Menunaikan janji Nawacita adalah tantangan bagi setiap menteri dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Salah satunya adalah melalui kinerja di bidang pendidikan. Pendidikan merupakan sarana strategis merealisasikan janji Nawacita untuk menuju Indonesia yang cerdas dan sejahtera.
Sesuatu yang bernilai tidaklah murah harganya. Nenek moyang memahami kebajikan ini dengan ungkapan klasik Jer Basuki Mowo Beya. Artinya, agar mulia, ada biaya yang harus dikeluarkan. Biaya ini bisa berupa kesungguhan, kerja keras, komitmen, dan tentu saja, biaya dalam arti uang.
Komitmen pendidikan
Pemerintah dan DPR tetap memiliki komitmen memenuhi amanah amandemen UUD 1945 untuk mengalokasikan anggara sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN untuk fungsi pendidikan. Angkanya dalam APBN 2018 adalah Rp 444,1 triliun. Dari jumlah itu, Rp 279,4 triliun (63 persen) dialokasikan melalui transfer ke daerah dalam Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sebesar Rp 40,1 triliun (9 persen) dikelola Kemendikbud. Sisanya tersebar di berbagai kementerian dan lembaga.
Salah satu prioritas nasional pendidikan adalah peningkatan akses pendidikan, melalui perbaikan sekolah, dan pemberian akses pendidikan pada keluarga miskin melalui mekanisme Kartu Indonesia Pintar. Kemendikbud telah menyalurkan Rp 9,6 triliun untuk KIP, dan Rp 3,5 triliun untuk rehabilitasi, pembangunan unit sekolah baru, rehabilitasi sekolah baru, dan revitalisasi sekolah. Dana yang dimiliki Kemendikbud untuk peningkatan akses pendidikan cukup terbatas bila dibandingkan DAK fisik yang sudah distransfer ke pemerintah daerah. Artinya, komitmen pemda terhadap peningkatan sarana-prasarana pendidikan di daerah semestinya lebih besar.
Melalui Neraca Pendidikan Daerah (NPD) yang datanya setiap tahun kian disempurnakan, kita menemukan bahwa hampir semua pemda memiliki persentase anggaran urusan pendidikan dalam APBD (di luar transfer daerah) di bawah 20 persen. Hanya ada tiga provinsi yang mengalokasikan anggaran urusan pendidikan rata-rata 18 persen, yaitu Provinsi Riau, DKI Jakarta dan Sumatera Barat.
Neraca Pendidikan Daerah merupakan alat penting untuk mengevaluasi kinerja kementerian dan pemda dalam menyelenggarakan pendidikan. Masyarakat, akademisi, dan para pengambil keputusan di daerah perlu memanfaatkan data-data NPD sebagai informasi dan basis untuk pengembangan kebijakan pendidikan di daerah. Masyarakat juga perlu menjadi pengawal pemda untuk memastikan anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah dipergunakan sesuai dengan tujuannya.
Revitalisasi vokasi
Revitalisasi pendidikan vokasi merupakan prioritas nasional. Untuk penguatan pendidikan vokasi di bidang kelautan, pariwisata, pertanian, pendidikan kecakapan kerja, diklat keahlian ganda, dan lain-lain, Kemendikbud telah mengalokasikan anggaran Rp 8,4 triliun termasuk pembangunan sarana dan prasarana pendukung. Tentu, mendesain pendidikan vokasi pada masa kini tidaklah mudah mengingat kemajuan teknologi dan industri yang berubah dan maju dengan demikian cepat.
Usaha-usaha untuk melakukan revitalisasi ini menunjukkan sikap tanggap dan responsif Kemendikbud atas persoalan-persoalan terkait relevansi pendidikan vokasi di Indonesia.
Pendidikan karakter
Melakukan revolusi karakter bangsa adalah satu janji dalam Nawacita. Peraturan Presiden No 87 Tahun 2017 menjadi landasan hukum yang kokoh bagi implementasi penguatan pendidikan karakter dalam pendidikan. Kemendikbud sudah mendesain pedoman dan konsep dasar PPK, melatih fasilitator PPK, membentuk tim konsultasi dan asistensi PPK di setiap provinsi agar roh pendidikan dalam PPK segera dilaksanakan di seluruh sekolah di Indonesia. Pemerintah daerah semakin erat bersinergi dengan Kemendikbud untuk penguatan pendidikan karakter.
Inisiatif inovasi dan kreasi dalam implementasi PPK berbasis kebutuhan dan kearifan lokal mulai tumbuh. Partisipasi orang tua, terutama komite sekolah dalam pengelolaan pendidikan semakin baik dan intensif.
Berbagai macam kolaborasi antara sekolah dengan lembaga-lembaga lain yang mendukung PPK semakin nampak. Kreativitas guru dalam mendesain pengalaman belajar peserta didik juga semakin banyak. Ini semua memberikan harapan bahwa janji Nawacita perlahan-lahan sudah menampakkan hasilnya.
Jalan alternatif
Kunci keberhasilan revolusi karakter bangsa dalam dunia pendidikan ada pada guru. Kita masih memiliki masalah kompleks untuk meningkatkan kualitas guru. Mengubah ini tidak dapat dilakukan dalam semalam. Guru yang sibuk mengajar di banyak sekolah demi memenuhi ketentuan minimal 24 jam tatap muka dalam mengajar seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) tidak akan produktif sebagai pembentuk karakter peserta didik. Mereka tidak hadir.
Padahal, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa keteladanan itu sangat penting. Kalau peserta didik tidak menemukan teladan dari para guru karena guru banyak pindah mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain hanya demi memenuhi jam mengajar agar mendapat sertifikasi, dari mana sumber keteladanan ini diperoleh?
Mengubah UU tidak mudah. Saya usulkan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No 74 Tahun 2008 sebagai jalan alternatif. Maka, terbitlah PP No 19 Tahun 2017 tentang Guru. Dalam PP dijelaskan bahwa tugas guru mencakup kegiatan merencanakan, melaksanakan, menilai pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru.
Kegiatan pokok ini akan dikonversi sebagai bagian dari kegiatan tatap muka. PP No 19 Tahun 2017 merupakan alternatif yang paling mungkin dan realistis saat ini agar para guru dapat lebih tenang dalam melaksanakan tugasnya.
Membangun harapan
Hasil tes Programme for International Student Assessement (PISA) selalu membawa publik pada iklim kekecewaan. Ini selalu terjadi karena PISA selalu menempatkan Indonesia dalam posisi terendah. Saya tahu, bahwa di satu sisi, hasil tes PISA menunjukkan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia, namun di sisi lain, menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia gagal berdasarkan tes ini, tentu merupakan sebuah ketergesaan dalam menarik kesimpulan mengingat sampel populasinya sangat kecil dibandingkan total seluruh peserta didik di Indonesia.
Sudah banyak usaha yang dilakukan Kemendikbud untuk meningkatkan kualitas pendidikan terkait temuan hasil PISA ini, seperti mulai diperkenalkannya cara berpikir tingkat tinggi sejak dua tahun lalu, memberikan pelatihan kepada para guru, mulai memperkenalkan soal esai dalam Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Kehebohan UN kemarin mesti dipahami sebagai alat evaluasi untuk menilai kesiapan siswa Indonesia dalam mempraktikkan cara berpikir tingkat tinggi. Siap atau tak siap, kita harus segera mempersiapkan peserta didik ke arah sana.
Kemendikbud melalui Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) juga sudah mendesain program Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI), sebuah alat tes nasional yang akan menjadi alat evaluasi formatif bagi setiap sekolah agar dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan melalui data-data potensi anak Indonesia yang terpotret dalam program AKSI. Kemendikbud akan memperbaiki berbagai macam sistem evaluasi dan penilaian pendidikan agar dapat memotret kualitas anak-anak Indonesia secara lebih baik.
Menunaikan janji Nawacita dalam bidang pendidikan memang tidak mudah. Indonesia adalah Negara besar dengan jumlah guru (3 juta) dan siswa (60 juta) yang tersebar di kota-kota besar dan daerah terluar Indonesia, dari Sabang sampai Merauke dengan perbedaan kualitas dan sarana pendidikan, serta komitmen pemerintah daerah yang bervariasi. Tantangan pendidikan ini tak akan selesai dalam sehari. Perlu kerja keras, kolaborasi, dan terutama kesungguhan seluruh pihak agar pendidikan selalu menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan. Namun lebih dari itu, kita tidak pernah boleh kehilangan harapan.
Menguatkan pendidikan, memajukan kebudayaan adalah tema dari Hari Pendidikan Nasional 2018. Ini hanya bisa dilakukan bila kita memiliki harapan. Harapan dan tantangan pendidikan perlu dimaknai sebagai sumber motivasi untuk meningkatkan kualitas dan layanan pendidikan dalam menunaikan janji Nawacita.
Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Kompas, 3 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar