Namun, pada era digital ini, kedai kopi-di kota-kota besar dimodernkan jadi kafe-telah beralih rupa jadi tempat paling layak guna mengasingkan diri. Saban petang selepas jam kerja, dua orang yang selama berminggu-minggu duduk berdampingan meja di kafe yang sama bisa tidak saling sapa, apalagi berkenalan.
Masing-masing sibuk dan asyik memencet
Ini pula yang terjadi saban pagi di gerbong-gerbong kereta api listrik (
Orang-orang yang bahu dan lengan mereka setiap hari saling bersentuhan di gerbong yang sama boleh jadi tak pernah saling menyapa, apalagi berbincang dengan saling bertatapan. Bahkan, agar terhindar dari percakapan, banyak yang sengaja memasang perangkat
Beberapa sahabat lama yang bertemu setelah belasan tahun terpisah oleh jarak dan waktu kecewa karena reuni singkat itu jauh dari harapan. Betapa tidak? Setelah berbasa-basi sekadarnya, lantas sedikit bernostalgia tentang masa-masa bersama di sebuah restoran, satu per satu kemudian sibuk dengan gawai sendiri-sendiri. Meja pertemuan yang semula dibayangkan bakal riuh dan riang tiba-tiba sunyi dari obrolan dan canda-tawa. Kerinduan yang meluap-meluap itu tak terlunaskan. Rencana pertemuan selanjutnya mungkin tak layak dilanjutkan. Reuni itu dingin dan tak bermutu.
Begitulah kemarau kehangatan yang sedang melanda karena kita gandrung bersembunyi di rumah virtual dalam telepon pintar. Hubungan persahabatan yang secara manusiawi direkat oleh ekspresi muka yang berseri-seri kini sekadar angka-angka jumlah teman di Facebook, jumlah
Gamang
Pada tingkat yang lebih janggal, telepon pintar telah sukses membuat banyak orang gamang pada perjumpaan. Banyak yang hampir percaya, bukan hanya muka dan segenap anggota tubuh, melainkan perasaan juga bisa di-
Pada masa lalu, jika kita hendak mencari sebuah alamat, ada peribahasa lama yang selalu memandu: malu bertanya sesat di jalan. Maka, sebelum tiba di tujuan, kita bisa dua-tiga kali bertanya kepada warga sekitar. Bukan bertanya kepada aplikasi
Demam gawai tidak mungkin dibendung. Harganya kian terjangkau. Selain karena iming- iming cicilan ringan, kita memang gemar berbelanja barang-barang yang sebenarnya tak dibutuhkan. "Jangankan anak- anak sekolah, tukang beruk pun kini punya
Di pelosok-pelosok, dalam jarak hanya 4-5 rumah, seorang ibu rumah tangga yang hendak meminjam wajan dan rupa-rupa perkakas makan untuk hajatan tak perlu berjalan kaki menyampaikan maksudnya. Cukup menelepon dan beres persoalan. Namun, bagaimana dengan kekerabatan bertetangga yang dulu berpijak pada hubungan antarmuka? Bagaimana dengan etos keguyuban yang tak mungkin ada tanpa bertemu muka?
Rumah virtual yang kita pancangkan di telepon genggam telah merenggutnya sedemikian rupa hingga kita merasa tidak lagi butuh perjumpaan ragawi. Dunia
DAMHURI MUHAMMADSASTRAWAN; TINGGAL DI DEPOK
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Pergaulan Tanpa Perjumpaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar