Berbagai analisis mengemuka di publik bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI mencerminkan keretakan demokrasi di DKI Jakarta. Pertama, pernyataan Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dinilai menistakan agama mendapatkan reaksi dari organisasi yang mengatasnamakan Islam. Bahkan, isu ini berpotensi membawa sentimen etnoreligi. Andai Ahok tidak maju menjadi calon gubernur, besar kemungkinan kasus ini cukup di kursi penegak hukum tanpa harus diekspresikan dengan aksi demonstrasi 4 November (411).
Maka, analisis yang menyimpulkan bahwa aksi 411 ada kaitannya dengan konspirasi politik benar adanya. Bahkan, Presiden Jokowi secara gamblang membenarkan hal itu.
Menurut Jokowi, ada segelintir elite politik yang menunggangi aksi 411 sehingga terjadi kerusuhan setelah shalat maghrib. Padahal, demonstrasi harus selesai pukul 18.00. Ini sesuai dengan amanat UU No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, unjuk rasa harus berakhir pada pukul 18.00.
Kedua, Ahok yang memang sejak dulu "dibenci" oleh elite-elite politik karena kegemarannya mendobrak tradisi di dalam parpol juga menjadi pemicu mengapa pernyataan Ahok sarat politis. Ahok memang tidak mudah tunduk kepada parpol. Ahok lebih tunduk kepada kehendak rakyat sehingga parpol yang tidak sejalan dengan kemauan publik, dia lawan. Langkah Ahok yang membongkar sejumlah kejanggalan dalam proses anggaran di DKI (di pemerintahan dan parlemen) bisa juga menjadi pemicu "kebencian" elite terhadap Ahok.
Akumulasi
Sekian banyak langkah Ahok yang tidak sejalan dengan politisi dan parpol terakumulasi menjadi kebencian. Pada akhirnya, kasus surat Al-Maidah yang terjadi di Kepulauan Seribu seolah-olah momentum bagi kalangan tertentu untuk "menggoreng" karier politik Ahok. Kalangan elite yang juga disokong oleh ormas seperti Front Pembela Islam (FPI) bahu-membahu menggerakkan masyarakat.
Pucuknya, lautan manusia di Jakarta tidak terhindarkan. Padahal, jika mereka sabar dan menunggu proses hukum, aksi-aksi seperti itu tidak perlu dilakukan. Menyerahkan sepenuhnya kepada hukum menjadi hal yang relevan sembari dikawal. Apalagi, Polri sudah berjanji memproses hukum dengan transparan dan terbuka.
Kasus Ahok yang melebar ke aksi demonstrasi merepresentasikan bahwa negara ini belum menerima orang-orang minoritas. Ahok dengan cara komunikasinya yang blakblakan, keras, dan tanpa kompromi justru dinilai sebagai pemimpin yang tidak mencerminkan budaya keindonesiaan.
Bahkan, tindakan Ahok yang tanpa kompromi tersebut dipelintir menjadi isu yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan orang lain. Padahal, dengan kepemimpinan keras inilah warga DKI Jakarta lebih disiplin dan taat peraturan. Membaca hal itu, demokrasi di Pilkada DKI seolah-olah ditentukan oleh kehendak pasar. Artinya, politik tidak menentukan siapa calon yang berintegritas dan memiliki portofolio bagus, tetapi sejauh mana kemampuan elite menggerakkan pasar politik. Maka, calon-calon yang jelas memiliki integritas tinggi malah dipelintir menjadi calon yang rasis, melecehkan agama, dan sebagainya.
Atas dasar inilah pilkada di DKI ibarat pasar bagi elite-elite politik yang berkepentingan. Elite yang bersemayam di parpol menjadikan pilkada sebagai orientasi besar untuk mengegolkan jualannya, yakni kandidat yang didukung dan bisa disetir. Ketika pilkada sebagai pasar politik, justru yang terbangun di dalamnya adalah oligarki-oligarki. Oligarki sebagai simpul pasar politik. Oligarki teralienasi ke seluruh pasar demokrasi kita.
Alhasil, pilkada bak pesta yang diselenggarakan di hutan rimba. Siapa yang kuat, dia yang memperoleh kursi kekuasaan. Ketika pilkada seolah-olah diselenggarakan di hutan belantara, tepatlah apa yang dikemukakan oleh Jeffrey A Winters (2011) bahwa demokrasi kita "demokrasi kriminal".
Selain itu, demokrasi di DKI mengonfirmasi bahwa rakyat minoritas harus disingkirkan. Di Indonesia, minoritas acap kali diidentikkan dengan agama dan etnisitas, non-Muslim, dan non- Jawa. Dalam konteks kekuasaan, kaum minoritas dianggap sebagai ancaman untuk mengambil alih kekuasaan mayoritas. Maka, kaum mayoritas acap kali menggunakan isu SARA (suku, agama ras, dan antargolongan), dalam kampanye. Misalnya, larangan bagi umat Islam untuk memilih pemimpin dari kalangan non-Muslim.
Politik identitas
Indonesia tentu saja masih dipercayai dibentuk oleh aspek multikultural, multi-etnisitas, dan multireligi. Namun, realitas ini hanya berjalan di tatanan kelas atas seperti cendekiawan, negarawan, dan kaum beragama.
Di aras bawah, aspek tersebut hanya menjadi benturan yang berakibat pada pengerdilan dan diskriminasi minoritas. Aspek tersebut belum menyentuh elite-elite politik. Multi-etnisitas, multireligi malah dianggap sebagai ancaman untuk melegitimasi kekuasaannya sehingga hak politik kaum minoritas dipinggirkan.
Untuk memperbaiki cermin retak demokrasi di Pilkada DKI, politik identitas menjadi konsep penting untuk mengangkat kaum minoritas dalam demokrasi. Politik identitas memberi ruang kepada kaum minoritas untuk mendapatkan hak-haknya. Politik identitas mendorong yang minor, yang tertekan, yang subultern berbicara dengan suara-suara mereka sendiri (Spivak, 1996).
Dalam politik identitas pula, keberagaman jadi warna-warni dalam kehidupan tanpa harus dikekang hak politiknya. Politik identitas meniscayakan perbedaan tanpa mencari-cari persamaan (Budiman, 2010). Dengan begitu, demokrasi dimaknai sebagai proses untuk mencari pemimpin yang bisa menyatukan perbedaan. Bukan membenturkan perbedaan karena ketidaksamaan.
AMINUDDIN, PENELITI PADA LITERASI POLITIK DAN EDUKASI UNTUK DEMOKRASI (LPED); ALUMNUS UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar