Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 Juni 2020

RESENSI BUKU: Merunut Awal-Mula Pariwisata di Indonesia (BUDIAWAN)


Buku Pariwisata di Hindia- Belanda (1891-1942)

Judul Buku: Pariwisata di Hindia Belanda (1891 – 1942)

Penulis: Achmad Sunjayadi

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan École française d'Extrême-Orient

Cetakan: I, November 2019

Tebal Buku: xviii + 356 halaman

ISBN: 978-602-481-282-9

Bila pariwisata didefinisikan sebagai sebuah aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh (sekelompok) orang untuk sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah, melainkan hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau liburan serta tujuan lainnya (Meyers, 2009), maka kegiatan pariwisata di Indonesia bisa dirunut hingga paroh kedua abad ke-19. Pada masa itu pemerintah kolonial Hindia Belanda telah mulai membangun prasarana dan sarana transportasi, terutama di Jawa dan Sumatera. Jalan raya kemudian rel kereta api telah dibangun sejak awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Meskipun pada mulanya tujuan pembangunan prasarana dan sarana transportasi itu lebih untuk tujuan militer dan pengangkutan hasil-hasil perkebunan dan pertambangan dari pedalaman ke pelabuhan-pelabuhan, manusia pun turut terangkut. Semakin mudahnya sarana transportasi turut mendorong orang bepergian ke tempat-tempat lain guna menikmati suasana yang berbeda. Akan tetapi, sejak kapan perjalanan orang dengan tujuan semacam itu diatur dan dikelola sedemikian rupa sehingga pariwisata menjadi semacam industri? Bagaimana dinamika pengelolaan itu berlangsung?

Buku yang diangkat dari disertasi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini mencoba menjawab pertanyaan itu. Dengan mengacu pada berbagai  catatan perjalanan dan buku panduan perjalanan ke tempat-tempat yang dianggap layak dikunjungi, yang terbit pada akhir abad ke-19 hingga dasawarsa keempat abad ke-20, serta arsip-arsip pemerintah kolonial Hindia Belanda, buku ini mencoba merekonstruksi sejarah kegiatan berwisata berikut pelembagaannya dengan segala kompleksitas permasalahannya di Hindia Belanda.

Semakin mudahnya sarana transportasi turut mendorong orang bepergian ke tempat-tempat lain guna menikmati suasana yang berbeda.

Periode yang menjadi pengamatan adalah dari 1891 hingga 1942. Tahun 1891 ditempatkan sebagai awal periode pengamatan karena pada tahun inilah untuk pertama kalinya terbit sebuah buku yang layak disebut buku panduan pariwisata. Buku itu berjudul Batavia, Buitenzorg en de Preanger Gids voor Bezoekers en Toeristen [Batavia, Buitenzorg dan Priangan: Panduan untuk Pengunjung dan Wisatawan] karya seorang pendeta Belanda, Marius Buys. Buku itu memuat informasi – dilengkapi dengan peta – mengenai objek-objek yang mesti dikunjungi, akomodasi, kuliner serta sarana transportasi di Batavia, Buitenzorg dan Priangan.

Buku itu diiklankan di berbagai surat kabar di Hindia Belanda maupun di Belanda. Artinya, target pembaca buku itu, sekaligus calon wisatawan yang hendak disasar untuk berkunjung ke Batavia dan daerah Priangan bukan hanya orang-orang Belanda di Hindia Belanda, tetapi juga orang-orang Belanda di negeri Belanda. Seberapa jauh buku tersebut mampu mendorong orang untuk berkunjung ke daerah-daerah itu tidak dijelaskan di dalam buku ini.

Yang jelas, terbitnya buku Marius Buys itu kemudian diikuti buku-buku lain pada tahun-tahun selanjutnya. Salah satu buku panduan pariwisata yang spektakuler adalah Java the Wonderland (1900), yang tidak jelas penulisnya.

Memasuki abad ke-20, seiring dengan semakin modern dan meluasnya jangkauan prasarana dan sarana transportasi di Hindia Belanda, serta dibangunnya tempat-tempat penginapan di daerah-daerah tujuan wisata, arus orang yang melakukan perjalanan wisata baik dari satu tempat ke tempat lain di Hindia Belanda maupun dari belahan dunia lain – khususnya Eropa – ke Hindia Belanda, semakin meningkat.

Dihadapkan pada fenomena inilah pemerintah kolonial Hindia Belanda berinisiatif membentuk sebuah lembaga yang mewadahi, memfasilitasi sekaligus meregulasi pihak-pihak yang bergerak di berbagai usaha yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan kegiatan pariwisata. Lembaga itu bernama Vereeniging Toeristenverker (VTV) [Perhimpunan Lalu Lintas Wisatawan] pada tahun 1908.

YOHANES KRISNAWAN

Sampul buku wandeltochten en fietstochten (1936) - Koleksi Universiteitbibliotheek Leiden-KITLV (M k 372 N). Sumber: Buku Pariwisata di Hindia-Belanda 1891-1942. (KPG, 2019)

Melalui lembaga ini, yang pada tahun-tahun selanjutnya cabang-cabangnya dibentuk di berbagai kota di Hindia Belanda, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendorong promosi pariwisata baik di Hindia Belanda sendiri maupun di belahan dunia lain, khususnya Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Dorongan itu diwujudkan dalam bentuk subsidi, baik kepada VTV pusat maupun cabang-cabangnya.

Berapa banyak  keuntungan yang diperoleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dari sektor pariwisata ini sebetulnya tidak begitu signifikan jika dibandingkan dengan sektor perkebunan dan pertambangan. Akan tetapi semakin berkembangnya pariwisata di Hindia Belanda, terutama dengan kunjungan orang-orang dari luar Hindia Belanda, semakin membuat Hindia Belanda dikenal di dunia luar. Citra Hindia Belanda sebagai daerah koloni yang aman dan maju semakin dikenal di belahan dunia lain; dan itu sebuah prestise baik bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun pemerintah negeri Belanda.

Bumiputera

Bagaimana dengan kaum bumiputera dan warga non-Eropa lain di Hindia Belanda dalam industri wisata? Seberapa jauh mereka terdampak dengan semakin berkembangnya pariwisata?

Kaum bumiputera sebenarnya bukan target utama promosi pariwisata. Akan tetapi sebagian elit terpelajarnya yang bisa berbahasa Belanda jelas juga menjadi pembaca buku-buku panduan pariwisata, dan mereka pun terdorong melakukan kegiatan wisata. Sedangkan sebagian kaum bumiputera yang tidak terpelajar terserap kedalam berbagai sektor yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan pariwisata. Begitu pula dengan warga non-Eropa lainnya.

Kaum bumiputera sebenarnya bukan target utama promosi pariwisata.

Meletusnya Perang Dunia I (1914 – 1918) sempat mengakibatkan menurunnya angka kunjungan wisatawan Eropa ke Hindia Belanda. Oleh karena itulah VTV mengarahkan promosinya di Amerika Serikat (AS), dan langkah ini cukup berhasil.

Kelak pada dekade 1930-an wisatawan asing yang berkunjung ke Hindia Belanda bukan hanya dari Eropa dan AS, tetapi juga dari Jepang. Sebagian wisatawan Jepang itu ternyata juga melakukan kegiatan pengamatan terhadap berbagai aspek kehidupan di Hindia Belanda; dan hasil pengamatan itu kelak mereka jadikan modal untuk melakukan invasi ke Hindia Belanda.

Menyerahnya pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada bala tentara Jepang mengakhiri segala bentuk kegiatan wisata yang telah marak pada dekade-dekade sebelumnya. Meskipun demikian, pada masa pendudukan Jepang kegiatan pariwisata tidak berhenti sama sekali. Kegiatan pariwisata tetap berjalan meskipun dalam skala yang menurun drastis, dengan aktor dan lembaganya berubah.

Buku ini sarat informasi tentang pariwisata di Hindia Belanda pada periode yang dijadikan objek studinya. Banyak hal bisa dipelajari disini. Antara lain bagaimana dulu pemerintah kolonial Hindia Belanda mengelola dan mendorong industri wisata, bagaimana mereka mewadahi, memfasilitasi sekaligus mengontrol para pelaku industri wisata, bagaimana para pelaku industri wisata menegosiasi kebijakan-kebijakan pemerintah, bagaimana suatu tempat dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata, dan sebagainya.

Buku ini layak dibaca bukan hanya oleh peminat sejarah, tetapi juga insan pariwisata yang ingin menimba pengalaman dari masa lalu untuk meraih masa depan.

(Budiawan Dosen Prodi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM)

Kompas, 13 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger