Rompi oranye yang dikenakan tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi hal biasa saat kita saksikan dalam siaran televisi. Saking banyak koruptor yang mengenakannya, kita menjadi tidak terlalu hafal nama-nama mereka.
Rompi oranye yang sebelumnya putih itu kini bahkan tidak lagi menimbulkan stigma bagi pemakainya. Para tersangka penggarong uang rakyat, walau sudah menjadi tahanan KPK, bahkan masih bisa tersenyum dan melambaikan tangan dengan mimik tanpa penyesalan.
Usul saya, supaya mudah mengingat nama para tersangka koruptor itu, pada setiap rompi diberi nomor punggung yang besar seperti jersey pemain sepak bola. Dengan demikian, kita bisa lebih mengingat wajah para koruptor. Misalnya rompi nomor 7 adalah tersangka bernama Setya Narogong.
A RistantoSinar Kasih,
Jatimakmur, Pondok Gede,
Bekasi, Jawa Barat
Ekspor yang Terlupa
Tepat sekali teguran Presiden Joko Widodo dalam Sidang Kabinet Terbatas tentang perlunya peningkatan ekspor kita. Izinkan saya selaku orang perkebunan menyampaikan apa yang sekarang dialami industri perkebunan kita, khususnya berkenaan dengan teh, gula, tembakau deli, dan karet.
Teh. Dulu kita terkenal di dunia karena jenis teh yang dihasilkan diakui sebagai produk unggulan sehingga harga ekspornya pun lebih tinggi dari harga pasar. Sekarang kita malah mengimpor teh dari Vietnam. Produksi teh unggul yang dulu kita banggakan itu sekarang minim sekali disebabkan pemetikan daunnya untuk sebagian besar dilakukan dengan gunting dengan konsekuensi hasil petikannya kasar.
Itulah penyebab teh Indonesia sekarang kurang diminati negara konsumen yang pada masa lalu biasa mengimpor tehnya dari Indonesia. Seandainya terjadi transaksi, dapat dipastikan harganya pun akan cukup signifikan di bawah harga pasar.
Gula. Sebagai orang yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Teknolog Gula Internasional, saya merasa prihatin atas peningkatan jumlah impor gula setiap tahun.
Pada masa lalu kita pernah tercatat sebagai eksportir gula nomor kedua terbesar di dunia. Indonesia juga pernah dianggap sebagai guru industri gula di sejumlah negara produsen, seperti Australia, Thailand, dan Afrika Selatan (informasinya saya peroleh langsung dari para pemangku kepentingan di negara-negara bersangkutan).
Ironisnya, negara-negara itu sekarang sudah ambil alih peran Indonesia sebagai negara eksportir, bahkan di dunia sudah tergolong dalam kategori negara eksportir gula yang mumpuni setelah Brasil. Seandainya kita ingin menghidupkan kembali industri gula, kebijakan pemerintah harus lebih jelas.
Tembakau deli. Tembakau deli yang dihasilkan di Sumatera Utara dari dulu hingga sekarang adalah favorit industri cerutu di Eropa, ibarat anggur Bordeaux untuk penggemar anggur. Sekarang ia nyaris punah karena lahan untuk penanamannya hanya 50 hektar dengan konsekuensi produksi tembakau deli hanya 100 bal per tahun. Pada masa lalu pernah mencapai 45.000 bal per tahun karena didukung riset di samping cadangan lahan luas.
Maka, pabrik-pabrik cerutu di Eropa tak lagi berminat untuk mengimpor tembakau deli dari Indonesia. Negara yang kini mengambil alih peran sebagai pemasok bahan baku untuk berbagai jenis cerutu primer dengan harga yang mahal adalah Meksiko, Brasil, dan Ekuador yang masing-masing menghasilkan tembakau sejenis tembakau deli dengan nama Mexico Sumatera, Brazil Sumatera, dan Equador Sumatera dengan harga 40 euro sampai 50 euro per kilogram (informasi ini disampaikan seorang eksekutif pabrik cerutu di Eropa yang pada 31 Januari 2018 datang di Jakarta untuk menemui saya).
Karet. Nasib karet ke depan juga bisa memprihatinkan karena peremajaan tak banyak dilakukan dan, selain itu, perkembangan harga karet belakangan ini memang kurang menarik. Kiranya perlu ada strategi yang jelas untuk menyelamatkan perkebunan karet yang untuk sebagian besar adalah milik rakyat.
Soedjai Kartasasmita
Jalan Iskandarsyiah, Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Kompas, 10 Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar