Pemahaman kata "ketergantungan", terasa sebagai sesuatu yang tidak diinginkan bahkan ditabukan, terutama jika dikaitkan dengan eksistensi pemahaman perilaku sebagai orang dewasa yang sangat diunggulkan.
Namun, faktanya, manusia selalu akan berada dalam kondisi ketergantungan. Bisa saja kita berpura-pura seakan kita mandiri, berdiri di atas kaki sendiri, terutama jika kita menempati posisi sosial sebagai pejabat suatu kementerian/perusahaan terkenal, misalnya. Banyak hal dalam lingkup kehidupan kita seolah berjalan baik, padahal pada saat yang sama, kita pun selalu berada dalam lingkup berbagai pelayanan hidup. Misalnya, butuh sopir untuk mengantar kita ke mana pun pergi, butuh asisten rumah tangga untuk mengelola kebutuhan dan kelancaran penyelesaian tugas kita sebagai katakanlah "pejabat" negara.
Kita juga, misalnya, tidak bisa bekerja dengan baik jika komputer kita rusak, untuk itu secara otomatis kita akan meminta bantuan teknisi komputer untuk mereparasi kerusakan komputer. Dari contoh konkret di atas, kita akhirnya menyadari bahwa pada galibnya kita tetap adalah sosok yang bergantung pada orang lain, apa pun dan bagaimanapun kondisi kita.
Namun, tekanan kultur membuat kita disudutkan untuk menjadi "mandiri" secara penuh dan membuat kita merasa malu apabila dinyatakan sebagai orang yang tidak mandiri, apalagi saat usia kita berada dalam tahapan dewasa. Rasa malu yang kita hayati saat dalam keseharian kita menunjukkan kebutuhan yang besar untuk bergantung, walaupun pada dasarnya kita tetap punya ketergantungan tertentu dalam melanjutkan kehidupan sebagai makhluk sosial.
Anne Finger, penulis Inggris, mengungkap aneka permasalahan yang terkait dengan ketergantungan melalui cara yang sangat bijak: "Kita memiliki ketentuan di mana beberapa masalah ketergantungan dapat dikelompokkan dalam kelompok 'OK', seperti kebutuhan kita akan mobil untuk bepergian; sementara kebutuhan akan kursi roda untuk berjalan adalah contoh ketergantungan yang tidak 'OK'. Atau, adalah 'OK' untuk kebutuhan penata rambut, tetapi tidak 'OK' untuk kebutuhan bantuan saat kita mandi atau mencuci tangan."
Pada umumnya, orang merasa malu andai mereka mengidap sakit fisik tertentu. Setiap orang memiliki penderitaan tertentu, tetapi kita diharapkan untuk mengabaikan rasa sakit tersebut dan menolak untuk mengekspresikan rasa sedih yang kita derita, terkait dengan berbagai hal yang kita alami. Menempatkan kesedihan sebagai sesuatu yang menguasai perasaan membuat kita merasa tidak hidup di alam modern. Kita cenderung menekan perasaan negatif demi respek yang bisa kita peroleh dari lingkungan di mana kita berada.
Budaya tidak menghendaki diri kita bergantung pada kekuatan-kekuatan di luar diri kita. Kita memiliki hak secara konstitusional untuk selalu mengendalikan diri kita sendiri dalam kelangsungan hidup kita. Bahkan, kita diharapkan untuk kehilangan hal-hal tertentu dalam kehidupan, demi kesempatan luas untuk pertumbuhan personal kita sendiri.
Seorang penulis bernama Michael Ventura menyatakan bahwa harapan kultural di lingkungan di mana kita berada merupakan pemanfaatan sikap melalui pengalaman yang kita hayati.
Ketergantungan dan penderitaan merupakan komponen penting dari situasi manusiawi. Cepat atau lambat, pengalaman yang sulit dan keras merupakan guru yang mengajarkan kita tentang sejauh mana kita saling membutuhkan satu sama lain. Aspek utama dari apakah sesuatu yang memalukan berlanjut atau keyakinan palsu kultural yang menyatakan bahwa setiap individu dapat memperoleh jalan spesifik bagi dirinya menuju kesehatan, menjadi kaya, dan merasa bahagia.
Padahal, secara faktual, adalah bijak untuk memperoleh pengalaman dalam mengungkapkan kepekaan serta keterbatasan-keterbatasannya dengan rasa nyaman dan tenang, sebelum lingkungan memberikan pelajaran dan tantangan keras tentang seberapa jauh kebutuhan kita akan bantuan orang lain.
Gaya personal
Timbul pertanyaan, sejauh manakah keyakinan kita tentang kelemahan kita? Apakah kita yakin bahwa kita benar-benar menghargai orang-orang di sekitar kita, saat kita menyampaikan kesulitan-kesulitan kita. Apakah kita merasa jika kita menceritakan kesulitan dan kegalauan dalam keluarga akan membuat orang lain merasa tidak nyaman dan mereka merasa terganggu dalam menjalani keseharian mereka?
Apakah kita berpikir bahwa orang yang tidak pernah mengeluhkan kesulitannya adalah orang yang lebih superior dibandingkan kita sendiri atau orang yang menyembunyikan kesulitannya serta mencari jalan keluar sendiri dari kesulitannya adalah orang yang lebih super daripada kita? Apakah kita percaya bahwa orang yang paling kuat dan menjadi pusat perhatian kita memiliki kapasitas untuk bersikap terbuka dan benar-benar membuka diri dalam seluruh rentang pengalaman emosional mereka?
Ketahuilah bahwa seseorang yang sering "membuka diri" (self disclosure) selalu terkait dengan pemilikan pola tertentu dalam mengelola emosinya. Contoh konkretnya: Si Ina dan Budi pada awalnya adalah pribadi kokoh yang tidak terbiasa mengungkap keluhan yang dideritanya. Namun, setelah kedua orang tersebut tahu bahwa mereka menderita penyakit kronis yang sama, pertemanan mereka menjadi lebih akrab dan lebih saling terbuka satu sama lain.
Sementara itu, orang lain yang pada dasarnya memang sering mengeluh kepada siapa pun yang mereka temui, kemudian ketika mereka mengetahui bahwa mereka menderita penyakit kronis terminal yang sama, mereka menjadi lebih rentan dan kadar keluhan terhadap teman dan lingkungan mereka pun menjadi lebih intens. Sebagai akibat dari kebiasaan itu, mereka akhirnya menjadi topik gosip kekhawatiran dan perhatian di antara teman- teman di lingkungannya sehingga lingkungan memberinya "label" paling rentan, tidak kompeten, dan sulit untuk tampil kuat bahkan membuat mereka juga menjadi tidak berkehendak serta sulit untuk menjadi bagian dari kegiatan organisasi dalam lingkungannya.
Memang setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahannya, tetapi apabila kondisi kepemilikan tersebut tidak berimbang dalam fungsinya, kita tidak akan mampu tampil sebagai diri kita sendiri yang mampu mengatakan dengan jelas apa yang sebenarnya kita rasakan. Padahal, sebaliknya, kita membutuhkan perubahan dalam tampilan keberadaan kita sehingga kita dapat memperluas bagaimana kita bisa merasakan satu sama lain. Kita perlu menemukan cara untuk mengingatkan, bahkan membuat diri kita sendiri ingat bahwa kita memiliki kemampuan masing-masing untuk tampil otentik dalam berbagai versi kehidupan kita.
Banyak di antara kita yang tidak mampu mengubah perilaku yang tidak produktif, seperti halnya kebiasaan buruk dalam cara-cara berkomunikasi dengan orang lain. Untuk itu terdapat sebuah pepatah kuno dari Spanyol yang menyatakan: "kebiasaan pertama merupakan satu lembar benang, tetapi jika kebiasaan tersebut berlanjut akan menjadi kawat."
Untuk itu, perlu kita cermati bahwa jika kita adalah seorang yang memiliki kecenderungan mendominasi sekitar kita, kita tidak akan dengan mudah meyakini bahwa orang lain memiliki nilai lebih yang bisa ditawarkan kepada kita. Kita juga membutuhkan kebiasaan berbagi dengan cara yang lebih "elegan" saat mengutarakan kelemahan-kelemahan kita dan berhenti memberikan jawaban yang bersifat defensif terhadap lingkungan di mana kita berada.
Kecuali itu, apabila kita adalah seseorang yang memiliki kecenderungan menempatkan diri kita di bawah orang lain, sesekali lakukanlah hal sebaliknya, dengan berani mengutarakan kekuatan kita dan kemampuan yang kita pikir kita miliki, walaupun terkadang kita sendiri kurang yakin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar