. Keikutsertaan mereka akan menambah kepekaan terhadap masalah yang dihadapi rakyat. Dengan demikian, pemerintah lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat dan sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi.

Jika teknokrat dan politisi terpisah dari rakyat , ia tidak dapat bertahan lama. Yang penting pemerintahan Jokowi konsisten untuk melaksanakan janji pemilu dan pidato pelantikannya untuk bekerja keras "mamayu hayuning bawono".  Agar Ibu pertiwi tidak menangis, rakyat berharap Kabinet Kerja segera dapat mewujudkan kesejahteraan merata di seluruh bumi Nusantara.  

Arif Sumantri Harahap Dosen Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama); Mantan Diplomat RI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009751179
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Desa, Tertinggal, Transmigrasi (Ivanovich Agusta)

BERATNYA amanat kepada pemerintah dalam Undang-Undang Desa (UU No 6/2014) ataupun ketransmigrasian (UU No 29/2009) membuhulkan relevansi pendirian Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Apalagi secara faktual telah terjadi perubahan pola pendorong transformasi desa sejak 1984, dari masyarakat kepada pemerintah. Indikasinya, bantuan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam anggaran desa mengisi 76 persen (total
Rp 13,5 triliun) pada tahun 2011. Adapun pendapatan dari dalam desa hanya mencapai 18 persen (total Rp 3 triliun).

Sayang, selama ini pemerintah kesulitan memandang totalitas desa di Tanah Air. Miopia tersebut mencakup ketidaktahuan secara pasti tentang jumlah dan tingkat perkembangan desa hingga kesulitan menemukan kaidah beserta jalur pembangunan desa yang khas.

Kurangnya kesadaran tentang lanskap totalitas desa menghasilkan perencanaan pembangunan yang minimal. Selama periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, misalnya, 24 kementerian dan lembaga berencana memasuki hanya sekitar 12.500 desa.

Ironisnya, 54 persen desa (42.000) dimasuki Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Selain bersifat ad hoc bagi swasta (dibandingkan dengan kerja rutin birokrasi pemerintah), program yang disokong donor luar negeri ini lebih mengedepankan kerja konsultan daripada pembangunan desa sendiri.

Dari dokumen utang Indonesia kepada donor untuk PNPM Mandiri Perdesaan periode 2012-2015, tertulis 69 persen utang (450 juta dollar AS) ditujukan bagi konsultan pendamping dan tenaga ahli.

Program pemberdayaan yang bertujuan meningkatkan kapasitas warga desa dalam persaingan pasar ini pun mengerucut kepada desa-desa maju yang lebih mampu bersaing. Desa swasembada sebagai peringkat desa termaju hanya berjumlah 3 persen dari semua desa. Namun, 65 persen lokasi PNPM diletakkan pada kelas desa ini.

Berlawanan dari hal tersebut, desa swadaya masih mencapai 46 persen. Sayang kelas yang setara dengan desa tertinggal ini hanya dikunjungi 1-7 persen program pembangunan.

Kaidah pembangunan desa
Jumlah desa terus meningkat dari 69.000 tahun 2003, 70.000 tahun 2005, 75.000 tahun 2008, 80.000 tahun 2011, hingga diperkirakan 86.000 tahun depan. Namun, perencanaan yang minim dan kebijakan berbasis persaingan antardesa di atas telah menyempitkan akses terhadap pembangunan.

Pada masa depan, kesalahan kebijakan itu perlu diperbaiki sesuai dengan kaidah pembangunan yang khas tersusun dari kondisi desa nusantara sendiri. Pertama, konstitusi dan beragam peraturan perundang-undangan turunannya senantiasa mencantumkan visi kesejahteraan warga negara sebagai tujuan akhir pembangunan. Berdasarkan visi itu, dapat diambil kebijakan afirmatif yang disusun khusus bagi desa swadaya atau tertinggal, baru selanjutnya diarahkan kepada desa swakarya atau desa transisi.

Kedua, peningkatan pembangunan berlangsung serupa pada beragam tipologi desa. Landasan evolusi desa dalam kebijakan selama ini—yaitu dari desa hutan menuju desa sawah lalu menjadi desa industri dan jasa—ternyata tidak memiliki bukti-bukti riil di sini.

Sebaliknya, desa-desa persawahan, perkebunan, pesisir, pertambangan, perindustrian, dan jasa ada yang berposisi tertinggal sampai yang maju. Konsekuensinya strategi pembangunan desa dilarang seragam. Keragaman kebijakan desa seharusnya disesuaikan dengan tipe geografi dan tipe mata pencarian tersebut.

Ketiga, pola pelaksanaan pembangunan desa mencipta kurva kecepatan S. Desa tertinggal ataupun desa maju secara relatif sama-sama lambat berproses untuk membangun. Sebaliknya, desa swakarya atau transisi justru sangat responsif terhadap umpan-umpan pembangunan.

Perbedaan pola kecepatan tersebut menimbulkan kebutuhan diperbesarnya alokasi pembangunan bagi desa tertinggal. Adapun pada desa-desa transisi perlu disusun kelembagaan pengawal perubahan sosial yang sangat cepat.

Keempat, substansi pembangunan sendiri perlu disesuaikan dengan peringkat desa. Statistika desa menunjukkan memang terdapat substansi inti yang harus selalu tersedia, yaitu program kesehatan, layanan transportasi, peningkatan kapasitas pemerintah desa, dan pemberdayaan masyarakat.

Program air minum
Secara khusus pada desa tertinggal perlu ditambah program air minum dan kelembagaan keagamaan. Pada desa transisi tambahan program yang dibutuhkan lebih banyak lagi, meliputi listrik, pos dan telematika, energi, pengembangan industri, kredit, perdagangan, lembaga kemasyarakatan, dan permukiman. Desa-desa maju hanya perlu tambahan program industri, energi, pendidikan, dan perdagangan.

Desa-desa transmigrasi selama ini mengikuti pola serupa. Tambahan kekhasan di wilayah transmigrasi ialah dualisme masyarakat lokal dan pendatang.

Untuk mengintegrasikan keduanya, lazim dikembangkan transmigrasi swakarsa yang dikembangkan masyarakat sendiri. Di samping lebih mahir mempertimbangkan potensi sumber daya lokal, transmigran swakarsa lazimnya juga piawai menjalin hubungan dan menghindari konflik dengan warga lokal.

Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan IPB

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009764467
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Hilangnya Kearifan Politik (Kompas)

PIMPINAN dan alat kelengkapan DPR akhirnya terbentuk. Koalisi Merah Putih menyapu bersih pimpinan DPR dan pimpinan komisi.
Pemilihan pimpinan komisi memunculkan kekisruhan dalam Rapat Paripurna DPR. Penguasaan pimpinan komisi oleh Koalisi Merah Putih direspons dengan mosi tidak percaya yang diajukan parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat. Mereka membentuk DPR tandingan.

Dinamika politik di DPR menunjukkan hilangnya kearifan politik anggota DPR. Nafsu memperebutkan pimpinan komisi tanpa mempertimbangkan representasi dari kekuatan politik lain menandakan tiadanya kedewasaan politik DPR. Sama konyolnya ketika sejumlah fraksi di DPR membentuk "DPR tandingan" dan menyatakan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR serta mendorong Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Presiden tak perlu ditarik dalam konflik internal di dalam DPR!

Dari semua komisi yang telah memilih pemimpin, tak ada representasi dari Koalisi Indonesia Hebat yang berkekuatan 246 anggota. PDI-P sebagai pemenang Pemilu 9 April dan punya 109 kursi di DPR tidak punya wakil, baik di pimpinan DPR maupun pimpinan komisi. Begitu juga PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP.

Kegagalan partai pemenang pemilu menduduki kursi pimpinan DPR dan pimpinan komisi melawan logika demokrasi. Lazimnya, partai pemenang pemilu selalu menjadi Ketua DPR, seperti ketika Marzuki Alie menjadi Ketua DPR setelah Partai Demokrat memenangi Pemilu 2009. Namun, realitas politik Indonesia berkata lain. Kegagalan atau digagalkannya PDI-P menjadi pimpinan DPR adalah karena persiasatan politik DPR saat menyusun Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). UU MD3 disahkan 8 Juli 2014, sehari sebelum Pemilu Presiden atau setelah Pemilu Legislatif 9 April 2014 diketahui.

UU MD3 tahun 2014 mengubah cara pemilihan pimpinan DPR. Dalam UU No 27/2009 tentang MD3 disebutkan, "Pimpinan DPR terdiri dari satu orang ketua dan empat wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan suara terbanyak". Jika aturan itu dipertahankan, PDI-P akan menjadi pimpinan DPR. Namun, UU MD3 yang disahkan setelah Pemilu 9 April diketahui mengubah aturan itu menjadi: "Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota dalam satu paket yang bersifat tetap".

Moralitas hukum seperti apa yang sebenarnya dianut perancang UU MD3 tahun 2014. UU MD3 semata-mata sebuah persiasatan politik untuk meraih kekuasaan dengan cara yang seolah-olah demokratis. Situasi ini menggambarkan DPR yang seharusnya adalah negarawan ternyata masih politisi. Kondisi ini mengingatkan kita akan James Clarke, intelektual Amerika Serikat, yang mengatakan, "Seorang politisi berpikir tentang pemilihan ketika seorang negarawan berpikir tentang generasi masa depan."

Kisruh DPR itu akan dicatat sejarah dan dibaca anak cucu kita sebagai peristiwa politik memalukan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009802985
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Ketegangan Bayangi Banglades (Kompas)

ADA kekhawatiran, vonis hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Penjahat Perang Banglades akan mendorong negeri itu masuk dalam krisis politik.
Bahkan, bisa jadi, tidak hanya krisis politik, tetapi juga perang saudara bernuansa sektarian, yang selama ini memang sudah berulang kali terjadi. Mengapa demikian?

Yang divonis mati hari Rabu lalu adalah seorang politisi Islamis terkemuka, Motiur Rahman Nizami. Ia dituduh melakukan kejahatan perang saat berkobar perang kemerdekaan pada tahun 1971, yakni perang pembebasan Banglades dari Pakistan.

Motiur Rahman Nizami ketika itu adalah ketua sayap mahasiswa Jamaat-e-Islami. Ketika pecah perang kemerdekaan, Jamaat-e-Islami, yang merupakan partai tertua di Pakistan—didirikan pada tanggal 26 Agustus 1946—termasuk kelompok yang menentang kemerdekaan Banglades. Mereka kemudian bergabung dan berkolaborasi dengan militer.

Perang kemerdekaan ini, menurut Bangladesh War Crimes Tribunal, menewaskan tiga juta orang. Lebih dari 200.000 perempuan diperkosa; memaksa lebih dari 10 juta orang mengungsi ke India dan 10 juta orang lainnya hidup tercerai-berai di Banglades.

Nizami, yang kelompoknya mendukung militer, didakwa terlibat dalam kejahatan perang tersebut. Karena itu, ketika pada tahun 2010 dibentuk Pengadilan Penjahat Perang, Nizami menjadi salah satu tokoh yang diadili dengan tuduhan terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, pemerkosaan massal, dan kejahatan internasional lainnya. Dan putusannya adalah Nizami dihukum mati.

Ada yang berpendapat bahwa hukuman mati terhadap Nizami itu sebagai bagian dari usaha pemerintah yang sekarang di bawah pimpinan Sheikh Hasina dari Liga Awami, untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Sejak tahun 1980-an, Jamaat-e-Islami berkoalisi dengan Partai Nasionalis Banglades pimpinan Begum Khaleda Zia, musuh bebuyutan Sheikh Hasina.

Tentu, pendapat seperti itu dibantah pemerintah, yang bertekad untuk membersihkan semua orang yang terlibat dalam kejahatan perang. Maret 2013, ketika pengadilan menjatuhkan delapan pemimpin Jamaat-e-Islami, dijawab dengan pemogokan dan protes massal di seluruh negeri yang menelan 60 korban jiwa, terutama aparat keamanan, dan perusakan berbagai sarana publik.

Kekhawatiran semacam itulah yang kini membayangi Banglades, meskipun tentu pemerintah Sheikh Hasina sudah siap menghadapinya. Hanya saja, jika hal itu terjadi, pasti akan mendorong Banglades terjungkal ke dalam krisis politik seperti yang sudah-sudah dan korban jiwa pun akan berjatuhan. Sementara itu, masih banyak persoalan lain, seperti kemiskinan yang belum terselesaikan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009802083
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Yudi Latif: Demokrasi Pancasila Disingkirkan

DINAMIKA di Dewan Perwakilan Rakyat saat ini menandakan Demokrasi Pancasila telah dipinggirkan. Semangat kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi pangkal Demokrasi Pancasila disingkirkan para anggota DPR karena yang menyatukan mereka saat ini adalah kepentingan sesaat dan ketakutan.

Demokrasi Pancasila memiliki empat ciri. Pertama, keputusan politik berdasarkan kepentingan bersama. Kedua, keputusan dibuat tidak dengan logika mayoritas-minoritas, tetapi menyertakan semua kepentingan dan kelompok, bahkan dari mereka yang paling kecil. Ketiga, politik diorientasikan untuk jangka panjang, bukan kepentingan sesaat. Keempat, yang dikembangkan adalah toleransi positif, bukan toleransi negatif. Toleransi positif dibangun berdasarkan hikmat kebijaksanaan, sedangkan toleransi negatif dibentuk oleh politik transaksional. (NWO)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009808381
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 30 Oktober 2014

Selamat Datang Kementerian Agraria (Usep Setiawan)

AKHIRNYA, Presiden Joko Widodo mengumumkan 34 nama menteri dan kabinet yang dinamainya Kabinet Kerja. Kehadiran Kementerian Agraria dan Tata Ruang menjadi salah satu pembeda antara postur Kabinet Kerja dan kabinet sebelumnya.
Jokowi memercayakan Ferry Mursyidan Baldan—politisi Partai Nasdem yang pernah menjadi anggota DPR dari Partai Golkar—sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang. Kehadiran Kementerian Agraria meniupkan angin segar bagi kita yang mendambakan penyelesaian masalah-masalah agraria yang kronis dan genting. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah, maraknya sengketa dan konflik agraria, kapitalisme dan sektoralisme dalam kebijakan, serta degradasi ekologi menuntut penuntasan segera.

Kelembagaan pemerintah yang mengurus agraria terus berubah dari masa ke masa. Komitmen JKW-JK untuk "menjalankan kembali" reforma agraria dan "menghidupkan kembali" Kementerian Agraria patut diapresiasi sekaligus disikapi secara kritis.

Kita memahami hubungan agraris warga negara dengan tanahnya abadi dan hakiki. Hubungan manusia dengan tanahnya berupa "pemilikan", dan/atau "penguasaan", atau bisa juga "pemanfaatan", dan/atau "penggunaan". Sumber agraria bisa berupa tanah, lahan pertanian, hutan, kebun, tambang, laut, pesisir, pantai, lembah, bukit, danau, sungai, dan sebagainya. Cakupan pengertian tanah dan kekayaan alam yang terkandung dalam pengertian "agraria" bersifat kompleks. Kompleksitas keagrariaan ini menyangkut aspek sosial, budaya, hukum, politik, ekonomi, religi, bahkan pertahanan dan keamanan. Perhatian terhadap masalah agraria makin penting mengingat sebagian besar penduduk sangat bergantung pada tanah masih melarat.

Mayoritas rakyat miskin di Indonesia hidup di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan di pedesaan dan pedalaman. Beragam profesi, seperti petani, buruh tani, petani penggarap, dan nelayan tradisional, serta masyarakat adat menjadi realitas sosial yang masih jauh dari kesejahteraan. Kajian kelembagaan agraria menggambarkan: kewenangan yang tersebar di banyak instansi tanpa mekanisme koordinasi yang jelas, cenderung ego sektoral, tarik-menarik, hingga ketegangan kepentingan antarinstansi. Selama ini, tidak menyatunya arah dan kebijakan agraria nasional menghambat pencapaian tujuan umum pembangunan nasional: kemakmuran rakyat dan keadilan sosial.

Pembentukan Kementerian Agraria sebaiknya diabdikan untuk memperkuat dan memudahkan koordinasi kementerian dan lembaga terkait dalam satu arah kebijakan bagi pelaksanaan reforma agraria sejati.

Kelembagaan agraria
Eksistensi Kementerian Agraria hendaknya penggabungan Badan Pertanahan Nasional dengan unit pemerintah yang mengurusi penataan ruang, planologi dan perencanaan kehutanan, serta informasi geospasial. Penggabungan struktur ini diikuti dengan uraian tugas dan fungsi kelembagaan Kementerian Agraria yang sejatinya amanat Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, sesuai semangat Pasal 33 Ayat 3 Konstitusi UUD 1945. Kementerian Agraria hendaknya mengoordinasikan perencanaan pemilikan, penguasaan, pengusahaan, dan pemanfaatan atas seluruh tanah tanpa terkotak-kotak menjadi kawasan hutan dan hutan secara nasional, hingga detail tata ruang dan melakukan pencegahan perusakan rencana tata guna tanah, serta melakukan administrasi pendaftaran dan hak atas tanah seperti halnya selama ini dilakukan BPN.

Kebijakan satu peta
Kementerian Agraria mesti memastikan kebijakan satu peta (one map policy) dapat dijalankan efektif dan menjadi panduan semua kementerian sektoral yang ada. Kementerian Agraria juga menyelaraskan aturan tentang sektor-sektor agraria yang tumpang tindih dan menjadi pintu dalam merumuskan legislasi nasional baru yang terkait dengan agraria. Kementerian Agraria harus mengakhiri paradigma pembelahan kawasan hutan dan nonhutan yang membenturkan Kementerian Kehutanan dengan BPN. Obyek (tanah) untuk reforma agraria harus mencakup kawasan hutan (yang dapat dikonversi) dan nonhutan. Kementerian Agraria mesti menumpas ego sektoralisme antarlembaga di semua sektor.

Menteri Agraria harus dapat memastikan perencanaan peruntukan tanah, wilayah, dan kekayaan alam terkait pertanahan, perkebunan, kehutanan, energi/sumber daya mineral, pertanian, dan pesisir-kelautan berada dalam kerangka kerja yang sama. Di samping itu, punya keterkaitan dan dapat dikendalikan agar tak melahirkan ketimpangan baru serta tak melampaui daya dukung lingkungan penyebab bencana ekologi dan konflik agraria.

Visi dan misi Kementerian Agraria ini merujuk visi, misi, dan program aksi Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dalam sembilan agenda prioritas JKW-JK yang dikenal sebagai Nawacita, pada agenda kelima, tertuang komitmen "Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia", di antaranya melalui "…peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera dengan mendorong land reform dan kepemilikan lahan seluas 9 juta hektar…". (Mei 2014). Land reform sebagai bagian inti dari reforma agraria disebutkan secara eksplisit dalam Nawacita sehingga menaungi semua program aksi JKW-JK.

Penulis mengusulkan, visi Kementerian Agraria hendaknya "Menegakkan keadilan agraria sebagai perwujudan kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian bangsa". Mengingat strategis dan krusialnya fungsi dan kewenangan Kementerian Agraria, ia harus didukung pejabat dan aparatur yang berkompeten, berkapasitas, dan berintegritas. Kementerian ini perlu diperkuat para ahli, praktisi, dan pegiat agraria yang benar-benar memahami masalah agraria, dekat dengan rakyat dan mengerti bagaimana masalah agraria diselesaikan sejalan dengan arah baru kebijakan agraria.

Selamat bertugas Menteri Agraria beserta seluruh jajaran. Semoga tak sekadar menambah catatan panjang perubahan kelembagaan tanpa hasil nyata yang manfaatnya dirasakan rakyat. Mari bekerja dan berjuang mewujudkan keadilan agraria sebagai bagian dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

(Usep Setiawan, Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009751189
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Indonesia Pintar (Mohammad Abduhzen)

DARI Sembilan Agenda Prioritas (Nawacita) Joko Widodo-Jusuf Kalla, lima di antaranya—dalam skala berbeda—terkait dengan pendidikan.
Pada agenda nomor lima disebutkan bahwa pemerintahan JKW–JK akan menjalankan program "Indonesia Pintar" yang kegiatan utamanya meningkatkan kualitas pendidikan dan menjalankan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Rumusan ini tampaknya sebagai ikhtisar semua program pendidikan pemerintah baru. Memang masalah pendidikan, di mana saja, berkisar pada "akses" dan "kualitas".

Wajib belajar 12 tahun adalah persoalan akses, yaitu upaya memperluas kesempatan masyarakat memperoleh pendidikan lebih tinggi. Langkah ini penting karena, selain berimplikasi pada peningkatan angka partisipasi sekolah, juga berdampak pada angka rata-rata lama sekolah (mean years schooling/MYS) yang merupakan satu indikator kemajuan pembangunan manusia. Angka rata-rata lama sekolah kita masih rendah daripada Singapura 10,1 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, Brunei 8,6 tahun, dan Thailand 6,6 tahun. Laporan UNDP 2013 (Ritonga, Kompas 24/3) menyebutkan, rata-rata lama sekolah Indonesia hanya 5,8 tahun, artinya setara dengan sekolah dasar.

Pemerintah belum secara tegas menjalankan wajib belajar 12 tahun, apalagi bebas pungutan. Wajib belajar 9 tahun saja—yang dimulai 1994 dan ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003—hingga sekarang belum terkontrol secara baik sehingga aneka pungutan dengan beragam alasan tetap terjadi.

Saat ini, pemerintah menggunakan istilah "pendidikan universal" untuk melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Alasannya, belum ada payung hukum dan mempertimbangkan, anggota UNESCO tidak mengenal wajib belajar pendidikan menengah. UU Sisdiknas Pasal 34 Ayat (2) hanya menyebutkan wajib belajar "minimal" pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Atas dasar ini, barangkali di bagian lain visi-misi JKW–JK ditegaskan akan memperjuangkan UU Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dari segala pungutan.

Terlepas dari implikasinya pada sistem penganggaran dan tradisi UNESCO, adanya kata "minimal" dalam ayat di atas memungkinkan pemerintah menjalankan program wajib belajar 12 tahun tanpa disamarkan dengan "pendidikan universal." Pemerintah bahkan tak harus menunggu—juga tidak memerlukan—UU tersendiri. Kelak, ketentuan ini cukup diakomodasi dalam pasal terkait saat revisi UU Sisdiknas yang memang mendesak.

Terkait perluasan akses pendidikan tinggi, pemerintahan JKW-JK akan meningkatkan pemberian subsidi kepada perguruan tinggi negeri sehingga akses warga miskin untuk mendapatkan pendidikan tinggi semakin besar. Dengan demikian, diharapkan angka partisipasi kasar dan murni pendidikan tinggi yang rendah—menurut Badan Pusat Statistik, angka partisipasi kasar dan murni pendidikan tinggi tahun 2013 adalah 23,06 persen dan 18,08 persen—segera meningkat.

Ke depan, peningkatan akses pendidikan hendaknya senantiasa mempertimbangkan dan bersama upaya peningkatan mutu. Pengalaman pada masa lalu mengajarkan bahwa memprioritaskan akses dengan mengesampingkan kualitas menjebak kita dalam situasi buruk berkepanjangan sehingga kini Indonesia tampak belum juga pintar.

Kualitas pendidikan
Arah dan upaya peningkatan mutu mendatang tampaknya bertumpu pada pendidikan karakter seperti tergambar dalam agenda nomor delapan: "Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. Kurikulum akan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan; menyeimbangkan pendidikan budi pekerti dan karakter bangsa dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi".

Penataan kurikulum adalah suatu keniscayaan bagi pemerintahan baru. Keniscayaan itu bukan hanya karena Kurikulum 2013 penuh anomali, melainkan lebih daripada itu karena pemerintahan JKW-JK memiliki paradigma baru, yaitu revolusi mental yang tidak kompatibel dengan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013, meskipun sering diklaim untuk pendidikan karakter, senyatanya hanyalah konglomerasi hal-hal bagus yang tak membentuk suatu koherensi yang lugas sehingga sering kali membingungkan.

Maka, pada awal masa transisi ini, pemerintah sebaiknya menghentikan terlebih dahulu pelaksanaan Kurikulum 2013 yang menyedot dana triliunan itu. Sembari mempersiapkan cetak biru (blue print) yang holistis, pemerintah perlu membuat kebijakan (short cut) yang menyederhanakan program-program pembelajaran. Alokasi dana untuk Kurikulum 2013, jika dimungkinkan oleh sistem, dialihkan buat pelatihan motivasi dan kinerja guru dalam rangka revolusi mental.

Pengutamaan pendidikan karakter dan kebudayaan dalam program Indonesia Pintar secara implisit menggambarkan bahwa "pintar" tidak sekadar bersifat kognitif. Term "pintar" dapat merupakan obyektivikasi kata "cerdas" sebagaimana cita-cita bangsa. Jika didefinisikan dengan tepat, pendidikan karakter akan relevan dengan Pasal 3 UU Sisdiknas yang menyatakan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa.

Dalam platform JKW-JK ditegaskan, 10 prioritas utama pendidikan karakter yang intinya, pertama, kurikulum akan mengedepankan pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang proporsional. Untuk pendidikan dasar, pembobotan menekankan 70 persen substansinya pada budi pekerti dan karakter, sedangkan untuk pendidikan tinggi, 60 persen politeknik dan 40 persen sains. Kurikulum juga akan diarahkan membangun pemahaman hakiki tentang kebinekaan yang tunggal ika dengan menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan nasional. Untuk itu, pemerintah telah berkomitmen tidak akan memberlakukan lagi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, di antaranya ujian nasional.

Kedua, meningkatkan kualitas guru dengan merekrut tenaga berkualitas dan mendistribusikannya secara merata. Kualitas guru tentunya disesuaikan dengan kebutuhan revolusi mental dan model pembelajarannya. Selain memerlukan desain baru pelatihan, agenda ini juga menuntut perubahan peran, eksistensi, dan substansi LPTK. Distribusi guru akan didukung oleh perbaikan sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan. Guru daerah terpencil akan diberikan jaminan hidup memadai melalui tunjangan fungsional, asuransi, fasilitas memadai, dan promosi karier.

Ketiga, memprioritaskan pembiayaan pendidikan untuk penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi unggulan yang diberikan secara reguler dan terintegrasi dengan pengembangan pendidikan tinggi.

Cetak biru baru pendidikan
Pendidikan karakter adalah sebuah labirin yang mudah membawa pada kesesatan logis sehingga memerlukan kecermatan. Pertama, pendidikan karakter bukanlah suatu atau beberapa mata pelajaran atau program yang diajarkan tersendiri, tetapi meliputi "semua" proses pendidikan. Terbentuknya watak/karakter (personal) dan kebudayaan/peradaban (komunal) merupakan efek kumulatif dan sinergis dari seluruh upaya pembelajaran dengan berbagai faktor bawaan dan lingkungan.

Kedua, pembobotan dengan persentase penekanan substansi pembelajaran tidak salah sejauh tidak bersifat dikotomis. Proses pembelajaran memang harus disesuaikan dengan tingkat kepekaan psikologis murid yang biasanya terkait dengan usia.

Pembobotan akan berbahaya jika didasarkan pada dikotomi atas kelompok mata pelajaran pembentuk karakter, seperti Agama, Budi Pekerti, Kewarganegaraan, dengan kelompok mata pelajaran sains dan Matematika yang dianggap tidak atau kurang berhubungan dengan karakter. Dikotomi seperti ini akan cenderung mengabaikan pengembangan nalar saintifik yang induktif dan nalar matematik yang deduktif, terutama pada kelas yang lebih rendah. Padahal, nalar yang sehat merupakan basis karakter yang baik dan kuat yang mesti dibentuk sejak belia.

Ketiga, mengutamakan pendidikan karakter melalui sekolah berpotensi menggiring proses pendidikan ke lorong sempit konservatisme dan fundamentalisme pendidikan yang menekankan masa silam sebagai orientasi korektif atas masa kini dan antisipatif atas masa depan. Proses pendidikan akan dipenuhi pelatihan watak dan pencekokan moral di satu sisi dan indoktrinasi serta penjejalan pikiran—bukan mengajar berpikir—dengan nilai-nilai dan informasi yang akan diuji pada sisi yang lain. Alhasil, bangsa ini bukannya semakin pintar, malah akan menjadi irasional dan tidak kreatif.

Keempat, lembaga pendidikan, di mana saja, merupakan sebuah subsistem sosiopolitik sehingga yang terjadi di dalamnya adalah turunan dari induk sistemnya. Mengharapkan karakter baik dan kuat tumbuh melalui pendidikan dalam sebuah sistem korup dan feodal, tanpa melakukan reformasi menyeluruh, adalah kesia-siaan. Guru bukanlah Si Pahit Lidah (tokoh dalam legenda Sumatera Selatan) yang dapat mengubah apa saja melalui kata-kata. Maka, Indonesia Pintar membutuhkan cetak biru baru pendidikan yang mengubah dengan menderivasi ide revolusi mental dan Trisakti dalam satu kerangka strategi operasional yang utuh, padu, dan rasional.

(Mohammad Abduhzen, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009633770
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Memaknai Pembangunan Manusia (Tommy F Awuy)

PRESIDEN Joko Widodo mendirikan kementerian baru dengan nama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Segera saja muncul pertanyaan, "pembangunan manusia"?
Sebuah frase macam apakah ini? "Pembangunan" dan "manusia", mungkinkah kedua istilah yang jelas memiliki pemahaman dengan latar yang berbeda disatukan menjadi sebuah frase yang mampu memberikan isian yang bertujuan praktis untuk kemajuan nyata sebuah bangsa dan negara?

Sesungguhnya konsep "pembangunan manusia" itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Pada masa Orde Baru, konsep ini sudah muncul dan termasuk problem hakiki dalam pembangunan bangsa dan negara secara umum. Konsep ini tentu tidak muncul begitu saja. Benih pembangunan ekonomi (economic development) khususnya sudah muncul terlebih dulu sejak awal Orde Baru yang dianggap sebagai panglima menggantikan politik sebagai panglima bagi Orde Lama dengan semboyan character building (pembangunan karakter).

Konsep "pembangunan ekonomi" mengandung pengertian kuat dari perspektif positivistik yang serba terukur di mana fakta-fakta ekonomi padu dengan perhitungan-perhitungan matematis sebagaimana terwakili dalam pengukuran nan sakti, gross national product (GNP) atau produk nasional bruto. Ukuran pembangunan sebuah bangsa diukur dari sana, apakah sebuah negara layak disebut negara maju (developed country) atau negara berkembang (developing country). Teori "tinggal landas" yang sangat terkenal dan menjadi begitu paradigmatis dari WW Rostow kala itu tak lepas dari pengukuran tersebut.

Pergeseran makna
Pada tahun 1990, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) membuat langkah maju dalam konsep pembangunan bangsa dan negara dengan memublikasikan human development report (HDR). Dari sini muncul kritik dan revisi terhadap konsep "development" yang dihegemonik oleh pengukuran positivistik, khususnya ketika konsep pembangunan tersebut diterapkan pada keberadaan diri manusia menjadi "human development". HDR pun pada hematnya bukanlah barang baru diukur dari publikasi pertama UNDP itu. Pada tahun 1968, seorang ekonom dan negarawan asal Pakistan, Mahbub Ul Haq,  mengeluarkan konsep "human development" yang lalu mendapatkan partner yang sangat tepat, yakni Amartya Sen, dalam mengembangkan konsep "human development" tersebut.

Baik Mahbub Ul Haq maupun Amartya Sen tak sekadar menyoroti pembangunan ekonomi dari dalam diri ekonomi itu sendiri. Mereka memaknai hubungan pembangunan ekonomi yang tak terlepas dari pembangunan manusia secara lebih luas, terutama dari filsafat dan lebih khususnya lagi ethics di antara bidang filsafat lainnya seperti ontology (being) dan epistemology (knowledge).

Program utama dari Mahbub Ul Haq dan Amartya Sen adalah menyampingkan pendekatan positivistik dengan alasan bahwa manusia bukanlah obyek dalam pembangunan ekonomi, melainkan subyek, dan sebagai subyek, manusia tidak semata-mata bisa dilihat sebagai makhluk yang total rasionalistik lalu mengurung dirinya dalam pengukuran GNP. Sebuah pendekatan yang mendapat dukungan kuat dari UNDP.

Amartya Sen misalnya menginterpretasikan lagi etika Aristoteles, Adam Smith, filsafat politik John Locke, Thomas Hobbes, JJ Rousseau, John Rawls, dan lain-lain. Dua konsep tentang etika eudaimonia (kebahagiaan) dari Aristoteles dan konsep "kebebasan" (freedom) dari para filsuf pendiri negara demokrasi itu diramu menjadi sebuah pemikiran etika ekonomi yang bercorak khas dan baru. Tepatnya Sen dianggap sangat cemerlang memasukkan konsep etika filosofis ke dalam ekonomi yang mengantarkannya menjadi pemenang Hadiah Nobel untuk bidang ekonomi.

Mahbub Ul Haq mengartikan pembangunan manusia itu pada "pilihan manusia" (people choices). Pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia dilihat sebagai ruang pilihan-pilihan sebagaimana manusia memiliki berbagai potensi dalam dirinya untuk kemudian mampu memilih di antaranya untuk eksis. Musuh pembangunan manusia dan ekonomi tak lain adalah menutup ruang-ruang pilihan itu sehingga manusia tak mampu menemukan dan memenuhi kebutuhannya sendiri sebagaimana jika kita sekadar tunduk pada perhitungan GNP.

"Kebebasan" (Sen) dan "pilihan manusia" (Haq) merupakan dua konsep yang membuka berbagai dimensi kualitas kemanusiaan bagi makna pembangunan manusia yang lalu tercakup dalam tiga kategori besar: kesehatan (health), pendidikan (education), dan standar kehidupan (living standards).  Dari sinilah makna indeks pembangunan manusia (human development index) itu muncul dan digunakan hingga saat ini. Intinya pada "kebebasan memilih" sebagai landasan etika.

Kementerian pembangunan manusia?
Dalam perkiraan yang sangat optimistik, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dikemukakan Presiden Jokowi sangatlah terkait dengan latar belakang di atas. Dengan hadirnya kementerian baru ini, harapan untuk mewujudkan semboyan "revolusi mental" terbuka luas sekaligus sebagai sebuah tantangan yang luar biasa berat.

Becermin pada masa Orde Baru, pembangunan manusia melahirkan jargon yang enak disebut tetapi berbeban makna alangkah berat, yakni "manusia seutuhnya". Seperti apa dan siapakah manusia seutuhnya itu sebagai panutan? Manusia menjadi sempurna apabila dalam kehidupan keseharian bermasyarakat dan bernegara sepenuhnya mengikuti doktrin Pancasila (versi penguasa). Siapakah panutannya? Tak mudah menunjuk langsung, tetapi secara semiotik (interpretasi tanda) kita bisa membacanya pada slogan "bapak pembangunan", siapa lagi kalau bukan Soeharto?

Sebuah kementerian baru dan menteri yang dari segi usia, pengalaman, dan pengetahuan (?) tergolong "belia", Puan Maharani. Layaklah apabila muncul reaksi spontan dari berbagai kalangan atas kementerian baru ini terkait dengan kemampuan Puan Maharani untuk menghidupi lembaga tersebut. Program macam apa yang bisa dibuat dan diaplikasikan? Tantangan paling signifikan tertuju pada konsepsi tentang manusia itu sendiri sekaligus kekhawatiran apabila Puan Maharani tak memiliki model khas dan terbuka, reformis, maka berjaga-jagalah untuk terjerumus pada slogan manusia seutuhnya ala Orde Baru—Soehartoistik itu.

Tantangan lain adalah pada nama kementerian itu sendiri yang terkesan sekadar menerjemahkan "human development" menjadi "pembangunan manusia". Apa yang mau dibangun dari manusia? Sedangkah dia tertidur pulas lalu sudah saatnya harus dibangunkan?

"Pembangunan manusia" sebagaimana HDR jelas tertuju pada dimensi kualitas atau mutu eksistensial bukan melihat manusia sebagai seonggok tubuh yang menyimpan potensi yang bisa diekspos menjadi seperti mesin yang bekerja secara mekanistik lalu berujung pada eksploitasi demi keuntungan "pihak-pihak tertentu". Jika mungkin kementerian ini bisa dibaca sebagai "kementerian peningkatan kualitas manusia dan kebudayaan" atau "kementerian peningkatan mutu kemanusiaan dan kebudayaan". Lebih manusiawi maknanya. Siapa tahu?

(Tommy F Awuy, Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009763695
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Heboh Penculikan di Meksiko (Kompas)

KASUS penculikan dan pembantaian 43 mahasiswa keguruan di Meksiko semakin menggambarkan betapa kejinya sindikat narkotika di negeri itu.
Hilangnya 43 mahasiswa di dekat kota Iguala, sekitar 130 kilometer sebelah barat daya Mexico City, sejak 26 September lalu, menimbulkan kehebohan dan guncangan hebat di seluruh negeri. Kehebohan dan guncangan bertambah karena mayat ke-43 mahasiswa ditemukan dalam kuburan massal.

Rupanya para mahasiswa diculik kemudian dibantai dan dimasukkan ke dalam satu kubur oleh pelaku kejahatan. Gelombang protes melanda sejumlah tempat di seluruh negeri. Pemerintahan Presiden Enrique Pena Nieto dikecam karena dinilai gagal menciptakan keamanan seperti sering dijanjikannya.

Seluruh negeri benar-benar dilanda kegalauan oleh kasus penculikan yang begitu menggemparkan. Beragam spekulasi muncul tentang otak dan pelaku penculikan. Teka-teki mulai terkuak awal pekan ini ketika empat anggota sindikat narkotika Guerreros Unidos tertangkap, yang dicurigai berada di balik kasus penculikan.

Kasus penculikan, pembunuhan, dan penguburan massal atas 43 mahasiswa memperlihatkan ancaman sindikat narkotika sangat berbahaya. Paling tidak 100.000 orang tewas terkait aktivitas sindikat narkotika sejak tahun 2007. Bahaya lebih besar muncul karena sindikat narkotika sudah menyusup masuk ke dalam kalangan politisi dan aparat keamanan.

Tragedi penculikan di Meksiko semakin menggambarkan betapa absurdnya mentalitas pejabat dan aparat keamanan. Kisah penculikan berawal dari penyergapan polisi terhadap bus yang membawa para korban. Keprihatinan semakin mendalam setelah terkuak penyerbuan dilakukan aparat kepolisian bersama anggota sindikat Guerreros Unidos atas suruhan Wali Kota Iguala Jose Luis Abarca, yang ingin memasung gerakan mahasiswa.

Rupanya Abarca marah terhadap gerakan mahasiswa yang dianggap menghalangi upaya istrinya menjadi Wali Kota Iguala untuk menggantikan dirinya. Abarca pun menyuruh polisi dan anggota sindikat Guerreros Unidos untuk menculik dan membunuh mahasiswa. Ternyata pula istri Abarca merupakan anggota sindikat Guerreros Unidos yang termasuk gembong mafia yang ditakuti. Pasangan suami-istri Abarca kini menghilang.

Keterlibatan Nyonya Abarca dalam sindikat narkotika bukanlah fenomena aneh dalam aktivitas mafia narkotika dan sindikat kokain di negara-negara Amerika Latin. Kerja sama antara sindikat narkotika dan pejabat serta aparat keamanan merupakan persoalan klasik yang menyulitkan pemberantasan sindikat dan mafia narkotika di Amerika Latin ataupun di Asia dan Afrika. Mereka tidak peduli atas kehancuran orang lain, terutama generasi muda.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009787863
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Perburuan Kursi Kekuasaan (Kompas)

Anggota DPR memang menyandang status "Yang Terhormat" meskipun perilaku politiknya amat jauh dari sikap terhormat.
Sejumlah media massa, Rabu, 29 Oktober 2014, memasang foto anggota DPR menjungkirbalikkan meja di Ruang Rapat Paripurna DPR sebagai protes atas sidang penetapan pimpinan komisi dan alat kelengkapan Dewan. Dualisme kepengurusan di Partai Persatuan Pembangunan ikut menjadi penyebab terjadinya kericuhan.

Kericuhan dalam Paripurna DPR merupakan lanjutan dari persaingan pemilu presiden. Buntut pemilu presiden yang dimenangi Joko Widodo membuat Koalisi Merah Putih, pendukung Prabowo, berjuang dan berhasil menguasai pimpinan DPR dan MPR serta pimpinan komisi.

PPP yang awalnya berada di Koalisi Merah Putih berpindah ke pendukung Koalisi Indonesia Hebat setelah tak mendapatkan pos di pimpinan MPR. Presiden Joko Widodo menempatkan kader PPP, Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama. Namun, konflik kepengurusan di PPP yang tak kunjung terselesaikan memicu kekisruhan di DPR.

Kericuhan di Paripurna DPR memalukan karena substansi yang diperjuangkan adalah perebutan kursi pimpinan komisi. Perebutan kursi pimpinan komisi tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat. Keinginan PDI-P untuk musyawarah dalam penentuan pimpinan komisi dengan sistem proporsional tak terwujud. Penguasaan pimpinan komisi oleh Koalisi Merah Putih ditanggapi dengan munculnya mosi tidak percaya terhadap pimpinan DPR oleh Koalisi Indonesia Hebat.

Perilaku politik DPR 2014 mengecewakan publik. Nafsu berkuasa lebih dominan daripada semangat musyawarah mufakat berbagi peran dengan kekuatan politik lain untuk membangun bangsa. Dalam sejarah DPR, baru pada DPR 2014-2019 inilah partai pemenang pemilu dan menjadi partai pemerintah tidak punya representasi di pimpinan DPR dan pimpinan MPR, bahkan pimpinan komisi DPR.

Jika dalam sistem demokrasi kadang berlaku prinsip the winner takes all, di Indonesia kini the looser takes all. Dalam era Orde Baru yang otoriter partai "oposisi", seperti PPP dan PDI-P, masih mendapatkan pos Wakil Ketua DPR dan Wakil Ketua MPR. Bahkan, dalam pimpinan komisi, ada kader PPP dan PDI-P menjadi ketua komisi.

Penempatan posisi pimpinan komisi seharusnya mengedepankan prinsip kompromi untuk mencapai konsensus. Ada prinsip etis dan kepantasan dalam mengatur komposisi pimpinan komisi dan tidak hanya mengedepankan prinsip menang dan kalah, apalagi bersiasat menguasai. Yang terjadi di DPR seharusnya menjadi introspeksi bagi politisi Koalisi Indonesia Hebat untuk lebih luwes lagi dalam membangun komunikasi. Perburuan kekuasaan di DPR jauh dari semangat musyawarah. Upaya musyawarah coba dilakukan, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah perpolitikan untuk perebutan posisi pimpinan komisi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009783028
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Setelah Pemuda Bersumpah (ASEP SALAHUDIN)

TERSEBUTALH dalam kalender sebuah hari yang dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober.
Hari yang mengingatkan kita akan peristiwa 86 tahun silam ihwal ikrar yang digelorakan kaum muda tentang kesatuan bangsa, tanah air, dan bahasa.

Dhakidae (2001) menyebut Sumpah Pemuda sebagai Indonesian the holy trinity, tritunggal suci—bangsa, bahasa, tanah air. 

Sumpah yang dalam konteks kebangsaan sungguh penuh rajah sebab sumpah itu di kemudian hari bertemali dengan peristiwa politik yang bikin Indonesia "hamil tua", kemerdekaan yang menjadi cita-cita bersama 17 tahun kemudian diproklamasikan Soekarno dan Hatta. Teks Sumpah Pemuda dan teks proklamasi menjadi saudara kembar yang dipertalikan oleh kesamaan visi keindonesiaan. Yang membedakan hanya pilihan diksi, Sumpah Pemuda lebih serupa puisi karena memang dibikin penyair soneta Mohammad Yamin, sementara proklamasi mendekat kepada gaya prosa.

Puisi Sumpah Pemuda mengilhami prosa proklamasi. Dari sumpah verbatim kemudian menjelma tindakan-tindakan politik praksis kaum pergerakan. Dalam telaah Sutardji Calzoum Bachri, "Saya ingin menampilkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi karena selama ini teks Sumpah Pemuda itu melulu dilihat sebagai teks sosial politik. Padahal, teks itu menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas hemat, padat, kuat menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata yang bagaikan mantra."

Di titik ini kita menjadi mafhum tentang kekuatan kata-kata, ihwal bagaimana puisi memberikan kontribusi terhadap nyawa bangsa. Dalam sajak Subagio Sastrowardoyo: asal mula adalah kata/jagat tersusun dari kata/di balik itu hanya/ruang kosong dan angin pagi. Mungkin. Kata menjadi rumah eksistensial takhta kemanusiaan sekaligus kebangsaan seperti kata Martin Haidegger the house of being. Dalam syarah Jean Paul Sartre, J'ai commence mau vie vomme je la finirai sans doute: au milie des livres.

Definisi keindonesiaan
Sumpah itu menarik dikenang bukan karena sekadar dirumuskan kaum muda, melainkan isinya menggambarkan tentang definisi Indonesia yang dibayangkan: bersatu dalam pengalaman kemajemukan. Bahwa keragaman bahasa, budaya, dan agama tidak cukup dijadikan alasan ber-mufaraqah, tetapi sudah semestinya menjadi modal sosial membangun bangsa yang bersatu dalam keragaman, ika dalam kebinekaan atau kita menyebutnya NKRI.

Sayang, selama pengalaman negara despotik Orde Baru, NKRI itu sering kali ditampilkan dalam wajah negara dengan narasi tunggal penguasa dus anti terhadap segala bentuk perbedaan. Semua harus diseragamkan dan tidak diperkenankan mengambil pilihan yang bertolak belakang dengan penguasa. Kata Hatta, "persatuan" yang diam-diam menjadi "persatean".  Lebih tragis lagi negara memosisikan dirinya sebagai satu-satunya yang berhak menafsirkan hal ihwal, termasuk menafsir secara ontologis apa yang dimaksud "pemuda" itu.

Tersebutlah banyak peristiwa gelap yang berpusat pada kejadian-kejadian pelanggaran hak asasi manusia dan sampai hari ini belum tuntas penyelesaiannya secara hukum. Belum lagi korupsi yang nyaris berjemaah, penculikan dan kekerasan yang "direstui" negara, baik secara fisik maupun simbolik.

Kata-kata kemudian kehilangan daulatnya, bahkan dipaksa dialihkan kepada senjata seiring dengan angkatan bersenjata yang menguasai semua lini kehidupan politik bangsa. Kata-kata yang penuh "mantra" harus diberangus: buku yang dibakar, kitab yang dilarang beredar, risalah sastra yang haram disebar, bahkan kaum ilmuwan yang masih fasih berkata benar harus dibungkam.

Atas atmosfer jahiliah seperti ini ternyata tidak sedikit yang merindu untuk kembali ke alam kegelapan itu. Tragisnya datang dari sebagian kalangan yang mengaku cendekiawan, bahkan yang tempo hari ikut terlibat menumbangkan. Disahkannya UU Pilkada, diaraknya elite politik tak ubahnya pahlawan yang dahulu zaman kejayaan Orde Baru dijadikan musuh bersama, dan lain sebagainya.

Signifikasi Sumpah Pemuda
Justru di sinilah pentingnya Sumpah Pemuda itu dirayakan, sebagai interupsi ideologis atas segenap tata kelola negara yang bertentangan dengan akal sehat, menghinakan logika, dan bertubrukan dengan alam pikiran massa. Sumpah Pemuda harus terus digemakan justru ketika kesatuan bangsa terancam oleh banyak paham politik-keagamaan yang memiliki agenda tersendiri yang nyata-nyata menafikan eksistensi Pancasila dan UUD 1945.

Sumpah Pemuda mendapatkan tantangan manakala dalam proses berbangsa sampai hari ini, tanah air satu itu diam-diam bermetamorfosa menjadi "tanah air mata". Sementara bahasa Indonesia tidak pernah henti mengalami gempuran bahasa asing dan di sisi lain tidak pernah berhenti pula pemaknaannya dibajak oleh banyak kepentingan politik yang sesaat dan berjangka pendek.

Bahasa sebagai pemersatu yang disebut Sutan Takdir Alisjahbana sebagai salah satu mukjizat abad ini bergeser menjadi penuh epimisme dan kosakata yang menyesatkan disesuaikan dengan kepentingan kelompok.

Bahasa Indonesia yang dahulu disarankan Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1916 sebagai bahasa pengajaran karena kelugasan dan kesigapannya sekarang kita seolah tak menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia sekadar untuk Bakrie Tower, Jokowi effect, koalisi permanent, Pondok Indah Mall, The Lavande Residence, Mall of Indonesia, swalayan Indomaret. Bahkan, banyak pejabat dan "bangsawan pikir" yang seharusnya memberikan contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar sepertinya  belum sempurna berpidato kecuali di sana-sini ditaburi ungkapan istilah asing.

Signifikasi perayaan juga terletak ketika sekarang pada babakan reformasi sebagai antitesa orde sebelumnya justru serba terbalik dalam berbagai hal, termasuk mengalami surplus kata-kata dan defisit makna. Setelah 17 tahun Orde Reformasi itu berlangsung, yang tersisa adalah parade pidato yang isinya tak berisi, berebut mikrofon sekadar untuk menyampaikan teriakan yang tak lebih isinya sumpah serapah kepada mereka yang tak sehaluan.

Pada awal abad ke-21, mengingat Sumpah Pemuda teringat pada apa yang pernah dibilang La Tse, sang filsuf dari dataran Tiongkok, "Untuk memperbaiki negara, hal pertama yang harus dilakukan adalah terjaga dalam kata!" 

Dalam konteks kepemimpinan baru di bawah nakhoda Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah saatnya tidak terlampau banyak bicara, apalagi memburu citra, tetapi selekasnya bekerja. Program unggulan yang meliputi kepastian kehadiran negara sebagai pelindung, pelayan, mewujudkan kemandirian, memperteguh kebinekaan, meningkatkan kualitas dan produktivitas rakyat, membangun dari pinggiran, revolusi mental, serta mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim dapat lekas terwujudkan.

Dengan demikian, "Indonesia Hebat" bukan sekadar mimpi.

(ASEP SALAHUDIN, Intelektual Muda NU; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009669246
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 29 Oktober 2014

TAJUK RENCANA: Pemuda Sepanjang Masa (Kompas)

Bagi Indonesia, kaum muda tidak hanya pemilik masa depan, tetapi juga andalan masa lalu yang gemilang. Bayangkan tonggak Sumpah Pemuda 1928!
Sekarang ini orang ramai membicarakan tentang bonus demografi, yang mengacu pada peran kelompok muda produktif. Jelaslah, kaum muda merupakan modal penting sepanjang masa. Namun, bagaimana perlakuan dan pembinaan terhadap generasi muda yang menjadi harapan penggerak kemajuan bangsa dan negara pada masa mendatang? Bagaimana postur generasi muda Indonesia?

Sudah sering dibahas, peluang pembangunan dan kemajuan sangat terbuka lebar, tetapi jangan-jangan sulit dimanfaatkan karena persiapan sumber daya manusia yang kedodoran. Mayoritas tenaga kerja, misalnya, masih tamatan sekolah dasar. Tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia termasuk rendah di lingkungan Asia. Belum lagi tingkat pengangguran di kalangan sarjana tergolong tinggi. Atas dasar itu, muncul kekhawatiran peluang bonus demografi akan menjadi sia-sia.

Persoalan yang dihadapi generasi muda tidak terlepas dari masalah yang dihadapi oleh bangsa secara keseluruhan. Puluhan juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan, kesenjangan ekonomi cenderung melebar, sistem pendidikan dan layanan kesehatan kedodoran. Lebih memprihatinkan lagi, belum ada upaya terpadu untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa. Malah, kalangan elite asyik dengan tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi, mengabaikan kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Praktik korupsi terkesan merebak luas di kalangan pejabat dari pusat sampai ke daerah. Dana pembangunan dikuras oleh pejabat yang sudah kehilangan sikap tanggung jawab. Segala perilaku tidak terpuji itu telah menjadi sandungan berbahaya bagi negara dan bangsa yang dicita-citakan kaum muda, seperti tertuang dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Prinsip Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa sedang mengalami tantangan berat.

Semangat senasib dan sepenanggungan sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa terkesan tidak menguat, bahkan justru memudar. Solidaritas dan gotong royong meluntur karena kepentingan diri dan kelompok sudah diletakkan di atas kepentingan bersama, bangsa dan negara. Kiranya peringatan 86 tahun Sumpah Pemuda dapat dijadikan momentum untuk meneguhkan semangat menjadi satu dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan negara. Tuntutan membangun semangat persatuan semakin dibutuhkan dalam menghadapi berbagai tantangan rumit di tengah dunia yang terus berubah.

Tanpa semangat persatuan, perjuangan membangun Indonesia yang lebih kuat akan kedodoran. Begitu juga Indonesia tidak mungkin bergerak lebih cepat dalam mengejar kemajuan dan lebih tinggi menggapai cita-cita kemakmuran tanpa ditopang semangat persatuan, merasa senasib dan sepenanggungan sebagai satu bangsa.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009768531
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Inilah Pilihan Rakyat Tunisia (Kompas)

Kalau pemilu bebas, langsung, dan rahasia adalah ungkapan kebebasan rakyat menentukan masa depannya, itulah yang terjadi di Tunisia.
Hasil pemilu di Tunisia di luar perkiraan. Dalam berbagai jajak pendapat menjelang pemilu, yang unggul—meski tidak banyak dan cenderung tipis—adalah Al-Nahda (Kebangkitan). Inilah partai yang memenangi pemilu pertama setelah Revolusi 2011, yakni Oktober 2011. Ketika itu, Al-Nahda meraih 89 dari 217 kursi di parlemen. Sejak itu, Al-Nahda memimpin pemerintahan sementara serta menyusun konstitusi baru.

Akan tetapi, pemilu kali ini dimenangi Partai Nidaa Tounes (Panggilan Tunisia). Partai yang berideologi nasionalis-sekuler ini baru didirikan tahun 2012, sedangkan Al-Nahda sebagai gerakan didirikan tahun 1981.

Dalam pemilu kali ini, yang akan disusul pemilihan presiden pada 23 November mendatang, Nidaa Tounes meraih 80 kursi, sementara perolehan kursi Al-Nahda turun menjadi 67 kursi.

Mengapa Al-Nahda kalah? Mengapa rakyat lebih memilih memberikan suara kepada Nidaa Tounes, sebuah partai yang didukung kalangan usahawan (sisa-sisa rezim lama), tetapi juga dekat dengan kaum pekerja? Ada banyak sebab, tentunya. Namun, yang pasti, pemilu kali ini telah mempertegas konsolidasi demokratik Tunisia dan lebih memberikan harapan bagi kebangkitan kembali Tunisia.

Perkembangan politik dan keamanan regional (Timur Tengah), baik itu di Mesir, Suriah, maupun di Irak, kiranya memberikan pengaruh kepada rakyat Tunisia saat menentukan pilihan. Radikalisme telah mendominasi situasi di Suriah dan Irak dengan munculnya kelompok bersenjata Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Krisis politik di Mesir, yang berakhir dengan disingkirkannya Persaudaraan Muslim, bisa jadi memberikan masukan kepada rakyat Tunisia.

Rakyat Tunisia memiliki pengalaman, selama Al-Nahda berkuasa—meski terbangun pemerintahan koalisi dengan dua partai sekuler—Tunisia diwarnai oleh kerusuhan radikal bernuansa agama, termasuk penyerangan terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tunis pada September 2012. Bahkan, dua kali pembunuhan politik. Semua itu, melemparkan Tunisia ke jurang krisis politik.

Semua itu, kiranya, telah memberikan dorongan kepada rakyat untuk memilih partai yang diyakini akan mampu memberikan pertama-tama ketenangan politik dan keamanan, yang pada akhirnya akan memberikan jalan bagi pembangunan ekonomi. Yang dibutuhkan rakyat Tunisia adalah sebuah persatuan nasional ketika rakyat tidak lagi terpilah-pilah atas dasar garis-garis agama. Dengan demikian, cita-cita terbangunnya Tunisia yang demokratik—sebuah sistem politik yang memberikan kebebasan, kesetaraan, dan hak yang sama kepada seluruh rakyatnya—benar-benar terwujud.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009763384
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sumpah Bersejarah (Yonky Karman)

"Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya punya formulasi resolusi yang lebih elegan)," demikian bisik Mr Mohammad Yamin kepada Soegondo Djojopoespito, pemimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua, di Jakarta, sambil menyodorkan secarik kertas.
Saat itu, Mr Soenario Sastrowardoyo, penasihat panitia kongres, sedang berpidato pada sesi akhir. Soegondo membubuhkan paraf setuju untuk rumusan elegan resolusi kongres, diikuti peserta kongres lain.

Sebelum resolusi dibacakan, untuk kali pertama diperdengarkan alunan "Indonesia Raya" tanpa syair, dari gesekan biola komponisnya, Wage Rudolf Soepratman. Di rumah milik Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya, Jakarta, di situ insan Indonesia berusia 20-an tahun yang mewakili puluhan organisasi kepemudaan bersumpah "Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia." Sumpah itu kemudian menjadi bagian dari ingatan bangsa, sebuah tonggak sejarah nasional.

Sumpah berbangsa
Deaktivasi identitas lama yang berdasarkan pengelompokan demi sebuah identitas baru (bangsa) yang melampaui semua kelompok. Nasion (Latin: nasci, 'kelahiran') adalah entitas politik baru hasil suatu keputusan kolektif yang rasional. Maka, bangsa bisa ada sebelum negara dan kesadaran berbangsa mendahului kesadaran bernegara. Proses berbangsa sekat-sekat kelompok. Identitas kelompok tetap ada, sebuah keniscayaan bagi Bhinneka Tunggal Ika, tetapi kepentingan bangsa di atas segala-galanya.

Ada banyak pemuda Indonesia sebelum Sumpah Pemuda, tetapi sejarah nasional tidak berubah. Mereka hanya sebagai generasi seusia (coevals) dan generasi penerus, tetapi bukan generasi penentu. Kehadiran generasi penentu tidak hanya membuat ada yang berubah dalam sejarah, tetapi sejarah itu sendiri berubah.

Perubahan sejarah terjadi bukan karena peran generasi seusia semata, apakah itu generasi muda atau generasi tua, melainkan interaksi di antara keduanya sebagai generasi semasa (contemporaries). Demikian pembedaan kategori generasi dari JosÉ Ortega Y Gasset (1883-1955), filsuf Spanyol. Soekarno pernah berdiskusi di Gedung Sumpah Pemuda. Anggota panitia kongres, seperti Soenario, Johannes Leimena, Mohammad Yamin, dan Amir Sjarifudin, kemudian menjadi menteri Republik Indonesia. RCL Senduk, ahli bedah, kemudian ikut membentuk Palang Merah Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan terjadi bukan hanya karena peran mereka, melainkan juga peran aktif generasi muda, seperti Soekarni dan Wikana, dalam interaksi dengan generasi Soekarno yang berusia 40-an tahun.

Sumpah kepada bangsa
Untuk Indonesia, Oktober ini bulan sumpah. Sumpah para anggota DPR, sumpah presiden baru dan wakilnya, Sumpah Pemuda. Dua sumpah pertama berlangsung di gedung megah, diikrarkan demi Allah, dihadiri para tamu istimewa, menelan biaya sangat mahal. Mereka bersumpah kepada bangsa. Namun, sumpah tersebut biasanya tak dikenang lagi sebab akhirnya itu hanya bagian dari rutinitas kenegaraan. Dilupakannya sumpah tersebut juga karena kehilangan tuahnya. Sumpah itu jadi tak bertuah karena mereka yang bersumpah lebih takut kepada sanksi ketua partai daripada sanksi Tuhan. Mereka lebih tunduk pada kehendak koalisi partai daripada kehendak rakyat. Mereka memberhalakan kekuasaan. Mereka tak peduli bangsa sedang berjalan mundur.

Sebagai bangsa terbesar keempat di dunia, prestasi olahraga Indonesia di tingkat Asia kini malah pada urutan ke-17. Selalu ada korelasi positif antara prestasi olahraga suatu bangsa dan tingkat kemajuan ekonominya. Dengan kekuatan ekonomi yang bertumpu pada sektor konsumsi dan ekspor bahan mentah, imbas langsung pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah peningkatan kesejahteraan rakyat, ketersediaan lapangan kerja, dan pemuliaan martabat bangsa.

Sejarah Indonesia tidak akan berubah hanya dengan rentang usia anggota DPR 25-75 tahun atau sebagian besar anggotanya diisi wajah baru atau presiden yang belum 60 tahun. Namun, perubahan akan datang apabila sumpah jabatan itu dibayar dengan ketulusan untuk mengabdi bagi kepentingan bangsa. Mereka yang bersumpah mau jadi generasi penentu yang memutus kejumudan bangsa. Sekarang saja sudah ada tokoh reformasi mengambil bagian dalam kemunduran demokrasi. Elite politik memilih jadi pemain demokrasi dengan rakyat sebagai penonton. Dulu, para pemuda yang sebagian besar bukan politisi bersumpah untuk berbangsa. Kini, politisi yang bersumpah kepada bangsa malah berebut jabatan.

Jargon "Merah Putih" dan "Indonesia Hebat" hanya melestarikan keterbelahan politik sekaligus merendahkan kebangsaan. Kalau urusannya perebutan kursi kepemimpinan, mengapa tak sebut saja Koalisi A dan B? Masa depan bangsa tergantung dari pemimpin dan wakil rakyat yang konsekuen dengan sumpahnya, dalam satu tarikan napas Sumpah Pemuda.

Untuk Indonesia Raya
Daerah membentuk kerajaan tersendiri. Pulau dijual kepada swasta. Sebagian besar anggaran belanjanya untuk mengongkosi kemewahan eksekutif dan legislatif daerah. Pusat seperti tanpa otoritas atas daerah karena miskin keteladanan praktik dan moralitas politik. Kelemahan kontrol pusat ini dimanfaatkan penguasa dan pengusaha korup untuk mengeruk kekayaan negeri di daerah.

Saat berpidato di depan seratusan ribu orang yang hadir dalam Konser Salam Dua Jari, di Gelora Bung Karno, 5 Juli 2014, Joko Widodo berkata, "Saudara-saudara semua adalah pembuat sejarah, dan sejarah baru sedang kita buat." Rakyat sudah menorehkan sejarah baru dengan terpilihnya para wakil rakyat dan presiden rakyat. Kini mereka harus membuktikan diri sebagai wakil rakyat sejati (bukan wakil partai semata) dan presiden rakyat (bukan presiden koalisi). Partai pendukung presiden perlu mengambil jarak dan tak memaksakan kepentingan. Merekalah yang pertama akan mengkritisi kebijakan presiden untuk melindunginya dari serangan lawan politik. Baik bagi partai belum tentu baik untuk bangsa. Tetapi, baik bagi bangsa tentu baik bagi partai yang memang berjuang untuk rakyat.

Salah urus negara harus diakhiri. Pemimpin yang baik dan benar harus didukung untuk menakhodai perjalanan bangsa lima tahun ke depan. Hari-hari ke depan, kita akan melihat apakah kerja politik mereka yang mengangkat sumpah jabatan tersebut mampu melampaui kesempitan partai dan koalisi. Apabila politisi di parlemen masih memakai bahasa koalisi, kapasitas politik presiden seyogianya melampaui gramatika koalisi. Presiden adalah pemimpin bangsa, termasuk semua anggota di DPR dan MPR. Nurani mereka hanya bisa dimenangkan dengan kepemimpinan presiden yang baik, bersih, dan tulus untuk kepentingan bangsa. Kepemimpinan seperti itu pasti didukung penuh oleh rakyat. Pimpinlah orkes simfoni "Indonesia Raya" yang syair bait ketiganya berbunyi "S'lamatlah rajatnja. S'lamatlah poet'ranja. Poelaonja, laoetnja, semoea. Majoelah neg'rinja. Majoelah Pandoenja. Oentoek Indonesia Raja."

(Yonky Karman, Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009763728
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mencegah Bancakan BUMN (Ali Mutasowifin)

PRESIDEN Joko Widodo telah dilantik dan kabinet baru pun telah dipilih.
Seperti telah diduga, di antara mereka yang diangkat terdapat banyak kalangan yang selama ini dianggap telah berkeringat menyokong sang Presiden dalam kontestasi pemilu presiden yang lalu. Menteri memang jabatan politis, dan Presiden biasanya memiliki preferensi tersendiri dengan mempertimbangkan kompetensi dan representasi.

Yang sering luput dari perhatian, tak lama setelah pemerintahan berganti, beragam jabatan yang bukan jabatan politis dan seharusnya hanya diisi dengan pertimbangan kompetensi juga ditransaksikan sebagai kompensasi terkait kontestasi politik. Salah satu yang lazim dijadikan "hadiah" adalah jabatan komisaris badan usaha milik negara (BUMN).

Karena hadiah itu diberikan pemegang tampuk kuasa, sering kali BUMN tidak kuasa menolak. Ketidakmampuan BUMN menentukan langkah sesuai dengan kehendaknya sendiri pernah diakui mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Ia menyatakan bahwa BUMN saat ini belum merdeka sepenuhnya dari berbagai intervensi politik dan bisnis (Kompas, 18/8/2014).

Memang, sudah menjadi rahasia umum bahwa posisi komisaris BUMN acap menjadi bancakan, didistribusikan kepada para pejabat, mereka yang dekat dengan kekuasaan, serta orang-orang yang dianggap berjasa dalam upaya meraih kekuasaan. Kompetensi barangkali hanyalah pertimbangan nomor kesekian.

Salah satu contoh masalah ini terungkap saat berlangsungnya pilpres beberapa waktu lampau. Pemimpin terbitan Obor Rakyat, tabloid yang banyak menulis fitnah kepada Joko Widodo, ternyata Komisaris PT Perkebunan Nusantara XIII (PTPN XIII), sebuah perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang kelapa sawit dan karet. Padahal, ia yang juga adalah Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah Velix Wanggai diketahui pernah dipecat dari sebuah perusahaan pers karena "pelanggaran etika." Sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung pun membantah pernah meluluskannya. 

Memang, kasus Obor Rakyat itu membongkar fakta tentang buruknya praktik tata kelola perusahaan milik negara di Tanah Air. Aturan yang berlaku umum adalah "siapa kenal siapa" atau "siapa dibawa siapa". Kasus PTPN XIII yang harus menerima orang yang tidak tepat di tempat yang tidak tepat tentu bukanlah kasus tunggal, bahkan tampaknya merupakan fenomena puncak gunung es terkait praktik yang lazim berlaku di perusahaan-perusahaan pelat merah.

Praktik yang juga lazim adalah kala pemerintah, sebagai pemegang saham mayoritas di BUMN, menempatkan para penggede negeri semisal wakil menteri atau pejabat eselon 1 menjadi komisaris di perusahaan-perusahaan milik negara. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat di lingkungan istana, termasuk juru bicara presiden dan para staf khusus presiden, tak luput juga memperoleh "hadiah", menjadi pengawas perusahaan-perusahaan pelat merah. Tentu, keuntungan finansial berlimpah juga mengikuti posisi itu.

Komisaris sibuk
Selain persoalan kompetensi, bancakan BUMN ini juga mencuatkan masalah lain, yakni fokus, konsentrasi, dan kesempatan para komisaris. Pertengahan tahun ini, misalnya, pemerintah mengangkat Wakil Menteri BUMN dan Direktur jenderal Anggaran Kementerian Keuangan sebagai Komisaris Utama dan Komisaris Bank Mandiri. Padahal, sebenarnya6 masa jabatan komisaris lama belum berakhir, bahkan ada yang baru akan berakhir tiga tahun kemudian. Seperti biasa, tak ada penjelasan yang memadai pun masuk akal untuk aksi korporasi yang tak biasa seperti ini.

Masalahnya, di tengah-tengah kewajiban menjalankan urusan pemerintahan sehari-hari yang pasti sangat padat, sulit membayangkan mereka masih memiliki cukup energi dan kesempatan untuk fokus memikirkan detail urusan perusahaan. Apalagi, sebagaimana kerap terjadi, terkadang seorang pejabat menjadi komisaris di beberapa perusahaan pelat merah sekaligus.

Pengalaman penulis beberapa kali mengikuti rapat umum pemegang saham (RUPS) BUMN yang telah masuk bursa, sering para pejabat tersebut absen hadir bahkan untuk acara RUPS yang hanya setahun sekali.

Praktik semacam ini tentu merugikan BUMN karena posisi komisaris bukan sekadar sarana guna membagi-bagikan gula-gula kekuasaan belaka, melainkan memiliki peran sangat vital bagi perkembangan bisnis korporasi. Kondisi ini pernah diingatkan Fich dan Shivdasani (2004) dalam penelitiannya Are Busy Boards Effective Monitors? Mereka menemukan bahwa perusahaan yang diawasi komisaris yang sibuk lebih sering membukukan rasio nilai pasar/nilai buku serta laba operasional yang lebih rendah. Mereka juga membuktikan bahwa komisaris yang sibuk biasanya berkaitan dengan tata kelola perusahaan yang lemah.

Presiden Joko Widodo memiliki kesempatan bagus mewujudkan janji-janji kampanyenya dengan memutus kebiasaan buruk selama ini, dengan tak membagikan jabatan komisaris BUMN sebagai hadiah bagi mereka yang dianggap telah membantunya meraih kekuasaan. Itu karena, sesungguhnya yang paling berjasa mengantarkannya ke istana bukan mereka yang selama ini senantiasa mengiringinya, melainkan jutaan rakyat jelata yang mendambakan kesejahteraan.

(Ali Mutasowifin, Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009750425
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Babak Baru Ebola (Tjandra Yoga Aditama)

KITA sudah hampir setahun bersama wabah ebola. Kini ebola di dunia memasuki babak baru dalam penanggulangannya: sebagian menunjukkan keberhasilan dan sebagian masih menunjukkan kegagalan.
Salah satu keberhasilan penanggulangan ebola adalah perhatian dunia pada ebola terus meningkat. Seluruh dunia memberikan perhatian penuh pada ebola yang jumlah kasusnya sampai akhir Oktober 2014 sudah 9.000 orang lebih—sekitar 400 di antaranya petugas kesehatan—dan menimbulkan kematian pada lebih dari 4.500 orang.

Akhir Oktober 2014, Pemerintah Kanada memperkenalkan vaksin ebola edisi pertama, yang akan terus disempurnakan. Vaksin ini baru saja diterima WHO dan minggu terakhir Oktober dilakukan pertemuan yang langsung dipimpin Dirjen WHO untuk membicarakan kemungkinan pemanfaatan vaksin ini. Perkembangan vaksin baru lain adalah dimulainya penelitian pada puluhan ribu orang di Afrika untuk kandidat vaksin yang dihasilkan National Institute of Health AS.

Program penanggulangan yang baik juga sudah menunjukkan hasil. Senegal dan Nigeria pada Oktober 2014 sudah dinyatakan oleh WHO sebagai bebas ebola setelah 42 hari (dua kali masa inkubasi) tak ada kasus baru. Artinya, kalau penanggulangan dilakukan dengan benar dan saksama, ebola dapat dihilangkan dari suatu negara.

Kegagalan
Selain sejumlah keberhasilan di atas, sejumlah kegagalan dan tantangan juga terus dihadapi. Di tiga negara episenter ebola—Liberia, Guinea, dan Sierra Leone—kasus terus bertambah setiap hari. Penyakit juga sudah keluar dari Afrika, ditemukan kasus ebola di Eropa dan AS. WHO memperkirakan, kalau tidak ditangani dengan baik, kasus ebola Desember 2014 akan jadi 10.000 kasus baru setiap minggu. Para ahli juga membuat estimasi jumlah  kasus ebola pada Januari 2015 dapat mencapai 550.000 orang, atau bahkan sebenarnya akan ada 1,4 juta karena sebagian kasus tak terdeteksi atau tak terlaporkan.

Petugas lapangan di negara terjangkit di Afrika juga amat kurang, baik petugas kesehatan maupun petugas lain. Untuk tenaga pengubur jenazah yang aman (seperti diketahui, penularan ebola dari jenazah amatlah tinggi), misalnya di negara-negara wabah di Afrika, perlu 500 tim pengubur jenazah (lengkap dengan mobil jenazah khusus, alat pelindung diri khusus, pelatihan, dan lain-lain), dan kini baru ada 50 tim di lapangan.

Yang juga perlu mendapat perhatian adalah terjadinya penularan ke luar Afrika. Kasus pertama di AS, terbang dari Liberia masih tanpa keluhan, lalu setelah lima hari di AS baru gejalanya timbul. Artinya, penularan ebola antarbenua melalui pesawat terbang memang akhirnya telah terjadi. Secara medis, hal yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya penularan pada petugas kesehatan di AS dan Spanyol. Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama, inilah pertama kali terjadi penularan ebola antarmanusia di luar Afrika. Kedua, walaupun petugas kesehatan di AS dan Spanyol sudah menggunakan alat pelindung diri lengkap, toh mereka juga bisa tertular ebola dan jatuh sakit. Belakangan diketahui petugas kesehatan ini tertular karena menggunakan alat pelindung diri tanpa mengikuti prosedur yang benar, baik waktu mengenakan maupun ketika melepas.

Salah satu tantangan lain, sampai 2014 penyakit yang ditemukan pada 1976 ini belum ada obatnya yang ampuh yang dapat membunuh virusnya. Perhatian perusahaan farmasi besar juga tak terlalu besar. Selain pengobatan terhadap mereka yang sakit, upaya penting mencegah meluasnya penularan adalah menemukan dan mengarantina mereka yang mungkin berhubungan dengan pasien (disebut kontak). Dari satu pasien, dapat ditemukan puluhan dan mungkin ratusan orang yang harus diawasi. Ada lima bentuk pengawasan yang harus dilakukan selama 21 hari sesuai masa inkubasi ebola, tergantung dari pertimbangan epidemiologi yang ada.

Pertama, memeriksa suhu setiap pagi dan sore. Kedua, melarang mereka mendatangi tempat umum. Ketiga, meminta mereka tetap tinggal di rumah sakit (bagi petugas kesehatan). Keempat, meminta warga tak meninggalkan rumah selama 21 hari. Kelima, menyediakan ruangan karantina khusus.

Tentu tak mudah melakukan kegiatan karantina seperti ini. Di AS pernah ada pertimbangan untuk mengarantina semua penumpang satu pesawat terbang waktu ada seorang di antara mereka yang diduga ebola, juga penutupan stasiun di Dallas karena ada seseorang yang dicurigai sakit dan muntah di pelataran stasiun. Ada juga upaya untuk menelusuri keadaan kesehatan 800 orang yang pernah naik beberapa pesawat yang kebetulan juga dinaiki seorang pasien ebola. Pernah juga ada kapal pesiar yang harus membelokkan arah pelayarannya di sekitar Meksiko karena ada dugaan penumpang ebola di dalamnya.

Belum lagi dampak psikologis bagi mereka yang dikarantina selama 21 hari, tidak boleh kontak dengan orang lain sambil berpikir bahwa dalam tubuh mereka mungkin ada "bom waktu virus" yang setiap waktu mungkin menyerang dan mematikan. Bagaimanapun, kemungkinan karantina dalam berbagai tingkatannya memang merupakan bagian dari program penanggulangan penyakit amat menular seperti ebola ini, dan harus disiapkan.

Kesiapan Indonesia
Sampai saat ini belum ada kasus ebola di Indonesia dan juga belum ada di Asia, tetapi tentu kita harus siap dan waspada. Ada lima tahap yang kita lakukan dan harus terus ditingkatkan di Indonesia untuk mengantisipasi ebola yang kini sudah menjadi masalah kesehatan dunia dan sesuai perkembangan "babak baru" ebola sekarang ini.

Antisipasi pertama tentu kesiapan pintu masuk negara, khususnya bandara internasional. Ada tiga kegiatan di sini. Pertama, ketersediaan pos kantor kesehatan pelabuhan. Kedua, pemasangan thermal scan di bandara. Ketiga, pemberian kartu kewaspadaan kesehatan seperti yang diberikan kepada jemaah haji yang kembali ke Tanah Air. Kita patut bersyukur bahwa sejauh ini tidak terjadi ebola pada musim haji tahun ini.

Antisipasi kedua adalah kesiapan surveilans epidemiologi di lapangan. Hal ini maksudnya agar kalau ada kecurigaan kasus di masyarakat, kasus itu dapat segera ditemukan, dideteksi, ditangani, dan semua orang yang pernah kontak dengan kasus itu ada dalam pengawasan ketat. Kemungkinan karantina juga disiapkan dalam tahap ini. Dalam hal ini peran pemerintah kabupaten/kota menjadi amat penting untuk pelaksanaannya langsung di lapangan.

Antisipasi ketiga adalah kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan untuk menangani ebola, mulai dari peran pelayanan tingkat pertama sampai ke rumah sakit rujukan yang sudah kita siapkan di seluruh Indonesia. Pelayanan tingkat pertama tugasnya mendeteksi awal dan merujuk kasus yang dicurigai, termasuk menangani kontak yang berhubungan dengan kasus yang dicurigai itu.

Kesiapan rumah sakit bukan hanya kemampuan pengobatan, melainkan juga jaminan agar tak terjadi penularan pada petugas kesehatan, seperti sudah terjadi di negara lain, dan kesiapan kemungkinan karantina di rumah sakit. Artinya, perlu pelatihan terus-menerus bagi petugas di berbagai lapisan pelayanan dan juga alat serta ruangan memadai, sebagaimana sudah tersedia di rumah sakit rujukan di negara kita, dan harus terpelihara baik.

Antisipasi keempat, kesiapan laboratorium. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan sudah memiliki laboratorium dengan status Biosafety Level 3 (BSL 3), yang di dalamnya pengolahan virus dilakukan dalam alat Biosafety Cabinet 3 (BSC 3). Petugas andal juga tersedia, sejauh ini tidak ada masalah tentang reagen dan prosedur pemeriksaannya.

Antisipasi kelima, komunikasi risiko. Penjelasan ke masyarakat luas amat penting karena pemahaman masyarakat menjadi kunci penting keberhasilan program kesehatan. Masyarakat tak perlu panik dan takut berlebihan, tetapi perlu waspada dan mengenal penyakit ini secara benar. Kita tak dapat meramal secara pasti bagaimana perkembangan ebola pada masa depan dan apakah akan memengaruhi Indonesia atau tidak. Yang jelas, upaya antisipasi sudah kita lakukan dan akan terus digiatkan sesuai perkembangan penyakit di dunia.

(Tjandra Yoga Aditama, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009751224
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Melankoli Politik (Tulus Sudarto)

KECUALI di negara utopia, hanya outsider yang mampu mempertahankan jabatannya tanpa sempat memenangkan bangsanya. Selebihnya, seorang outsider hanya akan sibuk mengurusi masih berapa hari lagi usia jabatannya.
Begitulah komentar spontan yang muncul di Los Angeles Times persis sehari setelah pelantikan Jokowi sebagai presiden (21/10/2014).

Bisa saja opini LA Times ini tidak mewakili Amerika. Di mata Amerika, Indonesia di bawah Jokowi tetaplah tidak memberi garansi jangka panjang nan pasti akan stabilitas perkembangan. Amerika meragukan kepemimpinan Jokowi. Kuatnya kelompok oposisi dalam pemerintahan sekaligus minimnya jam terbang politik Jokowi tidak membuat Amerika antusias.

Sebagai pemain baru, Jokowi ibarat domba di tengah kawanan serigala. Secara moral dia dibutuhkan oleh masyarakat bangsa Indonesia untuk lepas dari kanker korupsi dan busuknya perpolitikan. Secara struktural, dia harus berhadapan dengan gurita politik dari pemain-pemain lama yang masih memegang kunci "kerajaan" Indonesia. Jokowi adalah nabi tanpa senjata.

Sebagus-bagusnya nabi, tanpa senjata (power) dia bukanlah apa-apa. Sejak detik pertama dia dilantik, Jokowi pastilah sudah mati kutu di mata kelompok oposisi. Keterpurukan total sejak krisis ekonomi membutuhkan figur pemimpin yang kuat, tegas, berpengalaman. Indonesia tidak sedang butuh nabi tampaknya.

Karakter unik
Syukurlah, atau lucunya, Indonesia hampir selalu luput dari teori politik mana pun. Lipat lekuk dan fleksibilitas memungkinkan masyarakat Indonesia menerima demokrasi dalam ke-aku-an filosofi politik yang begitu unik. Indonesia, ya, Indonesia. Artinya, Indonesia mempunyai teori demokrasi sendiri. Dalam literatur Barat,  masivitas kekerasan yang menyertai pertumbuhan demokrasi sudah pasti akan memorakporandakan suatu negeri.

Tetapi lihatlah Indonesia. Runtuhnya rezim Soeharto tahun 1998 yang dipandang sebagai anti-demokrasi tidak serta-merta membuat rakyat membenci Soeharto dan sistem anti-demokrasinya secara utuh, baik teknis maupun filosofis. Bahkan, ujaran-ujaran Orde Baru (apik zamanku biyen to) malah menjadi santapan harian.

Seburuk-buruknya pemerintahan otoriter Soeharto, tidak otomatis membuat masyarakat Indonesia membencinya sampai tujuh turunan. Bahkan baru dua keturunan, ingatan-ingatan nostalgis tentang bagusnya pemerintahan Soeharto malah balik berbuah sebagai kenangan indah, bukannya memori buruk.

Orang Indonesia bukanlah berkarakter tunggal (one-dimentional man). Tengoklah semasa krisis ekonomi, berapa banyak penduduk Indonesia yang bisa leluasa berbelanja ke luar negeri. Atau, separah-parahnya bencana tsunami menimpa Indonesia, secara teori praktis pasti Indonesia sudah habis; tetapi tetap saja Indonesia bangkit.

Sembari membantu para korban bencana, acara-acara televisi yang berisi hiburan dan guyonan tetaplah berjalan. Bahkan, ketika banyak terjadi bom bunuh diri dari sekelompok teroris, secepat kilat masyarakat Indonesia malah menertawai banalitas kekerasan itu dengan santai. Masih ingat, kan, SMS-SMS yang langsung merembet dari satu hape ke hape lain secara massal dan serentak, "Hati-hati, Azhari bersaudara membawa bom ke mal-mal… Ayu Azhari, Sarah Azhari, dan Rahma Azhari".          

Seheboh-hebohnya kekerasan pembunuhan atau gerakan separatis, tetap saja masyarakat Indonesia bisa santai menghadapi semuanya. Mulur mengkeret-nya orang Indonesia ini tidak pernah dipahami literatur Barat. Orang Indonesia bukanlah tipe "ya" berarti 'ya', atau "tidak" berarti 'tidak'. Maka, seragu-ragunya Amerika menanti dengan waswas kepemimpinan Jokowi bocah ndeso memimpin negeri berpenduduk terbanyak kelima sedunia ini, Indonesia, ya, Indonesia.

Sedemokratis-demokratisnya orang Indonesia, tetap saja Indonesia punya terjemahan tersendiri apa arti demokrasi di bawah kepemimpinan siapa pun. Di Indonesia, semua bisa dihadapi dengan terbuka dan legawa, bukan karena sistem politiknya, melainkan karena fleksibilitas dan kelenturan terhadap krisis apa pun. Lawan bisa jadi kawan, dan kawan bisa jadi lawan. Itu biasa di Indonesia.

Terbukti, angka bunuh diri di Indonesia jauh lebih rendah daripada angka bunuh diri di Amerika yang notabene negara maju dengan jaminan hukum pasti serta high culture teruji. Bahkan mengumpat karyawan yang nyata-nyata keliru pun bisa membuat Anda berurusan dengan pengadilan dan kehilangan perusahaan sekaligus. Itu Amerika.

Sering kali, ada ragu apakah tipe multidimensional yang khas milik Indonesia ini merupakan hipotesis jangan-jangan orang Indonesia itu memang dari sononya tidak berkarakter. Orang Tiongkok yang keturunan Indonesia ataupun orang Indonesia yang keturunan Tiongkok bilang, "Cincai laaah". Sekali lagi, Indonesia, ya, Indonesia. Ini Indonesia, sir… negara paling bahagia sedunia. Wallahuallam.

(Tulus Sudarto, Rohaniwan, Menetap di Los Angeles)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009671542
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Politik Luar Negeri Baru Indonesia (Kompas)

MENTERI Luar Negeri Retno LP Marsudi diminta untuk segera menerjemahkan platform, visi-misi, dan kebijakan politik luar negeri pemerintahan baru.
Retno LP Marsudi adalah seorang di antara 34 menteri Kabinet Kerja yang dilantik di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/10). Menjadi menarik, ia adalah perempuan pertama yang menjadi menlu di Indonesia.

Tugas yang dibebankan kepadanya sangat berat, yakni mengubah politik luar negeri bebas aktif pemerintahan lama (2004-2014) yang didasarkan pada zero enemy thousand friends (nol musuh ribuan teman) yang sekadar merupakan pencitraan di luar negeri menjadi politik luar negeri yang menjadikan bangsa ini sebagai poros maritim dunia.

Selain itu, ia juga diharapkan lebih tegas dalam bersikap apabila itu menyangkut kepentingan dan kedaulatan nasional. Sikap tegas, atau protes keras, saat itu terkait dengan batas wilayah negara, itu tidak sama dengan sikap bermusuhan.

Sebagai seseorang yang berkarier di Kementerian Luar Negeri sejak 1980, kita berharap Retno mampu menerjemahkan platform, visi-misi, dan kebijakan politik luar negeri Presiden Joko Widodo dengan baik. Dia juga diharapkan mampu bersikap tegas, tetapi masih dalam cara-cara yang diatur dalam dunia diplomasi.

Pengalamannya sebagai Direktur Jenderal Amerika dan Eropa (2008-2012) serta Duta Besar RI untuk Norwegia dan Eslandia (2005-2008) dan Dubes RI untuk Belanda (2012-2014) diharapkan akan dapat mempermudahkan pekerjaannya.

Pada tahun 1984, Indonesia pernah mencanangkan politik luar negeri dua muka, yakni ke Asia dan Pasifik. Jika sebelumnya perhatian politik luar negeri lebih diarahkan ke Asia, pada 1984 Indonesia mulai mendekati negara-negara kecil di Pasifik Selatan untuk menggalang dukungan bagi integrasi Timor Timur di Sidang Majelis Umum PBB, yang menganut satu negara satu suara. Kini, Indonesia dapat melakukan pendekatan itu kembali dengan tujuan berbeda.

Tidak dapat dimungkiri Indonesia yang terletak di antara dua samudra, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, harus dapat memainkan perannya sebagai poros maritim dunia. Namun, itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, sebelum sampai di sana, Indonesia harus mengembangkan diri menjadi negara maritim lebih dulu.

Ini adalah tugas yang terberat. Oleh karena hingga kini masih sulit bagi Indonesia menjaga keamanan wilayah laut yang luasnya dua pertiga dari seluruh wilayah kedaulatannya dari kegiatan penyelundupan dan pencurian ikan oleh nelayan asing. Tentunya itu bukan hanya merupakan tugas dari TNI AL, melainkan juga merupakan tugas dari semua pihak yang terkait, seperti kepolisian, bea dan cukai, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009756030
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger