Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 31 Desember 2014

Perubahan Kebijakan Subsidi BBM (Udi H Pungut)

BAHAN bakar minyak merupakan komoditas strategis yang perlu campur tangan pemerintah. Kebijakan harga bahan bakar minyak ke depan harus dapat mendorong rasionalitas konsumsi dan kemajuan industri pengilangan minyak bumi di dalam negeri seraya mengurangi beban dan volatilitas anggaran pemerintah.
Itulah semangat yang terkandung dari rekomendasi Komite Reformasi Tata Kelola Sektor Minyak dan Gas.

Secara garis besar, rekomendasi tersebut menyangkut dua masalah pokok, yaitu pola subsidi dan jenis bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi. Pola subsidi yang berlaku saat ini, yaitu berupa penetapan harga eceran, disarankan untuk diubah menjadi subsidi tetap (fixed subsidy).

Bensin, minyak solar, dan minyak tanah tetap dipertahankan sebagai jenis-jenis BBM yang diatur harganya. Namun, konsumsi bensin tidak lagi diarahkan kepada jenis bensin premium (RON 88).

Ke depan, impor bensin premium tidak perlu lagi dilakukan. Sebagai gantinya, Pertamina dapat mengimpor Mogas 92, yang di dalam negeri lebih dikenal dengan sebutan pertamax.

Selama masa transisi, kilang BBM Pertamina yang selama ini memproduksi bensin premium dapat tetap berjalan. Produksinya diedarkan di wilayah sekitar lokasi kilang dengan besaran subsidi lebih kecil daripada subsidi untuk pertamax.

Momentum
Harga minyak di pasar dunia sedang turun drastis. Sekarang saat tepat untuk memperbarui kualitas BBM yang kita konsumsi. Selisih antara harga keekonomian Mogas 92 dan harga eceran tanpa pajak untuk bensin premium yang ditetapkan pada saat ini tak terlampau besar. Dengan subsidi Rp 1.000 per liter, misalnya, harga Mogas 92 hanya akan sedikit lebih tinggi daripada harga eceran bensin premium yang ditetapkan saat ini.

Pergantian bensin premium dengan Mogas 92 memungkinkan penghitungan harga keekonomian bensin menjadi lebih akuntabel. Bensin premium tidak diperdagangkan di pasar dunia sehingga referensi harganya tidak tersedia. Impor bensin premium dilakukan dengan mencampur bensin yang kualitasnya lebih tinggi dengan Naptha. Harga
keekonomian bensin premium dihitung  berdasarkan persentase tertentu dari harga Mogas 92.

Karena kualitasnya lebih tinggi, harga Mogas 92 tentu lebih mahal daripada bensin premium. Namun, harga patokan yang digunakan dalam penghitungan subsidi bensin premium ternyata menggunakan harga referensi atau harga indeks pasar yang hanya sedikit lebih rendah (98,42 persen) daripada harga Mogas 92.

Dengan menggunakan Mogas 92, biaya keekonomian konsumsi bensin akan bertambah sekitar 1,5 persen. Tambahan biaya tersebut adalah konsekuensi dari peningkatan kualitas konsumsi yang akan berdampak positif terhadap lingkungan dan menghasilkan manfaat lain bagi konsumen.

Perubahan kebijakan subsidi tentu mengharuskan penyesuaian pada pasokan BBM, khususnya bensin, oleh Pertamina. Produksi kilang di dalam negeri harus diubah dari bensin premium menjadi pertamax (RON 92). Menurut informasi, secara teknis itu dapat dilakukan Pertamina dalam waktu beberapa bulan. Peralihan produksi dari bensin premium menjadi Pertamax 92 dapat berjalan lebih lancar, terutama apabila Pertamina dapat mengelola fasilitas kilang TPPI yang ada di Tuban.

Subsidi tetap
Usulan besaran subsidi yang bersifat tetap banyak kita dengar akhir-akhir ini. Tim Reformasi Tata Kelola Migas merekomendasikan pola subsidi tersebut, khususnya untuk bensin. Besaran subsidi per liter ditetapkan pemerintah sesuai dengan kemampuan anggaran. Dengan subsidi tetap, kebutuhan anggaran untuk subsidi menjadi lebih pasti dan tidak terpengaruh oleh perubahan harga BBM di pasar dunia.

Pola subsidi dalam bentuk penetapan harga eceran menyebabkan kebutuhan anggaran subsidi berfluktuasi sesuai dengan perubahan harga BBM di pasar dunia. Dengan pola subsidi tetap, tentu anggaran pemerintah akan lebih stabil karena perubahan harga minyak di pasar dunia ditransmisikan ke harga di dalam negeri. Dalam hal ini, konsumen di dalam negeri harus menyesuaikan diri dengan perubahan harga yang akan terjadi setiap bulanan atau dua mingguan.

Perlu dicatat, pola subsidi tetap tersebut hanya diusulkan untuk bensin. Untuk minyak solar, pola subsidinya masih menggunakan pola lama, yaitu dengan penetapan harga jual eceran.

Minyak solar bersubsidi umumnya digunakan untuk transportasi publik, angkutan barang untuk kepentingan umum, dan kapal nelayan. Harga input yang berubah-ubah diperkirakan mempersulit kegiatan usaha tersebut.

Udi H Pungut Peneliti pada Indonesia Research and Strategic Analysis

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010858681
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TIK dan ”Kota Cergas” (Suhono Harso Supangkat)

AKHIR-akhir ini beberapa wali kota dan gubernur telah mengumandangkan status atau rencananya menjadikan kotanya menjadi smart city. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah meluncurkan sebagian aplikasi smart city-nya pada 15 Desember lalu.
Wali Kota Bandung sedang menyiapkan command room dengan seragam "Startrek"-nya, suatu ruangan operasi kota secara digital yang diharapkan mengetahui pergerakan kota tiap menit.  Demikian juga Wali Kota Bogor dengan green and smart room-nya. Surabaya dengan aplikasi finger print serta rencana Wali Kota Makassar dengan pembuatan kartu identitas dan pembayaran elektroniknya.

Pertanyaannya adalah apakah itu semua sudah disebut smart city? Kenyataannya Bandung sedang dilanda banjir, Jakarta masih macet, masih banyak pedagang kaki lima, dan lain sebagainya? Selanjutnya apakah smart city itu baru sebatas jargon atau hanya sebagai pencitraan kota (city branding)? Ataukah smart city itu suatu konsep kerangka kerja atau untuk pemasaran (gimic marketing)?

Jika suatu kerangka kerja, apakah smart city bisa dibangun dalam tiga atau empat tahun? Ini yang selalu diembuskan oleh gubernur, wali kota, bupati, atau pejabat baru. Tentu saja ini suatu hal yang wajar karena masa kerja mereka hanya lima tahun.

Sebagai penggiat dan peneliti smart city, penulis telah melakukan beberapa observasi di berbagai belahan dunia, di antaranya Eropa dan Asia. Ternyata selain industri, beberapa kota dan organisasi sedang bergiat meningkatkan inovasi kota dengan menamainya sebagai smart city.

Jika melakukan pencarian (googling) di internet, kita akan menemukan banyak sekali konsep ataupun definisi smart city. Namun, pada inti dan umumnya smart city adalah suatu usaha mengelola sumber daya kota, baik alam, lingkungan, manusia, kelembagaan, kemitraan, maupun interaksi kota yang cerdas dan gegas (umumnya teknologi, informasi, komunikasi/TIK membantu). Tujuannya adalah mewujudkan kota yang aman, nyaman, dan berkelanjutan.

Anatomi kota
Salah satu organisasi dunia yang konsen terhadap pembangunan smart city adalah Cityprotocol.org, yang setiap tahun menyelenggarakan world congress on smart city. Organisasi ini tengah mengusulkan suatu konsep  dengan memandang atau menganalisis suatu kota seperti tubuh manusia.

Kota adalah rangkaian dari sistem-sistem (systems of sytems), bisa dilihat dari sektor transportasi, kesehatan, pendidikan, bencana, dan lain-lain, tetapi juga bisa dilihat dari kewilayahan (kelurahan, kecamatan) ataupun kehidupan lainnya.

Cityprotocol.org telah mengusulkan basis anatomi kota menjadi tiga komponen utama, yaitu (1) struktur, (2) interaksi, dan (3) masyarakat. Setiap komponen dibagi dengan beberapa lapisan (layer).

Lapisan pertama dari komponen struktur kota adalah lingkungan yang dibentuk oleh tiga elemen dasar: air, udara, dan bumi. Ketiga elemen itu memiliki pengaruh besar dalam persoalan banjir, longsor, dan lain-lain. Infrastruktur adalah lapisan kedua dari komponen struktur. Lapisan ini pendukung dari pergerakan air, materi, energi, dan lain-lain. Sementara lapisan ketiganya tersusun dengan nama domain pembangunan (built domain), seperti bangunan rumah, gedung, distrik, hingga megapolitan.

Komponen interaksi terdiri atas empat lapisan: fungsi kota, ekonomi, budaya, dan informasi. Fungsi kota menyangkut kehidupan, kerja, pendidikan, belanja, hingga seni pertunjukan. Sementara lapisan budaya melibatkan tradisi, nilai, dan cara penduduknya mengelola kehidupan.

Adapun lapisan informasi dibangun oleh sistem operasi kota (city operating system), indikator kinerja kota.

Kota cergas
Walau masih menunggu masukan dari publik untuk perbaikan, cara pandang Cityprotocol.org tersebut sangat komprehensif dan bisa menjadi acuan pemangku kepentingan kota untuk membangun suatu kota idaman.

Dihubungkan dengan jargon smart city, konsep anatomi kota tersebut saat ini telah menjadi pegangan kongres dunia tentang smart city yang setiap tahun diagendakan di Barcelona, Spanyol.

TIK memang memiliki peran penting , terutama dalam komponen kedua, yaitu interaksi. Dengan adanya interaksi di komponen pertama dan ketiga, pemahaman tentang kota dan tindakan untuk mengatasi persoalan bisa dilakukan dengan cerdas dan gegas (cergas).

Sementara itu, diskusi dengan beragam kalangan, padanan kata smart city diusulkan dengan nama kota cergas, gabungan dua kata: cerdas dan gegas. Kata ini sedang dalam proses usulan masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Di Indonesia, ada beberapa prakarsa untuk mengukur suatu kota, apakah kota sedang menuju kota cergas atau hanya ikut-ikutan, masih inisiasi, sudah mulai membangun terpisah, atau sudah terintegrasi.

Salah satu unit di Institut Teknologi Bandung telah mengusulkan suatu pengukuran tingkat kematangan kota cergas  yang disebut sebagai Garuda Smart City Maturity Model.

Pengukuran ini melibatkan 3 sektor pengungkit (enabler), 3 sektor utama, dan 5 level kematangan. Tiga sektor pengungkit adalah manusia, tata kelola, dan TIK, sementara tiga sektor utama adalah lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Ada 111 indikator pendukung.

Selain pengukuran, juga telah dikembangkan karya anak bangsa, yaitu platform kota cergas (smart system platform) sebagai otak interaksi antara komponen struktur dan masyarakat.

Membangun kota cergas tidaklah sederhana, bisa terwujud dalam 5-10 tahun saja sudah luar biasa. Dibutuhkan suatu kesabaran, fondasi dan rencana jangka panjang yang kuat.

Suhono Harso Supangkat
Guru Besar ITB;Koordinator Prakarsa Kota Cergas Indonesia;Anggota Cityprotocol.org

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010914432
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jamu dan Budaya Nusantara (Tjandra Yoga Aditama)

PADA hari pertama bertugas, Presiden Joko Widodo memulai budaya baru dengan memakai baju batik ketika menerima kunjungan resmi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat.
Pertama kali dalam sejarah kita, kabinet dilantik dengan semua menteri mengenakan baju batik. Setidaknya ini dapat jadi sinyal awal tentang makin kentalnya perhatian terhadap kekayaan nasional kita yang merupakan warisan budaya bangsa.

Salah satu potensi besar budaya bangsa adalah jamu, yang sejak berabad-abad lalu sudah digunakan untuk berbagai bentuk pemeliharaan kesehatan. Ada pendapat bahwa pengobatan tradisional dapat ditelusuri pada relief candi, sementara istilah jamu, djampi oesada, mungkin juga dapat ditelusuri pada peninggalan tulisan zaman dulu, seperti Gatotkacasraya (Mpu Panuluh), Serat Centhini, dan Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi Jawi.

Sampai kini jamu tetap bagian penting kehidupan kita. Data Riset Kesehatan Dasar 2013, suatu penelitian kesehatan berskala na- sional yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 30,4 persen rumah tangga di Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional. Di antaranya 77,8 persen rumah tangga memanfaatkan jenis pelayanan kesehatan tradisional keterampilan tanpa alat dan 49,0 persen memanfaatkan ramuan.

Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, 59,12 persen penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun menyatakan pernah minum jamu dan 90 persen di antaranya menyatakan adanya manfaat minum jamu.

Dari kacamata kesehatan internasional, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sepakat memajukan pemanfaatan pengobatan komplementer dan tradisional untuk kesehatan, lalu mendorong pemanfaatan keamanan dan khasiat pengobatan tradisional melalui regulasi. Ada lima segi dalam pengembangan jamu dan tanaman obat: saintifikasi jamu, pengembangan kekayaan tanaman obat Nusantara, pemanfaatan tanaman obat keluarga, wisata kesehatan, dan aspek internasional nilai budaya bangsa.

Saintifikasi jamu
Untuk menjamin tersedianya jamu yang aman, berkhasiat, dan bermutu, telah dilakukan pendekatan ilmiah modern dalam bentuk studi etnofarmakologi, formulasi, kajian laboratorium, dan uji klinik yang sahih. Jamu saintifik yang dihasilkan dari program ini digunakan untuk terapi komplementer pada fasilitas pelayanan kesehatan dan dijadikan pilihan masyarakat.

Dewasa ini tersedia dua jamu saintifik, yakni untuk hipertensi ringan dan gangguan akibat asam urat. Penelitian saintifikasi jamu tahun mendatang akan meliputi 24 formula jamu: 19 formula untuk uji klinik pre-post dan 5 formula untuk uji klinik multisenter. Dalam pelaksanaannya, program saintifikasi jamu dikelola Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan yang melibatkan dokter dan apoteker yang secara berkala dilatih. Program ini memberikan landasan ilmiah penggunaan jamu empiris.

Selain jamu saintifik, dikenal juga istilah obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji prakli- nik dan bahan bakunya telah distandarkan. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi. Sampai Desember 2014 ada 41 obat herbal terstandar dan enam fitofarmaka yang ada dalam daftar BPOM.

Hal kedua yang bisa didapat dari program jamu dan tanaman obat adalah kekayaan tanaman obat di Nusantara, yang tentu dapat dikembangkan menjadi bahan baku obat yang biasa digunakan dalam ilmu kedokteran sekarang ini. Menurut WHO, sekitar 25 persen obat modern atau obat konvensional berasal dari tumbuhan obat.

Kekayaan Indonesia dalam hal ini amatlah luas. Riset Tumbuhan Obat dan Jamu I Kementerian Kesehatan tahun 2012 memperoleh data 1.889 spesies tumbuhan obat, 15.671 ramuan untuk kesehatan, dan 1.183 penyembuh atau pengobat tradisional dari 20 persen etnisitas (209 dari total 1.128 etnis) Indonesia non-Jawa dan non-Bali. Riset ini akan dilanjutkan dan dituntaskan untuk mencakup 100 persen etnisitas kita.

Tanaman obat keluarga
Aspek ketiga dari pengembangan jamu dan tanaman obat adalah pemanfaatan taman obat keluarga. Program itu kini dilengkapi penyuluhan tentang cara memanfaatkan tumbuhan obat yang baik dan benar untuk pemeliharaan kesehatan, kebugaran, dan pengobatan terhadap penyakit sehari-hari. Pengembangan tanaman obat keluarga juga dapat diperluas menjadi kegiatan untuk menambah penghasilan keluarga, misalnya dengan memproduksi minuman sehat, seperti minuman jahe merah, wedang secang, beras kencur, teh temu lawak, dan teh pelangsing.

Aspek keempat kekayaan jamu dan tanaman obat Indonesia adalah potensi wisata kesehatan. Selain jamu yang dikonsumsi, potensi wisata lain adalah indahnya perkebunan tanaman obat di berbagai ketinggian dari permukaan laut, seperti yang sekarang ada di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan di Tawangmangu, Jawa Tengah.

Di tingkat diplomasi internasional, kini sedang dibahas konsep genetic resources, traditional knowledge, folklore (GRTKF). Topik yang tercakup tentu amat luas, meliputi kekayaan budaya negara anggota PBB. Dari kaca mata kesehatan, jamu serta tanaman obat pasti tercakup pula dalam genetic resources, serta juga mungkin traditional knowledge. Pembahasan di tingkat PBB di Geneva, Swiss, masih cukup ketat dan membutuhkan waktu panjang. Diplomat kita di sana memegang posisi penting. Pengakuan internasional pada budaya bangsa melalui konsep GRTKF jelas makin mempertegas posisi keragaman kekayaan nasional kita, termasuk jamu dan tanaman obat.

Dalam lima tahun ke depan, kita harus menguasai teknologi yang mampu menghasilkan sediaan jamu yang aman, berkhasiat, bermutu, dan praktis. Melalui gabungan program kesehatan konvensional dan tradisional, perlu diwujudkan pelayanan yang mampu menyembuhkan secara holistik, body-mind-spirit, untuk mencapai kualitas hidup orang Indonesia yang lebih baik.

Tjandra Yoga Aditama
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010836952
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Satria Piningit (SUWIDI TONO)

DALAM pusaran arus zaman Kalatidha dan Kalabendu, ketika akal sehat diremehkan dan tata nilai jungkir balik, alam biasanya menubuatkan candikala, pendulum menuju keseimbangan baru. Sekalipun kondisi politik-ekonomi-sosial kisruh dan pengap, serasah alias humus dari nilai-nilai kemanusiaan sabar menyemai benih menjadi pohon-pohon kebajikan menjulang.
Niskala ini melekat dalam kearifan Jawa (dan universal) saat menjumpai keadaan merisaukan. Dalam perlawanan terhadap kedangkalan hidup bermasyarakat dan bernegara, selalu muncul pribadi-pribadi menyebal, menentang pakem bobrok, kemudian bertindak dan memandu normanya sendiri.

Satria Piningit, para bangsawan pikiran dan tindakan itu, tentu saja tidak lahir seketika. Mereka umumnya menempa diri dari suasana kemelut tak berujung. Inilah jenis pemimpin the doer: aktif memecahkan masalah dan mewujudkan tujuan, serta peka menangkap sikap masyarakat. Jenis pemimpin semacam ini juga mahir memengaruhi, penuh aksi, dan mudah mendapatkan kepercayaan.

Karakteristik lain, sangat antusias mempromosikan ide, bergerak cepat, serta memiliki keyakinan kuat memilah mana yang benar dan yang salah. Ketabahan melekat pada prinsipnya. Jika the doer memutuskan sesuatu perlu dilakukan demi kepentingan publik, ia akan melakukannya tanpa peduli pujian dan kecaman. Mereka kualifikasi pemimpin yang disebut John C Maxwell mumpuni, yakni manakala sebuah pekerjaan diselesaikan, orang-orang yang dipimpinnya mengatakan: kami melakukannya bersama-sama.

Gelombang pertama
Berakhirnya patronase politik Orde Baru menumbuhkan selapis pemimpin formal tipikal the doer yang menjanjikan meskipun bagian terbesarnya tetap bercorak predatorik-koruptif. Mereka gencar menginisiasi partisipasi publik dalam aneka best practices sekaligus menjentikkan virus pemberdayaan sebagai sumbu perubahan.

Kecambah kepemimpinan otentik gelombang pertama muncul awal tahun 2000-an di sebagian penjuru negeri, di antaranya Jusuf Serang Kasim (Tarakan, Kalimantan Timur), Masriadi Martunus (Tanah Datar, Sumatera Barat), Untung Wiyono (Sragen, Jawa Tengah), dan Rustriningsih (Kebumen, Jawa Tengah). Mereka menginspirasi para kepala daerah lain untuk mengambil-oper, mengadopsi program, dan menyempurnakannya. Sragen tahun 2002 adalah daerah pertama yang menerapkan inovasi pelayanan satu atap (one stop services) berbasis teknologi informasi dan menggiatkan pinjaman bergulir usaha kecil-menengah dengan penjamin pemerintah daerah.

Generasi kedua pemimpin daerah, seperti Joko Widodo (Solo, Jawa Tengah), Tri Rismaharini (Surabaya, Jawa Timur), Nurdin Abdullah (Bantaeng, Sulawesi Selatan), Azwar Anas (Banyuwangi, Jawa Timur), menggebrak dengan pertaruhan risiko besar melawan birokrasi gemuk, lamban, dan politik korup. Sejajar dengan tingginya harapan publik, tokoh-tokoh itu beroleh simpati masyarakat (public darling) dan media (media darling). Otonomi dan pers juga berperan besar mendorong keberhasilan politis daerah dalam "melahirkan" Jokowi sebagai produk "massa" dan daerah, menyisihkan bangsawan asali (darah biru), bangsawan pemikir, dan elite militer.

Para pemimpin pilihan "massa" ini ikhlas menunda kenikmatan (delayed gratification), konsisten menjadi teladan dengan memberi suntikan gairah, energi, dan nurani serta punya kemampuan untuk terus bertumbuh dan belajar menjadi pemimpin sejati. Merujuk Umar Kayam (Sang Priyayi, 1992), merekalah priayi dalam makna sesungguhnya: yaitu pribadi-pribadi yang merangkak dari bawah dan fokus mendarmabaktikan hidupnya di jalan pengabdian.

"Beyond material"
Transformasi Satria Piningit mencapai kematangan akan ditentukan kesanggupannya mengelola hal-hal yang bersifat beyond material pada urusan peradaban dan lingkungan. Yang pertama bersangkut paut dengan pendidikan dan kebudayaan, sedangkan yang kedua pada kemampuan membangun basis creative capital untuk mendorong kapasitas bangsa mencapai batas tertinggi kemampuannya.

Pendidikan dan kebudayaan tak sebatas menyiapkan peta jalan menuju bangsa berkepribadian, keseriusan menangani rekayasa pendidikan formal, dan internalisasi perubahan paradigma. Pendidikan semestinya mengantarkan pada jalan pembebasan, kemampuan untuk terus-menerus memupuk tugas-tugas hakiki manusia pada setiap generasi.

Penghormatan atas manusia dan kemanusiaan serta kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat beserta hak-hak kemajuannya membutuhkan pembuktian setelah sekian lama negara lalai dan membiarkan pelanggaran HAM terus berulang. Pemimpin yang meremehkan martabat rakyat dan defisit belas kasih tidak akan pernah mendapatkan legasinya.

Di lapangan kompetisi kemajuan, sekurang-kurangnya diperlukan 100.000 doktor (sekarang baru terdapat sekitar 23.000 doktor) dengan basis riset cemerlang untuk membangkitkan gairah inovasi dan kreasi. Tujuannya untuk mendorong negara ke status innovation driven sekaligus mengikis mentalitas bangsa konsumen. Lapangan kreativitas tidak mungkin tumbuh berkembang tanpa memperhatikan kecukupan manusia kreatif dan cerdas untuk mengarungi dan menghadapi geoekonomi global.

Pemberantasan korupsi juga tidak mungkin terus-menerus melalui pendekatan ad hoc, menguras energi, riuh rendah, tetapi tidak juga mengurangi kualitas dan kuantitasnya. Perkara ini adalah pertaruhan besar terhadap hidup-mati peradaban, di tengah pengingkaran kerusakan parah mentalitas aparat dan birokrat.

Pemimpin sejati tahu benar tugas esensialnya, yakni membangun persenyawaan hakikat antara cara dan tujuan. Mementingkan kelangsungan daripada ketergesaan, mengutamakan kedalaman struktur ketimbang terpukau standar-standar fisik dan numerik simplistis. Lebih memuliakan rakyat ketimbang penghormatan dan pesona popularitas.

Pemimpin paripurna memahami jawaban kerinduan rakyatnya untuk bebas dari tirani kekuasaan dan belenggu kapital yang terus melanggengkan kemiskinan struktural pada bagian terbesar rakyat. Pemimpin ini cakap menempatkan harga diri rakyatnya agar tak terkepung keserakahan modal dan permainan bengis kekuasaan.

Penyair besar Kahlil Gibran mengejawantahkan cintanya pada kemanusiaan dan kehidupan lewat puisi. Pemimpin besar berpuisi melalui perbuatan-perbuatan besar yang menerbitkan harapan sembari mengenyahkan beban utang kemanusiaan dan peradaban, baik yang diperbuatnya maupun oleh rezim-rezim sebelumnya.

Suwidi Tono
Koordinator Forum Menjadi Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010855206
Powered by Telkomsel BlackBerry®

”Lalu” dan Tahun Baru (ASEP SALAHUDIN)

PERGANTIAN tahun selalu mendatangkan harapan sekaligus menyisipkan kecemasan. Membersitkan pengalaman silam sekaligus menghamparkan jejak yang akan dilewati dengan banyak kemungkinan.
Ini juga mungkin yang menjadi alasan utama pada malam pergantian tahun orang berkumpul, berdoa, dan atau menyalakan kembang api dengan bayangan langit pada tahun 2015 memayungi dengan semburat cahaya. Bisa jadi hari Natal, bahkan juga tahun ini beriringan dengan maulid Nabi Muhammad SAW, menjadi sangat berimpitan dengan Tahun Baru dengan sebuah imaji kelahiran sang Yesus itu menjadi pertanda kelahiran kembali kita, baik sebagai personal, sosial, maupun kebangsaan, menuju kehidupan yang lebih damai.

Dalam idiom kelahiran tergambarkan suasana semangat baru. Tak ubahnya bayi yang lahir dari rahim sang bunda: disambut kehidupan penuh suka dan tangisan sebagai lambang keceriaan. Tak ada bayi yang kehadirannya ditampik. Ia datang bahkan jauh-jauh hari telah dinanti setelah sang bunda menyimpannya di perut selama sembilan bulan.

Setelah lahir, lekaslah diberi nama terindah. Lengkap dengan hajatan yang berisi doa, rajah, dan mantra. Nyaris tidak hanya orangtua yang ikut bahagia, bahkan juga keluarga dan tetangga. Dalam tradisi Islam, dibacakannya puisi-puisi marhaba. Anta syamsyun anta badrun anta nurun fauqa nuri. Engkau mentari, engkau rembulan, engkau cahaya di atas cahaya.

Bayi Indonesia
Dalam konteks kebangsaan, tentu saja bayi itu bernama Indonesia, yang hari ini telah menginjak usia 69 tahun. Diksi lain dengan terang menahbiskannya lewat kata berjenis kelamin hawa: ibu pertiwi. Disemai manusia pergerakan lewat pena dan senjata. Dan, puncaknya akta kelahiran itu tertanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur dan kebetulan Soekarno-Hatta dipercaya sebagai bidannya.

Kepada manusia, pergerakan kita banyak berutang budi. Mereka tidak hanya telah berjuang, tetapi juga menjadikan perjuangan itu sebagai bagian tugas suci kebangsaan. Kalau sudah berbicara "bangsa", apa pun ditanggalkan, termasuk sentimen agama dan etnisitas.

Seandainya mereka berbeda pilihan ideologi, ideologi yang mereka kukuhi itu bukan sekadar kendaraan untuk meraih kursi kekuasaan, tetapi justru sebagai alat untuk mempercepat Indonesia menemukan adabnya. Mempercepat bagaimana kemerdekaan itu dapat diartikulasikan dalam maknanya yang hakiki.

Maka, menjadi tidak aneh kalau kita membaca hikayat manusia pergerakan yang tergambarkan adalah potret manusia-manusia Indonesia yang sudah menyatu dengan bahasa, tanah air, dan tumpah darahnya. Ketika berbicara tentang keindonesiaan, yang muncul bukan puak dan institusi keagamaan, melainkan semangat kebangsaan yang berwatak inklusif, kosmopolit, dan menjunjung tinggi keragaman. Maka, misalnya, dengan sangat mudah Mohammad Hatta menerima usulan dari Indonesia bagian timur untuk mengganti sila "Ketuhanan yang Maha Esa" tanpa disertai "tujuh kata" di belakangnya. Wahid Hasyim, Teuku Hasan, Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasman, dan lainnya dengan legawa menerimanya.

Soekarno tidak kemudian murka ketika usulan sila-sila Pancasila tidak diterima di sidang BPUPKI  pada 1 Juni 1945. Padahal, kalau kita renungkan, sila Pancasila yang diusung Soekarno sangat visioner. Menating tentang kebangsaan Indonesia, internasionalisme, atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, dan kesejahteraan sosial serta ketuhanan yang berkebudayaan. Pantas kalau Russel menyebutnya Great Thinker in The East.

Padahal, bayi bernama Indonesia itu lahir sangat tidak lazim sebagaimana konsep kebangsaan pada negara-negara Barat. Keindonesiaan, seperti tesis Anderson, dibangun tidak di atas tanah dan air yang konkret dan homogen, tetapi justru di atas bentangan imaji tentang persatuan dan kesatuan dengan suku yang berjumlah ratusan, bahasa ribuan, serta agama dan kepercayaan yang tak tepermanai. Dibangun di atas hamparan kesamaan nasib: ketertindasan.

Entah rajah apa yang dirapalkan manusia pergerakan sehingga mereka bisa mempersatukan keragaman tersebut. Dapat melakukan konsolidasi fantasi nasionalisme.

Bahkan, menjadi sulit mencari tautan logisnya ketika lambang Garuda yang dianggit dari kitab Sutasoma abad ke-14 masa kejayaan Majapahit bisa kemudian diimani sebagai "kalimatun sawa". Bagaimana lagu kebangsaan Indonesia Raya yang pertama kali dikumandangkan saat Sumpah Pemuda bisa menjadi perekat seluruh anak bangsa dalam kesatuan cita-cita berbangsa. Bagaimana dokter Wahidin, Cipto Mangunkusumo, dan Gunawan melakukan pembangkangan kepada Hindia Belanda demi memburu mimpi abstrak "kebangkitan nasional".

Bagaimana pula seorang KH Hasyim Asy'ari pada peristiwa November 1945 lewat resolusi jihadnya bisa mengeluarkan fatwa bahwa mengusir kaum penjajah adalah bagian dari jihad fi sabilillah dan kematiannya dianggap martir (syahid). Bagaimana seorang Bung Tomo atas nasihat Hadartusy Syekh, teriakan Allahu Akbar-nya mampu membakar masyarakat Surabaya sehingga mereka tak kenal gentar menerjang kolonial yang hendak mencengkeramkan kembali kuasa penjajahannya di Nusantara.

Bagi saya, salah satu kelebihan manusia pergerakan itu mereka menjadikan politik sebagai rute meraih kemuliaan. Alhasil, mereka benar-benar masuk dalam palung pengalaman politik keutamaan. Balai deliberatif dibuka lebar-lebar dan mereka kemudian mempercakapkan keindonesiaan dalam maqam kesetaraan dan nalar menjulang dengan tidak menghilangkan sikap lapang dalam mengapresiasi berbagai perbedaan.

Kemuliaan tidak diletakkan pada militansi memaksakan keinginan, tetapi pada keluhuran pekerti. Maka, misalnya, menjadi tidak ada masalah seandainya mereka datang ke Gedung Konstituante berjalan kaki, jas yang robek, dan atau pakaian lusuh.

Asketisme politik menjadi pilihan hidupnya. Di titik ini kita membaca Soekarno yang tidak pernah memburu benda; Tan Malaka yang tidak memiliki alamat rumah tinggal; Hatta yang sederhana tetapi tegas ketika bersikap harus bersimpang jalan dengan Soekarno; Sjahrir yang lebih mengedepankan kekuatan pikir ketimbang berkompromi dengan keadaan; Wahid Hasyim yang tidak kehilangan spirit kejuhudan; Juanda dan Johannes Leimena yang lurus dan tekun bekerja; Otto Iskandar Dinata bahkan tidak ditemukan makamnya karena dibunuh dalam sebuah sengketa yang sampai hari ini belum jelas apa motif di baliknya.

"Demos" dan "kratos"
Tentu saja itu adalah cerita silam. Narasi nostalgis yang seharusnya menginjeksikan sebuah kesadaran kepada manusia politik Indonesia awal abad ke-21 bahwa hari ini iklim politik kita dikepung anomali, ada sesuatu yang keliru. Bagaimana tidak, pasca pemilu dan setelah pilpres usai pada 2014, yang mencuat ke permukaan bukan semangat bekerja, melainkan justru kegaduhan merayakan kebencian.

Dalam atmosfer keagamaan, yang tampil ke muka sepanjang tahun 2014 bukan spirit melahirkan risalah agama sebagai daya untuk membangun kohesivitas kekitaan dan menjelmakan iman yang rahmatan lil-alamin. Akan tetapi, sebaliknya, yang kita saksikan agama (baca: ormas) malah sibuk mempromosikan pendakuan kebenaran seraya melipatgandakan pandangan liyan sebagai "kafir". Kekerasan—baik fisik maupun simbolik—pada tahun 2014 beranak pinak dan apabila negara tidak lekas memberikan kepastian kehadirannya, tidak mustahil pada akhirnya akan menjadi api membesar dan akhirnya membakar semua bangunan peninggalan manusia pergerakan.

Tahun 2015, di bawah nakhoda Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang terpilih secara demokratis, semoga demos itu tidak kehilangan kratos-nya. Selamat Natal dan Tahun Baru.

Asep Salahudin
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010914492
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Pergantian Tahun, Berkejaran Waktu (Kompas)

SEJUMLAH peristiwa menjelang akhir tahun 2014, seperti tanah longsor, kebakaran, dan musibah udara, jadi bahan refleksi penting memasuki tahun 2015.
Rangkaian musibah, seperti tragedi tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, musibah kebakaran Pasar Klewer di Jawa Tengah, dan kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501, sengaja diangkat untuk menggambarkan sebagian kondisi suram menjelang memasuki tahun 2015.

Lebih-lebih lagi, cakrawala tahun 2015 tidak hanya akan menghadirkan peluang yang menawarkan kecerahan, tetapi juga tantangan. Kiranya rangkaian peristiwa yang mengentakkan kita di sekitar pengujung tahun 2014 memberikan pelajaran berharga bagi upaya terobosan.

Dengan mengambil pelajaran dan melakukan terobosan, pergerakan waktu dari tahun 2014 ke tahun 2015 tidak menjadi sirkulasi waktu yang bersifat rutin, sekadar siang berganti malam atau sebaliknya, tetapi membawa perubahan. Pergantian tahun akan kehilangan makna jika dipersepsikan sebagai pergeseran penanggalan saja, tanpa diisi tindakan nyata yang membawa perbaikan.

Perlu dikemukakan, waktu dalam persepsi bangsa Yunani tidak hanya bersifat penanggalan (kronos), tetapi juga waktu sebagai makna (kairos). Tidaklah mengherankan juga jika orang Latin menegaskan, Tempora mutantur, et nos mutamur in illis. Secara harfiah dapat diartikan, 'Waktu selalu berubah, dan kita berubah di dalamnya'.

Atas dasar itu, pergantian tahun 2014 diharapkan membawa perubahan, khususnya bagi bangsa Indonesia. Prinsipnya, siapa yang tidak berubah, bukan hanya akan ketinggalan, melainkan juga akan punah. Waktu begitu penting sampai muncul istilah tempus est pecunia (waktu adalah uang). Sedemikian berharganya sampai orang harus mengejar-ngejar waktu, yang dilukiskan berlari tunggang langgang, bahkan terbang, time flies.

Tentu saja bangsa Indonesia harus berkejaran dengan waktu dalam mengejar pembangunan dan kemajuan. Indonesia akan jauh ketinggalan dengan negara tetangga jika tidak berbenah diri, menggunakan peluang, melakukan terobosan dalam banyak hal. Proses pembangunan dikhawatirkan akan kedodoran jika pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mampu memanfaatkan kesempatan yang terbuka lebar tahun 2015 dan seterusnya.

Sering terdengar keluhan, Indonesia kehilangan banyak kesempatan dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya, kereta api, pelabuhan udara, pelabuhan laut, dan perlistrikan. Tantangan pelik lain tentu saja bagaimana mengurangi angka kemiskinan yang masih tinggi serta mempersempit lebar kesenjangan sosial ekonomi.

Juga menjadi keprihatinan ketimpangan pembangunan antara wilayah timur dan barat. Belum lagi persoalan korupsi, penegakan hukum, hak asasi, dan pelestarian lingkungan. Sudah tiba waktunya melakukan perubahan dan perbaikan, tanpa perlu menunda-nunda lagi di bawah bendera revolusi mental yang sudah dicanangkan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010926001
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Nasib Wartawan di Ujung Tanduk (Kompas)

TAHUN 2014 dinilai sebagai tahun yang paling tidak bersahabat bagi para pewarta, yang juga akrab disebut dengan wartawan.
Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) mengungkapkan, lebih dari 60 wartawan tewas di seluruh dunia. Ada 220 pekerja media dipidana oleh rezim otoriter. Kasus terakhir, Jumat (26/12) lalu, Robert Chamwami Shalubuto, seorang wartawan media pemerintah, ditembak mati di Goma, Republik Demokratik Kongo. Jenazahnya ditemukan tergeletak di depan toko kelontong tak jauh dari rumahnya.

Para wartawan mencari informasi guna disebarkan melalui media, baik cetak, televisi, dan radio maupun melalui jejaring internet yang dapat diterima melalui komputer meja, laptop, hingga telepon seluler. Pada saat Anda membaca, menonton, atau mendengar berita tentang sejumlah peristiwa penting dan menarik di dunia atau saat telepon seluler Anda berbunyi, atau bergetar, saat ada berita yang masuk, ingatlah bahwa di belakangnya ada wartawan yang bekerja.

Kerja wartawan bukan sekadar profesi, melainkan sudah menjadi panggilan hidup. Saat menjalankan tugas, wartawan selalu menempatkan peristiwa dan kebenaran di tempat yang paling depan. Untuk memberitakan peristiwa atau mengungkapkan kebenaran, seorang wartawan mempertaruhkan segala-galanya, termasuk juga nyawanya. Ironisnya, dalam tahun 2014, lebih dari 60 wartawan tewas di seluruh dunia, dan sebagian besar di antaranya terjadi di wilayah Timur Tengah.

Saat meliput konflik atau perang, demi mengejar berita yang eksklusif, lain daripada yang lain, wartawan selalu berusaha berada di posisi terdepan. Tidak jarang wartawan kehilangan nyawanya dalam bertugas di daerah konflik atau perang. Jika kehilangan nyawa terjadi tanpa sengaja, hal tersebut adalah bagian dari risiko yang siap dihadapi wartawan. Namun, jika ia tewas karena sengaja dibunuh, itu adalah hal yang sangat sulit untuk diterima. Kita sangat menyesalkan keadaan seperti itu terjadi.

Kadang-kadang pembunuhan wartawan dilakukan karena wartawan tidak mau membuat berita sesuai dengan yang diinginkan sumber berita, baik rezim otoriter maupun kelompok militan. Yang lebih menyedihkan adalah jika pembunuhan wartawan tersebut dilakukan untuk memberi "pesan" kepada negara asal wartawan. Contohnya pembunuhan koresponden lepas asal Amerika Serikat, James Foley dan Steven Sotloff, oleh kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah.

Kita yakin dan percaya, wartawan tidak berhenti menjalankan tugasnya hanya karena ada lebih dari 60 wartawan tewas dalam tahun 2014 ini. Itu sebabnya, perlu diadakan kampanye agar rezim otoriter atau kelompok militan tidak melihat wartawan sebagai musuh walaupun kita tahu hal itu tak akan mudah. Sebaliknya, wartawan pun diharapkan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010924033
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 30 Desember 2014

Industri Ekstraktif dan Keterbukaan (ERRY RIYANA HARDJAPAMEKAS)

INDONESIA adalah negara pertama di Asia Tenggara yang berpredikat taat standar transparansi global untuk industri ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiative/EITI compliant country).
Prestasi membanggakan ini diberikan pada sidang Dewan Internasional di Naypyidaw, Myanmar, 15 Oktober 2014. Inilah buah kerja keras Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian selama empat tahun terakhir untuk memenuhi syarat standardisasi keterbukaan dan akuntabilitas industri ekstraktif.

Industri ekstraktif diartikan sebagai sumber daya yang bahan bakunya diambil langsung dari alam sekitar tanpa bisa diperbarukan, alias sekali ambil langsung habis. Masuk dalam kategori ini adalah sektor minyak dan gas bumi serta mineral dan batubara. Inilah sumber daya yang sering diasosiasikan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, "bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Hak mendapat informasi
Meski relatif baru, standar keterbukaan global ini telah diterapkan di 48 negara. Upaya standardisasi ini mendorong para kontraktor industri ekstraktif untuk membuka jumlah yang mereka bayarkan kepada pemerintah. Sebaliknya, pemerintah juga didorong melaporkan penerimaan negara dari para kontraktor pertambangan.

Bertindak sebagai pengumpul dan penelaah (reconciliator) adalah tim independen. Tim ini bekerja di bawah kelompok kerja yang disebut sebagai Tim Pelaksana Transparansi Industri Ekstraktif, terdiri dari unsur pemerintah pusat dan daerah, asosiasi industri, dan masyarakat sipil. Tim bekerja sejak 2010 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Laporan EITI Indonesia ini menjawab hak informasi rakyat Indonesia yang telah menunggu sejak republik ini merdeka akan seberapa kaya sesungguhnya bangsa ini. Dua laporan telah dipublikasikan. Laporan pertama mencakup periode 2009, laporan kedua mencakup dua periode sekaligus (2010-2011). Berikutnya, pada pertengahan 2015 Tim Pelaksana akan menerbitkan laporan untuk dua periode sekaligus (2012-2013).

Laporan EITI dibagi dalam dua sektor: (1) minyak dan gas, dan (2) mineral dan batubara. Laporan sektor minyak dan gas untuk 2010-2011 menjelaskan aliran kontribusi kontraktor secara detail. Misalnya perbedaan atas over/underlifting yang menjelaskan perlunya perbaikan pada penyelesaian perselisihan. Laporan EITI ini mencakup 99,5 persen (Rp 285 triliun) dari laporan keuangan pemerintah untuk penerimaan minyak dan gas.

Dari sektor mineral dan batubara, laporan EITI 2010-2011 itu memuat 83 perusahaan yang menjadi kontributor royalti di atas Rp 2,5 miliar.

Laporan ini cukup komprehensif mencatat bahwa dari 11.000 izin dan kontrak pertambangan yang berlaku, 83 perusahaan memberikan kontribusi 90 persen royalti dan 60 persen pajak badan. Artinya, 10.000 izin tambang lainnya berkontribusi hanya 10 persen royalti dan 40 persen pajak badan. Informasi ini dapat menjadi fakta bahwa potensi pendapatan dari tambang masih sangat besar dan harus ditingkatkan, seperti diinginkan Presiden Joko Widodo.

Potret industri ekstraktif
Sebelum ada kewajiban transparansi berstandar global ini, klaim rakyat Indonesia akan tanah air yang kaya baru sejauh "katanya". Rakyat yang tinggal di sekitar area operasi penambangan mineral, gas bumi, dan batubara tidak tahu berapa jumlah yang dibayarkan oleh perusahaan. Data tentang berapa besar penerimaan tahunan atas bagi hasil pemerintah daerah dari satu perusahaan tertentu pun belum pernah dilaporkan ke publik.

Padahal, faktanya adalah bahwa dari laporan keuangan pemerintah tahun 2012 dan 2013, penerimaan sektor migas dan tambang adalah Rp 347,7 triliun dan Rp 357,1 triliun, atau rata-rata 26 persen dari total pendapatan negara. Jika dimanfaatkan dengan baik, idealnya sumber daya alam yang sekali ambil langsung habis itu digunakan untuk modal jangka panjang membangun dan mengembangkan kapasitas manusia Indonesia.

Namun, data Bank Dunia pada 2011, yang menggunakan standar 2 dollar AS paritas daya beli per hari (PPP), menunjukkan bahwa sekitar 42 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Pendapatan industri ekstraktif ternyata tak berkorelasi positif dengan tingkat perbaikan pembangunan manusia.

Kita dapat membandingkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Kutai Kartanegara dengan Kabupaten Bontang. Di tahun 2012, pendapatan Kutai Kartanegara dari migas dan tambang Rp 3,42 triliun atau 4,5 kali lebih besar daripada Bontang. Padahal, IPM Bontang 77,85 jauh lebih tinggi daripada Kutai Kartanegara sebesar 74,24.

Meski demikian, ada kabar gembira di tahun 2013, yakni dari Riau dan Kalimantan Timur. Keduanya memiliki IPM 76,53 dan 75,78, peringkat terbaik ke-4 dan ke-5 secara nasional, dan di atas rata-rata Indonesia sebesar 73,81. Dari sejumlah kontraktor migas yang beroperasi, pemerintah provinsi dan kabupaten di Riau menerima bagi hasil migas sebesar Rp 13,3 triliun. Sementara provinsi dan kabupaten di Kalimantan Timur menikmati Rp 25,7 triliun, yang sebagian besar berasal dari Blok Mahakam. Meski bukan satu-satunya faktor, kita senang mengetahui bahwa kedua provinsi pemilik industri ekstraktif yang signifikan itu punya prestasi dalam investasi sumber daya manusianya.

Kajian Balitbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir 2013 mengindikasikan, pada kurun waktu tahun 2010 hingga 2012 terjadi kerugian negara definitif Rp 6,7 triliun dan potensi kerugian Rp 12 triliun di sektor pertambangan mineral dan batubara. Cukup mengecewakan bahwa jumlah kerugian definitif dan potensinya itu setara dengan hampir dua kali lipat yang diperoleh seluruh provinsi dan kabupaten di Riau dari industri ekstraktif di tahun 2012, yang sebesar Rp 11,2 triliun.

Potensi kerugian itu kini bisa diminimalkan dengan mekanisme laporan yang berstandar global. Dengan standar itu, berbagai data dan informasi dari pemerintah maupun perusahaan tambang wajib dibuka, apakah yang terkait perihal perizinan, produksi, atau alokasi.

Dengan demikian, kita bisa mendapat gambaran yang lebih lengkap dari sektor industri ekstraktif, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas tata kelola keuangan publik secara sistemik. Perbaikan diharapkan akan merambat ke iklim investasi serta manajemen risiko yang mungkin timbul akibat ketimpangan pembagian hasil.

Tak hanya itu. Rasa saling curiga pun bisa ditekan. Korupsi juga bisa diminimalkan dengan meningkatnya akses publik. Sambil jalan publik bisa terus belajar bagaimana memanfaatkan informasi itu untuk kepentingan masyarakat luas. Laporan EITI menjelma menjadi senjata warga untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang inklusif.

Reformasi sistemik
Apakah laporan EITI bisa dipercaya?

Sesuai standar global, kuncinya terletak pada dipisahkannya proses implementasi pelaporan dan validasi oleh tim yang berbeda. Adapun rakyat, yang punya keterwakilan di Tim Pelaksana Industri Ekstraktif, punya suara untuk mengawasi secara langsung dan terbuka proses tersebut.

Dengan kewajiban pelaporan setiap tahun ini, kini rakyat Indonesia berhak menuntut keterbukaan pemerintah dan produsen minyak, gas bumi, mineral, dan batubara. Pada akhirnya kewajiban ini akan berkontribusi terhadap reformasi sistemik dalam sektor industri ekstraktif.

Selangkah lagi kita bangsa Indonesia telah bergerak maju untuk mencapai cita-cita pembangunan yang adil dan merata.

Erry Riyana Hardjapamekas
Satu dari Dua Perwakilan Pelaksana untuk Asia dalam Dewan Internasional EITI,
Oslo, Norwegia, 2011-2012

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010758008
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Gus Dur dan Aceh (Teuku Kemal Fasya)

TANGGAL 17 September 1999, di halaman depan Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dipapah dua pemuda Aceh, Azmi dan Afdal Yasin, membuka selubung yang menutupi sebuah papan. Isinya dukungan untuk referendum di Aceh.
Gus Dur pun menangis tersedu. Tak jelas kenapa, tetapi ada yang mengatakan ia merasa sedih karena ditipu.

Afdal Yasin ialah anak tokoh Nahdlatul Ulama Aceh Selatan dan deklarator Partai Kebangkitan Bangsa di Aceh. Adapun  Azmi tokoh pemuda Aceh yang terkenal karena tinjunya kepada Ibrahim Hasan, mantan Gubernur Aceh. Ibrahim Hasan dianggap bersalah karena menyetujui proposal daerah operasi militer (1989-1998).

Takdir sejarah menarik mantan Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tiga kali itu menjadi presiden keempat RI pada 20 Oktober 1999, menggantikan BJ Habibie. Habibie tidak dipilih lagi karena kebijakan blundernya memberikan referendum untuk Timor Timur (kini Timor Leste) sehingga lepas dari pangkuan Republik Indonesia.

Dasar Gus Dur bukan seorang yang penakut dan traumatis, ia malah semakin intensif berkomunikasi dengan masyarakat Aceh. Sejak dilantik sebagai presiden, ia terus melakukan pendekatan menyelesaikan konflik secara nonmiliter.

Berpuluh kelompok masyarakat Aceh bertemu dengannya, baik di Ciganjur, Istana Negara, Hotel Peninsula, maupun di kediaman orang kepercayaan Gus Dur, H Masnuh. Semua kalangan diterimanya: aktivis mahasiswa, aktivis perempuan, ulama, politikus, dan juga tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tanpa protokoler yang ketat. Pertemuan itu bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali!

Dari pelbagai pertemuan itulah, Gus Dur menemukan resep penyelesaian Aceh melalui pihak ketiga. Masyarakat Aceh telanjur tak percaya kepada Jakarta. Gus Dur memercayakan kepada Hassan Wirajuda sebagai ketua tim lobi untuk menggandeng sebuah LSM internasional, Henry Dunant Centre (HDC), di Davos, Swiss. Pada 2 Juni 2000, hadirlah kesepakatan internasional pertama dalam sejarah republik ini untuk Aceh, yaitu Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause).

Sosok empatik
Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang keras, baik di parlemen maupun di pihak militer. Pihak GAM masih saja melakukan propaganda kemerdekaan sehingga kekerasan di lapangan terus terjadi.

Jeda Kemanusiaan I hanya bertahan tiga bulan dan direvisi menjadi Jeda Kemanusiaan II (15 September 2000). Lagi-lagi kesepakatan ini berakhir mungil pada 15 Januari 2001. Petinggi militer menganggap Gus Dur membawa anomali dalam penyelesaian konflik separatisme melalui internasionalisasi kasus Aceh. Baku tempur di lapangan merusak harapan perdamaian.

Meskipun gagal damai, Gus Dur tak malah berbalik arah memilih pendekatan represif. Dalam sebuah pertemuan dengan kami kelompok aktivis mahasiswa setelah kegagalan Jeda Kemanusiaan, Gus Dur berucap, selama ia presidennya, adalah haram mengambil kebijakan operasi militer lagi untuk Aceh.

Gus Dur menjadi presiden kurang dari dua tahun (20 Oktober 1999–23 Juli 2001). Namun, untuk waktu pendek itu, ia berhasil melakukan puluhan komunikasi dengan masyarakat sipil Aceh. Belum lagi pendekatannya dengan masyarakat Papua atau urusan lainnya.

Bagi saya, itulah the real blusukan, berkomunikasi dan memusyawarahkan pandangan-pandangan berbeda secara intensif. Dalam sejarah Republik Indonesia, belum ada presiden yang memiliki daya tahan sedemikian kuat untuk menerima dan mendengarkan semua kalangan. Ia menghormati semua pandangan.

Setelah pertemuan Kongres Perempuan Aceh (Duek Pakat Inong Aceh), Februari 2000, perwakilan perempuan Aceh menghadap Gus Dur untuk menyampaikan hasil kongres. Gus Dur telah mendengar bahwa kegiatan tersebut ditolak oleh GAM dan aktivis mahasiswa Aceh karena tidak membawa isu merdeka atau referendum. Perempuan Aceh saat itu membawa pesan perdamaian untuk mengatasi ketegangan antara pilihan referendum, otonomi khusus, dan merdeka.

Gus Dur bertanya, bagaimana ia tahu pilihan kelompok perempuan itu juga menjadi tuntunan masyarakat Aceh lainnya. Naimah Hasan, perwakilan perempuan saat itu, menyatakan bahwa jika substansi yang disampaikan sama dengan masyarakat sipil lain, berarti kelompok perempuan mendapat dukungan. Namun, jika disampaikan berbeda, sang Presiden bisa menilai apakah pilihan mereka benar atau salah. Di ujung perbincangan, Gus Dur mengangguk tanda setuju.

Sosok misterius
Meski dikenal sebagai pemikir Islam rasional, tindakan Gus Dur tidak sepenuhnya mudah dinalar. Sebagai tokoh yang dibesarkan di alam pesantren, aspek magisme dan karismatisme masih mudah merayu pandangannya. Tidak semua tindakannya berdasarkan ukuran obyektif dan matematis.

Salah satu kegemaran Gus Dur adalah bersilaturahim dengan ulama-ulama karismatis dari seluruh Nusantara. Di Aceh, salah seorang teman spiritualnya ialah Tgk Ibrahim Woyla. Pernah suatu kali ia memerintahkan stafnya untuk menjemput Abu Woyla ke Jakarta. Ternyata selama di istana, keduanya tidak melakukan komunikasi verbal. Gus Dur sibuk dengan urusan kenegaraan, sedangkan Abu Woyla sibuk berzikir. Ketika Abu Woyla berpamitan, Gus Dur memeluk dan mengucapkan terima kasih untuk komunikasi yang sangat bersahabat itu.

Bahkan, ketika jam-jam menjelang kejatuhannya sebagai presiden, Gus Dur masih berkeras untuk mempertahankan kekuasaan kepresidenan yang didapatkan secara konstitusional. Saat itu Abu Woyla berada di Istana Negara. Ia meminta izin kepada ajudan presiden, Sutarman (Kapolri sekarang), agar bisa menduduki kursi kepresidenan. Sutarman mendelik kepada pengikut Abu tanda tidak setuju.

Gus Dur mengetahui itu dan mempersilakan Abu Woyla untuk duduk. Beberapa waktu Abu berdoa dan mengusap-usap kursi kepresidenan tersebut. Setelah itu ia menyatakan, Gus Dur sudah waktunya turun. Tak tunggu lama, Gus Dur setuju dan keluar istana dengan celana pendek memberikan salam perpisahan.

Tanggal 30 Desember tahun ini sudah lima tahun Gus Dur wafat. Terlalu banyak kisah dan sisi teladannya yang tak habis diulas. Kisahnya bersama Aceh juga bagian dari sejarah penting bangsa ini. Tak elok dikecilkan atau disamarkan.

Teuku Kemal Fasya Dosen Antropologi Aceh

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010914575
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Reintegrasi Bukan Solusi (AGUS WIDJOJO)

SETELAH peristiwa tembak-menembak antara prajurit TNI dan anggota Polri di Batam, 19 November 2014, mengemuka aspirasi dari berbagai kalangan untuk mencari solusi permanen.
Di antara berita yang muncul tersua gagasan mengintegrasikan kembali pendidikan bagi perwira TNI dan perwira Polri tahun pertama dari tiga akademi angkatan dan akademi kepolisian (teks mengalir Metro TV, 24 November 2014).

Memang sudah lama muncul ketidakpuasan atas langkah reformasi pemisahan Polri dan TNI. Kebetulan sejak pemisahan itu banyak terjadi perselisihan antara anggota TNI dan Polri, bahkan timbul korban jiwa pada kedua pihak. Berdasarkan data Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, dalam tahun 2014 telah terjadi delapan kali konflik TNI-Polri. Jika dihitung sejak reformasi dalam kurun 1999-2014, jumlah insiden hampir 200 kasus dengan korban tewas 20 orang.

Peristiwa yang terjadi pada 19 November 2014 itu berawal dari penggerebekan oleh petugas kepolisian setempat terhadap gudang penyimpanan BBM ilegal. Insiden ini berlanjut di Markas Brimob setempat setelah anggota TNI mendatangi Markas Brimob itu. Pada saat inilah ada tembakan anggota Brimob yang melukai dua anggota TNI. Mengenai kegiatan itu dinyatakan oleh Mayor Jenderal TNI Fuad Basya bahwa tindakan anggota TNI itu tidak diketahui komandan atau pemimpin di atasnya (jumpa pers di Kantor Menko Polhukam, 14 November). Hasil penyelidikan tim investigasi TNI-Polri atas insiden bentrokan anggota TNI dan polisi di Batam, Kepulauan Riau, menyimpulkan ada anggota TNI yang menyalahi aturan dengan terlibat penjagaan BBM ilegal.

Sejumlah analisis pakar menyebutkan kasus penembakan anggota TNI di Batam terkait dengan konflik ekonomi di antara anggota TNI dan Polri. Menanggapi seringnya terjadi konflik antara anggota TNI dan Polri, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi menyatakan aparat keamanan kerap mengelola bisnis ilegal karena kurangnya anggaran untuk kedua instansi itu.

Karena frekuensi kejadian konflik antara anggota TNI dan Polri tak dikenal dalam era ketika Polri masih merupakan bagian dari struktur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), tidak mengherankan jika berdasarkan perbandingan di atas, ada sebagian kalangan berpenda- pat bahwa penyebab konflik antara TNI dan Polri adalah pemisahan Polri dari ABRI.

Berdasarkan itu dapat kita catat bahwa pertama, untuk TNI, terlibatnya anggota TNI terjadi tanpa sepengetahuan komandan atau atasannya. Kedua, anggota TNI yang terlibat itu tengah melakukan kegiatan yang melanggar aturan: menjaga BBM ilegal. Ketiga, kelakuan anggota TNI adalah dalam kapasitas perseorangan yang tidak mewakili satuan.

Dapat kita tarik kesimpulan bahwa konflik antara anggota TNI dan Polri tidak berkaitan dengan pemisahan Polri secara struktural dari ABRI. Tentu ketika Polri masih terintegrasi dengan ABRI, konflik antara Polri dan TNI bisa dikatakan tidak mungkin terjadi karena kedua institusi terintegrasi dalam satu institusi: ABRI. Alasan ini dapat memperkuat pendapat mereka yang berpikir bahwa agar TNI tak bentrok dengan Polri, mengapa tak diintegrasikan saja kembali kedua institusi itu?

Pertimbangan legalistik
Ada satu pertimbangan lain yang lebih kuat untuk tidak mengintegrasikan kembali Polri dengan TNI, yaitu pertimbangan legalistik yang diwadahi oleh undang-undang, dan pertimbangan kompetensi fungsional. TNI mempunyai peran konstitusional dalam fungsi pertahanan nasional. Peran pertahanan nasional pada dasarnya adalah kemampuan menyelenggarakan operasi militer perang menghadapi ancaman militer dari luar negeri. Fungsi organik sebuah kekuatan  militer adalah melaksanakan tugas perang. Institusi militer tak dirancang untuk berperan sebagai aparat penegak hukum. Kompetensi fungsional institusi militer adalah penyelenggaraan perang. Sebaliknya, fungsi konstitusional organik Polri adalah  keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum.

Dua kompetensi fungsional milik TNI dan Polri tidak dapat diintegrasikan karena perbedaan karakteristik yang mendasar. Ini dapat kita lihat dari pelatihan dalam pembinaan satuan TNI dan Polri. Latihan awal anggota TNI akan diawali dengan keterampilan menembak dalam hubungan satuan, berlanjut dengan pengembangan taktik tingkat satuan. Latihan untuk anggota Polri akan berpusat kepada kompetensi yang diperlukan dalam peran aparat penegak hukum, seperti penguasaan hukum, penyelidikan, dan penyidikan serta menembak tepat secara perseorangan. Kalau ada keterampilan lapangan, seperti menembak atau taktik lawan teror, tentu dilihat dalam perspektif penegakan hukum.

Integrasi Polri ke dalam struktur ABRI merupakan implementasi dari doktrin Dwifungsi di masa lalu. Praktik ini bersifat kontekstual dan tidak merujuk kepada kaidah perbedaan fungsi pertahanan dan penegakan hukum dalam sebuah kehidupan bernegara. Dalam mencari solusi permanen atas masalah konflik TNI dan Polri, kita harus menempatkan amanat konstitusi serta peran tiap institusi TNI dan Polri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai prioritas tertinggi dalam pertimbangan kita. Mengambil solusi untuk mengadakan reintegrasi antara TNI dan Polri hanya akan mengingkari hakikat permasalahan, memperlambat masa transisi demokrasi, dan kembali kepada tatanan masa lalu.

Integrasi Polri dengan TNI, walaupun terbatas dalam bidang pendidikan dan latihan, hanya akan memberi justifikasi bahwa TNI masih punya peran dalam fungsi penegakan hukum dan keamanan dalam negeri. Sebaliknya, mengintegrasikan pendidikan dan latihan Polri dengan TNI hanya akan memperpanjang pengaruh dan mempertebal kultur militer pada anggota Polri. Kondisi ini akan berpengaruh memperpanjang masa transisi Polri jadi polisi sipil, sekaligus memperpanjang waktu yang diperlukan untuk melewati masa transisi demokrasi.

Perilaku individu yang terbukti dalam berbagai konflik terjadi antara anggota TNI dan Polri menunjukkan penyebab masalah ini ada pada fungsi kontrol. Kontrol untuk tingkat perseorangan menjadi tanggung jawab peran kepemimpinan di satuan masing-masing. Kontrol untuk tingkat kelembagaan berada pada prosedur dan mekanisme checks and balances serta kontrol demokratis tiap lembaga. Secara umum kekuasaan eksekutif dikontrol oleh lembaga kekuasaan legislatif. Secara kelembagaan, TNI dan Polri perlu dikontrol secara demokratis oleh otoritas sipil. Memang terjadi ketidakseimbangan dalam fungsi kontrol demokratis antara TNI dan Polri. Kalau TNI memiliki menteri pertahanan yang memegang akuntabilitas politik atas TNI, Polri yang diposisikan langsung di bawah presiden sepenuhnya tak memiliki pejabat politik yang memegang akuntabilitas politik atas Polri. Secara operasional juga harus jelas Polri melaksanakan kebijakan siapa. Karena keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah sipil di daerah, seharusnya dalam peran operasional keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri melaksanakan kebijakan politik otoritas sipil di daerah.

Keefektifan pengawasan
Solusi konkret untuk mengatasi konflik antara TNI dan Polri adalah meningkatkan keefektifan pengawasan dalam peran kepemimpinan satuan masing-masing, baik TNI maupun Polri. Pemimpin TNI dan Polri harus meyakini peran dan wewenangnya sesuai dengan amanat konstitusi, serta menekankannya kepada anggota masing-masing. Kalau
peran dan kewenangan TNI dan Polri masing-masing telah berubah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, perubahan peran dan kewenangan itu harus diyakini pemimpin TNI dan Polri, dan tak lagi menengok peran masa lalu.

Kontrol kelembagaan dalam sebuah demokrasi juga harus diyakini pemimpin TNI dan Polri, bahwa untuk sebuah lembaga profesional dan operasional seperti TNI dan Polri, masing-masing harus ditempatkan di bawah kontrol demokratis. Perbaikan tingkat kesejahteraan bagi anggota TNI dan Polri agar tidak melakukan tindakan ilegal bagi perbaikan kesejahteraan mungkin dapat mencegah atau mengurangi kemungkinan konflik antara anggota TNI dan Polri.

Pada akhirnya tingkat kesejahteraan apa pun, apabila tidak diletakkan atas dasar pengawasan serta penegakan aturan dan hukum melalui kepemimpinan yang efektif, tak akan mengurangi konflik antara anggota TNI dan Polri seperti di masa lalu. Konflik antara anggota TNI dan Polri dapat dikurangi dan dicegah dengan meningkatkan fungsi pengawasan. Pengawasan atas perseorangan melalui kepemimpinan yang efektif, sedangkan pengawasan atas lembaga melalui fungsi checks and balances serta kontrol demokratis.

Konflik antara anggota TNI dan Polri tidak disebabkan pemisahan Polri dan TNI. Pemisahan Polri dan TNI merupakan keniscayaan berdasarkan lazimnya kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang memisahkan fungsi pertahanan dari fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum, serta juga kaidah demokrasi. Reintegrasi TNI dan Polri bukan merupakan solusi permanen mengatasi konflik TNI dan Polri yang terjadi.

Agus Widjojo
Mantan Kepala Staf Teritorial TNI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010758086
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Musibah sebagai Tragedi (Kompas)

MUSIBAH pesawat QZ 8501 AirAsia, yang membawa 162 orang, merupakan tragedi kemanusiaan yang mengundang kepedihan mendalam.
Atas musibah itu, berbagai kalangan, terutama orang-orang yang kehilangan sanak saudaranya, tidak hanya terguncang, tetapi juga merunduk, merasa tidak berdaya karena gagal mencegahnya. Itulah tragedi, yang dalam legenda Yunani sebagai drama kehidupan yang tidak dapat dihindari.

Namun, segera terlihat pula, tanpa komando, berbagai kalangan dan berbilang negara bersatu, menyatakan solidaritas dalam upaya memberikan bantuan dan pertolongan. Ekspresi keprihatinan bermunculan di mana-mana, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai penjuru dunia. Kecelakaan itu telah menjadi peristiwa global sebagai dampak kemajuan teknologi komunikasi.

Musibah QZ 8501 beredar secara serempak, simultan dan seketika, real time, sebagai pengaruh penggunaan multimedia. Hanya dalam sekejap, berita tentang kecelakaan QZ 8501 beredar luas sampai ke mancanegara. Berbagai kalangan berharap upaya pencarian akan segera membawa hasil, meski juga harus diakui tantangannya tidak kecil. Sekadar ilustrasi kasus pesawat MH 370 Malaysia Airlines, yang mengangkut 239 orang, masih dinyatakan hilang sejak 8 Maret lalu.

Sudah pasti, musibah QZ 8501 menjadi perbincangan luas, tidak hanya sebagai tragedi kemanusiaan, tetapi juga karena mempunyai efek demonstratif tinggi. Pesawat terbang sendiri merupakan salah satu pencapaian manusia yang luar biasa. Dengan kemampuan pikirannya, yang digerakkan oleh imajinasi, manusia menciptakan pesawat, yang mampu mengatasi keterbatasan ruang dan waktu.

Namun, di balik kehebatan temuan pesawat terbang dan berbagai teknologi tinggi lainnya, selalu ditemukan kelemahan. Sehebat-hebatnya kecanggihan pesawat terbang, sudah pasti mengandung unsur kelemahan sebagai ciptaan manusia. Sudah pasti upaya memperbaiki standar keamanan dan kenyamanan terus dilakukan, tetapi belum seluruhnya mampu mengatasi potensi kelemahan sebagai sebuah absurditas.

Musibah pesawat AirAsia mungkin saja dianggap sebagai bagian dari absurditas, tetapi tetap penting melakukan penyelidikan menyeluruh untuk memastikan penyebab sesungguhnya untuk mencegah insiden serupa di masa depan. Secara umum selalu dikatakan, musibah udara dapat disebabkan oleh kesalahan teknis, tetapi juga karena kesalahan manusia.

Apa pun penyebabnya, kejadian ini diharapkan memberikan pelajaran penting bagi evaluasi dan perbaikan layanan perjalanan udara di masa mendatang. Sambil menunggu hasil pencarian dan pertolongan, rasa setia kawan dan solidaritas perlu diperlihatkan kepada sanak saudara para korban, yang sedang terguncang dalam ketidakpastian dan kepedihan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010915644
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Hidup bersama Cuaca Buruk (Kompas)

CUACA buruk menjadi perhatian luas setelah pesawat AirAsia QZ 8501 hilang kontak dengan Pengawas Lalu Lintas Udara Jakarta, Minggu (28/12).
Dugaan sementara, cuaca buruk di wilayah antara Belitung dan Kalimantan menyebabkan hilangnya pesawat tersebut. Awan kumulonimbus yang disebut juga awan badai, dalam pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, tumbuh sejak dini hari Minggu di kawasan Air Asia 8501 yang hilang kontak.

Cuaca buruk terjadi di beberapa tempat dalam waktu berdekatan dengan dampak tidak kurang memprihatinkan meskipun kurang mendapatkan perhatian.

Negara tetangga, Malaysia, di bagian utara mengalami bencana banjir terburuk dalam 30 tahun terakhir. Korban jiwa 10 orang di sana dan 14 orang di selatan Thailand. Meskipun banjir mulai surut, hujan lebat disertai angin kencang yang dibawa angin musim diperkirakan akan terjadi seminggu ke depan.

Sabtu pekan lalu hujan salju disertai angin berkecepatan 160 kilometer per jam melanda Perancis, Jerman, dan Inggris. Perjalanan darat, laut, dan udara banyak tertunda karenanya dan menimbulkan kerugian ekonomi.

Kita juga masih ingat badai Hagupit berkecepatan 210 kilometer per jam menerpa Filipina awal Desember lalu dan mengambil korban setidaknya 27 jiwa. Akhir November setahun sebelumnya, negara yang sama diterpa badai Haiyan yang berkecepatan 235 kilometer per jam.

Kejadian cuaca buruk yang semakin kerap dan meningkat intensitasnya di sejumlah negara dihubungkan dengan perubahan iklim. Kenaikan suhu bumi akibat aktivitas manusia dianggap penyebab perubahan iklim.

Iklim merupakan sistem kompleks dan saling berhubungan. Aktivitas manusia di satu tempat, seperti industri yang mencemari udara, dampaknya akan dirasakan seluruh penghuni Bumi.

Beberapa tanda penting perubahan iklim dicatat lembaga antariksa AS, NASA. Di antaranya, sembilan dari 10 tahun terakhir merupakan tahun terpanas sejak tahun 1880. Partikel karbon dioksida di udara penyebab efek rumah kaca yang utamanya berasal dari kegiatan manusia, saat ini yang tertinggi dalam 650.000 tahun terakhir.

Untuk negara dengan garis pantai panjang atau negara kepulauan seperti Indonesia, ancaman juga datang dari naiknya permukaan air laut. Dalam satu abad terakhir, permukaan air laut naik mendekati 2 sentimeter.

Sementara dunia merundingkan cara mencegah perubahan iklim berlanjut, yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan adaptasi dan mitigasi dampak perubahan tersebut, terutama di negara berkembang dan warga miskin.

Manusia dengan akal budinya telah bertahan terhadap berbagai perubahan iklim. Dengan itu pula manusia harus menghindarkan kerusakan lingkungan lebih lanjut karena alam dapat bereaksi di luar kemampuan kita mengatasi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010915087
Powered by Telkomsel BlackBerry®

ANALISIS POLITIK: Tahun Arogansi Politik (Kompas)

MALAM itu, ketika kami berdiri di depan sebuah hotel, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan versi Muktamar Surabaya, Romahurmuziy, berkata bahwa para senior yang tak mau melepaskan kepemimpinan partai kepada generasi muda, dalam hal ini kubu Suryadharma Ali, pada akhirnya akan malu di depan publik.

"Menang ora kondang, kalah ngisin-ngisini (menang tidak terkenal, kalau kalah, malunya enggak ketolongan)," katanya.

Penulis tertawa mendengar itu. Tidak saja sudah lama tidak mendengar kata-kata mutiara tersebut, tetapi membenarkan pandangan tokoh muda PPP itu. Konflik internal di tubuh PPP telah ikut menebarkan pesimisme di tengah masyarakat bahwa partai politik tidak lebih dari sekadar perusahaan pribadi para pemimpinnya yang memberikan keuntungan pasti, yaitu hak-hak istimewa politik dan ekonomi.

Tidak mengherankan jika mereka enggan melepaskan kepemimpinan di tubuh partai. Mereka abai pada cita-cita bahwa berpartai adalah bekerja dengan hati untuk mewujudkan mimpi bersama membangun masyarakat adil dan makmur.

Sikap mereka yang ingin terus menguasai partai, jika tak boleh disebut mengangkangi, membuat karakter mereka terkesan arogan. Mungkin benar pandangan Daoed Joesoef (Kompas, 26/12) bahwa mereka telah terserang virus fulus secara akut sehingga nilai-nilai keutamaan dan kepemimpinannya hancur.

Selain PPP, konflik di tubuh Partai Golkar juga menyiratkan arogansi politik yang berkembang di partai beringin itu. Terpilihnya Aburizal Bakrie dalam musyawarah nasional di Bali secara aklamasi memicu keraguan masyarakat pada keabsahan kepemimpinannya.

Ini berkaitan dengan "hilangnya" beberapa calon ketua umum, seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan Agus Gumiwang Kartasasmita, di Munas Bali. Apa pun alasannya, fakta itu mendelegitimasi hasil munas tersebut, dan sebaliknya, menggambarkan praktik arogansi politik.

Sehubungan dengan hal itu, apabila berita di media massa dianggap sebagai representasi masyarakat, Munas Ancol yang diselenggarakan kubu Agung Laksono lebih men-
dapatkan dukungan publik. Penyelenggaraannya yang demokratis menjadi kunci utama bahwa mereka tidak arogan dan me-
lakukan kontestasi secara terbuka dan akuntabel.

Secara umum, saya ingin mengatakan bahwa 2014 merupakan tahun yang diwarnai dengan banyaknya perilaku arogansi di ranah politik. Bukan saja arogansi yang terjadi di tubuh PPP dan Golkar, melainkan juga di parlemen.

Penetapan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) beberapa hari sebelum pemilu legislatif dan tekanan agar pemilihan umum kepada daerah tidak dilakukan secara langsung merupakan praksis arogansi politik. Di luar itu, pernyataan awal Koalisi Merah Putih yang tidak mau menerima hasil pemilu presiden dan berkehendak melawan terus-menerus juga merupakan anggota himpunan arogansi politik.

Empat alasan

Sekurangnya ada empat alasan terjadinya arogansi politik. Pertama, berkaitan dengan berlakunya konglomerasi politik. Secara umum, partai politik di Tanah Air saat ini dikuasai para saudagar. Sistem pemilihan langsung yang membutuhkan banyak biaya membuat partai kehilangan ruang gerak idealismenya dan terjebak pada pragmatisme.

Dalam situasi seperti itu, para saudagar yang menguasai dana mencukupi lebih mudah masuk ke dalam lingkaran inti partai, bahkan langsung dipilih menjadi ketua umum. Ketika situasi tersebut terjadi, partai otomatis kehilangan nyawa perjuangan dan kemanusiaannya. Dia berubah menjadi sekadar alat politik yang bekerja demi kepentingan ketua umum dan para letnannya.

Kedua, berkaitan dengan patronase politik. Setelah partai berada di satu tangan, yaitu pengusaha yang politisi, kultur patronase secara otomatis berkembang. Ketergantungan pada dana dan restu politik dari ketua umum membuat kamar kelahiran politisi muda yang visioner terkunci.

Tidak mengherankan jika pada era Indonesia yang demokratis seperti sekarang belum lahir politisi dan pemimpin sekaliber Bung Karno muda, Bung Hatta muda, dan Bung Sjahrir muda. Ini disebabkan pendidikan dan pengaderan politik yang selama ini tidak berjalan.

Faktor ketiga dari terjadinya arogansi politik adalah penguasaan sumber daya politik. Politisi yang miskin nilai-nilai keutamaan berbangsa-bernegara, tetapi kaya uang cenderung memandang bahwa setiap kepala ada harganya. Tidak ada yang tidak bisa dibeli di bawah sinar matahari, baik itu media, jaringan dukungan, maupun suara rakyat.

Mereka juga mudah terjebak pada keglamoran iklan dan menganggap bahwa dengan iklan yang masif, semua dukungan politik otomatis sudah di tangan. Mereka terlalu percaya diri dan arogan.

Terakhir, arogansi politik disebabkan dukungan populi. Perolehan suara yang meningkat drastis dalam pemilu legislatif, antusiasme partai yang mengajak koalisi, dan hasil pemilu presiden yang berselisih tipis memicu darah arogansi bergolak.

Mereka percaya dukungan rakyat begitu dahsyat, apalagi disertai hiruk-pikuk yel-yel. Mereka tidak pernah berpikir bahwa itu bukanlah dukungan loyal, melainkan hanya pilihan politik sesaat mengikuti perilaku kerumunan.

Berkaca dari itu semua, arogansi politik memang tidak layak diteruskan. Karena, seperti kata Romahurmuziy, kalau menang ora kondang, kalah ngisin-ngisini.

Sukardi Rinakit
Chairman Soegeng Sarjadi Syndicate

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010916310
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 29 Desember 2014

Dua Kurikulum: 2006 dan 2013 (Elin Driana)

PENGHENTIAN Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru menjalankannya selama satu semester—dan hanya diterapkan di sekolah-sekolah yang sudah menjalankannya selama tiga semester—oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menuai beragam reaksi.
Tidak sedikit yang menyesalkan keputusan tersebut, baik dari kalangan guru, siswa, orangtua, maupun anggota masyarakat lainnya.  Reaksi yang cukup dominan antara lain kekhawatiran akan kembalinya pembelajaran pada model ceramah yang membosankan, latihan-latihan soal, atau hanya mengacu pada buku teks apabila menggunakan Kurikulum 2006.

Banyak kesamaan
Ditinjau dari prinsip-prinsip pembelajaran, sebetulnya tak ada perbedaan yang berarti antara Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22/2006—yang ditandatangani mendiknas terdahulu Bambang Soedibyo—menyebutkan bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip antara lain "berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya"; "beragam dan terpadu"; "tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni"; "relevan dengan kebutuhan kehidupan"; "menyeluruh dan berkesinambungan"; "belajar sepanjang hayat"; dan "seimbang antara kepentingan nasional dan daerah".  Adapun pelaksanaan kurikulum didasarkan pada prinsip-prinsip pembelajaran, antara lain: "aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan"; "menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, serta memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar".

Pendekatan saintifik yang kerap dipromosikan sebagai keunggulan Kurikulum 2013 sebenarnya juga telah ada dalam Kurikulum 2006. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  No 41/2007 tentang Standar Proses disebutkan, "Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi".

Disebutkan bahwa dalam proses eksplorasi, peserta didik memiliki kesempatan untuk "mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang tengah dipelajari". Peserta didik pun difasilitasi untuk "melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan". Sementara itu, dalam proses elaborasi, peserta didik dibiasakan antara lain untuk "membaca dan menulis melalui penugasan-penugasan yang bermakna, berdiskusi, memunculkan gagasan, baik secara lisan maupun tulisan", serta "berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut". Adapun dalam proses konfirmasi, guru dan peserta didik berkesempatan untuk memberikan umpan balik dan melakukan refleksi atas pembelajaran yang telah dilalui.

Pembelajaran berbasis masalah dan proyek yang  kerap diklaim sebagai terobosan Kurikulum 2013 juga sebenarnya telah ada dalam Kurikulum 2006. Begitu pula dengan penilaian otentik, misalnya melalui unjuk kerja, hasil karya, proyek, dan produk, telah ada dalam Kurikulum 2006. Pendidikan karakter pun telah tercakup dalam Kurikulum 2006.

Faktor-faktor penentu
Jika terdapat banyak kesamaan prinsip-prinsip Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013, mengapa masih berkembang anggapan di sebagian guru, siswa, orangtua, dan anggota masyarakat lainnya bahwa pembelajaran dengan menggunakan Kurikulum 2006 berbeda daripada Kurikulum 2013? Keberhasilan implementasi kurikulum bergantung pada faktor-faktor penentu, seperti peningkatan kualitas guru, misalnya melalui pelatihan, pendampingan, dan kegiatan kolaboratif. Termasuk perubahan pola pikir dalam pembelajaran dan motivasi untuk melakukan perubahan dari praktik-praktik yang selama ini dilakukan ke arah yang lebih baik, pembenahan sarana dan prasarana penunjang, serta pemenuhan  standar-standar nasional pendidikan lainnya.

Prinsip-prinsip pembelajaran Kurikulum 2006 yang pada dasarnya sama dengan Kurikulum 2013 tampaknya tidak tersosialisasikan dan tidak terimplementasikan dengan semestinya karena tidak memadainya upaya pembenahan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan penerapan kurikulum tersebut. Akibatnya, ketika prinsip-prinsip pembelajaran yang dipandang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam menghadapi tantangan masa depan tersebut dikemas kembali dalam Kurikulum 2013, tak sedikit menganggap bahwa prinsip-prinsip itu tidak ada dalam Kurikulum 2006, tidak terkecuali di kalangan tim yang menyosialisasikan kurikulum tersebut.

Kini, masyarakat perlu diyakinkan bahwa kembali ke Kurikulum 2006 bukanlah suatu kemunduran dibandingkan dengan tetap menggunakan Kurikulum 2013. Kedua kurikulum tersebut memiliki keunggulan-keunggulan yang relatif sama dan keduanya pun sama-sama memiliki kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki. Siswa dan orangtua yang anak-anaknya bersekolah di sekolah yang menggunakan Kurikulum 2006 tidak perlu merasa dinomorduakan.

Selain itu, masyarakat perlu mengetahui secara lebih utuh masalah-masalah lebih substantif yang ada dalam Kurikulum 2013, di samping masalah-masalah dalam implementasinya, yang menjadi dasar penghentian Kurikulum 2013 di sekolah yang baru menjalankannya selama satu semester. Sebagai contoh, rumusan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dalam Kurikulum 2013 mengandung kelemahan-kelemahan dari sisi substansi dan logika. Ini kemudian berdampak pula pada perumusan indikator-indikator Kompetensi Dasar dan penyusunan bahan ajar.

Kurikulum masa depan
Seiring dengan berjalannya evaluasi dan implementasi Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006, diharapkan dalam praktiknya tak mencolok lagi dikotomi antara Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006. Justru diharapkan semakin mengarah pada kurikulum yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan keragaman latar belakang serta karakteristik peserta didik.

Penilaian sikap spiritual dan sosial dalam Kurikulum 2013 yang rumit dari sisi administratif—mengingat jumlah siswa yang bisa mencapai ratusan yang harus diamati seorang guru dan perlu dipertanyakan juga secara substantif—merupakan aspek yang mendesak untuk dievaluasi. Beban tatap muka minimal 24 jam per minggu bagi guru di luar tugas-tugas yang lain, jumlah mata pelajaran dan jam belajar siswa  serta beban siswa, perlu dikaji kembali dengan melibatkan juga ahli-ahli psikologi pendidikan dan perkembangan, misalnya. Orientasi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dalam mempersiapkan guru pun semestinya tidak lagi dibatasi oleh kurikulum tertentu. Akan tetapi, lebih pada pengembangan kemampuan dalam merancang, menjalankan, dan mengevaluasi proses pendidikan yang sesuai dengan keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik dan peka terhadap tuntutan-tuntutan perubahan.

Kurikulum pun sepatutnya dikembalikan pada fungsinya sebagai panduan pembelajaran, bukan diperlakukan sebagai buku petunjuk penggunaan mesin yang diikuti secara kaku.  Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 36 Ayat (2), menyebutkan, "Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik". Kurikulum yang kaku dan terlalu rinci, terlebih bagi Indonesia dengan latar belakang dan karakteristik peserta didik yang beragam, tidak akan mampu mengimbangi tantangan-tantangan masa depan yang terus berubah dan semakin kompleks.

Elin Driana
Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta;
Salah Seorang Koordinator Education Forum

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010791971
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mengelola Konflik Partai Politik (Syamsuddin)

DUA partai politik tertua negeri ini, Partai Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan, terperangkap konflik internal. Setiap pihak mengklaim sebagai kepengurusan yang sah atas yang lain. Mengapa parpol-parpol kita masih rentan konflik?
Sejarah negeri ini pada dasarnya tak bisa dipisahkan dari sejarah panjang konflik parpol, baik yang bersifat internal  maupun antarpartai. Sumber konflik internal umumnya terkait gesekan suksesi kepemimpinan di antara elemen, unsur, atau aktor utama partai. Konflik internal juga dipicu oleh perbedaan cara pandang dan ideologi tokoh-tokoh partai mengenai isu atau kebijakan tertentu.

Konflik eksternal lebih terkait perbedaan dalam memandang posisi partai ketika berhadapan dengan otoritas politik, dalam hal ini pemerintah yang berkuasa. Partai-partai politik besar pada masa lalu, seperti  Serikat Islam yang kemudian menjadi Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Masyumi, pernah mengalami konflik dan perpecahan internal.

Pada era rezim otoriter Orde Baru, konflik internal yang dialami Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) umumnya dipicu oleh campur tangan negara dalam seleksi kepemimpinan parpol. Rezim Soeharto biasanya mendukung tokoh-tokoh tertentu sebagai calon ketua umum partai dan sebaliknya menghambat munculnya figur-figur yang dianggap kritis terhadap Orde Baru.

Selain itu, rezim Soeharto juga berkepentingan untuk "memelihara" konflik internal parpol agar di satu pihak PPP dan PDI dapat "dikuasai", dan di pihak lain supaya Golkar, yang notabene menolak disebut sebagai parpol, selalu memenangi pemilu-pemilu manipulatif Orde Baru secara mayoritas mutlak.

Ketika negara Orde Baru yang selalu memaksakan kehendak itu runtuh bersamaan dengan mundurnya Soeharto pada 1998, konflik internal parpol semestinya turut surut pula. Apalagi pada era reformasi tidak ada pembatasan kebebasan berserikat untuk membentuk parpol baru seperti dialami bangsa kita selama lebih dari 30 tahun Orde Baru.

Akan tetapi, dalam realitasnya ternyata konflik internal parpol tak berkurang. Konflik internal PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri sekurang-kurangnya pernah melahirkan Partai Nasional Benteng Kemerdekaan (PNBK) yang dipimpin Eros Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang pernah diketuai secara ganda oleh kubu Laksamana Sukardi dan kubu Roy BB Janis, serta Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA) yang didirikan oleh Profesor Dimyati Hartono.

Konflik internal Partai Amanat Nasional pernah melahirkan Partai Matahari Bangsa (PMB) yang mencoba mewadahi sayap kaum muda Muhammadiyah yang kecewa terhadap kepemimpinan PAN di bawah Soetrisno Bachir. Partai Golkar dan PPP yang tengah terperangkap konflik internal pernah berkali-kali mengalami konflik sebelumnya,  tetapi relatif dapat diredam karena masih kuatnya ketokohan dan patronase sejumlah figur petinggi partai sehingga tidak "gaduh" secara publik seperti konflik terakhir.

Produk konflik Golkar
Sejumlah parpol baru yang lahir setelah Pemilu 1999, seperti  Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Nasdem, pada dasarnya adalah produk konflik internal Golkar. Para tokoh yang memimpin partai-partai tersebut, masing-masing Wiranto, Prabowo Subianto, dan Surya Paloh, pernah berupaya menjadi ketua umum partai beringin, tetapi gagal.

Sementara itu, pertikaian internal PPP pada awal reformasi melahirkan PPP Reformasi yang kemudian menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR) di bawah kepemimpinan Zainuddin MZ dan Bursah Zarnubi, yang juga sempat konflik sebelum akhirnya "dai sejuta umat" Zainuddin MZ wafat.

Salah satu sumber konflik internal yang hampir selalu mendera parpol adalah problem kepemimpinan dalam manajemen partai. Ketika partai-partai politik dikelola secara oligarkis dan kepemimpinan personal lebih melembaga ketimbang kepemimpinan institusional, konflik internal parpol hanya soal waktu. Apalagi jika pemimpin partai mengabaikan prinsip demokrasi, transparansi, dan meritokrasi, serta cenderung memaksakan kehendak dengan cara memanipulasi konstitusi partai.

Problem kepemimpinan parpol bertambah rumit ketika sebagian pengurus dan anggota partai cenderung mengultuskan kepemimpinan figur  atau tokoh tertentu yang dianggap berjasa bagi partai. Ironisnya, para pemimpin partai yang dikultuskan tersebut tak hanya cenderung "menikmati" kultus atas diri mereka, tetapi juga tidak jarang memosisikan diri berada di atas partai. Akibatnya, partai-partai politik yang esensinya merupakan institusi publik akhirnya berkembang menjadi firma-firma pribadi dengan hak-hak istimewa yang melekat pada keluarga dan kroni para pemimpin partai.

Di sisi lain, melembagakan kepemimpinan partai yang demokratis bukanlah perkara mudah. Persoalannya, pada umumnya parpol di negeri ini hanya sibuk menjelang perebutan jabatan publik melalui pemilu dan pilkada, serta jabatan kepengurusan melalui munas, muktamar, dan kongres partai. Kaderisasi dan seleksi kepemimpinan atas dasar sistem meritokrasi hampir-hampir tidak pernah berlangsung.

Yang tumbuh subur pada akhirnya adalah kepemimpinan oligarkis yang terbangun dari sistem patronase, perkoncoan, dan kubu-kubuan yang diikat oleh kemampuan sang pemimpin mengalokasikan sumber-sumber politik dan ekonomi kepada para pendukungnya.

Mahkamah partai?
Sulit dimungkiri, baik Golkar maupun PPP tengah terperosok ke dalam realitas tata kelola partai yang tidak sehat seperti dikemukakan di atas. Resolusi dan penyelesaian konflik menjadi rumit karena hampir semua elite partai terbelah ke dalam dua kubu yang berseteru.

Mekanisme penyelesaian konflik melalui "mahkamah partai" masih diragukan keampuhannya. Bukan hanya karena lembaga yang diintroduksi oleh UU No 2/2011 tentang Partai Politik itu masih baru, melainkan karena sebagian anggota mahkamah partai juga terbelah ke dalam pihak yang berkonflik.

Oleh karena itu, salah satu harapan kedua pihak adalah menempuh jalur hukum melalui pengadilan negeri yang memiliki otoritas menerbitkan keputusan pertama dan terakhir atas perkara konflik partai. Jika salah satu pihak tidak puas atas keputusan pengadilan, dapat dilakukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Pertanyaannya, apakah pengadilan memiliki hakim yang kompeten mengadili perkara konflik internal parpol? Pertanyaan yang sama bisa diajukan kepada Mahkamah Agung sebagai pemutus akhir. Artinya, penyelesaian konflik partai politik secara hukum tidak menjamin terselesaikannya konflik secara politik.

Oleh karena itu, salah satu pilihan bagi Golkar dan PPP adalah melakukan rekonsiliasi di luar pengadilan, yakni  dengan cara mengembalikan partai pada posisi status quo, dalam arti legalitasnya didasarkan atas hasil munas atau muktamar terakhir sebelum konflik.

Akan tetapi, karena masa jabatan pengurus telah melampaui lima tahun, kepengurusan tersebut semestinya dalam status sudah demisioner. Dengan demikian, pihak-pihak yang bertikai bisa berkedudukan setara dalam menyelesaikan perbedaan di antara mereka. Jika masih ada, tokoh senior partai yang berwibawa dan tidak berpihak bisa menjadi mediator penyelesaian konflik.

Pilihan kedua, dilakukan munas ataupun muktamar luar biasa yang penyelenggaraannya diorganisasikan oleh kedua pihak yang bertikai, tentu dengan syarat dua kubu kepengurusan dinyatakan bubar secara sukarela. Pertanyaannya, apakah dua kubu mau berlapang dada membubarkan kepengurusan hasil munas atau kongres.

Singkatnya, harus ada sikap kenegarawanan di antara pemimpin kubu pihak-pihak yang bertikai untuk memaksimalkan persamaan dan sebaliknya meminimalkan perbedaan di antara mereka. Jika tidak, bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa para politisi yang bertikai dapat mengurus negara jika konflik di antara mereka sendiri tak sanggup diselesaikan?

Syamsuddin Haris
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010837240
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pajak dan Masa Depan Indonesia (Salahuddin Wahid)

SAAT ini Direktorat Jenderal Pajak menjadi sorotan publik dalam banyak hal: dari realisasi penerimaan pajak yang dipastikan tak akan tercapai hingga lelang jabatan Dirjen Pajak.
Di antara beberapa hal itu, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan pejabat Direktorat Jenderal Pajak menarik dikupas karena Presiden memberi janji berupa dukungan penuh terhadap pelaksanaan tugas pengumpulan penerimaan negara melalui pajak. Presiden juga menyampaikan peningkatan target penerimaan pajak pada 2015 sebesar Rp 600 triliun.

Dukungan tersebut menggembirakan rakyat karena ketakadilan pajak atas warga negara kian parah. Faktanya, pengenaan dan penagihan pajak tajam ke rakyat kecil tumpul menghadapi konglomerat, orang kaya, dan pejabat negara. Ketakadilan itu bukan disebabkan kesalahan pegawai Pajak semata karena sesungguhnya pegawai Pajak hanya bertugas sesuai dengan aturan. Sayangnya, dalam pelaksanaan tugasnya, pegawai Pajak sering dapat gangguan dari banyak pihak sebab bersentuhan dengan kepentingan pihak tertentu.

Selama ini tak pernah ada perlindungan dari negara ketika pegawai Pajak melaksanakan tugas. Dengan dukungan langsung Presiden, pegawai Pajak bisa dilindungi ketika sedang melaksanakan tugas sehingga mampu melaksanakan tugas dengan benar tanpa takut lagi.

Mewujudkan dukungan
Pernyataan Presiden tidak cukup, harus segera ada implementasi nyatanya. Pada masa lalu pernyataan Presiden kerap dituangkan dalam instruksi presiden. Jadi, yang seyogianya dilakukan Presiden adalah mengeluarkan instruksi presiden untuk menerjemahkan perlindungan terhadap pelaksanaan tugas Ditjen Pajak, sekurang-kurangnya memuat beberapa hal berikut.

Pertama, melakukan penyusunan perppu atau UU untuk menempatkan Ditjen Pajak badan mandiri secara struktural di bawah Presiden dan terpisah dari Kementerian Keuangan. Ini penting agar Presiden dapat mengintervensi langsung dan meminta pertanggungjawaban pemimpin institusi serta untuk menciptakan ruang komunikasi yang intensif dengan pemimpin otoritas pengumpul penerimaan pajak tanpa harus melalui birokrasi yang rumit dan berliku. Di sini Menteri Keuangan hanya sebagai koordinator, tetapi tetap mempertimbangkan kebijakan perpajakan yang akan diambil.

Pembentukan badan perpajakan terpisah sebenarnya tak mustahil dilakukan karena hanya ada satu institusi perpajakan di negeri ini sehingga wewenang, tugas, dan fungsi Ditjen Pajak tak akan tumpang tindih dengan lembaga lain. Ia seharusnya mempermudah melakukan perubahan struktur pada institusi perpajakan daripada ketika pemerintah membentuk Otoritas Jasa Keuangan.

Pembentukan badan perpajakan bisa mendorong tercapainya reformasi birokrasi di institusi perpajakan secara maksimal. Reformasi birokrasi di Ditjen Pajak sudah berlangsung sejak 2002 dan merupakan salah satu pelopor reformasi birokrasi.

Kedua, Presiden mengawal perubahan UU Perpajakan, khususnya UU No 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, agar sesuai kepentingan penerimaan negara. Presiden juga bisa memiliki instrumen perpajakan yang berwenang dalam penegakan hukum. Instrumen ini bisa mengatur penyelesaian sengketa perpajakan dan penegakan law enforcement terhadap pengemplang pajak. Ini penting karena posisi Presiden lebih kuat daripada sekadar direktur jenderal sehingga ketika bersentuhan dengan pihak-pihak tertentu, ada kekuatan politik yang dapat menekan dan berkolaborasi dengan kemampuan tugas dan institusi perpajakan.

Ketiga, Presiden segera menerbitkan peraturan berupa sanksi administrasi terhadap pemimpin lembaga pemerintah pusat dan daerah, BUMN, BUMD, badan swasta, dan individu yang menghambat dan/atau menolak permintaan data dari institusi perpajakan untuk kepentingan penggalian potensi, pengawasan, dan penegakan hukum. Data perpajakan merupakan alat utama pegawai Pajak melaksanakan tugas sehingga seharusnya jumlah dan mutunya harus dijamin pemerintah, serta proses penggalian datanya pun seharusnya dilindungi pemerintah.

Keempat, membentuk divisi khusus di KPK untuk mengawasi pegawai Pajak. Penting mendukung dan melindungi petugas dari sisi ketahanan terhadap godaan korupsi karena nilai pemungutan pajak yang nominalnya luar biasa dan rentan dikorupsi. Diharapkan, kolaborasi dengan KPK ini akan meningkatkan sisi integritas para pegawai Pajak dan memaksimalkan pengawasan internal. Pembentukan badan perpajakan dan divisi KPK khusus pajak harus paralel sehingga berjalan seimbang dengan tujuan, memiliki kewenangan yang besar, tetapi juga maksimal diawasi.

Kelima, infrastruktur yang dibangun dengan dana APBN atau APBD perlu mencantumkan penjelasan bahwa infrastruktur itu dibangun dengan dana pajak yang dibayar rakyat Indonesia. Penting menumbuhkan kebanggaan dan kepercayaan masyarakat agar patuh membayar pajak sehingga mengurangi resistensi terhadap aturan perpajakan.

Peningkatan penerimaan
Berdasarkan data transformasi kelembagaan Ditjen Pajak,  proyeksi penerimaan pajak berdasarkan pertumbuhan alami: PDB (2015) Rp  11.128 triliun dan (2019) Rp 17.510 triliun. Rasio pajak (2015) 12,32 persen dan (2019) 12,42 persen sehingga penerimaan pajak pada 2015 Rp 1.371 triliun dan akan meningkat pada 2019 Rp 2.175 triliun.

Proyeksi penerimaan pajak yang lebih tinggi dapat dicapai dengan mengadakan sejumlah perbaikan yang dibutuhkan. Proyeksi optimistis itu pada 2019 akan capai rasio pajak 16 persen yang menghasilkan penerimaan pajak Rp 2.802 triliun. Terlihat ada potensi penambahan penerimaan pajak Rp 627 triliun pada 2019 dibandingkan dengan pertumbuhan alami. Proyeksi itu bukan angan-angan. Kita bandingkan dengan banyak negara Eropa yang rasio pajaknya di atas 30 persen (tertinggi adalah Belgia sebesar 46,8 persen)

Peningkatan penerimaan pajak itu memerlukan prasyarat lain berupa peningkatan jumlah, mutu, kesejahteraan pegawai badan perpajakan, serta penambahan kewenangan dan syarat lain seperti diuraikan di atas. Jumlah pegawai Ditjen Pajak sejak 2005 semakin meningkat dan mengalami titik balik pada 2012 yang berbalik menjadi menurun. Menurut perkiraan, untuk memenuhi target penerimaan pajak 2015 diperlukan penambahan 10.000 pegawai Ditjen Pajak sehingga total pegawai Pajak menjadi sekitar 41.000.

Ketika tangan midas Presiden menyentuh langsung sektor perpajakan, APBN dengan pembiayaan mandiri dari pajak bukan angan-angan belaka. Dengan dana melimpah, pembangunan Indonesia menuju negara maju suatu keniscayaan.

Dengan peningkatan penerimaan pajak itu, kita bisa membiayai kebutuhan kapal dan persenjataannya untuk mengawal kedaulatan laut, membangun sistem radar, dan membeli pesawat tempur untuk menjaga wilayah udara kita, meningkatkan peralatan tempur TNI AD, meningkatkan kesejahteraan anggota TNI dan Polri. Juga meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum supaya hukum betul-betul tegak dan menyejahterakan serta meningkatkan mutu para guru supaya kita bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga untuk membangun infrastruktur, termasuk tol laut, membiayai penelitian untuk memajukan industri, memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Pajak adalah masa depan Indonesia.

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010681089
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tata Ruang Jangan Sektoral (Tommy Firman)

SUATU sindiran yang beredar di masyarakat mengenai rencana tata ruang kota dan wilayah selama ini adalah "yang direncanakan tak dibangun, yang dibangun tak direncanakan".
Kendati ada rencana tata ruang yang dapat dilaksanakan dengan baik, di samping yang memang tidak efektif implementasinya, sindiran itu merupakan masalah nyata yang terjadi dalam pembangunan kota dan wilayah di Indonesia. Ujung-ujungnya tata ruang sering pula diibaratkan sebagai "macan kertas" yang tak bertaji dalam menghadapi dinamika pembangunan. Padahal, sesungguhnya tata ruang merupakan alat kendali pembangunan.

Sesungguhnya penataan ruang memiliki tujuan sangat baik. Secara normatif dan sederhana, ia dapat dirumuskan sebagai upaya mengalokasikan ruang, khususnya lahan—untuk beragam kegiatan sosial-ekonomi—dengan kebutuhan infrastukturnya. Dengan begitu, terbentuk sinergitas di antaranya dan mendukung keberlanjutan kota dan wilayah pada masa depan. Secara formal, sebenarnya perhatian pemerintah ataupun lembaga legislasi sangat besar dan sudah cukup lama mengenai hal ini, bahkan sejak Repelita II (1974). Namun, hingga saat ini penataan ruang dirasakan belum cukup efektif, terutama dalam implementasinya.

Lintas sektoral
Penataan ruang bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih luas, khususnya pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Karena fungsi dan perannya yang demikian, penataan ruang harus dipandang sebagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral. Masalahnya, kerap terjadi yang sering disebut "ego sektoral", bahkan tak jarang yang terjadi menjadi kegiatan sektoral.

Ada banyak faktor yang memengaruhi kualitas dan implementasi rencana tata ruang. Pada masa lalu, masalah utama yang dirasakan adalah kurangnya sumber daya keahlian penyusunan suatu rencana tata ruang, di samping juga minimnya data dan informasi yang dibutuhkan untuk tata ruang yang baik pada beragam skala: nasional, provinsi, kabupaten/kota, sampai pada bagian kota.

Hingga kini, masalah tersebut masih dirasakan. Namun, persoalan paling aktual dewasa ini adalah tidak konsistennya antara rencana dan implementasi. Banyak hal yang menjadi penyebab. Penyebab-penyebab itu di antaranya terkait dengan kepentingan bisnis, bahkan politis, serta belum memadainya kapasitas kelembagaan pembangunan kota dan wilayah, khususnya di tingkat lokal. Sering terjadi pembangunan kota dan wilayah berujung pada "pelanggaran" tata ruang. Misalnya, kawasan hijau kota atau kawasan lindung yang ditetapkan dalam rencana tata ruang ternyata diubah peruntukannya menjadi kawasan bangunan, bisa berupa pusat perbelanjaan ataupun perkantoran.

Sesungguhnya kehadiran sektor bisnis (swasta) mutlak diperlukan dalam pembangunan kota ataupun wilayah. Tanpa kehadiran mereka, pembangunan kota dan wilayah tidak mungkin dapat diwujudkan secara penuh. Kendati demikian, sektor swasta jangan sampai menjadi sangat dominan sehingga dapat melobi atau mengatur perkembangan kota sesuai kepentingannya.

Dalam hal ini, sesungguhnya diperlukan kemampuan dan kapasitas kelembagaan pemerintah pusat ataupun provinsi, kabupaten/kota yang andal dalam menggunakan rencana tata ruang sebagai suatu pedoman dan alat pembangunan dan manajemen kota dan wilayah.

Rencana tata ruang bukan sekadar harus ada lantaran kewajiban untuk memenuhi ketentuan-ketentuan formal. Kemampuan teknis dan aparat dalam menerjemahkan tata ruang untuk mengimplementasikannya adalah suatu keniscayaan. Dan, kemampuan itu harus selalu ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semisal penggunaan instrumen teknologi informasi.

Selain itu, yang juga sangat dibutuhkan adalah suatu kepemimpinan daerah secara kolektif dalam mengelola pembangunan kota, termasuk jajarannya. Sebenarnya model kepemimpinan semacam ini sudah ditunjukkan pada beberapa pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia. Hanya saja, jumlahnya masih sedikit, juga masih bersifat sporadis. Banyak contoh yang sesungguhnya dapat ditularkan dan disampaikan dari sejumlah provinsi, kota, dan kabupaten dalam menangani masalah kota dan wilayah masing-masing.

Masih bergantung figur
Namun, harus dicatat bahwa hingga saat ini kepemimpinan dan kepeloporan tersebut masih sangat bergantung kepada sosok (figur) pimpinan daerah, yang muncul pada setelah reformasi, khususnya melalui pilkada langsung, dan sekaligus mengambil peran dalam pembangunan nasional. Kini sudah saatnya dibangun suatu sistem yang memungkinkan pembangunan kota dan wilayah—antara lain dalam penataan ruang—dapat berlangsung dengan efektif tanpa harus bergantung banyak kepada figur gubernur, wali kota, dan bupati.

Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memberikan perhatian lebih khusus pada penataan ruang, yakni dengan membentuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam Kabinet Kerja. Banyak harapan digantungkan pada kementerian baru ini agar implementasi penataan ruang lebih efektif. Namun, suatu tantangan yang perlu diperhatikan dan sekaligus diwaspadai adalah jangan sampai mengulang "kekeliruan" lama, yaitu menjadikan tata ruang menjadi masalah dan urusan (isu) sektoral. Apalagi sekarang ia menjadi semacam portofolionya suatu kementerian secara eksplisit atau kementerian lain yang terkait.

Dengan demikian, tantangan yang cukup berat dari kementerian baru ini adalah membangun kelembagaan dan sinergitas penataan ruang dengan berbagai sektor terkait (baca: para pemangku kepentingan). Juga tidak memandang dan menjadikan penataan ruang sebagai urusan dan masalah sektoral, bahkan menjadi bersaing (kompetitor) dengan sektor-sektor, di samping tentu saja membenahi dan meningkatkan kualitas penataan ruang beserta kebutuhan data dan informasi yang diperlukan.

Tommy Firman
Guru Besar ITB; Senior Research Fellow, Ash Center for Democratic Governance and Innovation,
Harvard Kennedy School, di Cambridge, Massachusetts

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010837223
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger