Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 31 Agustus 2016

TAJUK RENCANA: Mesti Bilang Apa Lagi (Kompas)

Meski terdengar nuansa sense of hopelessness dari judul di atas, dalam soal asap kita perlu optimistis bahwa masalah ini akan dapat diselesaikan.

Ketika membahas asal-muasal asap yang mengganggu di wilayah Indonesia, orang bisa beda pendapat. Ada yang menganggap fenomena kebakaran hutan sudah mulai ada sejak tahun 1970-an, tetapi ada pula yang menyebut kebakaran masif mulai terjadi sejak 1997.

Namun, fakta bahwa kejadian tahunan ini masih terus terjadi hingga tahun ini seharusnya menohok harga diri kita sebagai bangsa. Presiden sudah datang silih berganti, pernyataan keras sudah diucapkan, tetapi asap terus datang bak tamu yang setia menyambangi setiap tahunnya.

Dibandingkan tahun lalu dalam periode sama, yakni 1 Januari-28 Agustus, jumlah titik panas tahun ini sudah turun drastis dari 8.247 titik menjadi 2.356 titik. Sementara dari luas lahan yang terbakar, hingga minggu kedua Agustus mencapai 88.122 hektar, tahun lalu 191.993 hektar dan hingga akhir November 2015 mencapai 2,3 juta hektar.

Kita tidak mengecilkan turunnya jumlah titik panas dan luas area yang terbakar. Kita bahkan mengapresiasi petugas pemadam yang telah berjuang memadamkan api. Namun, kita tetap masih bisa memberi catatan atas masih terus terjadinya kebakaran lahan di Sumatera dan Kalimantan.

Kita masygul melihat kenyataan bahwa kejadian yang sudah rutin ini tak bisa kita hentikan. Dengan penjelasan adanya penurunan jumlah titik panas dan luas area yang terbakar, kita masih bisa berargumen, jangan-jangan ini bukan karena aktivitas yang menurun, melainkan karena ada penyimpangan cuaca yang membuat hujan terus turun hingga akhir bulan Agustus ini. Kalau kemarau benar-benar kering, betapa hebat kebakaran yang akan terjadi.

Sebagai bahan refleksi, kita mungkin kalah dari dua front dalam melawan asap tahunan yang sebenarnya merusak citra kita. Pertama, kita masih kurang sebagai bangsa pemelajar. Jika tahun 1997 kita ambil sebagai pegangan, sudah nyaris dua dekade kita menanggung malu karena asap tahunan tanpa ada tanda-tanda perbaikan berarti.

Kedua, kita tidak belajar dari pengalaman dan tidak mempunyai grand strategyuntuk memerangi asap tahunan. Dengan berulangnya asap datang pada musim kemarau, mestinya persiapan sudah ada sejak jauh hari. Wujudnya bisa patroli di kawasan rawan kebakaran serta mengingatkan sanksi yang diterima jika peringatan dilanggar.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan, pemerintah membentuk satgas dan patroli rutin, ada insentif dan disinsentif bagi petani dan pengusaha, serta sanksi tegas hingga pencabutan izin. Selain Kementerian LHK, kita ingin melihat langkah kepolisian dalam menanggulangi problema asap tahunan ini.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Mesti Bilang Apa Lagi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Perdamaian Itu Akhirnya Datang (Kompas)

Setelah lebih dari setengah abad, perang saudara di Kolombia, Amerika Latin, akhirnya diselesaikan sudah dengan kesepakatan damai.

Naskah kesepakatan gencatan senjata ditandatangani oleh Presiden Kolombia Juan Manuel Santos dan pemimpin pemberontak, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC), TimoleĆ³n Jimenez alias Rodrigo Londono atau Timochenko, hari Kamis pekan lalu. Banyak di antara rakyat Kolombia yang terenyak kaget, bangga, puas, lega, dan dikuasai berbagai perasaan setelah mendengar bahwa gencatan senjata telah ditandatangani antara pemerintah dan pemberontak.

Sangat masuk akal bahwa rakyat Kolombia lega karena perang yang, menurut Centro Nacional de Memoria Historica, sudah merenggut 220.000 orang itu akhirnya berakhir. Kantor Kejaksaan Agung Kolombia menyebut 45.000 orang hilang (kemungkinan diculik lalu dibunuh). Namun, Komite Palang Merah menyebut angka yang lebih tinggi, yakni 100.000 orang.

Perang lebih dari setengah abad itu telah merobek-robek hati rakyat Kolombia, apalagi orang-orang kecil. Sebab, sebagian besar korban tewas adalah orang-orang miskin dan mereka yang tidak tahu-menahu akan persoalan yang diperjuangkan FARC yang mengangkat senjata memerangi pemerintah. Sejak dibentuk tahun 1964, FARC—kelompok pemberontak sayap kiri tertua di Kolombia—bertujuan untuk menyingkirkan pemerintah dan menggantinya dengan rezim Marxis.

Kesepakatan gencatan senjata tersebut adalah sebuah mukjizat—bagi rakyat Kolombia—karena mereka tak pernah membayangkan bahwa perdamaian itu akhirnya datang juga. Sangat sulit membayangkan bahwa para pemberontak bersedia berunding dan menandatangani gencatan senjata. Kesepakatan gencatan senjata itu dicapai setelah 30 tahun perundingan tidak menghasilkan apa-apa. Karena itu, rakyat Kolombia benar-benar merasa sangat pesimistis bahwa perdamaian akan terwujud.

Namun, di zaman seperti sekarang ini, mukjizat bisa saja terjadi dan memang sungguh terjadi. Rakyat Kolombia sungguh sangat beruntung. Sebab, di bagian dunia lainnya, perdamaian masih tercabik-cabik, persaudaraan hilang dan digantikan oleh permusuhan yang tiada tara. Konflik Israel-Palestina, misalnya, sudah melintasi abad dan hingga sekarang belum terlihat titik api perdamaian, bahkan titik yang sangat kecil pun belum terlihat.

Kesepakatan gencatan senjata sudah ditandatangani, tetapi itu baru tahap awal. Masih ada banyak hal, termasuk bagaimana mendamaikan rakyat dengan pemberontak dan menyelesaikan para mantan pemberontak, apakah mereka akan diampuni sama sekali. Yang tak kalah penting adalah bagaimana menjaga perdamaian itu agar tidak runtuh dan pecah perang kembali.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Perdamaian Itu Akhirnya Datang".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Lestarikan Bahasa Indonesia//Obat Picu Alergi//Titipan Hilang (Surat Pembaca Kompas)

Lestarikan Bahasa Indonesia

Tahun 1977-1979, TVRI menayangkan acara Pembinaan Bahasa Indonesia yang diasuh oleh JS Badudu dan Anton Moeliono. Kedua pakar bahasa tersebut membenahi penggunaan bahasa Indonesia yang tidak benar.

Setelah 40 tahun mereka istirahat, bahasa kita kini menjadi kacau-balau seperti perilaku pengguna jalan raya yang tidak patuh pada peraturan lalu lintas setiap hari.

Teringat tahun 1700 Lord Chesterfield mengingatkan pengguna bahasa Inggris:Words are the dress of thoughts; which should no more be presented in rags, tatters and dirt. (Kata-kata adalah busana pikiran; jangan ditampilkan dengan compang-camping, kecai-kecai, dan dekil).

Para pejabat pemerintah, termasuk para menteri, sering mengatakan bahwa keadaan ekonomi sudah kondusif atau keadaan keamanan sudah mulai kondusif. Orang lupa bahwa katakondusif berasal dari bahasa Inggris be conducive to... atau Water is conducive to your health. Artinya "air akan bermanfaat untuk kesehatanmu".

Sekarang, 11 bahasa daerah di NTT terancam punah, menurut berita Kompasbeberapa hari lalu. Tidak hanya itu, bahasa Indonesia pun terancam punah apabila ajaran JS Badudu dan Anton Moeliono tidak diperhatikan.

Lihatlah di sepanjang jalan bebas hambatan di seluruh Tanah Air. Di sana terpapar maklumat, iklan, promosi yang menggunakan bahasa yang tidak benar dan hampir semuanya bercampur dengan bahasa Inggris.

Demi bahasa persatuan, marilah kita kembali berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

WIDIJARTO ADIWONO

Jalan Mangga Besar, Jakarta Barat

Obat Picu Alergi

Pada 27 Juli 2016, saya ke Erha Apothecary di Plaza Indonesia karena rambut rontok. Konsultasi dengan dr Jacquilina Wenny Demu.

Saya mendapat gel obat luar, sampo, hair tonic, dan dianjurkan mengikuti paket laser empat kali. Selain obat luar, saya juga mendapat resep obat minum. Dijelaskan bahwa obat ini aman buat mag ataupun alergi.

Saya tidak mengonsumsi obat atau vitamin apa pun saat minum obat dari Erha. Pada hari ketiga, beberapa menit setelah minum kedua obat, tiba-tiba saya merasa badan tidak enak dan panas. Kulit muka saya memerah, di sekujur lengan timbul bentol-bentol.

Adik saya segera mengantar ke RS terdekat. Di UGD, saya mendapat obat suntik. Setelah reaksi alergi hilang, saya pulang dan mendapat obat minum.

Paginya, saya menelepon kenalan yang bekerja di Erha. Ia mengatakan mungkin masalah hormon. Sore harinya dokter yang menangani saya menelepon. Dia mengatakan bahwa baru kali ini ada kejadian seperti ini, bahwa salah satu obat tersebut adalah herbal dan bahwa semua sudah sesuai prosedur.

Saya minta supaya semua biaya yang saya keluarkan untuk membeli obat dari Erha dikembalikan dan ada penggantian biaya ke UGD. Dia menjawab akan mengajukan ke manajemen.

Keesokan harinya, supervisor Erha Apothecary menelepon. Ia menjelaskan Erha tidak bisa mengganti biaya UGD ataupun mengembalikan biaya obat. Yang bisa dikembalikan hanya biaya tiga kali laser yang belum dipakai. Beberapa hari kemudian, ada lagi orang Erha, bernama Mery, menghubungi saya lewat telepon. Tetap tidak ada perubahan.

Tidak pernah ada tawaran dari Erha untuk menemui saya, bahkan tidak ada satu pun dari pihak Erha yang meminta maaf.

M MULYANTO

Jalan Kavaleri, KPAD Jatiwaringin, Jakarta Timur

Titipan Hilang

Pada 14 Agustus 2016, saya melihat pameran lukisan Goresan Juang Kemerdekaan 17:71 di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta. Pengunjung diwajibkan menitipkan barang ke tempat penitipan yang disediakan panitia dan diberi kupon tanda penitipan.

Saat berkeliling melihat pameran, saya menerima telepon ada kerabat yang meninggal. Saya terburu-buru menuju kamar jenazah di rumah sakit, lupa mengambil barang titipan.

Pada 17 Agustus, saya kembali ke Galeri Nasional, membawa kupon tanda penitipan. Namun, petugas di tempat penitipan (Bapak Agus) mengatakan barang saya tidak ada. Ia memberikan nomor telepon genggamnya dan berjanji akan memberi tahu jika barang saya ditemukan. Beberapa kali saya menelepon tidak diangkat, hanya sekali dibalas melalui SMS bahwa barang saya masih dicari.

Saya tidak tahu harus menghubungi siapa, apakah Galeri Nasional, Bekraf, atau panitia, karena tidak ada nomor kontak yang bisa dihubungi. Siapakah yang harus bertanggung jawab?

ADHI

Menteng Dalam, Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Dokter Layanan Primer, Pemborosan untuk Cakupan Global (PURNAWAN JUNADI)

Saya ingin memberi contoh yang mudah sebagai ilustrasi. Misalkan Anda adalah pengusaha yang mengembangkan ribuan outlet kuliner baru. Masyarakat ternyata menyukainya dan antre di outlet yang tersedia.

Permintaan pelayanan melampaui kapasitas yang Anda sediakan. Di beberapa tempat kekurangan meja, alat masak bahkan kehabisan makanan sebelum waktunya. Di beberapa tempat bahkan kekurangan tenaga sehingga antrean memanjang. Jika permintaan dalam tiga tahun ini diperkirakan dua kali yang sekarang, apa prioritas Anda? Apakah menyekolahkan lagi pekerja Anda jadi prioritas?  Apakah meningkatkan standar minimal calon pekerja Anda prioritaskan?

Pertanyaan aneh inilah yang terjadi di pelayanan kesehatan. Juni 2016 ini, peserta JKN mencapai 166,9 juta.  Tahun 2015, ada sekitar 146 juta dilayani di sekitar 20.000-an  fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dengan sekitar 9.815 puskesmas. Kalau kita merencanakan menjamin seluruh penduduk (universal coverage/UC) pada 2019, kita perlu mempersiapkan FKTP untuk menampung 270 juta penduduk Indonesia saat itu. Artinya, mempersiapkan 40.000 FKTP.

Sekarang ini, kondisi sekitar 10.000 puskesmas itu kekurangan tenaga (data 2015, 9 persen  puskesmas tanpa dokter, 25 persen kurang dokter, 50 persen kurang dokter gigi, 40 persen kurang perawat dan bidan) dan sebagian rusak  (sekitar 10 persen rusak berat dan sedang, 20 persen rusak ringan). Tak jelas berapa persen yang kurang peralatan kesehatan. Artinya, dalam dua tahun ini kalau kita berniat menyiapkan outletuntuk UC, kita perlu memperbaiki puskesmas, menyiapkan 20.000 FKTP baru di luar puskesmas dan mempekerjakan lagi minimal sekitar 20.000 dokter baru, 10.000 dokter gigi baru, dan sekitar 50.000 perawat/bidan baru.

