Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 14 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: KPR Pekerja Informal (PAUL SUTARYONO)

Pemerintah telah meluncurkan Program Sejuta Rumah pada April 2015. Hal itu bertujuan untuk menggairahkan sektor properti dengan menekan kekurangan pasokan rumah (backlog) sekitar 13,5 juta unit rumah pada 2015. Program itu lebih ditujukan kepada pekerja formal. Bagaimana dengan rumah bagi pekerja informal?

Mengapa sektor properti yang diunggulkan? Alasannya, bergairahnya sektor properti akan sanggup mendorong paling tidak 170 bisnis ikutan lainnya untuk ikut bergairah. Katakanlah, arsitektur, pasir, semen, kayu (kusen pintu, kusen jendela, daun pintu, daun jendela, kaso), keramik, cat, besi, baja ringan, batu bata dan batu kali, kunci, lampu, taman, listrik, dan mebel. Tak hanya itu, sektor properti pun mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Artinya, sektor properti mampu menekan laju tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 5,61 persen atau 7,03 juta orang per Agustus 2016 dan 5,33 persen atau 7,01 juta orang per Februari 2017.

Untuk itu, pemerintah telah menyediakan kredit pemilikan rumah (KPR) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). KPR FLPP itu sangat menarik dengan uang muka hanya 1 persen bagi MBR berpendapatan maksimal Rp 4 juta untuk rumah sejahtera tapak dan Rp 7 juta untuk rumah sejahtera susun. Suku bunga tetap (fixed) 5 persen sampai tenor 20 tahun dengan jumlah kredit Rp 25 juta hingga Rp 350 juta.

Aneka tonikum

Tak mau kalah, Bank Indonesia telah melonggarkan kembali loan to value (LTV) dari 80 persen menjadi 85 persen. Artinya, uang muka makin rendah dari 20 persen menjadi 15 persen dari nilai rumah. Dari sisi fiskal, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 untuk menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) final penjualan tanah dan bangunan dari 5 persen menjadi 2,5 persen dari nilai jual obyek pajak (NJOP) efektif 9 September 2016.

Ternyata aneka insentif atau stimulus itu telah menghasilkan buah manis berupa pertumbuhan kredit properti. Hal ini menyejukkan semua pihak, baik pemerintah, BI, maupun kalangan bisnis, terutama sektor properti. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang terbit medio April 2017 menunjukkan kredit properti tumbuh 15,01 persen dari Rp 614,17 triliun per Februari 2016 menjadi Rp 706,35 triliun per Februari 2017. Hal itu merupakan pertumbuhan yang menggembirakan karena lebih tinggi daripada pertumbuhan per Desember 2016 sebesar 14,98 persen.

Total kredit properti Rp 706,35 triliun itu meliputi kredit konstruksi, real estat dan KPR, serta kredit pemilikan apartemen (KPA). Kredit konstruksi tumbuh paling tinggi secara kualitatif 26,98 persen dari Rp 165,05 triliun jadi Rp 209,58 triliun (memberikan kontribusi 29,67 persen dari total kredit properti). Kinerja kredit itu disusul kredit real estat yang tumbuh 20,72 persen dari Rp 106,87 triliun jadi Rp 129,01 triliun (kontribusi 18,26 persen).

Sayangnya, KPR dan KPA hanya naik tipis 7,45 persen dari Rp 342,25 triliun menjadi Rp 367,76 triliun. Meski demikian, pertumbuhan itu telah memberikan kontribusi paling tinggi secara kuatitatif 52,07 persen dari total kredit properti. Apalagi pertumbuhan total kredit properti Rp 706,35 triliun itu telah menyumbang 17,09 persen dari total kredit perbankan Rp 4.133,46 triliun per Februari 2017.

Namun, jangan lupa, uang muka 1 persen itu akan membebani nasabah dalam membayar kewajiban (angsuran) setiap bulan. Ketika uang muka makin rendah, angsuran setiap bulan akan makin tinggi. Perbandingan terbalik. Untuk mengatasinya, nasabah wajib meningkatkan uang muka setinggi mungkin sehingga angsuran bulanan akan lebih rendah. Uang muka tinggi lebih menguntungkan ke depan karena uang sekarang lebih bernilai tinggi (the present value of money) daripada 10-15 tahun mendatang. Artinya, ketika KPR telah berjalan 10-15 tahun, nilai angsuran bulanan tidak lagi bernilai tinggi.

Untuk membantu pemilikan rumah, BPJS Ketenagakerjaan telah menyediakan kredit uang muka untuk KPR FLPP. Sayangnya, tawaran itu hanya berlaku bagi pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Sekali lagi, lantas bagaimana dengan pekerja informal, seperti tukang ojek, pedagang kaki lima, sopir taksi, nelayan, petani, tukang kayu, dan tukang bangunan? Sudah sepatutnya pemerintah juga menyediakan KPR pekerja informal yang jumlahnya diduga lebih banyak daripada pekerja formal. Sesungguhnya, pemerintah telah menyiapkan hal itu dengan menerbitkan UU No 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Tapera itu bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.

Peserta Tapera meliputi tidak hanya pekerja formal, tetapi juga pekerja informal atau pekerja mandiri. Pekerja mandiri adalah setiap warga negara Indonesia yang bekerja dengan tak bergantung pada pemberi kerja untuk mendapatkan penghasilan. Sayangnya, Tapera itu belum beroperasi sekalipun UU itu sudah berusia setahun. Mengapa? Lantaran Komite Tapera baru terbentuk medio Desember 2016, padahal UU itu menitahkan pembentukan Komite Tapera paling lambat tiga bulan sejak UU diundangkan (24 Maret 2016) yang berarti 24 Juni 2016. Komite Tapera merupakan komite yang berfungsi merumuskan kebijakan umum dan strategis dalam pengelolaan Tapera.

Oleh karena itu, tugas Komite Tapera dalam membentuk Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) juga akan terlambat. BP Tapera berfungsi mengatur, mengawasi, dan melakukan tindak turun tangan terhadap pengelolaan Tapera untuk melindungi kepentingan peserta. UU itu menitahkan bahwa BP Tapera mulai beroperasi penuh paling lambat dua tahun sejak UU itu diundangkan.

Kiat operasional BP Tapera

Lantas, apakah KPR pekerja informal ditunda hingga BP Tapera beroperasi penuh? Sebaiknya tidak. Ini kiatnya.

Pertama, Bank BTN sebagai bank pemerintah dengan bisnis inti pembiayaan perumahan telah menawarkan KPR mikro yang dapat dimanfaatkan pekerja sektor informal. Awalnya, Bank BTN menyasar pedagang yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Mi Bakso (Apmiso), kemudian menyusul pedagang makanan lainnya, nelayan, petani, dan pekerja informal lain.

Ini terobosan jitu. Betapa tidak? KPR mikro menawarkan uang muka 1 persen untuk pembelian rumah pertama, sedangkan untuk renovasi rumah atau pembangunan rumah dengan uang muka minimal 10 persen. Semua itu dengan kredit maksimal Rp 75 juta dengan suku bunga kredit tetap 7,99 persen hingga tenor 10 tahun. Berbeda dari KPR FLPP, KPR mikro menyasar MBR dengan pendapatan rata-rata Rp 1,8 juta-Rp 2,8 juta per bulan yang belum tersentuh perbankan. Diperkirakan MBR 6,5 juta orang.

Kedua, pemerintah dapat mengundang bank pemerintah, yakni Bank Mandiri, Bank BRI, dan BNI, untuk ikut ambil bagian dalam menggarap KPR pekerja informal, seperti halnya KPR mikro. Mengapa dipilih bank pemerintah? Karena, selain berfungsi sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary), bank pemerintah juga bertindak sebagai agen pembangunan (agent of development) yang selama ini hampir terlupakan. Artinya, bank pemerintah wajib ikut mendukung program pembangunan pemerintah dalam hal ini penyediaan perumahan bagi MBR.

Langkah itu dapat menekan ekses likuiditas bank pelat merah yang diternakkan di surat berharga. Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 18 April 2017 menunjukkan penempatan bank pemerintah di surat berharga melaju 14,42 persen dari Rp 300,17 triliun per Februari 2016 menjadi Rp 343,46 triliun per Februari 2017. Lirik saja rinciannya. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) melesat 16,21 persen dari Rp 15,55 triliun menjadi Rp 18,07 triliun dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) terbang tinggi 207,42 persen dari Rp 3,10 triliun menjadi Rp 9,53 triliun. Kemudian, menyusul obligasi yang naik 1,29 persen dari Rp 243,75 triliun menjadi Rp 246,89 triliun dan lain-lain melejit 82,61 persen dari Rp 37,77 triliun menjadi Rp 68,97 triliun pada periode yang sama.

Dengan ikut menggelar KPR pekerja informal, ekses likuiditas bank pemerintah akan lebih bermanfaat bagi masyarakat kalangan bawah. Ingat ketiga bank pemerintah itu sudah rajin menggarap kredit perumahan. Jadi, pemerintah tinggal mendorong ketiga bank pelat merah itu supaya lari lebih kencang dalam membiayai kredit perumahan bagi MBR.

Ketiga, selain itu, pemerintah, BI atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat membentuk dana bersama (pooling fund) untuk membiayai KPR pekerja informal. Hal itu dapat ditawarkan kepada semua bank yang berminat, tetapi diprioritaskan bagi kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) 3 (dengan modal inti di atas Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30 triliun) dan 4 (modal inti di atas Rp 30 triliun) yang bermodal lebih perkasa. Dana bersama itu dapat dimanfaatkan bagi bank yang kekurangan dana untuk membiayai KPR pekerja informal. Hal ini bertujuan menjamin kelestarian proyek akbar itu.

Bank peminjam dikenai suku bunga seperti halnya di pasar uang antarbank (PUAB), tetapi dikurangi, misalnya, 15-25 basis poin (bps). Pengurangan itu merupakan insentif. Sarinya, suku bunga dana bersama itu lebih rendah daripada bunga PUAB sehingga lebih menarik bagi bank untuk memanfaatkan. Dengan demikian, pelan tetapi pasti, MBR akan menikmati rumah layak huni dalam waktu dekat. Backlog jauh berkurang, bank pun meraih pendapatan bunga kredit legit.

PAUL SUTARYONO

Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "KPR Pekerja Informal".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger