Namun, semua eskalasi politik itu berhasil diselesaikan secara konstitusional dan demokratis. Kini, utamanya pasca-Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, demokrasi Indonesia diuji oleh eksploitasi politik identitas sehingga tercipta polarisasi akut di masyarakat.

Dalam konstelasi politik Pemilu 2019, politik identitas yang berakar pada sentimen agama dan nasionalisme itu membuat atmosfer politik nasional beku dan mengeras. Terjadi soliditas kekuatan "konservatisme Islam" di satu sisi dan "hyper-nationalisme" di sisi lain (Hadiz dan Rakhmani, 2017).

Di sisi kanan, kekuatan politik konservatisme Islam mengeksploitasi disinformasi tentang calon pemimpin kafir walau yang dituding seorang Muslim taat, pendukung gerakan anti-Islam, dan seterusnya. Di sisi kiri, kekuatan politik yang mengklaim diri lebih nasionalis (hyper-nasionalis) juga mengeksploitasi narasi tuduhan anti-Pancasila, anti-kebinekaan, dan tidak toleran.

Dalam pertarungan politik 2019, konfrontasi antardua kekuatan ekstrem politik identitas itu seolah meniadakan ruang moderasi (wasathiyyah) atau "jalan tengah" (middle way) yang mengedepankan rasionalitas dan kematangan berpikir. Keberpihakan terhadap salah satu pihak seolah wajib dan berdiri di tengah seolah kesalahan.

Alhasil, dinamika demokrasi tidak menyisakan ruang dialogis yang memadai. Sebaliknya, justru ketegangan, kebencian, dan sikap saling curiga kian menguat di tengah masyarakat. Realitas politik seperti itu merupakan peringatan keras bagi kian memudarnya fondasi persatuan dan kesatuan bangsa.

Temporer atau permanen?

Pertanyaannya, fenomena ini temporer atau permanen? Menilik pada sejarah panjang dinamika kekuasaan nasional, politik identitas berbasis Islam bukanlah fenomena baru dalam ruang demokrasi di Indonesia (Mieztner dan Muhtadi, 2017). Politik identitas sering menjadi sebagai strategi politik untuk merebut kekuasaan. Namun, eksploitasi politik identitas kali ini terasa lebih sengit dan fatal karena telah terjadi konsolidasi kepentingan antara elite politik, pemimpin konservatisme Islam, organisasi massa Islam radikal, serta para pemilik modal yang menjadi penyedia logistik mobilisasi pergerakan massa (Wilson, 2016; Hadiz, 2017).

Ketika kapasitas aktor, jaringan organisasi, otoritas agama, dan sumber daya mereka dapat dipersatukan, gerakan konservatif ini dapat menghasilkan mesin politik yang sangat efektif. Bisa saja kekuatan oligarki sebagai penyuplai logistik menjauh dari kelompok konservatisme Islam itu, tetapi akan muncul sumber kekuatan logistik baru yang menopang kelangsungan politik mereka.

Sumber logistik baru itu akan bertumpu pada meningkatnya proyeksi jumlah masyarakat kelas menengah Muslim (62,8 persen) dan generasi milenial Muslim (34 persen) yang akan memiliki kapasitas ekonomi lebih baik dan tingkat pendidikan memadai, tetapi masih mencari identitas diri, jenuh pada modernisme, dan haus nilai-nilai agama.

Dalam ruang komunikasi digital yang kian terbuka, mereka adalah sasaran empuk propaganda ideologi, pemikiran, dan sentimen SARA (Alvara, 2018; Ali dan Purwandi, 2018). Kekuatan logistik mereka rentan dibajak oleh kelompok konservatif yang hendak menyuburkan politik identitas.

Tanpa pendekatan politik memadai, masyarakat kelas menengah Muslim hasil proses panjang pembangunan ekonomi dan demokratisasi berpotensi berubah menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi bangsa. Kian menguatnya konservatisme-kanan Islam akan menjebak demokrasi Indonesia dalam pertarungan panjang dan melelahkan. Di sisi kiri, gerbong nasionalis akan bangkit sebagai reaksi perlawanan. Kondisi ini tidak hanya akan mengancam masa depan demokrasi, tetapi juga menyeret bangsa ke dalam mimpi buruk disintegrasi.

Urgensi kekuatan tengah

Berkaca pada hasil Pemilu 2019, kekuatan poros kanan Islam terepresentasikan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendapat dukungan Partai Gerindra. Terbukti, PKS dan Gerindra mendapatkan keuntungan elektoral dari penggunaan narasi Islam. Di sisi lain, di sisi kiri nasionalis, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi poros kekuatan. Meskipun sebagian kecil swing voters-nya bergeser ke partai lain, PDI-P tetap menikmati electoral devident:dari 10 persen masyarakat minoritas, 80 persen memilih PDI-P.

Kedua poros kekuatan politik itu juga memengaruhi basis pemilih loyal di level Pilpres 2019. Memang perolehan suara Pilpres 2019 tidak berubah signifikan dibanding Pilpres 2014, tetapi sebenarnya terjadi trade-off suara di basis pemilih keduanya. Suara nahdliyin di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang pada Pilpres 2014 relatif tersebar, kini solid merapat ke kubu Jokowi. Di saat yang sama, suara basis Muslim di Sumatera yang terbagi rata kini cenderung solid ke kubu Prabowo.

Fenomena trade-off suara itu tak lepas dari akutnya politik identitas. Meski berakhir di angka elektoral yang relatif sama dengan 2014, eskalasi politik 2019 membuat basis ketegangan, kebencian, rasa saling curiga, dan keinginan berkonfrontasi antar-kelompok semakin tinggi. Untuk memecah kebekuan politik identitas itu, "kekuatan tengah" menjadi urgen dan penting. Kekuatan tengah diharapkan bisa mengembalikan dinamika demokrasi tanpa harus membahayakan pilar-pilar persatuan dan kesatuan bangsa.

Di level ini, partai-partai yang berhaluan politik moderat, Partai Demokrat, Golkar, Nasdem, dan lainnya, berpeluang menemukan momentum politik yang tepat. Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpotensi menjadi pengubah permainan (game changer).

Selaku mantan presiden dua periode dan ketua umum partai, SBY memiliki otoritas moral politik untuk berani mengingatkan hingga menolak eksploitasi politik identitas. Hal itu menjadi socio-political capital bagi Demokrat untuk menjadi trend-setter dalam mengonsolidasikan dan menggerakkan kekuatan politik moderat di Indonesia.

Jika kekuatan politik moderat itu mampu menyinergikan langkah dengan simpul-simpul kekuatan moderatisme Islam, khususnya jika Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mampu menjaga diri dari perangkap politik praktis, politik identitas diharapkan bisa mencair. Di tengah pertarungan identitas, masyarakat politik Indonesia akan mencari titik tengah keseimbangan dalam pendulum demokrasi.