Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 13 Juni 2017

Membonsai Qatar (NOSTALGIAWAN WAHYUDHI)

Timur Tengah selalu memberikan kejutan baru.

Setelah gelombang Musim Semi Arab (Arab Spring) yang mengakibatkan revolusi berdarah dan pergantian rezim, radikalisme dan terorisme sepanjang Irak dan Suriah yang menyisakan krisis kemanusiaan akut, ledakan pengungsian Suriah hingga ke negara tetangga dan Eropa, kini genderang konflik politik tingkat tinggi dimulai dari negara kecil bernama Qatar.

 Pemutusan hubungan diplomatik terhadap Qatar terus bergulir. Berawal dari Bahrain dan Arab Saudi pada Senin (5/6) pagi, sejauh ini sudah empat negara-Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Yaman, dan Libya-yang ikut memutuskan hubungan diplomatik. Masih terbuka kemungkinan negara-negara yang pro- Arab Saudi menyusul.

Isu yang berkembang menyatakan pemutusan hubungan diplomatik berawal dari pernyataan palsu (fake statement) Emir Qatar Tamim bin Hamad Khalifa al-Thani-ketika apel militer-di media resmi pemerintah, QNA, yang diretas pihak tak bertanggung jawab. Di sana, Tamim menyinggung isu-isu sensitif di Timur Tengah tentang potensi runtuhnya pemerintahan Donald Trump dan menganggap Iran sebagai "kekuatan Islam besar".

 Dari kontennya, tentu pernyataan ini memiliki risiko sangat fatal dan efek diplomatik serius. Pertama, pernyataan diucapkan ketika efek "Trump" masih hangat karena dia beberapa hari sebelumnya melakukan lawatan ke Arab Saudi. Kedua, menyatakan Iran great Islamic power mengindikasikan pernyataan diplomatik yang kuat akan keberpihakan Qatar terhadap Iran.

 Dihadapkan norma-norma internasional yang ditanamkan Arab Saudi di Timteng, tentu saja hal ini dianggap sangat anti-arus utama. Hingga kini Arab Saudi sebagai polisi Timteng memiliki posisi diplomatik sangat jelas. Iran bukan bagian dari negara Arab (baca: Islam) dan dianggap penyebab utama perpecahan dan kerusuhan di Timteng karena kebijakannya mendukung Bashar al-Assad dan kelompok Houthi di Yaman.

 Dalam kondisi normal, harusnyaa fake statement itu bisa dikendalikan dan tak berdampak diplomatik lebih besar. Naasnya, media arus utama, seperti BBC, CNN, dan The Guardian secara spekulatif mengorelasikan kasus retasan ini sebagai penyebab utama pemutusan hubungan diplomatik massal terhadap Qatar. Benarkah gerakan pemutusan hubungan diplomatik yang memiliki risiko besar di kawasan ini hanya akibat fake statement? Apakah kawat diplomatik Qatar benar-benar sudah tak berfungsi? Ataukah ini titik tolak kegelisahan negara-negara Arab selama ini terhadap Qatar?

Duri dalam daging

Sejak Tamim mengudeta kekuasaan ayahnya pada 1990-an, negara yang paling gelisah adalah Arab Saudi. Kudeta ini dianggap menyalahi norma-norma suksesi kekuasaan di negara- negara Teluk. Kegelisahan itu berlanjut pada upaya Arab Saudi membangun aliansi dari keluarga kerajaan Al-Thani untuk mengudeta Emir Hamad pada 1996 dan mengembalikan kekuasaan Qatar pada Emir Khalifa bin Hamad al-Thani. Manuver politik Arab Saudi membuat hubungan diplomatik Qatar berada pada titik nadir karena tindakan Arab Saudi didukung kebanyakan pemimpin Timteng yang tak mengakui pemerintahan Emir Hamad.

 Meskipun terisolasi di kawasan, Qatar tumbuh jadi negara maju secara ekonomi dan makin mengancam posisi politik Arab Saudi di kawasan. Munculnya Qatar sebagai an emerging actor juga mendatangkan kecemburuan politik bagi Arab Saudi yang selama ini menjadi "polisi" di kawasan Timteng (Dorsey 2013). Sejak 2000-an, Qatar muncul jadi negara paling aktif di kawasan Timteng dan Afrika. Qatar selalu hadir sebagai negara mediator dalam konflik di Lebanon, Sudan, Yaman, Libya, Mesir, Palestina, Djibouti, hingga Eritrea.

 Selain dengan Arab Saudi, Qatar juga memiliki sejarah konflik dengan Bahrain dari kasus klaim teritorial yang belum selesai di Pulau Hawar, Fasht Al Azm, Fasht Dibal, Al-Jaradah, dan Zubarah. Ketegangan juga terjadi dalam kasus sengketa kewarganegaraan: Qatar dituding melakukan upaya naturalisasi terhadap warga negara Bahrain. Dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), Qatar dianggap gagal memenuhi kesepakatan organisasi itu untuk tak mendukung pihak-pihak yang mengancam negara-negara anggota. Qatar juga diisukan mendanai berbagai gerakan radikal, seperti Ikhwanul Muslimin dan organisasi radikal lainnya.

 Manuver Al Jazeera yang dimiliki Pemerintah Qatar juga mendatangkan kecaman para penguasa-penguasa Arab. Sebagai kantor berita yang paling populer di kawasan, reportase Al Jazeera sering dianggap terlalu tajam dan membela kelompok-kelompok prodemokrasi yang menentang pemerintah. Para penguasa Arab justru menganggap Qatar telah melucuti semangat noninterference dengan mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Politik isolasi

Fake statement sebenarnya merupakan pemantik di tengah kegerahan para penguasa Arab terhadap manuver Qatar. Pernyataan yang berasal dari media retasan tersebut harusnya tidak perlu dianggap serius apalagi didorong menuju kebijakan politik yang lebih berisiko di kawasan. Jika Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya berkehendak, kawat diplomatik melalui kerja sama regional dan aliansi militer negara-negara Muslim yang digalang Arab Saudi seharusnya bisa meredam hal tersebut.

 Relasi diplomatik itu tampak sengaja ingin dimatikan. Politik isolasi jadi pilihan dan dianggap efektif untuk mengucilkan Qatar di kawasan. Kebijakan isolasi ini digarap sedemikian serius tidak hanya dalam diplomasi. Segala bentuk hubungan perdagangan dan komunikasi jalur darat, laut, dan udara disekat. Jalur penerbangan dibekukan. Media-media dari Qatar diblokir. Kedutaan ditutup dan para diplomat Qatar diusir dalam waktu 2 x 24 jam.

 Pemutusan hubungan diplomatik ini merupakan keputusan tergesa-gesa karena politik isolasi memiliki risiko sangat besar. Ketergantungan Qatar akan suplai bahan makanan melalui jalur darat di perbatasan Arab Saudi sangat tinggi, hingga 40 persen (BBC, 5/6). Impor penting lain, seperti susu mencapai 90 persen, bahan konstruksi dan semen (30 persen), bahan aluminium dan perdagangan strategis lain yang sangat mendukung pembangunan proyek megakonstruksi untuk menyambut Piala Dunia 2022 di Qatar mencapai 92 persen.

 Di sisi lain, negara-negara Teluk sangat bergantung pada pasokan LNG dari Qatar melalui pipa gas yang disalurkan melalui perbatasan tersebut untuk disalurkan ke Arab Saudi, UAE, Oman, dan Yaman. Namun, perlu dicermati juga, ketergantungan neraca ekonomi Qatar terhadap ekspor BBM dan gas ini mencapai 51 persen. Artinya, kebijakan isolasi ini dalam jangka panjang memiliki dampak sangat mematikan dan berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi, terutama pasokan gas dan fluktuasi harga gas dunia tidak hanya bagi Qatar, tetapi juga negara-negara Arab di kawasan.

 Solusi konflik ini sangat bergantung pada keinginan dan itikad baik mereka membuka ruang-ruang diplomasi. Mengingat gaya politik Emir Tamim bin Hamad Khalifa al-Thani yang lebih akomodatif dibandingkan ayahnya, terbukanya negosiasi dan ruang diplomasi sangat mungkin terwujud. Pada titik tertentu, peran aktor regional dan internasional diperlukan untuk menengahi pertikaian. Keengganan Trump untuk menengahi konflik ini patut dipertanyakan karena justru terjadi tepat setelah safari politiknya di Timteng.

NOSTALGIAWAN WAHYUDHI

Peneliti Kajian Timur Tengah dan Politik Islam, Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Membonsai Qatar".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger