Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 19 November 2016

Mengurai Ketimpangan Harga (TRI WINARNO)

Apabila Anda mampu mengendalikan harga dan meningkatkan pendapatan masyarakat, maka Anda berpredikat sebagai manusia setengah dewa." Begitulah lebih kurang lirik lagu Iwan Fals yang telah mengirim pesan kuat bahwa betapa mulia seseorang di lembaga mana pun yang di antaranya mampu mengendalikan harga, apalagi mampu menurunkannya dan khususnya untuk barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.
HANDINING

Lirik lagu tersebut sampai kini masih terasa relevan, terutama jika dikaitkan dengan adanya ketimpangan harga antardaerah yang masih tinggi yang terjadi di bumi Nusantara. Berdasarkan data yang dirilis pusat informasi harga pangan strategis (PIHPS) pada 6 Oktober 2016, harga bawang merah ukuran sedang Rp 37.500/kg untuk wilayah DKI Jakarta, sedangkan di Papua dijual Rp 60.000/kg. Harga daging ayam ras segar Rp 30.125/kg untuk wilayah DKI Jakarta, tetapi di Papua harganya mencapai Rp 39.750/kg. Alasan utama di balik tingginya perbedaan harga antardaerah tersebut adalah karena tingginya biaya logistik.

Sebagai negara kepulauan, biaya pengapalan merupakan salah satu faktor utama pembentuk perbedaan harga komoditas antardaerah. Berdasarkan data Bank Dunia, biaya pengapalan domestik di Indonesia jauh lebih mahal daripada biaya pengapalan internasional.

Misalnya, biaya pengapalan peti kemas ukuran 6 meter di wilayah Indonesia, dari Tanjung Priok ke Jayapura, sekitar 1.000 dollar AS, dari Tanjung Priok ke Padang 600 dollar AS, dan dari Tanjung Priok ke Banjarmasin 650 dollar AS. Sebagai perbandingan, biaya pengapalan dari Tanjung Priok ke Guangzhou (Tiongkok) dan dari Tanjung Priok ke Singapura masing-masing sekitar 400 dollar AS dan 185 dollar AS. Dengan demikian, biaya pengapalan di Indonesia kurang lebih tiga kali lebih mahal daripada biaya pengapalan internasional.

Berdasarkan data dari McKinsey, pangsa biaya pengapalan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 24% lebih tinggi daripada Tiongkok (15%), Thailand (15%), dan Singapura (8%). Dengan demikian, terasa sangat relevan jika dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, Presiden Jokowi menargetkan penurunan biaya pengapalan hingga mencapai 19,2% terhadap PDB pada akhir 2019. Suatu target yang rasional, terukur, dan implementatif. Hanya saja, yang terpenting adalah realisasi eksekusi dari perencanaan tersebut sehingga tercapai targetnya.

Perbedaan harga yang tinggi antara daerah bagian timur dan barat di Indonesia terutama dikarenakan tingginya biaya pengangkutan barang. Alasan di balik tingginya biaya tersebut adalah hampir semua kapal yang berlayar dari timur ke barat tidak mengangkut barang alias mlompong, yang mengindikasikan adanya ketidakseimbangan aliran barang antardua wilayah itu.

Ketidakseimbangan itu memperkuat pendapat yang selama ini mengemuka bahwa ada ketimpangan pembangunan antara timur dan barat yang signifikan. Kondisi tersebut diperparah oleh ketidaklayakan kapasitas pelabuhan di wilayah timur.

Sampai saat ini, kebanyakan industri terkonsentrasi di wilayah barat, khususnya di Jawa, sehingga barang-barang hasil industri dikapalkan ke timur dengan kapasitas penuh. Begitu kapal kembali ke barat, kebanyakan kapal tidak mengangkut barang dalam skala ekonomis, bahkan sering dalam kondisi kosong. Data dari Kementerian Perindustrian memperkuat polarisasi industri tersebut, yaitu pada 2014 terdapat sekitar 50 kawasan industri di Jawa (sekitar 68%), sedangkan di luar Jawa hanya 24 kawasan industri (sekitar 32%).

Mengurai ketimpangan

Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam upaya mengurai ketimpang harga tersebut.

Pertama, dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, sebenarnya sudah tepat langkah Presiden Jokowi mendeklarasikan program tol laut. Berdasarkan estimasi Kementerian Perhubungan, jika program tol laut ini terimplementasi optimal, akan berdampak pada penurunan harga bahan pokok di wilayah timur Indonesia sebesar 30%. Suatu tekad dan kerja mulia menuju manusia setengah dewa jika dapat diwujudkan.

Program tol laut ini ditekankan pada pembangunan jaringan infrastruktur strategis dalam upaya meningkatkan keterhubungan lintas maritim di Nusantara. Proyek ini membutuhkan dana investasi dalam skala raksasa untuk ukuran ekonomi indonesia, yaitu selama empat tahun (2015-2019) dibutuhkan lebih kurang Rp 699 triliun. Jika terealisasi, setiap hari akan terlihat kapal-kapal dengan kapasitas raksasa melintas dari barat ke timur dan sebaliknya, terutama untuk mengangkut komoditas antar-daerah di Nusantara.

Untuk memuluskan program tersebut, infrastruktur pelabuhan harus dibenahi. Karena itu, sudah tepat adanya rencana pemerintah membangun 24 pelabuhan laut disertai peningkatan kapasitas pelabuhan laut dalam yang sudah ada. Kebanyakan pembangunan pelabuhan tersebut berada di wilayah timur.

Misalnya di Bitung (Sulawesai Utara) sebagai pelabuhan internasional, di Makassar (Sulawesi Selatan), dan di Sorong (Papua Barat) yang menjadi sentra pelabuhan utama di wilayah timur. Sementara untuk wilayah barat akan dilakukan pembangunan dan perbaikan kapasitas pelabuhan di Kuala Tanjung dan Belawan (Sumatera Utara), Batam (Kepulauan Riau), Tanjung Priok (Jakarta), dan Tanjung Perak (Jawa Timur), serta 16 pelabuhan pendukung lainnya.

Kedua, program tol laut tersebut seharusnya dilengkapi dengan program stimulus pembangunan kawasan industri guna menopang produksi manufaktur di wilayah timur. Sebagaimana diuraikan di atas, salah satu faktor tingginya biaya pengapalan karena kapal yang dari timur ke arah barat cenderung kosong.

Oleh karena itu, kalau dibangun kawasan industri di wilayah timur, kapal dari timur ke barat akan mengangkut barang produksi manufaktur yang diproduksi di wilayah timur sehingga biaya angkut akan dapat ditekan. Dengan demikian, arus barang antara barat dan timur semakin seimbang.

Program ini tentu membutuhkan stimulus yang memadai. Kebijakan yang dapat ditawarkan kepada pengusaha yang akan berinvestasi di wilayah ini dapat berupa insentif pajak, penyediaan lahan dan kebijakan industrial lainnya. Dan, pengembangan industri di wilayah ini disesuaikan dengan keunggulan komparatif yang berbasis sumber daya alam yang melimpah yang dimiliki daerah tersebut. Misalnya, Sulawesi Barat yang berlimpah dengan tanaman cokelat diarahkan pembangunan industri yang mengolah cokelat dan turunannya. Sementara Sulawesi Tengah yang kaya dengan hasil laut diarahkan pada produksi yang berorientasi pada pemrosesan hasil laut, seperti olahan rumput laut.

Ketiga, program tol laut harus diintegrasikan dengan perbaikan kualitas jaringan angkutan darat, peningkatan kualitas pergudangan, dan akselerasi pembangunan regional. Karena investasi tol laut saja tidak akan cukup menekan disparitas harga antardaerah jika tidak disertai perbaikan di angkutan darat, peningkatan pergudangan, dan akselerasi pembangunan regional.

Infrastruktur pendukung

Berdasarkan studi McKinsey, 70% kondisi pergudangan di Indonesia di bawah standar internasional, yang ditunjukkan oleh variabel kondisi fasilitas, infrastruktur, dan keamanan yang kurang memadai. Misal, di Makassar, 70% pergudangan bertumpu pada infrastruktur yang sudah menua. Di Balikpapan, 80% pergudangannya kekurangan infrastruktur pendukung serta kurang terhubung dengan jaringan transportasi lainnya.

Untuk menopang implementasi program tol laut, jaringan angkutan darat harus diperbaiki. Menurut McKinsey, dalam laporannya yang tertuang dalamIndonesia Maritime Strategy Reform Report 2013, biaya transportasi darat Indonesia 8% dari PDB jauh lebih besar daripada negara-negara tetangga seperti Thailand (5%) dan Singapura (4%) dari PDB.

Ini mengindikasikan kinerja angkutan darat di Indonesia sangat kurang memadai, terutama untuk angkutan barang di wilayah timur karena kondisi jalan darat yang kurang mendukung. Alhasil, sebagian angkutan barang di timur diangkut dengan menggunakan angkutan udara yang biayanya jauh lebih mahal.

Akhirnya, yang tidak kalah penting adalah mengefektifkan pemanfaatan teknologi informasi. Dengan adanya telepon seluler beserta aplikasinya, akan mampu memperpendek rantai penawaran barang sehingga mengurangi biaya distribusi. Selain itu, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi akan membuat harga barang semakin kompetitif, tidak hanya antarpenjual, bahkan antardaerah, karena antara konsumen dan produsen akan punya informasi yang lebih baik dalam memutuskan haraga.

Dengan demikian, tepat sekali gugus tugas Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah mengembangkan laman yang menginformasikan harga bahan makanan di sejumlah provinsi. Setiap orang memiliki akses ke laman tersebut sehingga diseminasi informasi diharapkan dapat mengurangi kesenjangan harga antardaerah karena pasar dirasa semakin kompetitif, terutama adanya fungsi informasi yang terbuka.

TRI WINARNO, PENELITI SENIOR BEKERJA DI PERBANKAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 November 2016, di halaman 7 dengan judul "Mengurai Ketimpangan Harga".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger