Sebuah paradoks yang sangat penting dicermati pada era politik media sosial (medsos) ini. Pertama, Indonesia dengan tingkat budaya membaca yang rendah menjadikan lemahnya tiga aspek penting nilai demokrasi yang kritis dan produktif, yakni budaya berproses, menganalisis, dan mereferensi sebagai syarat demokratisasi hipermedia.
Kondisi ini menjadi dasar yang rapuh sebuah bangsa ketika melompat langsung jadi salah satu bangsa terbesar pengonsumsi medsos yang bekerja dalam percepatan teknokapitalis. Satu era ketika data dan informasi bisa dimanipulasi dan dikuasai penyebarannya oleh siapa pun.
Harus dicatat, studi komunikasi budaya menunjukkan Indonesia mengalami periode awal pergeseran penuh lompatan kultur dialog masalah etnis hingga religi: dari kultur serba tatap muka jadi serba maya. Sebuah migrasi penuh guncangan yang kompleks. Lebih jauh lagi, euforia medsos sering kehilangan filosofi utama demokrasi, yakni kebebasan berbasis pengetahuan, keterampilan, etika. Gejala ini bisa dilihat dengan gamblang pada perilaku kubu-kubu pendukung kandidat dalam pilkada DKI Jakarta: saling mem-bully tanpa etika dengan beragam alasan.
Kedua, salah satu ciri penting demokratisasi medsos adalah euforia mengelola ruang medsos sebagai representasi psikologi sosial partisipasi elite politik dalam kehidupan rakyat. Gejala ini bisa dilihat sekiranya membuka medsos berbagai grup elite politik, sebutlah kelompok wakil rakyat di DPR, maka terbaca ruang medsos jadi ruang silaturahim nyaman kelompok elite politik. Mereka berbicara hingga berdebat beragam persoalan, tetapi sering kali tanpa perlu turun langsung ke kehidupan masyarakat.
Demikian juga, sering kali kinerja menteri lebih pada dampak penyebaran di medsos, bukan pada kualitas pelayanan warga. Bisa diduga, studi komunikasi budaya menyebut era medsos sebagai era pemimpin pelayanan medsos ketimbang era pemimpin pelayanan warga.
Ketiga, kultur teknologi kapitalis medsos yang serba mudah, cair, dan terbuka serta tersebar melahirkan paradoks tersendiri. Di satu sisi, bertumbuhnya kedewasaan berdemokrasi yang sangat cair dan terbuka tanpa memandang usia, agama, hingga kelas sosial. Di sisi lain, terbentang fakta ketaksiapan serta ketimpangan budaya dalam dialog serba banal di medsos. Sebuah dialog yang sering tanpa respek, baik respek berbasis usia ataupun latar belakang sosial hingga religi. Kini lumrah anak muda tanpa bekal sosial politik memaki atau menghakimi seorang negarawan ataupun agamawan bersahaja. Pada akhirnya, sekiranya tak dicermati akan melahirkan dampak luka budaya, sosial, dan politik yang panjang.
Pada tahap selanjutnya, kultur medsos lebih melahirkan haters dan loverslayaknya kultur dunia hiburan. Maka, kepopuleran sering tak berkait dengan kualitas, tetapi kemampuan hadir di medsos. Dampak kultur semacam itu melahirkan massa politik yang hitam-putih, serba berkubu dalam hukum "benci dan cinta", kehilangan ruang dialog dan kritik pada kandidatnya sendiri.
Gejala ini bisa, lagi-lagi, dibaca pada pilkada DKI Jakarta. Pada akhirnya, atmosfer saling membully antarkubu kandidat tak lebih dari transformasi perkelahian jalanan tanpa bertemu fisik. Harus dicatat, perkelahian dunia maya ini menjadi muara besar katarsis dalam dunia nyata.
Alhasil, euforia medsos ini sering melahirkan ironi demokrasi, yakni melahirkan elite politik baru bukan karena pengetahuan, keterampilan politik serta kenegarawanannya, melainkan kemampuan pameran perhatian mengelola massa dalam kultur medsos. Sekiranya ini terjadi, medsos bukanlah jalan utama kematangan demokratisasi dan adabnya, melainkan menjadi riuh rendah demokrasi banal serba maya dengan dampak pada dunia nyata yang sering tak terkendali.
GARIN NUGROHOBUDAYAWAN, PENGAJAR PASCASARJANA DI BEBERAPA PT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar