Perkenankan saya untuk menjelaskan posisi Uni Eropa. Pertama dan yang paling penting, UE tidak menerapkan larangan terhadap minyak sawit dan tidak ada rencana untuk memberlakukan pelarangan. UE merupakan pasar ekspor terbesar kedua untuk minyak sawit Indonesia, dengan tarif yang jauh lebih rendah dari pasar ekspor lainnya. Di samping itu, ekspor minyak sawit Indonesia ke UE telah meningkat sebesar 27 persen pada 2017 dibanding dengan tahun 2016.
Tuntutan konsumen dan produsen
Kedua, apa yang sering dicap sebagai "kampanye hitam" minyak sawit sebenarnya murni merupakan ekspresi keprihatinan dari konsumen dan produsen terhadap lingkungan. Informed consumers atau konsumen cerdas (di UE dan berbagai belahan dunia) semakin menginginkan pola konsumsi yang lebih sehat, lebih adil dan lebih berkelanjutan seperti aksi mendaur ulang sampah, menggunakan tas kanvas daripada kantong plastik, membeli produk hasil tanam lokal dan sebagainya. Yang mendasari pola-pola ini adalah upaya menjaga keberlangsungan planet kita demi generasi mendatang.
Kekhawatiran akan hal-hal seperti risiko deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati atau dampak terhadap perubahan iklim menjadi faktor yang memengaruhi keputusan konsumen untuk membeli. Kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan mencantumkan label 'bebas minyak sawit' pada produk-produknya mencerminkan preferensi dari para konsumen.
Preferensi konsumen juga tercermin dengan adanya pencantuman label lainnya pada produk-produk UE, seperti label organik, bebas gula atau yang mengandung organisme termodifikasi secara genetika (genetically modified organism/GMO).
Jadi, mengapa ada perdebatan ini? Walau kecemasan terhadap perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati bukanlah hal baru, tetapi kekhawatiran ini semakin meningkat. Yang baru adalah proposal dari Komisi Eropa – badan eksekutif UE – untuk membatasi hingga 3,8 persen semua bahan bakar hayati (biofuel) berbasis tanaman yang turut dihitung dalam pencapaian target energi terbarukan UE.
Adapun Parlemen Eropa – salah satu lembaga legislasi UE – mengambil sikap melalui pengambilan suara bahwa mulai tahun 2021 bahan bakar hayati dan cairan hayati (bio-liquid) yang dihasilkan dari minyak sawit tidak akan lagi disertakan dalam penghitungan capaian energi terbarukan. Keputusan akhir belum diambil. Negosiasi antara Parlemen Eropa, Dewan Uni Eropa (di mana ke-28 negara anggota UE terwakili) dan Komisi Eropa kemungkinan akan berlanjut hingga musim gugur tahun ini.
Konteks kebijakan
Kini, perkenankan saya menjelaskan konteksnya. Sebagai bagian dari komitmen mengatasi perubahan iklim, UE telah menetapkan bahwa target bauran energi di UE yang berasal dari sumber-sumber terbarukan setidaknya harus mencapai 27 persen pada 2030. Untuk dapat mencapai target ini, pada 2016 Komisi Eropa mengusulkan untuk merevisi legislasi UE tentang energi terbarukan dalam rangka mengurangi jejak karbon, antara lain dari sektor transportasi.
Mengapa? Karena setelah beberapa tahun mempromosikan penggunaan bahan bakar hayati berbasis tanaman, kami kemudian melihat bahwa meningkatnya permintaan justru mengakibatkan perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai harapan karena berdampak pada produksi tanaman tradisional untuk makanan dan pakan, serta berdampak pada area-area rentan seperti hutan, lahan basah dan lahan gambut. Ini menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar dan akhirnya justru melenceng dari upaya penghematan emisi dari bahan bakar hayati berbasis tanaman.
Berikutnya, mengenai minyak sawit berkelanjutan, UE menyambut baik dan secara aktif mendukung target Indonesia mengurangi emisi GRK berbasis lahan sebesar 70-90 persen pada 2030. Kami juga memuji upaya Indonesia untuk mencapai 100 persen minyak sawit berkelanjutan pada 2020. Kami siap bekerja sama dengan Indonesia guna memperkuat upayanya mempromosikan keberlanjutan untuk kepentingan semua, khususnya petani kecil Indonesia.
UE mendukung penuh perdagangan bebas dan adil untuk semua, serta mematuhi hukum internasional. Dialog adalah kunci untuk menemukan solusi terbaik. Inilah sebabnya kunjungan 13 anggota Parlemen Eropa ke Jakarta pada awal bulan Mei merupakan kunjungan yang sangat penting. Ini juga alasan mengapa saya bersama para duta besar negara anggota UE mengadakan pertemuan dan berinteraksi secara regular dengan berbagai pemangku kepentingan mengenai isu minyak sawit. Ini pula sebabnya mengapa kunjungan ke perkebunan kelapa sawit di Sumatera, yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri untuk para duta besar Eropa, sangat bermanfaat.
UE dan Indonesia sama-sama memiliki kepentingan dan kewajiban untuk memenuhi komitmen yang telah kita sepakati bersama dengan komunitas internasional terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Perjanjian Paris. Mari kita terus bekerja sama untuk mendapatkan solusi berkelanjutan, yaitu melalui dialog yang terbuka dan terinformasi.
Mari menggunakan kemitraan kita yang kuat dan semakin berkembang untuk mengubah kekhawatiran jangka pendek tentang minyak sawit menjadi peluang untuk membuat kemajuan nyata dan sama-sama mendapatkan manfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar