Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 18 November 2016

Penguatan BPJS (REKSON SILABAN)

Baru berjalan beberapa waktu sejak Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial diterbitkan, sudah terjadi beberapa penyimpangan yang mengingkari semangat penguatan BPJS. 

Penyimpangan ini menjadikan target perluasan sistem jaminan sosial menuju universal coverage memudar.
HANDINING

Seperti diketahui, persoalan pokok yang mendasari reformasi jaminan sosial Indonesia dulu, antara lain, adalah karena belum semua penduduk tercakup menjadi peserta, seperti apa yang diamanatkan UUD 1945; belum terintegrasinya kepesertaan akibat terpecah dalam beberapa penyelenggara; adanya program dan manfaat yang berbeda bagi setiap kelompok; tak efisien karena pengawasan dilakukan beberapa institusi, administrasi kepesertaan yang belum efektif, kurangnya koordinasi danmonitoring. Persoalan ini telah menghambat kapasitas BPJS mencapai kepesertaan secara menyeluruh (universal coverage) jaminan sosial. Sekaligus membatasi kemampuannya sebagai sumber pendanaan ekonomi nasional.

Sesuai konstitusi UUD 1945 adalah hak setiap orang atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat. Pada 19 Oktober 2004, pemerintah bersama dengan DPR mengesahkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Selanjutnya melahirkan UU No 24/2011 tentang BPJS. Tujuannya, menyinkronisasikan penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial, memperluas kepesertaan serta memberikan manfaat lebih besar bagi setiap peserta. Sayangnya, dalam implementasi selanjutnya terlihat beberapa inkonsistensi atas amanat kedua UU di atas.

Inkonsistensi kebijakan

Sejak satu tahun terakhir, terjadi beberapa penyimpangan nyata terhadap amanat UU SJSN dan BPJS. Penyimpangan pertama dimulai saat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 60/2015 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 19/2015 tentang masa pengambilan Jaminan Hari Tua (JHT).

Dalam UU, JHT hanya bisa diambil setelah 10 tahun menjadi peserta, tetapi dengan aturan baru ini JHT dapat dicairkan setiap waktu jika pekerja di-PHK. Selain melanggar UU, ini juga menyimpang dari praktik internasional tentang manfaat JHT sebagai old age benefit scheme. Tragisnya, perubahan ini terjadi atas tekanan sekelompok serikat buruh yang "atas nama buruh" meminta dilakukan penyimpangan UU. Kebijakan ini menyebabkan rush pencairan JHT secara masif. Kantor BPJS Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia diserbu peserta untuk mengambil dana JHT.

Dana yang dicairkan BPJS pada Januari 2015-Januari 2016 sebesar Rp 16 triliun atas nama 1,9 juta peserta. Konsekuensi pengambilan JHT, pekerja keluar sebagai peserta BPJS sehingga tak dapat perlindungan apa pun dari BPJS Ketenagakerjaan. Apabila terjadi kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan risiko hari tua jadi urusan pribadi. Risiko inilah yang tak dipikirkan saat kebijakan ini dikeluarkan. Untunglah saat ini sudah ada keinginan kelompok pemangku kepentingan yang duduk di tripartit nasional Kemenakertrans untuk mengubah aturan ini, kembali ke sistem yang sepatutnya. Ini pembelajaran berharga buat pemerintah agar lebih kokoh dalam menjalankan kebijakan, tak boleh tunduk di bawah desakan demo.

Penyimpangan kedua terjadi pada kebijakan PT Taspen dan Asabri yang melanggar peta jalan penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan. Seperti diketahui, Presiden telah menetapkan PP No 109/2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial. Dalam Pasal 5 Ayat (2) dan (3) disebutkan, penyelenggara negara wajib mendaftarkan pekerjanya dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja, Program Jaminan Pensiun, dan Program Jaminan Pensiun secara bertahap kepada BPJS Ketenagakerjaan.

Penahapan dimulainya pendaftaran bagi pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dilakukan paling lambat 1 Juli 2015, penyerahan program lainnya dilakukan paling lambat 2029. Pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara menurut Pasal 5 Ayat (1) meliputi: calon PNS; PNS; anggota TNI; anggota Polri; pejabat negara; pegawai pemerintah non-pegawai negeri; prajurit siswa TNI; dan peserta didik Polri, dengan total peserta PT Taspen (Persero) 4,5 juta orang dan Asabri 839 orang.

Namun, apa yang terjadi? Pemerintah mengeluarkan PP No 70/2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara, yang mulai berlaku surut sejak 1 Juli 2015, yang memberikan kewenangan kepada PT Taspen sebagai penyelenggara tunggal Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ketentuan dalam Pasal 7 peraturan pemerintah ini jelas-jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, yaitu Pasal 1 (6) UU SJSN dan Pasal 1 (1) UU BPJS, yang jelas menyebutkan bahwa yang berwenang menyelenggarakan program jaminan sosial untuk seluruh penduduk Indonesia, termasuk di dalamnya ASN, adalah BPJS yang dibentuk dengan UU, berbentuk badan hukum publik dan menggunakan prinsip nirlaba. Sementara PT Taspen bukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dibentuk dengan UU dan berstatus badan hukum publik. PT Taspen berstatus perseroan dibentuk dengan PP No 26/1981. PT Taspen adalah BUMN yang bertujuan mengejar keuntungan.

Meluruskan penyimpangan

Pasal 15 Ayat (1) UU SJSN dan Pasal 15 Ayat (1) UU BPJS menyebutkan bahwa pemberi kerja (termasuk penyelenggara negara) secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti. Berdasarkan PP No 109/2013, penyelenggara negara wajib mendaftarkan pekerjanya dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja, Program Jaminan Pensiun, dan Program Jaminan Pensiun secara bertahap kepada BPJS Ketenagakerjaan.

Penahapan dimulainya pendaftaran bagi pekerja ini paling lambat 1 Juli 2015. Pasal 65 UU BPJS menyebutkan bahwa PT Taspen (Persero) harus menyelesaikan pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT Taspen (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.

Atas dasar tersebut seharusnya PT Taspen (Persero) menyusun peta jalan (road map) untuk mengalihkan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT Taspen (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan. Bukan justru membuat peta jalan yang isinya menyimpang dan terkesan ingin memperkuat PT Taspen dan membatalkan pengalihan PT Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini sangat tampak dalam peta jalan yang dibuat PT Taspen, terutama dalam Bab 10 tentang aspek sosialisasi dan advokasi halaman 153 sampai dengan halaman 166.

Yang terbaru adalah kelahiran UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Pada Pasal 31 Ayat 6 disebutkan, nelayan akan diberikan perlindungan atas risiko kecelakaan, kematian dan lainnya, dalam bentuk asuransi perikanan untuk kecelakaan kerja, serta asuransi jiwa untuk kehilangan jiwa. Ini bermakna bahwa badan penyelenggara yang akan melindungi nelayan adalah badan asuransi swasta, bukan BPJS Ketenagakerjaan sebagai badan nirlaba.

Terbukti sampai saat ini nelayan enggan masuk BPJS Ketenagakerjaan karena diiming-imingi mendapat perlindungan lebih baik daripada BPJS. Menyerahkan perlindungan kepada lembaga asuransi swasta lagi-lagi bertentangan dengan semangat penguatan jaminan sosial (BPJS). Karena tiga penyimpangan ini, terjadi kehilangan peserta BPJS Ketenagakerjaan sekitar 8,2 juta (pengunduran diri akibat JHT 1,8 juta; peserta PT Taspen 4,5 juta; Asabri 839.000, dan nelayan sekitar 1 juta orang).

Dalam Pasal 29 UU SJSN ada yang menyebutkan "Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial". Ini menjelaskan prinsip, atau mekanisme pembiayaan klaim dengan sistem asuransi, bukan mengartikannya sebagai pengelolaan melalui badan asuransi swasta. Dewan Jaminan Sosial Nasional yang memiliki kewenangan melakukanmonitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial seharusnya sejak awal menghentikan berbagai penyimpangan di tahap dini. Sebab, kalau sudah telanjur menjadi UU, akan rumit untuk mengubahnya.

Pemerintah hendaknya segera menyadari risiko penyimpangan ini dengan segera mengambil inisiatif meluruskannya, seperti cara pemerintah membatalkan sejumlah perda yang bertentangan dengan perundang-undangan nasional. Dengan demikian, tidak lagi lahir berbagai regulasi sektoral lainnya, yang menjauhkan Indonesia dari penguatan dan perluasan jaminan sosial.

REKSON SILABAN, ANALIS INDONESIA LABOR INSTITUTE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Penguatan BPJS".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger