Pemilihan umum legislatif pada 2019 seyogianya menjadi langkah awal untuk menata kelembagaan parlemen, baik dari segi kapasitas, kinerja, maupun dari aspek integritas. Proses ini telah didahului oleh proses di internal partai politik (kecuali calon untuk Dewan Perwakilan Daerah) guna menyeleksi calon anggota legislatif yang didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum atau KPU.

Di tahap ini saja, seleksi di internal partai politik nyaris hilang dari pengawasan publik. Sebagai bagian dari tahapan pemilu, proses perekrutan di internal partai politik seharusnya menjadi bagian yang perlu diatur spesifik di level penyelenggara pemilu (baca: KPU).

Terbuka dan demokratis

Menurut ketentuan, proses di internal tersebut harus dilakukan secara terbuka dan demokratis. Sayangnya, KPU tidak mengatur lebih detail tentang apa yang menjadi kriteria terbuka dan demokratis di dalam peraturan tentang pencalonan. Padahal, KPU cukup mempunyai wewenang untuk menerjemahkan konsep terbuka dan demokratis dalam seleksi anggota legislatif di partai politik.

KPU cenderung memberikan keleluasaan kepada partai politik untuk menerjemahkan sendiri apakah sebuah proses perekrutan di internal partai politik cukup terbuka dan demokratis. Padahal, jika berkaca dari pengalaman selama ini, KPU faktanya cukup punya kewenangan untuk membuat peraturan yang lebih detail, misalnya dalam konteks pelarangan bekas terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri.

Akibatnya, proses pencalonan anggota legislatif hanya menjadi domain petinggi partai politik karena tidak menyediakan ruang bagi publik untuk mengawasi proses seleksi. Tidak ada mekanisme pengaduan yang memadai bagi publik untuk memberikan masukan kepada partai politik, khususnya terkait rekam jejak (termasuk integritas) terhadap calon yang akan diajukan oleh partai.

Menurut hemat penulis, problem perekrutan di internal partai politik bisa saja dijadikan obyek dalam sengketa pencalonan. Artinya, proses verifikasi KPU terhadap calon yang diajukan partai politik juga harus menilai bahwa proses seleksi di internal partai politik dilakukan secara terbuka dan demokratis atau tidak. Atau, lebih jauh dari itu, KPU bisa menilai apakah aturan di internal partai politik tentang seleksi bakal calon anggota legislatif telah memenuhi kriteria terbuka dan demokratis atau tidak.

Masukan publik

Ide KPU melarang bekas terpidana dalam kejahatan tertentu untuk mencalonkan diri mungkin menjadi bagian awal guna menakar integritas calon anggota parlemen. Sekalipun demikian, larangan ini masih berpeluang diabaikan partai politik dan berpotensi diamputasi, baik dalam konteks uji materi di Mahkamah Agung maupun dalam sengketa pencalonan. Hal itu mengingat penyelenggara pemilu juga tidak sepaham dengan larangan tersebut, khususnya Badan Pengawas Pemilu yang justru mempersilakan peserta pemilu mengajukan larangan tersebut sebagai obyek dalam sengketa pencalonan.

Jika mengikuti tahapan yang sedang berlangsung, tahap berikutnya adalah penyelenggara pemilu (KPU) akan melakukan proses verifikasi administratif dan meminta masukan/tanggapan dari masyarakat. Dalam konteks ini perlu ada penguatan untuk memaksimalkan peran publik dalam menghadirkan calon anggota legislatif yang memiliki kapasitas dan integritas yang tinggi.

Secara formal, porsi masukan publik dalam tahapan pencalonan hanyalah sebatas mengonfirmasi kebenaran persyaratan administratif yang disampaikan oleh partai politik. Misalnya apakah dokumen-dokumen tersebut sesuai dengan fakta atau tidak, bukan untuk menilai kualitas calon, apakah cukup memenuhi syarat sebagai wakil publik atau tidak.

Namun, hambatan formal ini bisa dimanfaatkan secara maksimal jika penyelenggara pemilu mempunyai cukup "keberanian" untuk memperbaiki kualitas calon anggota legislatif. Caranya adalah dengan memperluas cakupan masukan masyarakat dan memublikasikannya secara luas.

Publik diberikan keleluasaan untuk menyampaikan masukan terkait rekam jejak calon. Bagi calon yang pernah menduduki jabatan publik atau bahkan pada jabatan yang sama, perlu ada informasi yang cukup untuk menilai kinerja yang bersangkutan selama menduduki jabatan tersebut. Begitu pula dengan calon yang baru mengikuti proses pemilu, perlu dilacak sejauh mana kapasitas dan integritas calon tersebut untuk menduduki kursi di lembaga legislatif.

Dari sisi anti-korupsi, data dan informasi yang disampaikan oleh publik juga perlu melihat latar belakang calon apakah memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan lainnya dengan pejabat atau calon pejabat publik lain, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) dan penyalahgunaan kekuasaan di kemudian hari. Sebab, belakangan politik dinasti atau hubungan kekerabatan dalam politik menjadi salah satu jalan terjadinya tindak pidana korupsi (Kompas, 19/7/2018).

Jadi acuan pemilih

Dengan semua informasi ini, penyelenggara pemilu mungkin sulit untuk mendiskualifikasi calon yang rekam jejaknya bermasalah atau memiliki potensi konflik kepentingan. Namun, penyelenggara pemilu tetap bisa mengemas informasi tersebut dan menyampaikannya kepada publik melalui kanal-kanal yang memungkinkan untuk diakses oleh pemilih.

Dengan demikian, masukan masyarakat yang dihimpun oleh KPU bukan hanya sebatas konteks verifikasi administratif, melainkan juga mencakup informasi mengenai calon anggota legislatif yang lebih konprehensif. Dengan bekal ini semua, diharapan menjadi acuan bagi publik dalam memilih.