Seperti dikutip harian ini, keluhan Presiden itu didasarkan pada belum terisinya sejumlah pejabat eselon I dan eselon II akibat penggabungan dan perubahan nomenklatur sejumlah kementerian. Akibat belum terisinya pejabat eselon I dan eselon II, birokrasi kementerian belum bisa digerakkan meski anggaran sudah cair.
Kekosongan sejumlah posisi di eselon I dan eselon II di sejumlah kementerian memang harus segera diisi. Inilah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan cepat oleh pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Keinginan Presiden Jokowi kepada para menterinya untuk kerja, kerja, dan kerja akan terhambat jika masih ada kekosongan pejabat eselon I dan eselon II, termasuk eselon III dan IV.
Setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) diundangkan, pengisian jabatan eselon I dan II menjadi tidak mudah. Terhadap pejabat eselon I dan eselon II harus dilakukan semacam lelang terbuka dengan persyaratan yang sangat ketat. Semangat UU ASN adalah terciptanya proses seleksi yang lebih berkualitas dengan model sistem merit.
UU ASN juga memberikan ruang bagi prajurit TNI dan Polri untuk ikut berkompetisi untuk mengisi jabatan eselon I dan II. Situasi juga mulai terlihat dalam seleksi Direktur Jenderal Bea Cukai yang diikuti perwira tinggi kepolisian dan TNI.
Masalah regulasi inilah yang mungkin menjadi hambatan dalam pengisian jabatan eselon I dan II di sejumlah kementerian. Meskipun proses pengisian lebih panjang dan memakan waktu, kita tetap mendorong percepatan pengisian jabatan tanpa harus melanggar UU ASN tersebut. Perlu ada pejabat yang mengawal, kalau perlu dengan penugasan khusus, agar semua proses seleksi itu berjalan sesuai dengan tenggat yang ada atau malah bisa dibuat lebih cepat.
Birokrasi adalah organisasi berskala besar yang terdiri atas pejabat yang diangkat, yang fungsi utamanya adalah melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh pengambil keputusan. Ibaratnya, birokrasi adalah sebuah rantai komando yang mengalir dari atas ke bawah.
Pada era Orde Baru, ketika kekuatan birokrasi, militer, dan partai politik berada pada satu tangan, menggerakkan birokrasi menjadi relatif mudah. Akan tetapi, dalam sistem demokrasi dengan kekuatan yang berserak, seperti yang dialami Presiden Jokowi, menggerakkan mesin birokrasi memang membutuhkan usaha dan energi tersendiri.
Meski demikian, kekosongan pejabat eselon I dan II bisa segera diisi dan mesin birokrasi bisa segera digerakkan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Mereka yang dipilih bukanlah orangnya si A atau si B, melainkan orang yang punya kompetensi menggerakkan birokrasi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Menggerakkan Birokrasi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar