ARSIP PRIBADI

Limas Sutanto

 Bisakah manusia mencapai dan mengalami kedamaian dengan menyingkirkan sesamanya?

Jika hakikat kedamaian adalah keterhubungan empatik antarinsan, dan kata "empatik" bermakna saling menerima dan baku mengerti dalam ketersambungan perasaan, tentulah penyingkiran liyan merupakan sebuah antitesis yang menafikan suatu kedamaian.

Dalam pemilihan umum presiden (pilpres), penyingkiran pihak yang kalah oleh pihak yang menang adalah keniscayaan; dengan demikian, ia meniadakan kedamaian, dan kampanye damai serta pilpres damai adalah kemustahilan. Seburuk itukah pilpres? Layakkah ia disemati nama pencipta permusuhan?

Insan bermain

Sejarawan Johan Huizinga (1872-1945) memahami manusia sebagai "insan bermain", Homo ludens. Dia melihat bermain sebagai daya naluriah terbesar hidup manusiawi.

Dalam bermain ada keseolah-olahan yang dilangsungkan dalam batasan ruang dan waktu, yang melepaskan manusia dari keseriusan hidup sehari-harinya, tetapi sekaligus mengandung kaidah ketat yang ditaati sepenuhnya. Bermain itu juga menghimpunkan orang-orang. Buahnya adalah kegembiraan, makna, kebajikan, kebugaran, kreativitas, dan kebersamaan.

Apakah berlebih apabila onggokan kegiatan himpunan orang yang dinamai politik, termasuk komponen pilpres di dalamnya, dimengerti pula sebagai jagat bermain? Atau justru memahami politik dan pilpres sebagai kegiatan bermain adalah layak dan tepat?

Bukankah semestinya pilpres berlangsung dalam ruang dan masa terbatas, kemudian selesai, dan pada waktu itu semua warga bangsa meninggalkannya dalam kegembiraan, kesegaran, kepuasan karena meraih nilai, kebajikan, kreativitas, kehangatan kebersamaan, dan persahabatan, seperti yang terjadi tatkala orang-orang selesai bermain bulu tangkis yang energik tetapi sedemikian sportif?

Tidakkah pilpres juga merupakan rangkaian kegiatan insan-insan yang diikat dalam keberlakuan dan ketaatan terhadap aturan ketat sebagaimana yang berlangsung dalam setiap kegiatan bermain?

Pilpres ialah kegiatan bermain. Watak hakiki setiap kegiatan bermain adalah "keseolah-olahan", kondisi as if, yang oleh Peter Fonagy dan kawan-kawan (2002) disebut pretense. Maka, penyingkiran dalam pilpres hanyalah keseolah-olahan. Inilah yang memungkinkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto—dua calon presiden yang baku menyingkirkan dalam pilpres— berangkulan hangat dalam keterhubungan empatik, dalam kedamaian.

Ihwal penting pada perspektif ini bukanlah setulus apa mereka berangkulan, melainkan secerdas apa mereka sehingga masing-masing bisa menghayati pilpres sebagai aktivitas bermain yang sungguh meningkatkan makna kehidupan sang Homo ludens.

Salah penghayatan

Maka, inilah kesalahan yang penuh kekonyolan: Menghayati penyingkiran calon yang kalah oleh calon yang menang dalam pilpres sebagai kesejatian, apalagi sampai mengalaminya sebagai perkara hidup-mati yang mutlak, menang dianggap sebagai benar- benar mendapatkan seluruhnya, sedangkan kalah dirasakan sepenuhnya sebagai kehilangan segalanya.

Padahal, sedemikian biasa, "laga" para calon presiden tak ubahnya pertandingan bulu tangkis antara Anthony Sinisuka Ginting dan Kento Momota. Kedua pemain itu sungguh bertanding, tetapi dalam keseolah-olahan mereka musuh bebuyutan yang niscaya baku menyingkirkan.

Lantas di akhir pertandingan ada yang menang dan ada yang kalah, tetapi Ginting dan Momota adalah dua sahabat atau rekan dalam dunia bulu tangkis, sama-sama anggota elite dunia keolahragaan, dan sesama manusia yang saling membutuhkan dan menghormati dalam kehidupan.

Mengapa tak semua orang dapat menghayati pilpres tanpa terperangkap dalam kekonyolan kegiatan bermain yang dihayati sebagai perkara hidup-mati? Karena pilpres dan setiap aktivitas bermain lainnya mengandung paradoks yang hanya menjadi bermakna apabila unsur-unsurnya yang saling berlawanan dihayati secara bersama-sama. Paradoks itu merangkum multiperspektivalisme "bersungguh-sungguh dalam keseolah-olahan yang taat kaidah".

Keseolah-olahan

Dalam kegiatan bermain, kebersungguh-sungguhan yang asli terjadi dalam keseolah-olahan yang hakiki.  Orang-orang yang oleh David J Wallin (2007) disebut "tenggelam dalam perasaan", atau terjerembab dalam embeddedness tanpa mentalisasi atau miskin refleksi, pasti akan mengalami kesulitan untuk menghayati multiperspektivalisme yang kaya nuansa.

Namun, multiperspektivalisme dalam paradoks itulah yang menyumberi khasiat aktivitas bermain sebagai penyedia tenaga penciptaan kemaslahatan. Ia mengajak manusia buat mengalami hidup tidak dalam perspektif tunggal yang dikeraskan atau dimutlakkan, tetapi dalam berbagai perspektif, yang melampaui kekakuan, kepicikan, keangkuhan, radikalisme, dan otoritarianisme.

Ia pun mengajak manusia untuk dapat mengalami perasaan yang berkecamuk di dalam batinnya bukan sebagai sinonim bagi realitas yang melingkupi dirinya. Rasa bermusuhan dalam kegiatan bermain adalah keseolah-olahan yang berakhir ketika acara bermain rampung dan para pemain berangkulan.

Hampir setiap orang dewasa mengingat betapa menyenangkan dan berartinya saat- saat bermain bersama teman- teman di kampung dan di sekolah pada tempo dulu. Sama sekali tiada dendam, benci, sakit hati. Kini saatnya warga bangsa bermain bersama lagi. Mereka bermain pilpres, sama sekali bukan berjibaku dalam pilpres. Dan pertanyaan di depan mendapatkan jawabannya: Pilpres itu baik, ia bukan pencipta permusuhan.