Melihat kemacetan yang tidak kunjung berkurang, meski berbagai upaya sudah dilakukan di kawasan Jakarta—ibu kota negara—dan sekitarnya, pemerintah tampaknya perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat pro-rakyat. Intinya, kendaraan umum mendapat prioritas di jalan, seperti contoh-contoh berikut ini.

Pertama, menyangkut bus lembaga pemerintah ataupun kementerian, bus TNI, bus umum, dan taksi berpenumpang, diperbolehkan menggunakan jalur bus transjakarta (busway).

Selanjutnya, semua kendaraan umum yang disebutkan boleh menggunakan busway di atas juga mendapat fasilitas bebas biaya tol dalam kota ataupun luar kota. Teknis pelaksanaannya tidak sulit bagi Jasa Marga.

Pemerintah sebaiknya juga menempatkan sejumlah petugas di gerbang tol yang bersinggungan dengan busway sehingga akses bus transjakarta menjadi lancar untuk kepentingan penumpang. Pihak Jasa Marga patut memberikan "bonus" kepada petugas pada jam-jam tersebut.

Jika ada gerbang tol yang tidak berfungsi (X) dan berimbas pada kemacetan di jalur non-tol, pihak Jasa Marga wajib membuka dan membebaskan bayar semua gerbang agar kendaraan dapat terurai dengan cepat. Ini suatu bentuk tanggung jawab sosial Jasa Marga untuk tidak menimbulkan kemacetan akibat kerusakan gerbang tol yang menjadi tanggung jawabnya.

Berikutnya adalah menaikkan biaya tol secara signifikan bagi kendaraan pribadi. Biaya tersebut digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan jumlah dan mutu angkutan umum sehingga angkutan umum tidak hanya bertambah kapasitasnya, tetapi juga nyaman bagi para penumpang. Kebijakan ini dapat dihentikan saat jumlah kendaraan umum sudah mencukupi.

Cara lain yang serupa dengan upaya di atas adalah menaikkan biaya parkir, baik di jalan umum maupun di gedung/area parkir yang dikelola swasta. Dana yang diperoleh digunakan untuk meningkatkan jumlah dan mutu angkutan umum.

Contoh penerapannya adalah pada jalan Gatot Subroto, khususnya di gerbang tol Semanggi 2. Semua jenis bus yang disebutkan di awal dari arah Sudirman (yang akan masuk tol) wajib masukbusway untuk seterusnya masuk gerbang tol Semanggi 2. Ini karena, jika diperhatikan, kemacetan di Semanggi 2 banyak disebabkan oleh bus-bus yang saling berebut untuk masuk pintu tol dengan cara memotong dari jalur kiri menuju gerbang tol.

Semoga kebijakan di atas dapat segera dilakukan oleh pihak Jasa Marga agar lebih pro-masyarakat pengguna angkutan umum, pengusaha angkutan umum, sehingga masyarakat mau beralih ke angkutan umum.

Memang diperlukan keberanian untuk berubah dan itu tidak mudah. Terus gemakan kesadaran hidup untuk kepentingan publik.

Fritzy Silalahi, Kota Wisata-Cileungsi 

 

"Prosesi" dan "Erupsi"

Saya membaca surat Jakin Laksana Hidajat di rubrik ini pada edisi 27 November lalu tentang pemakaian kataprosesi yang rancu di media elektronik ataupun cetak, khususnya saat mewartakan pernikahan Kahiyang dan Bobby. Jakin mengusulkan kata seremonisebagai pengganti kata prosesi yang selama ini keliru dipakai.

Saya setuju bahwa kata prosesi tidak tepat digunakan untuk suatu tindakan yang bukan arak-arakan atau bukan iring- iringan. Misalnya, prosesi siraman. Di mana ada siraman yang berarak-arakan atau beriring-iringan?

Namun, menurut saya, tidak tepat juga kata prosesi siraman yang keliru itu diganti dengan seremoni siraman, seperti yang diusulkan Janin. Lebih baik, menurut hemat saya, prosesi siraman diperbaiki menjadi upacara siraman.

Saya prihatin melihat kenyataan bahwa pejabat, intelektual, dan media sering menggunakan kata serapan dari bahasa lain, padahal sudah ada kata dalam bahasa Indonesia yang artinya sama.

Sebagai contoh yang saat ini kita alami ialah penggunaan kata erupsi. Kita mendengar penyiar televisi membaca berita terjadinya erupsi Gunung Agung. Seingat saya, pada 1963 media memberitakan bahwa Gunung Agungmeletus. Mengapa meletus kita ganti dengan erupsi?

Kata lain dalam bahasa Indonesia yang kini kita ganti dengan kata serapan adalahpendidikan dengan edukasimutu diganti dengan kualitasmendesak diganti denganurgentujuan diganti dengan destinasi, bakat diganti dengan talenta.

Masih banyak lagi kata yang sudah baku dalam bahasa Indonesia kita ganti dengan kata serapan dari bahasa lain.

Diperlukan kesadaran semua pihak untuk tetap menggunakan kata yang sudah ada dalam khazanah bahasa Indonesia daripada menggunakan kata serapan dari bahasa asing.

Terima kasih atas perhatian yang diberikan.

Salahuddin Wahid, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan

 

Kesalahan Penulisan Waktu

Pada artikel Opini, "Masalah Kepemimpinan Partai Politik" yang ditulis oleh M Alfan Alfian dalam Kompas edisi 27 November lalu tersua kesalahan penulisan tahun terbit buku karya Fortunato Musella yang dikutip sang penulis. Ia mencantumkan 2018 sebagai tahun terbit buku Musella itu, padahal sekarang masih tahun 2017.

Buku berjudul Political Leaders Beyond Party Politics itu pertama terbit pada Juli 2017 oleh Penerbit Palgrave Macmillan (Kindle Edition). Kemudian dicetak kembali oleh penerbit yang sama dengan perwajahan yang baru (sampul tebal) pada Oktober 2017.

Kesalahan tersebut tak begitu fatal, tetapi bahaya apabila kesalahan kecil tidak terkoreksi dan dikoreksi karena bisa berimplikasi menjadi kebiasaan.

Saya membaca bahwa dalam hal ini ada ketidaktelitian pembacaan teks yang masuk ke surel redaksi, khususnya Desk Opini Kompas, sebelum teks dimuat. Kejelian redaksi saat memeriksa teks begitu penting sebelum menjadi genting.

Fikri Sopian Sauri, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) JUMPA, Universitas Pasundan, Jl Tamansari 6, Bandung