Teka-teki siapa yang akan mendampingi Jokowi terjawab sudah. Prof Dr KH Ma'ruf Amin, kader Nahdlatul Ulama (NU) dan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), akhirnya dipilih sebagai calon wakil presiden (cawapres) Jokowi. Penetapan Ma'ruf Amin di luar dugaan banyak pihak, termasuk media. Dalam dinamika politik 2-3 hari ini, nama Ketua MUI hampir tenggelam oleh sosok Prof Dr Mahfud MD. Namun, itulah politik, banyak pertimbangan yang harus diambil agar kekuasaan tetap dapat dipertahankan.

Tujuan utama pemilihan cawapres Jokowi adalah untuk memupuk simpati dan dukungan politik umat Islam. Hal yang hampir mirip akan ditempuh oleh kubu Prabowo Subianto, di mana ijtima para ulama mengusulkan agar Ustaz Abdul Somad yang jadi pendamping Prabowo.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden Joko widodo menggandeng Ketua MUI KH Ma'ruf amin usai memukul bedug secara bersamaan untuk membuka Festival Sholawat Nusantara Piala President yang digelar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, sabtu (24/2/2018). Festival ini di seluruh Indonesia dan puncaknya akan dilaksanakan saat Hari Santri.

Mengapa pertimbangan tokoh agama—khususnya Islam—menjadi begitu penting dalam meracik kombinasi pasangan capres dan cawapres? Selama ini kita sering disuguhi pertimbangan sipil-militer; Jawa-Luar Jawa, dan pertimbangan lain yang sifatnya program dan ideologi partai. Saat ini capres-cawapres kubu Jokowi seakan lebih ke arah nasionalis-religius. Padahal, pertimbangan sesungguhnya justru lebih pragmatis.

Sejumlah pertimbangan

Pertimbangan pragmatis itu bukan tanpa alasan. Alasan pertama, harus diakui bahwa pasca-gerakan politik Islam 212, kekuatan politik umat Islam telah menjelma sebagai "gerakan politik" yang dahsyat untuk memobilisasi pemilih. Seorang politikus sekelas Jokowi yang dalam istilah Ngabalin "Si Jenderal Kancil" sudah pasti tidak mengabaikan fenomena gerakan politik umat 212.

Oleh karena itu, salah satu alasannya ialah untuk "mengekang" gerakan politik umat Islam agar tidak "liar", seperti pada Pilkada DKI 2017. Porak porandanya strategi koalisi partai besar pendukung Jokowi atas kekalahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di DKI menjadi pelajaran berharga bagi mereka. Isu agama dan politik ternyata masih belum bisa dipisahkan, seperti keinginan Presiden Jokowi yang dalam pelbagai kesempatan sering mengingatkan agar tidak membawa-bawa agama dalam politik.

Masuknya Ma'ruf Amin dalam koalisi besar Jokowi dengan kata lain bisa dimaknai sebagai strategi membentengi diri dari isu-isu SARA, khususnya agama, dalam konstelasi pemilu serentak tahun 2019 mendatang. Isu bahwa Jokowi dianggap "memusuhi umat Islam" paling tidak dapat dicegah melalui pendampingnya, Ma'ruf Amin, sebagai cawapres.

Ma'ruf Amin adalah tokoh sentral dari lahirnya gerakan politik umat Islam 212 dengan berbagai kontroversinya setelah fatwa MUI yang menyebut Ahok menista agama Islam. Gerakan itu sempat "dituding" dengan berbagai label yang negatif, tetapi justru berkembang bak gelombang yang tak dapat ditepis oleh pemerintah. Figur Ma'ruf Amin diharapkan dapat pula menyulitkan kubu lawan politiknya agar tak mengulang dramaturgi politisasi agama dalam pemilu serentak tahun 2019, seperti pada Pilkada DKI 2017.

Selain bersifat praktis untuk membendung isu SARA dan isu pertentangan dengan umat Islam, ada yang jauh lebih penting atas terpilihnya Ma'ruf Amin. Secara riil politik, dengan Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden, Jokowi dapat dianggap lepas dari "perangkap kompleks" partai-partai yang mendukungnya.

Apa yang saya maksud sebagai "perangkap kompleks"? Pertama, Jokowi dapat melepaskan diri dari jeratan kepentingan politik sesaat parpol pengusungnya, termasuk PDI Perjuangan (PDI-P). Sebagai seorang presiden petahana, Jokowi memiliki kepentingan untuk bisa mengendalikan pemerintahan satu setengah tahun yang masih tersisa.

Memilih salah satu nama dari usulan parpol akan menimbulkan potensi konflik dalam tubuh koalisi. Dengan cara itu, ibaratnya dalam satu langkah, dua tiga pulau terlampui. Targetnya jelas, Jokowi dan lingkaran dalamnya ingin mengendalikan pemerintahan sekaligus mencapai kemenangan tanpa banyak rintangan.

Kedua, apakah sosok Mahfud MD yang "kencang" disebut-sebut akan mendampinginya tidak bisa mengambil peran itu. Secara sekilas bisa karena Mahfud juga intelektual, tokoh agama, dan juga besar di NU. Namun, yang tidak dihitung adalah kemungkinan "ada keberatan" yang tersembunyi dari PDI-P atau partai pengusung sebab dengan memilih Mahfud, besar kemungkinan wapres Jokowi tersebut potensial akan maju sebagai capres pada Pilpres 2024.

Pertimbangan ini yang kurang tereksplorasi karena dari sisi usia antara Mahfud dan Ma'ruf Amin jauh berbeda. Peluang Mahfud untuk maju kembali sebagai capres periode selanjutnya sangat besar. Sementara kalau Ma'ruf Amin, mungkin saja dari sisi usia tak memungkinkan lagi.

Dengan alasan itu, Jokowi ibaratnya tidak ingin membesarkan tokoh yang akan berpeluang besar menggantikannya sebagai presiden periode 2024-2029. Bagaimanapun pertimbangan kedua ini jauh lebih "tersembunyi". Itu sebabnya, tak banyak "gemuruh" dari partai-partai koalisi Jokowi saat ini. Selain karena pilihan nama Ma'ruf Amin dapat meraup dukungan umat Islam, juga tak membahayakan bagi partai koalisi Jokowi sebab selama lima tahun mereka akan membesarkan tokoh mereka masing-masing untuk diusung dalam kontestasi pemilu serentak tahun 2024.

Jabatan simbolis

Alasan ketiga, cawapres Ma'ruf Amin secara riil politik akan lebih "mudah" dikendalikan dalam proses pemerintahan lima tahun mendatang. Mengapa demikian? Selain tidak "terlalu" memiliki ikatan dengan parpol—kecuali PBNU-MUI dan mungkin PKB, Ma'ruf Amin posisinya dalam pemerintahan ke depan, apabila Jokowi-Ma'ruf ini menang, hanyalah simbolik politik semata. Posisi simbolik semacam itu memang bawaan dari konstitusi kita, wakil presiden "nyaris tanpa kewenangan". Dalam politik praktik kenegaraan, tidak boleh ada matahari kembar, apalagi sang wakil lebih jemawa ketimbang presidennya.

Berbeda, misalnya, jika yang dipilih adalah Mahfud MD atau tokoh lain, seperti Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, atau tokoh muda, yang mungkin akan terkatrol elektabilitasnya pada pemilu serentak tahun 2024. Dengan kata lain, Jokowi dan PDI-P menyerahkannya pada proses sejarah, biarlah sejarah dan partai-partai politik yang menyiapkannya sendiri sebab waktu masih panjang, tetapi paling tidak Jokowi dan PDI-P tidak ingin membesarkan anak macan.