Lalu kalau tahun ini, pemerintah melaksanakan program dokter layanan primer (DLP) yang di dalamnya menambah masa pendidikan dokter baru selama tiga tahun untuk melayani FKTP, apakah ini tindakan masuk akal? Mengapa Kementerian Kesehatan berkeras melaksanakan  pendidikan program DLP? Alasan utamanya  karena pemerintah ingin memperkuat pelayanan primer yang sekarang masih lemah. Apa tolok ukur lemahnya pelayanan primer?

Tolok ukur

Tolok ukur pertama, tingginya rujukan ke pelayanan sekunder (rumah sakit). Hal ini menunjukkan kurangnya kemampuan dokter di pelayanan primer untuk menangani pasien sehingga cenderung merujuk. Namun secara nasional, laporan BPJS menunjukkan angka rujukan ke rumah sakit tahun 2015 dan 2016 (hingga Juni) masih sekitar 11,9 persen, di bawah patokan 15 persen.  Memang ada  penelitian yang menunjukkan rujukan di atas 15 persen di beberapa tempat, terutama di kota. Namun, analisis itu juga menunjukkan ada beberapa penyebab selain kompetensi tenaga kesehatan, yaitu kurangnya jumlah tenaga kesehatan, jumlah dan jenis fasilitas serta alat kesehatan yang tersedia. Puskesmas yang terletak lebih dekat dengan RS umumnya memiliki angka rujukan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang jauh. Selain itu, terdapat permasalahan preferensi (rujukan atas permintaan pasien) ataupun biaya transportasi.

Tolok ukur kedua adalah biaya. Tahun 2015, menurut laporan BPJS, dari pendapatan iuran Rp 52,8 triliun, beban JKN sekitar Rp 57,1 triliun, defisit sekitar Rp 4-5 triliun. Prediksi 2016 defisit lebih besar. Diharapkan dengan DLP, defisit dapat ditanggulangi. Dalam pemahaman saya, defisit ini terjadi karena beberapa hal. Saya setuju dengan Prof Hasbullah Tabrani, pakar JKN, yang mengatakan biaya premi yang ditetapkan masih lebih rendah dibandingkan biaya pelayanan kesehatan yang sebenarnya. 

Perlu diingat, melalui mekanisme asuransi sosial, biaya pelayanan kesehatan relatif lebih bisa dikendalikan, tetapi tak berarti menurun. Apalagi JKN sampai sekarang masih menjamin seluruh biaya pelayanan sehingga masih terjadi moral hazard. Misalnya tahun lalu, iuran dari peserta mandiri JKN Rp 4,7 triliun, tetapi BPJS membayar biaya kesehatannya sampai Rp 16,7 triliun, rasio klaim hampir 400 persen.   Penyebab lain yang tak kalah penting adalah sepertiga biaya rujukan itu terjadi akibat penyakit katastrofik, seperti penyakit jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke, penyakit yang menurut saya tidak akan bisa diatasi oleh dokter di layanan primer.

DLP adalah dokter yang mendapatkan tambahan pendidikan dalam bidang kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat. Diharapkan dengan menguasai kedua ilmu itu, dokter bisa melakukan program promotif dan preventif dengan lebih baik sehingga berbagai penyakit katastropik ini bisa dikurangi. Lagi-lagi menurut saya, harapan ini tak realistis paling tidak dalam 10 tahun ini. Dengan beban kunjungan dan kondisi seperti sekarang, dokter akan habis waktunya untuk mengobati pasien.

Dengan ekonomi yang lebih baik dan penduduk Indonesia yang makin tua, maka seperti negara lain, kita akan menghadapi meningkatnya berbagai penyakit kronis, yang biaya penanggulangannya memang lebih mahal. Namun, tetap tingginya prevalensi baik penyakit menular maupun tidak menular (kronis) menunjukkan bahwa kita melalaikan upaya mendidik masyarakat ataupun upaya pencegahan. Akan lebih cost effective bagi pemerintah jika mau bersungguh sungguh mengembangkan dan membiayai upaya kesehatan masyarakat (UKM), yang ciri utamanya memang upaya promotif dan preventif.

UKM yang menurut regulasi sekarang ini berada di tangan pemerintah daerah, selama puluhan tahun praktis hidup segan mati tak mau dan dibiayai seadanya. Tenaga yang melaksanakan UKM ini, yang memang keahliannya bidang promotif dan preventif, sudah puluhan ribu jumlahnya dihasilkan oleh sekitar 160 institusi kesehatan masyarakat (IKM). Mendidik tenaga yang ahli promotif dan preventif melalui  IKM jauh lebih murah dan mengenai sasaran, dibandingkan  memaksakan dokter menjadi superman, yang menguasai seluruh keilmuan, mulai dari promotif, preventif, hingga kuratif.

Ringkasnya, kalau kita fokus menyukseskan UC, pemerintah harus memberikan insentif memberikan dukungan dan berbagai kemudahan lainnya agar dokter baru mau mengisi wilayah kosong atau membuka FKTP sendiri. Saya yakin dengan insentif yang memadai, distribusi dokter akan membaik. Menambah tiga tahun pendidikan dokter yang minimal tujuh tahun, karena mulai antre untuk uji kompetensi dan antre magang, dalam konteks ini, suatu pemborosan.

PURNAWAN JUNADI 

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Dokter Layanan Primer, Pemborosan untuk Cakupan Global".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

"Raison D'ĆŖtre" KPK (JE SAHETAPY)

Menurut Kompas, 27 Juli 2016, "Korupsi di Indonesia memburuk. Sebanyak 66,4 persen responden menilai korupsi di Indonesia meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya."

Mengapa harus begitu? Apakah sistem pendidikan ataukah pendidikan di rumah yang keliru? Atau kultur kita adalah "budaya korupsi"; bukan "budaya malu" atau "budaya rasa bersalah"? Lalu apa manfaatnya pendidikan agama di sekolah, yang pada zaman saya cuma ada pendidikan "budi pekerti". Ataukah budaya kita memang sudah tercemar jadi "budaya korupsi"?

Penguasa Orde Baru, oleh banyak orang-entah benar atau tidak, terutama oleh generasi muda pada waktu itu-dipandang luar biasa korup. Ada pula yang berpendapat bahwa dahulu kala, sebelum Indonesia merdeka, para aristokrat dari kerajaan-kerajaan pada waktu itu juga korup. Mungkin tulisan Max Havelaar atau Multatuli merupakan salah satu sumber contoh. Demikian pula secara mutatis mutandis dengan kehancuran VOC di Indonesia sebelum Kerajaan Belanda menancapkan kekuasaan kolonialismenya. VOC sebagai perusahaan dagang Belanda di Indonesia juga hancur berkeping karena korupsi para pegawainya.

Jadi korupsi tak pernah mati dan tak akan mati. Ia hanya terlena dan menunggu saat yang tepat bangkit kembali. Salah satu penelitian program S-3 berupa disertasi oleh Sebastian Pompe "The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse" (2012), perlu disimak kembali.

Label "ad hoc"

Perdebatan di DPR setelah era Orde Baru bertalian dengan korupsi dalam rangka reformasi berjalan "alot". Dicapai kesimpulan sementara: lembaga kepolisian dan kejaksaan dianggap tidak "becus" dalam pemberantasan korupsi yang mulai merajalela. Kesimpulan pada waktu itu, dengan membandingkan di Malaysia dan Hongkong, perlu dibentuk suatu badan yang dinamakan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan label ad hoc sampai kepolisian dan kejaksaan jadi baik dan bersih.

Jadi, label ad hoc ini harus dibaca demikian, yaitu sampai institusi kepolisian dan kejaksaan bersih dan berfungsi dengan baik. Menyerang KPK dengan berbagai"jurus silat" sebagai pranata ad hoc tanpa mengaitkannya dengan institusi kepolisian dan kejaksaan adalah tidak adil dan tendensius.

Selalu jadi duri dalam daging oleh mereka di Senayan, dan beberapa akademisi lain, untuk mempersoalkanraison d'ĆŖtre KPK tanpa mempertimbangkan label ad hoc adalah tidak fair. Namun, politik tanpa hati nurani dan pikiran waras mungkin begitu. Di kemudian hari, dalam majalahTime (22/3/1999), saya baca komentar Sylvie Ronny: "Politicians are like gangsters. Unless you catch them redhanded, you never get them."

Saya prihatin dan sedih melihat mereka berkaok-kaok, bahkan ada yang memfitnah saya hanya karena saya melihat wajahnya dan menyebut sering berdampingan dengan seorang koruptor terkenal. Yang bersangkutan lupa bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Tak ada gading yang tak retak. Itu berlaku juga untuk pranata KPK atau untuk orang-orangnya di masa lalu. Kalau untuk orang-orangnya, siapa yang harus disalahkan? Kalau ada oknum aparat penegak hukum yang salah, apakah lembaganya juga salah atau harus dilikuidasi? Ini pola pikir yang salah.

Dengan beberapa episode di masa lalu seperti "Cicak versus Buaya" dan "kasus penembakan di Bengkulu", maka warisan sejarah javert complex dari "Les Miserables" dari cerita klasik Victor Hugo tampak seperti terulang kembali dalam pemborgolan salah satu pimpinan KPK. Saya tidak habis mengerti sikap dan pikiran yang menangkap, dan cuma bisa geleng-geleng kepala dalam rasa kepedihan dan malu: ini perkara apa?

Apakah pemborgolan itu untuk mempermalukan KPK atau untuk yang bersangkutan. Entahlah! Tetapi ini menyangkut suatu sistem hukum yang tampaknya belum pernah terpikir atau dibicarakan di Senayan. Apakah kita ini kini tanpa sadar sudah menganut sistem Anglo Saxon atau menganutnya secara terselubung, ataukah sedang merintis sistem hantam kromo? Suka atau tidak, saya terpaksa dengan ringkas mengupasnya karena ini bertalian dengan orang-orang yang terhormat di Senayan melihat mereka berkicau.

Saya mulai saja dengan ungkapan "praduga tak bersalah". Kalau dipakai secara konsekuen, ungkapan ini baru berlaku di pengadilan, bukan ketika yang bersangkutan mulai ditahan oleh aparat penegak hukum. Herbert L Packer (1968) menulis: "The presumption of innocence is not its opposite; it is irrelevant to the presumption of guilt... The presumption of innocence is a direction to officials about how they are to proceed, not a prediction of outcome".

Sudah usang

Terus terang, saya belum paham apakah sistem crime control model ataukah due process model yang diterapkan dewasa ini. Implikasi dan konsekuensi dari kedua model ini jelas berbeda. Memang masih ada model lain, tetapi tidak relevan untuk dibicarakan di sini. Namun, sering saya membaca komentar yang membingungkan. Jangankan KUHAP, tentang Rancangan KUHP saja para akademisi kita bisa buat blunder dalam rangka menyusun Rancangan KUHP.

Ketika saya diminta (almarhum) Prof Sudarto mendampinginya, saya usul agar Rancangan KUHP yang akan datang cukup terdiri atas dua buku. Buku ketiga secara kriminologis tidak lagi relevan. Dengan persetujuan Badan Pertimbangan Hukum Nasional (BPHN), saya diutus untuk konsultasi di Belanda, dengan Prof Nico Keyzer dari HR Belanda dan Prof D Schaffmeister, Dekan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Singkat cerita, usul saya diterima.

Dalam rangka kodifikasi saya tidak sepakat dengan pola pikir di Senayan dewasa ini yang mendapat dukungan dari beberapa akademisi. Silakan baca buku Marc Goodman (2015), Future Crimes (Inside the digital underground and the battle for our connected world).This is just the beginning of the tsunami of technological threats coming our way". Pola kodifikasi sudah usang. Yang seharusnya berlaku dewasa ini adalah lex specialis derogat legi generali. Perkembangan zaman dan teknologi digital mengharuskan KPK bukan lagi ad hoc, melainkan harus dimasukkan dalam konstitusiatau UUD 1945 sebagai suatuconditio sine qua non. Kalau ada yang tidak setuju, entah itu dari Senayan atau dari Medan Merdeka, hal itu berarti seperti kata pepatah kolonial: "De kruik gaat zo lang te water tot zij barst (Bahwa: cepat atau lambat orang akan melihat/mengalami kesalahan dari sikap yang salah)".

Adalah bukan saja sangat mengherankan, juga sangat merisaukan kalau melihat kondisi pengadilan dewasa ini. Beberapa putusan akhir-akhir ini sangat meresahkan masyarakat. Sepak terjang sekretaris Mahkamah Agung (sudah mengundurkan diri) benar-benar keterlaluan. Mungkin sudah tiba waktunya untuk "membersihkan" pengadilan dari hulu sampai ke hilir.

Dalam buku Recht en Macht (Hukum dan Kekuasaan), kumpulan tulisan dari Prof Mr Algra et al (1979) dapat dibaca antara lain: "Zo moeten wij, als wij over het (positieve) recht spreken, tegelijk voor ogen houden recht en onrecht van dat recht, alsmede macht, maar ook onmacht van dat recht (Demikian kalau kami berbicara tentang hukum (positif), kami harus segera menyadari akan keadilan dan ketidakadilan dari hukum itu, demikian pula dengan kekuasaan yang berarti ketak-berkuasanya dari hukum itu)".

Dengan kutipan di atas, saya ingin memperingatkan kita tentang hukum pidana kita berdasarkan UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sampai kini belum ada "terjemahan resmi" berdasarkan putusan pemerintah, demikian pula dengan terjemahanBurgerlijk Wetboek dari almarhum Prof Soebekti. "Irah-irah" putusan Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kendati putusan itu tercemar dengan unsur-unsur kejahatan, sampai kini tak diubah meski saya sudah usul sejak era Orde Baru agar berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Pancasila.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan menyinggung masalah "penyadapan" di KPK. Para akademisi dan entah politikus di Senayan, berpendirian agar mekanisme penyadapan dicabut. Pendirian ini sudah saya bantah semasih jadi Ketua Komisi Hukum Nasional RI. Penyadapan adalah conditio sine qua non untuk KPK. Tanpa itu, KPK akan lumpuh. Bianchi, kriminolog Belanda, mengingatkan: "Niet alleen regeren, maar ook wetenschap bedrijven is vooruit zien. (Tidak hanya memerintah, tetapi juga menyelenggarakan ilmu pengetahuan, harus dapat melihat (jauh) ke depan!)". Kesimpulan saya secara singkat menyimak konstelasi politik dan sepak terjang di Senayan: (1) KPK harus dimasukkan dalam konstitusi; (2) penyadapan merupakan conditio sine qua non bagi KPK.

JE SAHETAPY

GURU BESAR (EMERITUS) UNIVERSITAS AIRLANGGA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul ""Raison D'ĆŖtre" KPK".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kekerasan Visualdi Media Sosial (SUMBO TINARBUKO)

Untuk kesekian kalinya terjadi lagi kekerasan sosial yang dimediasikan lewat media sosial. Semuanya itu berpangkal pada ujaran kebencian yang dilemparkan seseorang yang tidak bertanggung jawab  melalui media sosial.


 Mengutip kabar berita yang disiarkan Kompas.com (2/8/ 2016), polisi berhasil membekuk tersangka penyebar ujaran kebencian di media sosial. Penangkapan tersangka berinisial AT (41), warga Jagakarsa, Jakarta Selatan, terkait dengangegeran di Tanjung Balai, Sumatera Utara.

"AT menyebarkan ujaran kebencian di akun Facebook pribadinya. AT menuliskan ujaran kebencian itu pada hari Minggu (31/7/2016),'' kata Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Ajun Komisaris Besar Hengki Haryadi di Markas Polda Metro Jaya.

Pembibitan tunas kekerasan

Kekerasan sosial yang mengeras seperti yang terjadi di Tanjung Balai adalah fenomena kekerasan sosial yang secara visual  layak jual. Media sosial membungkus kekerasan visual yang mengeras itu menjadi sebuah komoditas yang laris manis untuk dikomodifikasikan. Bentuk konkret komodifikasi kekerasan visual yang disuguhkan media sosial secara detail dan vulgar lewat kotak komentar.

Efek dari komodifikasi kekerasan visual itu ditengarai menjadi semacam pembibitan baru bagi tunas kekerasan verbal visual edisi berikutnya. Dalam kesehariannya, mereka senantiasa menggali energi negatif berwajah tabiat kasar. Visualisasinya digambarkan sebagai sosok figur  maskulin. Mereka suka berteriak lantang guna memaksakan kehendaknya.

 Mereka memosisikan kekerasan visual sebagai bahasa baru. Ketika kekerasan visual sebagai bahasa baru dianggap mampu menyelesaikan setiap permasalahan sosial yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Pada periode selanjutnya, bentrokan massal diyakini menjadi "solusi cantik".  Muaranya, ia dimitoskan menjadi jalan keluar yang mampu membebaskan libido kekerasan para pelaku kekerasan.

Dari sudut perspektif komunikasi visual, hal itu nyata terlihat manakala tarikan urat otot emosional menjadi andalan keterlibatannya dalam konflik horizontal. Dampak psikologisnya, orang gampang tersinggung hanya karena membaca sepenggal kalimat atau mengeja sebaris narasi verbal. Kata yang disuarakan tanpa intonasi dan ujaran yang dituliskan nirekspresi berubah menjadi pedang trisula.

Keberadaannya  dengan cepat merobek jantung emosi  siapa pun yang panas hati.  Mereka yang terprovokasi  penampakan visual ujaran kebencian itu dengan ringan hati segera memuaskan dirinya. Demi  memuaskan ketidakpuasannya,  mereka meregangkan otot emosi sembari mengayunkan tangan besi untuk menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya.

Bagaikan penonton bola

Hadirnya media sosial di ruang publik virtual awalnya dimanfaatkan sebagai ajang merepresentasikan diri manusia sebagai makhluk sosial. Belakangan ini, pengguna media sosial saat berinteraksi virtual acap kali  memosisikan dirinya sebagai penonton pertandingan bola.

Secara virtual, ciri penonton bola senantiasa  membayangkan dirinya  bagaikan pemain bola profesional. Ia merasa mampu memprediksi ke mana larinya bola di lapangan hijau. Ia sanggup menggiring bola untuk mengelabui lawan main. Hal sama terjadi  di dunia media sosial. Atas status apa pun yang melenting di lini masa, para pemain media sosial sanggup mengomentarinya berdasarkan subyektivitas diri pribadi.  Di sisi lain, para pemain media sosial  menjadi sangat agresif dan emosional saat menuliskan pendapatnya di kotak komentar.

Mereka dengan gagah berani menjalankan perang komentar di antara komentator. Mereka terlibat adu  nyinyir untuk menyinyiri komentar yang satu dengan komentator lainnya berdasarkan subyektivitas dalil pembenaran. Pada titik ini, fungsi proses komunikasi ditenggelamkan ke dasar lautan. Mereka menjadi sekelompok manusia modern yang sangat egois. Mereka berkehendak untuk memaksakan kehendaknya yang diyakini benar dan masuk akal.

Mereka tidak mengejar  interaksi sosial dalam kemasan tayangan media sosial. Mereka semata-mata mengejar jumlah perolehan like atau mendapatkan jumlah ikon jempol biru. Semakin kontroversial status yang ditulis, semakin panas ujaran kebencian yang dibagikan. Semakin nyinyir menuliskan komentar, semakin terkenal dan hebatlah oknum pemain media sosial tersebut.

Pintu kehendak baik

Menjalankan proses interaksi sosial secara virtual di media sosial ibarat menelanjangi diri sendiri. Seperti inilah tubuhku. Seperti inilah wajahku. Seperti inilah kepribadianku. Seperti inilah pemikiranku. Silakan lihat diriku. Atas diriku, semuanya terbuka selebarnya. Lewat pergaulan di media sosial, paranetizen menyatakan dirinya bukan lagi menjadi milik privat atas dirinya.  Dengan demikian, suka tidak suka, para netizensenantiasa  membuka dirinya untuk bersedia dikomentari. Rela untuk  dilihat dan dipelototi orang lain.

Lalu bagaimana mengontrol  muncul tebaran ujaran kebencian yang seolah benar adanya? Bagaimana mengatasi terjadi perang komentar antara komentator yang satu dan komentator lainnya? Bagaimana pula upaya mengendalikan nyinyirisme yang keberadaannya mengiris perasaannetizen lainnya?

Semuanya bergantung pada pintu kehendak baik para netizen.  Semuanya berpulang pada niatan pemilik akun media sosial tersebut.  Apakah semua yang ada pada dirinya akan dibagikan seluruhnya. Apakah semua yang dimiliki, dirasakan, dibayangkan, direncanakan, dan dicita-citakan akan diunggah di media sosial. Ataukah warta dan informasi tertentu saja yang layak dikonsumsi untuk publik?

Kata kuncinya agar tidak menyesal di kemudian hari, bijaklah membuka pintu kehendak baik saat berkomunikasi di media sosial.

SUMBO TINARBUKO

 Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Kekerasan Visualdi Media Sosial".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Ihwal Penegakan Hukum Lingkungan (ISMAIL HASANI)

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (12/8), memenangkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas PT National Sago Prima-pemegang konsesi 3.000 hektar di Kabupaten Meranti, Riau. Hal ini memberikan harapan baru bagi penegakan hukum lingkungan.

Sebelumnya, pada kasus berbeda, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) gagal memenangkan gugatan yang diperkarakan di PN Palembang atas PT Bumi Mekar Hijau. Jalur perdata untuk meminta pertanggungjawaban korporasi yang dipilih KLHK adalah salah satu kreasi hukum yang dimungkinkan untuk memberikan efek jera bagi korporasi pemegang konsesi, yang selama ini gagal dijerat dengan hukum pidana.

Menagih pertanggungjawaban pidana atas korporasi pembakar hutan selama ini selalu menemui jalan buntu akibat ketidakmampuan atau ketidakmauan dari Polri untuk menjadikan hasil-hasil penyelidikan dan penyidikan KLHK sebagai fakta untuk menjerat pengusaha.

Padahal, banyak ketentuan pidana yang bisa digunakan untuk menjerat korporasi, yakni Pasal 17 (2) dan Pasal 92 UU No 18/ 2013 tentang Pencegahan dan Perusakan Hutan; Pasal 109 UU No 39/2014 tentang Perkebunan; serta Pasal 98 juncto Pasal 99 dan 116, 118 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahkan, Pasal 187 KUHP juga sudah cukup kokoh untuk menghukum pelaku yang dengan sengaja telah membakar hutan.

Demikian juga UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Semua produk hukum itu pada intinya memungkinkan pelaku pembakaran hutan yang menimbulkan dampak lingkungan serius dan berbahaya dipidana dengan berbagai aneka jenis pidana.

Antiklimaks

Berbeda dengan jalur perdata yang ditempuh KLHK, jalan pidana yang dirintis institusi Polri sebagian besar berujung antiklimaks. Menurut data yang dirilis Mabes Polri (2015), terdapat 218 kasus terkait peristiwa kebakaran hutan 2015, baik yang ditangani Badan Reserse Kriminal Polri, polda, maupun polres.

Kasus-kasus yang terkait individu sebagian telah tuntas di pengadilan. Namun, untuk kasus yang melibatkan korporasi-sebelumnya disebutkan terdapat 13 kasus dinyatakan P21-yang lanjut hingga ke pengadilan hanya tiga kasus.

Di Polda Riau, terdapat 25 tersangka individu dalam kasus kebakaran hutan dan menjalani hukuman. Mereka yang menjadi tersangka itu adalah para petani dan human rights defenders pada sektor kehutanan yang hanya membakar sisa hasil panen jagung. Sebaliknya, Polda Riau menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk 15 perusahaan dengan alasan yang tidak kredibel.

Selain karena silang sengketa kewenangan dengan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) KLHK, Polri beralasan peristiwa kebakaran/pembakaran terjadi di lahan sengketa. Langkah Polri menerbitkan SP3 jelas memperlemah agenda penegakan hukum lingkungan dan kontradiktif dengan gegap gempita respons yang disampaikan Presiden Joko Widodo dan pejabat lain pada peristiwa kebakaran tahun 2015.

Sengketa lahan di Riau antara perusahaan pemegang konsesi dan masyarakat lokal terkait penguasaan bukan hal baru. Data Pemerintah Provinsi Riau (2014) mencatat, setidaknya ada 50 peristiwa sengketa lahan yang dilaporkan. Mayoritas adalah sengketa antara perusahaan dan masyarakat. Sengketa ini diawali dengan peristiwa penyerobotan lahan. Konflik ini dipicu perbedaan interpretasi antara masyarakat lokal, yang memiliki ikatan genealogis dengan lahannya, dan hak tertentu yang diperoleh perusahaan melalui izin pengelolaan lahan/hutan dari KLHK.

Keterlibatan negara dalam sengketa ini adalah melalui perannya sebagai fasilitator modal dan otoritas administratif, dengan menerbitkan izin yang tidak akuntabel. Negara abai melindungi hak warga negara, yang ditunjukkan dengan tidak ada persetujuan (consent), yang diawali dengan informasi utuh  (informed), yang diberikan dalam rentang waktu cukup untuk dipertimbangkan/dipelajari (prior), dan dengan bebas/tanpa paksaan/tekanan (free). Ketiadaan free, prior, and informed consent (FPIC) dalam proses pemberian izin inilah yang menjadi pemicu pelembagaan konflik lahan berkepanjangan.

Sinergi antar-institusi

Pola yang tidak partisipatif dalam memberikan izin konsesi terjadi di semua wilayah hutan Indonesia. Dalam situasi semacam ini, penggunaan argumentasi lahan sengketa untuk menerbitkan SP3 membawa pesan bahwa selama konflik pertanahan tak pernah diselesaikan secara serius, semua kebakaran dan pembakaran hutan tak akan pernah bisa dimintai pertanggungjawaban pidananya.

Padahal, tak ada preseden dan yurisprudensi mana pun yang membenarkan bahwa tindak pidana yang terjadi di lahan sengketa menghilangkan tanggung jawab pidana dari pelaku tindak pidana. Apalagi, dalam hukum lingkungan dikenal konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang tidak menuntut pembuktian berbelit.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kamis, 11/8, menyebutkan, jumlah titik panas (hot spot) akibat kebakaran hutan di seluruh Indonesia turun 62 persen (10.174 titik panas) ketimbang periode 1 Januari-9 Agustus 2015 (129.813 titik panas). Penurunan titik panas ini dimungkinkan bukan karena efek jera dari penegakan hukum karena sesungguhnya hanya dua perusahaan yang diperkarakan secara perdata dan tiga tersangka korporasi yang diproses hingga ke pengadilan untuk dimintai pertanggungjawaban pidana.

Bisa jadi, kesigapan TNI, Polri, dan Manggala Agni yang mendapat pujian Jokowi dalam memadamkan setiap titik api adalah faktor utama penurunan hot spot. Artinya, praktik pembakaran sebenarnya masih terus berlangsung. Salah satu indikasinya adalah penanganan 64 kasus di Polda Riau dan penangkapan belasan orang di Kalimantan Tengah.

Kontradiksi penegakan hukum lingkungan atas kebakaran hutan 2015 memberikan pembelajaran penting tentang urgensi sinergi antar-institusi. Jokowi, Jumat (12/8), kembali menegaskan, jalur pidana dan perdata harus ditempuh untuk menghukum pembakar hutan. Namun, keterbatasan aparat dan saling lempar tanggung jawab antara PPNS KLHK dan penyidik Polri juga harus diatasi.

Sinergi institusi vertikal, seperti Polri dengan institusi dinas-dinas di daerah yang relevan, juga harus menjadi prioritas. Sementara itu, SP3 atas 15 perusahaan juga mendesak ditinjau ulang karena penggunaan argumentasi absurd dalam memutus perkara akan menimbulkan preseden buruk pada penegakan hukum lingkungan ke depan.

Paralel dengan langkah itu, mengurai dengan segera konflik lahan/hutan adalah jalan paling tepat untuk merestorasi hutan yang berbasis pada penghargaan hak-hak masyarakat.

ISMAIL HASANI

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta & Direktur Riset Setara Institute

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Ihwal Penegakan Hukum Lingkungan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Arah Baru Politik Anggaran ( IKHSAN MODJO)

Pemerintah akhirnya melakukan penyesuaian anggaran (fiscal adjustment) untuk mengatasi potensi gagal fiskal, dengan melakukan pemotongan belanja negara sebesar Rp 133 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016.

Langkah ini bukanlah sesuatu yang baru bahkan lazim dilakukan di dunia. Beberapa negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pernah melakukan hal serupa untuk mengurangi tekanan defisit akibat akumulasi utang saat resesi besar yang terjadi di pengujung dekade 2000. Demikian pula, negara-negara di Amerika Latin terpaksa melakukannya sepanjang tahun 1980-an akibat depresi ekonomi berkepanjangan yang disebabkan penggelembungan utang, yang kemudian dikenal sebagai dekade yang hilang (the lost decade) di benua tersebut.

Indonesia sebelumnya pun pernah merasakan getirnya penyesuaian fiskal untuk mengurangi tekanan defisit anggaran pada awal tahun 1980-an, yang juga diikuti devaluasi rupiah untuk mereposisi mata uang domestik serta mengurangi tekanan defisit pada transaksi berjalan. Defisit kembar yang kemudian diikuti penghematan internal dan eksternal ini kemudian populer disebut sebagai "langkah pengetatan ikat pinggang", dan menyebabkan resesi berkepanjangan di dalam negeri. Resesi ekonomi baru berakhir setelah pemerintah melakukan manuver kebijakan berupa liberalisasi di sektor keuangan dan perbankan, serta mendorong ekspor non-migas melalui serangkaian paket deregulasi.

Sebagaimana pengalaman di negara lain dan sebelumnya di dalam negeri, penyebab dari dilakukannya penyesuaian fiskal selalu berupa kombinasi dari beberapa faktor utama, seperti kebijakan pembangunan yang berdasarkan utang (debt based development policies), tekanan di sektor keuangan, atau menurunnya harga komoditas andalan ekspor yang juga jadi andalan penerimaan anggaran negara.

Implikasi politik ekonomi

Penyebab dari penyesuaian fiskal yang dilakukan pemerintah kali ini pun serupa dengan berbagai alasan di atas serta memiliki dimensi dan implikasi politik ekonomi baik langsung maupun tidak langsung sebagai berikut.

Pertama, penyesuaian fiskal yang dilakukan merupakan koreksi dan pemberian arah baru bagi politik anggaran negara. Perombakan postur APBN secara signifikan kali ini  selain sebagai konsekuensi penurunan harga komoditas ekspor yang menjadi andalan Indonesia di bidang migas, perkebunan, dan tambang, juga merupakan koreksi terhadap politik anggaran yang berfokus pada pembangunan infrastruktur berbasiskan utang dalam dua tahun terakhir, yang sudah kehilangan kredibilitasnya karena terbukti membuat negara terancam gagal fiskal.

Kedua, terkait dengan alasan pertama, dengan koreksi terhadap politik anggaran ini, pemerintah juga memberikan sinyal penegakan disiplin fiskal dengan lebih berhati-hati dalam mengendalikan laju pertumbuhan utang yang pada dua tahun terakhir pertumbuhannya cukup mengkhawatirkan,  di mana tidak kurang dari sekitar Rp 18 triliun utang baru dilakukan pemerintah setiap tahunnya. Angka ini merupakan rekor tertinggi jumlah utang  baru per tahun yang pernah dilakukan  pemerintahan di era Reformasi.

Ketiga, penyesuaian anggaran juga secara eksplisit, sebagaimana dijelaskan oleh menteri keuangan, adalah konsekuensi dari melesetnya target penerimaan pajak sebesar Rp 219 triliun di 2016. Hal ini secara tidak langsung  menjustifikasi perkiraan banyak kalangan, termasuk penulis, yang memberikan estimasi angka paling tinggi penerimaan negara dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) hanya akan mencapai Rp 60 triliun dari target  Rp 165 triliun (Kompas, 17/6/2016).

Sampai dengan semester 1-2016, data realisasi APBN Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan negara di sektor pajak baru terealisasi sebesar Rp 522,0 triliun atau 33,9 persen dari target APBN-P 2016. Sementara defisit sudah mencapai Rp 203,7 triliun atau 1,83 persen dari perkiraan produk domestik bruto (PDB) pada 2016. Angka ini merepresentasikan  77,7 persen dari target defisit sampai akhir tahun sebesar Rp 296,7 triliun (2,35 persen  dari PDB). Dengan tambahan kekurangan sekitar Rp 40 triliun setiap bulan, hal ini berarti angka defisit bisa mencapai Rp 470 triliun, atau 3,7 persen dari PDB, yang berarti masuk dalam kategori gagal fiskal. Untuk itu, pengemprasan anggaran sebesar Rp133 triliun adalah tepat. Defisit akan berkurang menjadi Rp 337 triliun atau sekitar 2,6 persen dari PDB, yang masih dalam batas toleransi yang diamanatkan undang-undang.

Keempat, pengurangan anggaran akan berdampak pada postur APBN dalam dua tiga tahun ke depan. Hal ini mengingat penyesuaian fiskal bukanlah sebuah kebijakan yang bersifat one-off, melainkan akan memiliki dimensi jangka panjang sebagaimana diperlihatkan dalam sejarah perekonomian bangsa-bangsa di dunia. Penyesuaian kali ini pun akan berpengaruh  bukan hanya pada 2016, melainkan setidaknya pada anggaran negara tahun-tahun berikutnya. Hal ini karena paralel dengan penurunan asumsi penerimaan negara pada 2016, asumsi penerimaan APBN di dua sampai tiga tahun ke depan pun pasti mengalami penyusutan. Satu hal yang akan berakibat langsung pada belanja negara, yang juga akan berkurang.

Last but not least, pengurangan anggaran adalah sebuah kontraksi fiskal yang akan menekan laju pertumbuhan  ekonomi pada tahun berjalan.  Tertekannya pertumbuhan akan terjadi akibat dampak berganda (multiplier effect) yang akan terasa utamanya pada jenis pengeluaran konsumsi dan investasi meski pemerintah menjanjikan pemangkasan dilakukan sebatas pada anggaran yang bersifat rutin. Implikasinya, skenario pertumbuhan sebesar 5,2  persen yang ditetapkan APBN-P 2016 kemungkinan besar tidak akan tercapai. Satu hal yang sesungguhnya sudah diindikasikan oleh angka pertumbuhan sampai dengan semester I-2016 yang hanya mencapai 5,04 persen, yang itu pun terdorong loncatan pertumbuhan konsumsi  pada bulan puasa di kuartal kedua. Tantangan bagi pemerintah adalah mempertahankan tingkat pertumbuhan di atas angka psikologis 5 persen ini bisa berlanjut sampai akhir tahun.

Opsi "blocking" anggaran

Dari diskusi dengan kalangan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, pemerintah agaknya tidak akan menginisiasi APBN Perubahan Kedua sebagaimana yang misalnya pernah dilakukan pada tahun fiskal 2008 walau sesungguhnya perubahan yang dilakukan adalah cukup signifikan dan memengaruhi postur anggaran negara secara umum. Pemotongan anggaran akan semata diimplementasi melalui penahanan (blocking) anggaran bagi setiap pemangku kepentingan (stakeholders), baik di pusat maupun daerah, melalui surat edaran menteri keuangan.

Dengan mengambil opsi blockingbukannya pengajuan APBN Perubahan Kedua, pemerintah secara tidak langsung melakukan tindakan di luar payung hukum karena melangkahi wewenang pihak DPR yang secara teori harus memberikan persetujuan terhadap setiap perubahan anggaran negara yang signifikan dengan hak budgetnya. Di sisi lain, pelangkahan wewenang ini memungkinkan eksekusi yang lebih cepat karena tidak perlu melalui mekanisme birokrasi penganggaran pemerintahan resmi dan pembahasan yang lebih sering bertele-tele dengan kalangan DPR. Selain itu, eksekusi penyesuaian melaluiblocking juga menghindari munculnya penyelewengan berupa korupsi anggaran yang kerap dilakukan pada APBN perubahan dalam wujud permainan alokasi dana optimalisasi.

Dalam hal ini, pola pengurangan yang hampir sama sebagaimana pengurangan pada APBN-P 2016 akan diterapkan, di mana sekitar 50 persen pengurangan akan dilakukan pada belanja pemerintah pusat dan 50 persen pada anggaran transfer ke  daerah dari total pengurangan sebesar Rp 133 triliun. Dengan target pemangkasan anggaran akan diprioritaskan pada belanja-belanja yang tidak prioritas, seperti perjalanan dinas, kegiatan konsinyering, persiapan dan bahkan termasuk belanja pembangunan gedung pemerintah.

Apa pun target prioritas pengurangan yang diambil, pemerintah tidak memiliki banyak opsi. Hal ini mengingat keterbatasan ruang fiskal yang dimiliki saat ini, di mana ruang untuk bermanuver relatif tersekat mandatory budgeting (belanja wajib) yang sudah mencapai sekitar 51 persen dari total belanja. Begitu juga, implementasi pengurangan dipastikan menimbulkan masalah dalam pengadaan dan penundaan pengadaan yang terpaksa dilakukan, baik di pusat maupun daerah. Banyak kegiatan yang sudah direncanakan akan ditunda, atau bahkan dibatalkan, yang secara makro akan semakin menambah efek kontraktif dari penyesuaian APBN terhadap perekonomian.

Ke depan, arah baru politik anggaran ini harus diiringi reformasi kebijakan dalam hal ketentuan yang membatasi ruang gerak fiskal. Deregulasi sejumlah peraturan pada sisi belanja negara harus dilakukan bersamaan dengan penyesuaian pada estimasi di sisi penerimaan negara. Hal ini sesuai yang dimandatkan dalam kajian mutakhir ekonomi publik yang menasbihkan pengutamaan strategi penyesuaian pada aspek belanja ketimbang strategi yang berbasiskan asumsi penerimaan (expenditure adjusment vis-a-vis revenue-based strategist, Collier and Gunning 1999). Sebab sebagai negara yang sangat bergantung pada situasi ekonomi global keterpakuan pada besaran asumsi penerimaan akan mengabaikan aspek lain yang tidak kalah penting pada kebijakan fiskal berupa stimulus pada perekonomian.

Namun, tindakan ini perlu diambil dengan kehati-hatian dan menjunjung tinggi kedisiplinan fiskal yang saat ini mulai ditegakkan kembali. Sebab akan berbahaya apabila disalahgunakan untuk hal lain, di mana pengalaman dalam dua tahun terakhir menunjukkan bahwa keluwesan ruang fiskal justru disalahgunakan untuk kepentingan politik populis yang terbukti salah kaprah dan akhirnya malah memerlukan terapi jangka panjang. Kesempatan emas pun dibuang percuma dan disia-siakan. Untuk itu, pada saat yang sama, pengawasan terhadap politik dan proses penganggaran perlu diperketat. Jangan sampai kemudian kebebasan yang nanti diberikan justru berujung pada dekade yang hilang dari bangsa yang besar ini.

IKHSAN MODJO

Ekonom

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Arah Baru Politik Anggaran".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Powered By Blogger