"Kami menginginkan kupu-kupu, jadi kami tidak ingin membubuh- kan lipstik pada ulat bulu dan menyebutnya suatu sukses (sebagai kupu-kupu)." Demikian John Bolton, Duta Besar AS untuk PBB 2005- 2006 ("The Economist", 2006). Bolton kini penasihat bidang keamanan nasional AS.

Ia menyatakan itu dalam proses pembubaran Komisi HAM PBB (United Nations Commission on Human Rights/UNCHR) yang kemudian berujung pada pembentukan Dewan HAM PBB (The United Nations Human Rights Council/UNHRC) 12 tahun lalu. Dewan HAM PBB dibentuk sebagai lembaga antar-pemerintah dengan 47 anggota per tiga tahun periode keanggotaan berdasarkan perwakilan kawasan. Saat itu AS dan negara-negara Eropa setuju membubarkan UNCHR karena dianggap terlalu memusuhi Israel dan negara-negara Barat serta membiarkan negara-negara dengan catatan buruk HAM sebagai anggota. Mereka berharap badan yang baru akan lebih "adil" terhadap Barat dan Israel.

Saya tak terlalu terkejut jika AS di bawah kepemimpinan Trump keluar dari Dewan HAM PBB karena orang sama yang pernah merekomendasikan pembubaran UNCHR kini menjadi penasihat bidang keamanan nasional AS.

Mundurnya AS dari Dewan HAM PBB bukanlah tiba-tiba. Sejak awal kampanye dan bulan-bulan pertamanya sebagai presiden, Trump memang tak terlalu tertarik politik multilateral. AS hingga saat ini sudah mundur dari kesepakatan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), keluar dari anggota ECOSOC di PBB, keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran, dan keluar dari Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim. Pertimbangannya sederhana. Politik multilateral terlalu mahal, tidak cocok dengan pendekatannya sebagai pengusaha yang mengedepankan solusi praktis dan berdampak cepat. Ia lebih menghendaki pendekatan yang bilateral, seperti dalam kasus Korea Utara dan mungkin akan ia lakukan di beberapa kasus lain.

Pendekatan ini yang mungkin membedakan motivasi sesungguhnya ketika AS membubarkan UNCHR dan keputusannya saat ini untuk mundur dari Dewan HAM PBB yang sebetulnya dibentuk oleh AS dan sekutu-sekutunya sendiri. Meski sama-sama menggunakan bias anti-Israel sebagai dasar pengunduran dirinya, saya melihat AS melakukannya demi kepentingan dalam negerinya sendiri ketimbang demi menyelamatkan proyek politik hegemoninya di tingkat internasional. Secara politik, khususnya di dalam Dewan HAM PBB, AS adalah mitra yang terus mendukung Israel dalam setiap resolusi yang mengecam negara tersebut. Mundurnya AS dari Dewan HAM PBB justru berpotensi merugikan Israel karena tak ada lagi negara kuat yang menjadi penyambung lidah Israel. Dalam sejarahnya, AS hanya pernah memboikot Dewan HAM PBB pada masa Presiden George Bush, tetapi kembali lagi saat Obama berkuasa.

Keluarnya AS dari Dewan HAM membuka interpretasi teoretis baru karena fenomena ini "menyimpang" dari tradisi konflik kepentingan di Komisi/Dewan HAM antara negara-negara maju yang berhadapan dengan negara-negara berkembang (Third World/Dunia Ketiga). Dikotomi ini sendiri sebetulnya menimbulkan persoalan karena tak selamanya negara maju selalu bertindak bertentangan dengan Dunia Ketiga dalam masalah HAM dan tak selamanya Dunia Ketiga juga kompak dalam menyikapi masalah HAM yang terjadi di salah satu dari mereka.

Dalam praktik, khususnya ketika membicarakan sebuah resolusi atau situasi HAM di sebuah negara, tak selalu pertarungan antar-kepentingan, seperti dalam hipotesis/perspektif realisme, yang mengarahkan perdebatan, tetapi juga dapat didorong oleh asosiasi gagasan seperti dalam liberalisme. Kontras ini terlihat ketika membandingkan dukungan/penolakan negara maju dan Dunia Ketiga terkait resolusi-resolusi Komisi/Dewan HAM tentang pelanggaran HAM yang dilakukan Israel dan yang non-Israel periode 1992-2008. Seligman (2011) mengategorikan negara-negara maju di penelitiannya adalah negara-negara Uni Eropa dan anggota NATO, sementara Dunia Ketiga adalah negara yang bergabung di Gerakan Non-Blok. Dalam periode waktu itu terdapat 89 resolusi yang mengutuk Israel, 39 di antaranya ditolak negara maju dan sebagian besar didukung Dunia Ketiga.

Sementara pada periode yang sama terdapat 74 resolusi yang mengutuk pelanggaran HAM oleh negara di luar Israel, seperti di Myanmar, Yugoslavia, Kuba, Kongo, Irak, dan Kamboja. Pada saat resolusi menyasar negara non-Israel, polanya berubah. Ada beberapa resolusi di mana negara maju bersatu, ada pula yang tidak. Demikian pula Dunia Ketiga.

Simon Hug (2015) yang melanjutkan penelitian Seligman untuk periode waktu 2006-2012 menemukan pola-pola yang masih sama terjadi di Dewan HAM. Apa yang terjadi di Komisi HAM kini juga terjadi di Dewan HAM PBB. Israel masih terus mendominasi diskusi dan resolusi. Dari sisi jumlah nominal, isu terkait Israel sebetulnya menurun. UN Watch mencatat mulai 2010-2016 turun dari 73 persen menjadi 36 persen (2015) dan 42 persen (2016). Penurunan ini tak mencerminkan ada perbaikan konflik Israel-Palestina. Sebaliknya, fakta belakangan ini justru mencerminkan keadaan yang memburuk.

Melihat perbandingan jumlah resolusi di atas, masalah HAM yang terus-menerus menjadi sumber perselisihan antara negara maju dan Dunia Ketiga adalah pelanggaran HAM oleh Israel. Jumlah resolusi mengutuk Israel yang lebih banyak dibandingkan yang lain tak dapat menghindarkan terbangunnya persepsi di antara negara maju bahwa ada bias anti-Israel dalam Komisi/Dewan HAM PBB. Saya sendiri memandang pelanggaran HAM Israel dalam agenda teratas Komisi/Dewan HAM PBB sebagai konsekuensi perubahan demografi politik dunia yang kini dipenuhi Negara Ketiga yang relatif mandiri dalam politik internasional yang lebih memprioritaskan penghormatan kedaulatan dalam negeri ketimbang intervensi terhadap negara lain. Hal ini terlihat dalam dinamika yang terjadi di Komisi HAM (UNCHR) sebelum dibubarkan menjadi Dewan HAM (UNHRC).

Awalnya, Komisi HAM yang didirikan pada 1946 adalah bagian dari Economic and Social Council (ECOSOC) yang bertugas membuat draf Deklarasi Universal HAM. Komisi ini tak memiliki otoritas menerima keluhan atau laporan tentang pelanggaran HAM yang dilakukan negara-negara anggota PBB. Kondisi itu bukan tanpa sebab. Kekuatan AS dan Barat sebagai negara-negara kolonial di PBB masih cukup kuat. Barat secara konsisten memberikan suara menentang dalam setiap upaya oleh Komisi untuk menempatkan masalah HAM yang paling penting saat itu sebagai agenda pembahasan, yaitu diskriminasi rasial, apartheid, dan realisasi hak untuk menentukan nasib sendiri negara-negara terjajah (Rajagopal 2007).

Perubahan ini terjadi ketika negara-negara Dunia Ketiga banyak memerdekakan diri sejak 1950-an. Kemerdekaan itu termasuk dalam menentukan politik yang mandiri. Dunia Ketiga kemudian menjadi anggota PBB dan mulai berpartisipasi di dalam badan-badan PBB, termasuk di ECOSOC yang bertugas memilih anggota Komisi HAM. Sejak itu, agenda komisi mulai berubah atau bisa dikatakan bertambah. Pada awalnya hanya berkutat di perkara demokrasi dan hak sipil, tetapi dengan masuknya Dunia Ketiga bertambah pada perkara diskriminasi rasial, kolonialisme, apartheid di Afrika Selatan, dan pendudukan Israel atas tanah Arab.

ECOSOC pun kemudian memberikan mandat kepada Komisi HAM untuk menyelidiki pelanggaran HAM melalui ECOSOC Resolutions 1235 (1967) and 1503 (1970). Resolusi 1235 adalah resolusi yang memberdayakan Komisi HAM untuk secara publik menjalankan politik naming and shaming (mempermalukan) suatu negara yang memiliki masalah HAM, sementara Resolusi 1503 memperkuat Komisi HAM dengan memberikan wewenang untuk secara rahasia menyelidiki praktik pelanggaran HAM negara anggota. Investigasi dapat hanya berdasarkan komunikasi dari individu ke komisi dan mereka dimaksudkan untuk pengumpulan informasi (Edwards et al, 2008).

Sejak resolusi tersebut, perselisihan politik dan kepentingan di dalam UNCHR menjadi semakin tajam. Kredibilitas Komisi HAM dipertanyakan, baik oleh Barat maupun Negara Ketiga. Barat menuduh Komisi HAM menjadi incaran negara-negara pelanggar HAM untuk mencegah agenda HAM meluas. Barat menyoroti keanggotaan Arab Saudi, Sudan, Suriah, China, Kongo, dan negara lain yang masih dianggap tak menghargai HAM. Sementara Dunia Ketiga menuduh negara-negara Barat dan AS melindungi rezim otoritarian di beberapa negara seperti di Amerika Latin. Sebagian analis dan pengamat menilai perselisihan di antara negara-negara yang menjadi target dari resolusi justru menjadi bukti imparsialitas UNCHR dalam menegakkan HAM.

Sikap kita

Sebagai wakil Indonesia di Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR), saya mendukung pernyataan Menlu Retno Marsudi yang menyayangkan keluarnya AS dari Dewan HAM PBB. AS semestinya mendorong Dewan HAM PBB bergerak maksimal sebagai wadah kerja sama multilateral dan penegak komitmen masyarakat internasional untuk memajukan perlindungan HAM. Konflik Palestina-Israel tak mungkin dapat dilepaskan dari agenda di Dewan HAM PBB karena konflik itu telah bermutasi menjadi proxy war dari berbagai kepentingan yang ada. Perangnya bukan lagi Palestina-Israel, melainkan antarnegara pendukung. Indonesia sebagai negara yang mendorong kemerdekaan Palestina tentu tak dapat lepas untuk terus-menerus mengangkat masalah Palestina agar dapat perhatian dunia.

Meski demikian, Indonesia juga tidak boleh "lesu" dan mengendurkan agenda penegakan HAM, baik di tingkat internasional maupun regional. Kerja Dewan HAM PBB memang belum maksimal dan mungkin akan menjadi lebih berat di masa depan, mengingat politik internasional yang tengah bergejolak. Kita perlu selalu positif dalam memandang masalah. Misalnya, dalam konflik Palestina-Israel, kita dapat melihat negara maju tak selamanya menolak mengutuk pelanggaran HAM oleh Israel. Dari 84 resolusi mengutuk Israel, hanya 39 ditolak oleh negara maju, sementara sebagian didukung.

Bulan lalu, bahkan semua negara maju setuju adanya penyelidikan pelanggaran HAM. Fakta ini menunjukkan, ada potensi negara maju juga bisa bergerak bersama dengan Dunia Ketiga terkait upaya perdamaian dalam konflik Palestina-Israel saat kontribusi Indonesia bisa diberikan. Di sisi lain, Indonesia juga harus mendorong Dunia Ketiga lain yang sudah total mengutuk pelanggaran HAM Israel untuk juga mengutuk pelanggaran HAM di negara lain, seperti di Myanmar, Yaman, dan Suriah. Pelanggaran HAM yang perlu kita dorong tidak hanya yang berkaitan dengan hak sipil dan politik, tetapi juga hak ekonomi, sosial, dan budaya di mana pelanggaran umumnya terjadi oleh aktor-aktor non-negara.

Indonesia perlu lebih gigih mengangkat isu HAM karena pada dasarnya isu HAM menyangkut identitas bangsa Indonesia yang cinta damai, menjunjung demokrasi yang berkualitas, pemerataan pembangunan, pengakhiran diskriminasi dan rasa takut, kesamaan di muka hukum, anti-penyiksaan, penghapusan kejahatan lintas batas secara bersama-sama, perlindungan tenaga kerja, perempuan, anak, penyandang disabilitas dan kelompok rentan di mana pun mereka berada, perlindungan masyarakat atas perusakan lingkungan hidup, serta masih banyak lagi. Dalam perekonomian dunia yang makin mengglobal, HAM sudah menjadi bagian dari mata uang kerja sama antarnegara.

Barang-barang yang dijual ke pasar global perlu memenuhi standar perlindungan HAM tertentu. Pemotongan kontribusi AS ke Dewan HAM PBB masih dapat dicari "gantinya" dalam kegiatan penegakan hukum, tata kelola pemerintahan yang baik, ketahanan masyarakat, dan program- program pemberdayaan masyarakat.

Yang penting memang kerja-kerja HAM tak lagi terpusat pada pembuatan resolusi, penyusunan standar hukum, atau pelaporan upaya-upaya nasional di bidang HAM, tetapi mengarah pada implementasi bersama segala komitmen yang telah dibuat secara lintas batas demi kualitas kerja sama yang lebih baik dan saling menghargai. Di situlah Indonesia dapat kembali berkontribusi nyata menjadi kekuatan penyeimbang bagi pergerakan politik negara-negara yang mengedepankan kepentingan material yang sempit.