Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 Juli 2017

"Paradoks Tragis" Kebinekaan di Pendidikan (IWAN PRANOTO)

Sejumlah peneliti telah mengutarakan dampak positif pada institusi pendidikan yang muridnya berasal dari beragam strata sosial, suku, ras, dan budaya.

Bukan saja meningkatkan kepekaan sosial, kebinekaan latar belakang pelajar ini berdampak pada peningkatan capaian akademik individu pelajar, sebagaimana misalnya dilaporkan James S Coleman dalam Coleman Report pada 1966.

Paradoks-paradoks itu

Namun, pada kenyataannya, perilaku masyarakat perkotaan seperti bertentangan dengan hasil laporan tadi. Jika ada pilihan, tak sedikit orangtua di kota besar cenderung memilihkan institusi pendidikan yang justru berlatar belakang keyakinan atau sosial homogen bagi anaknya. Ini tampaknya juga terjadi pada masyarakat perkotaan Indonesia hari ini.

Ditambah lagi, kadang terjadi praktik buruk pihak institusi pendidikan publik yang menyeleksi serta menerima calon murid berdasarkan preferensi latar belakang, yang dampaknya malah menegaskan keseragaman keyakinan dan kelompok.

Berkenaan dengan itu, khusus dengan situasi permukiman perkotaan besar di Indonesia yang sekarang mungkin mengarah mengelompok homogen, perlu dipikirkan kembali apakah kebijakan seperti penerapan "zonaisasi sekolah" secara penuh bukannya justru bisa turut mengikis kebinekaan di pendidikan.

Lebih peliknya lagi jika ada langkah pemerintah daerah, misalnya, menerapkan tindakan afirmatif dengan mengarahkan pelajar masuk sekolah tertentu agar distribusi murid memiliki kebinekaan latar belakang. Langkah ini akan dituding tak menghormati kebebasan warga. Mungkin pihak pegiat hak asasi manusia menganggap kebijakan ini melanggar hak kebebasan warga memilihkan pendidikan bagi anaknya.

Singkat kata, sementara kita mengetahui bahwa kebinekaan latar belakang pelajar baik bagi pertumbuhan kecakapan kognitif anak, tetapi justru kita sendiri yang mengabaikan peluang baik itu serta memupuskannya. Dilema ini yang disebut "paradoks tragis" oleh pakar pendidikan, Richard D Kahlenberg.

Oleh karena itu, khususnya dengan kenyataan bahwa kebinekaan merupakan jati diri bangsa Indonesia, tak cukup masyarakat memaklumi kebinekaan sebagai fakta. Apalagi mewacanakannya sekadar sebagai romantisisme sosial masa lalu.

Kebinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu terus dirawat, dijuarakan, dan dirayakan dalam keseharian. Ini bukan karena kebinekaan merupakan ideologi bangsa dan republik ini semata, melainkan gagasan kebinekaan juga sedang didambakan dunia global yang sarat konflik saat ini. Bahkan, bidang industri, ekonomi, kemasyarakatan, sampai politik, semua saat ini menyadari bahwa kebinekaan merupakan gagasan besar utama sebagai penjamin keberlanjutan dan kebagasan kehidupan pada masa depan.

Kebinekaan memang kerap dimanfaatkan sebagai bentuk political correctness atau gincu politik di kehidupan modern ini. Akan tetapi-seperti yang diungkapkanLaporan Coleman-kebinekaan dalam dunia pendidikan meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah para pelajar. Ini mungkin disadari pelaku industri multinasional yang sekarang mulai memburu pekerja dengan kaya pengalaman berinteraksi dalam berbagai kebinekaan gagasan dan sosial.

Secara intuitif pula, pengalaman pelajar berinteraksi dengan kebinekaan saat bersekolah akan membuahkan keharmonisan sosial antarwarga pada generasi mendatangi. Dengan kata lain, lingkungan pendidikan berbineka akan menyumbang kedamaian sekaligus keselarasan kehidupan bermasyarakat di masa depan.

Berdasar pemikiran di atas, walaupun kebinekaan di pendidikan merupakan paradoks tragis, sekolah tetap menjadi satu ruang utama. Sekolah merupakan wahana paling masuk akal guna memijahkan dan menularkan virus kebinekaan. Kecuali itu, sekolah tetap merupakan podium utama untuk menjuarakan dan merayakan kebinekaan.

Kebinekaan pemikiran

Tentu masih perlu dibuktikan secara ilmiah. Namun, situasi kenegaraan di Tanah Air belakangan ini sedikit banyak membersitkan gambaran bahwa kebinekaan budaya, keyakinan, dan suku mungkin sesungguhnya baru di-spanduk-kan dan dipidatokan. Gagasan kebinekaan belum tentu sudah diyakini penuh masyarakat modern kita sebagai sebuah keunggulan dan kekuatan. Akibatnya, kebinekaan latar belakang sosial pelajar di sekolah negeri atau umum, khususnya di kota besar, mungkin belum akan terwujud dalam waktu dekat. Karena itu, diperlukan strategi lain guna segera merayakan sekaligus menularkan virus kebinekaan, salah satunya ialah kebinekaan pemikiran.

Guna mewujudkannya, dibutuhkan iklim kelas yang menyuburkan gagasan kebinekaan melalui cara simbolik dan perenungan, bukan dengan ritual ceramah sloganistik satu arah. Diperlukan pendekatan kreatif yang memandang pelajar sebagai insan cerdas, sanggup menalar pesan simbolik serta menggali pemahaman sendiri.

Pendekatan ini tentunya akan membuat pembelajaran lebih menarik, berkesan mendalam dan tahan lama, serta efektif. Akan tetapi, pendekatan seperti ini memerlukan guru cakap berpikir juga sekaligus bergairah mengelola kelas sebagai komunitas pemikir.

Guru yang cocok untuk komunitas pemikir ialah yang senantiasa mendahulukan pendapat murid ketimbang pendapatnya. Karena itu, guru mutlak perlu menguasai teknik bertanya dan seni berpikir serta berbicara. Guru perlu mengasah keterampilan mengelola diskusi di kelas, khususnya kemahiran mendengar serta menahan sikap "keminter" atau terlalu cepat memberi tahu jawab kepada murid.

Pengelolaan kelas yang baik akan menyuburkan keberanian tiap pelajar mengemukakan pendapatnya. Bahkan, saat satu pelajar sadar bahwa pendapatnya berbeda dengan pendapat umum teman-temannya, iklim kelas harus tetap mendukung pelajar itu berpendapat. Oleh karena itu, guru perlu menggeser fokus dari penghargaan pada kebenaran jawab menjadi penghargaan pada keberanian keterlibatan individu dalam berpendapat.

Secara bersamaan, guru juga perlu secara gradual menyuburkan norma penghargaan hak berpendapat orang lain walau mungkin tak menyetujuinya. Mutu lingkungan kelas yang baik ditandai dengan bertunasnya kebinekaan pemikiran.

Simbol kebinekaan lain yang dapat diupayakan, misalnya, dengan menampilkan keragaman hayati di pekarangan kebun sekolah. Kemudian, bahan ajar dari sejarah sampai ilmu kimia dapat dimanfaatkan murid dan guru untuk berkontemplasi atau merenungkan gagasan kebinekaan ini melalui analogi, tanpa perlu menceramahi atau mengkhotbahi secara langsung. Tentu pendekatan-pendekatan lain guna memijahkan virus kebinekaan ada dan perlu terus ditelusuri serta dimanfaatkan.

IWAN PRANOTO

Guru Besar Matematika ITB; Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI New Delhi, India

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul ""Paradoks Tragis" Kebinekaan di Pendidikan"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger