Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 23 Mei 2019

Pendidikan Berbasis Nalar//Penjelasan Hamdan Zoelva (Surat Pembaca Kompas)

Pendidikan Berbasis Nalar

Ujian sekolah berstandar nasional untuk jenjang sekolah dasar secara nasional telah terlaksana dengan selamat. Minggu berikutnya, 29-30 April dan 2 Mei 2019, saya terpilih dari sekian guru yang ada untuk menjadi korektor soal uraian (esai) USBN di salah satu subrayon di Kota Yogyakarta.

Dari jawaban siswa dari pelbagai sekolah dan kecamatan yang saya koreksi, bisa dikatakan bahwa untuk soal- soal yang menuntut penalaran tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS), hampir semua jawaban siswa salah. Kesalahan antara lain (a) siswa tidak bisa memahami konteks permasalahan, (b) siswa tidak mampu menjawab secara kreatif (berpikir di luar kebiasaan), dan (c) siswa tidak mampu memecahkan permasalahan.

Kondisi itu menjadi keprihatinan saya dan mungkin juga para pendidik dan orangtua. Walaupun persentase HOTS untuk USBN tahun ini hanya 5 persen, hal ini akan menurunkan tingkat pencapaian daya serap kompetensi yang diujikan. Lebih jauh, hal ini mengisyaratkan pelaksanaan Kurikulum 2013—sebagai kurikulum berbasis pengembangan penalaran tingkat tinggi—belum tercapai maksimal. Kurikulum 2013 menyiapkan siswa menghadapi tantangan bonus demografi 2022-2035 sehingga SDM usia produktif tersebut menjadi aset terbesar bangsa menghadapi tantangan globalisasi dan industri.

Berdasarkan pengalaman ini, menurut saya, ketidakmampuan sebagian besar siswa dalam menyelesaikan soal HOTS antara lain karena dalam keseharian dan pembelajaran, pertama, siswa tak terbiasa menemui masalah yang menuntut pemikiran tingkat tinggi sejak usia prasekolah atau tingkat literasi siswa perlu ditingkatkan. Kedua, siswa tak terbiasa berpikir keluar dari kebiasaan, mereka kurang mendapat kesempatan berjalan sendiri. Ketiga, siswa kurang latihan menyelesaikan soal HOTS sejak dini.

Agar anak-anak kita saat dewasa nanti mampu bertahan (survive) dalam era globalisasi dan industri, kita biasakan sejak dini untuk berlatih berpikir tingkat tinggi baik dalam suasana formal maupun santai, baik di sekolah maupun di rumah, bahkan saat kita bermain bersama anak-anak kita. Berikan mereka sentuhan-sentuhan yang menantang untuk melatih penalaran tingkat tinggi.

Adrianus Sugiarta
Pendidik di SD Pangudi Luhur Yogyakarta


Penjelasan Hamdan Zoelva

Harian Kompas, Rabu (22/5/2019), di halaman Opini memuat tulisan Hamdan Zoelva (Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia 2013-2015) berjudul "Perselisihan Hasil Pemilu di MK". Perlu saya sampaikan bahwa tulisan itu bukan tulisan saya karena tidak mewakili opini saya secara utuh karena hilangnya satu alinea terakhir dari tulisan asli yang sangat mendasar, yaitu: "Oleh karena itu tidak (sic) tetap ada peluang bagi siapa pun yang ditetapkan oleh KPU yang tidak terpilih untuk mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi dan permohonannya dikabulkan. Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai peradilan kalkulator, yaitu hanya mengadili perselisihan angka, tetapi juga mengadili dan mempertimbangkan pelanggaran-pelanggaran dalam proses yang memengaruhi keterpilihan. Hanya saja, pembuktiannya bukanlah hal yang mudah, apalagi jika selisih suara yang sangat besar. Itulah tantangan yang dihadapi. Tetapi, jika pemohon mampu membuktikannya di sidang pengadilan adanya pelanggaran TSM, maka untuk menegakkan keadilan pemilu, MK harus berani mengabulkannya".

Demikian penjelasan saya. Terima kasih.

Hamdan Zoelva

Catatan Redaksi:

Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Karena keterbatasan halaman, tulisan terpaksa diedit sesuai dengan ruang yang tersedia. Pertimbangan Redaksi, akhir tulisan itu sudah terwakili oleh alinea terakhir seperti yang dimuat di harian Kompas.

Kompas, 23 Mei 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger