Alih fungsi lahan, dari hutan menjadi perkebunan, tak terkendali. Salah satunya akibat desakan ekonomi seperti perluasan kebun kelapa sawit. Baru-baru ini, misalnya, terungkap alih fungsi 40 hektar lahan di Cagar Alam Maninjau Utara Selatan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, menjadi perkebunan kelapa sawit oleh sembilan pegawai negeri sipil di Pemerintah Kabupaten Agam. Kasus ini belum masuk ke ranah hukum.
Sebelumnya, Gubernur Kepulauan Riau (nonaktif) Annas Maamun tertangkap tangan operasi Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan kasus penyalahgunaan wewenang dalam alih lahan di Kepulauan Riau. Annas diduga menerima suap Rp 2 miliar dari pengusaha kelapa sawit Gulat ME Manurung, juga tersangka.
Baru-baru ini, Indonesia Corruption Watch melaporkan tujuh kasus dugaan korupsi di sektor sumber daya alam ke KPK. Salah satunya, kata Lais Abid dari Divisi Investigasi dan Publikasi ICW, soal izin perkebunan kelapa sawit di kawasan ekosistem Leuser, Aceh.
Sejak otonomi daerah, izin alih fungsi hutan menjadi lahan empuk para kepala daerah dan juga aparat pemerintah daerah setempat untuk mengeruk keuntungan. Ini juga terjadi di sektor pertambangan. Dari 10.918 izin usaha pertambangan (IUP), sekitar 44,66 persen atau 4.877 IUP bermasalah (non clear and clean).
Ketika ada IUP, tetapi—misalnya—tidak memiliki nomor pokok wajib pajak dan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan tambang, atau izinnya tumpang tindih, dapat dipastikan ada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proses memperoleh IUP tersebut.
Praktik KKN itu melibatkan pihak yang berwenang soal perizinan, termasuk bupati dan wali kota, serta pejabat kementerian terkait. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) mengatur wewenang penerbitan IUP ada di bupati dan wali kota. Wewenang gubernur hanya jika wilayah pertambangan melintasi batas wilayah kabupaten/kota.
Dan memang, dari 10.918 IUP itu, sekitar 8.000 IUP dikeluarkan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan catatan Koalisi Anti Mafia Tambang yang beranggotakan sejumlah organisasi, salah satunya ICW, penerbitan IUP baru melonjak lima tahun terakhir, juga IUP bermasalah. Peneliti ICW, Firdaus Ilyas, mengatakan, pada 1999 baru ada sekitar 900 IUP dan pada 2009 terdapat sekitar 2.500 IUP.
Korupsi di sektor pertambangan tak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan kegagalan negara dalam mengelola sumber daya alam untuk menyejahterakan rakyat. Bahkan, rakyat dirugikan karena lingkungannya rusak.
Meski ada indikasi KKN, penindakan hukum tidak selalu mudah dilakukan. Karena itu, KPK berupaya melakukan pencegahan melalui program kerja sama koordinasi dan supervisi bidang minerba di 12 provinsi serta melibatkan 162 pemerintah kabupaten/kota. Hasilnya, hingga Oktober lalu 400 IUP bermasalah dicabut. Pendapatan dari royalti usaha pertambangan pun meningkat Rp 5 triliun.
Melalui UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kabupaten/kota tak lagi berwenang menerbitkan IUP, tetapi provinsi. Akankah UU ini efektif mencegah "penguasaan" di bidang sumber daya alam oleh kepala daerah?
"Belum tentu, bisa jadi hanya menggeser locus penyimpangannya," kata Firdaus. Sumber daya alam akan tetap berada di cengkeraman penguasa daerah sepanjang fungsi pengawasan dan penegakan hukum tak berjalan dengan baik. (IKA)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010778992
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar