Di satu sisi menunjukkan rendahnya bobot etis lembaga legislatif sehingga masih dibutuhkan sarana prefentif dan kuratif, di sisi lain regulasi lebih tegas diapresiasi dalam konteks ada niat baik sekaligus harapan diterapkan. Tugas itu ada di pundak Mahkamah Kehormatan Dewan.
Rendahnya tingkat kehadiran anggota DPR tidak hanya terjadi pada periode ini. Tetapi ketidakhadiran (mangkirnya) 164 anggota dalam Rapat Paripurna DPR pembukaan Masa Sidang II Tahun 2016-2017, berlanjut penundaan Rapat Pansus RUU Pemilu karena tidak kuorum, dua kejadian itu secara etis merupakan persoalan serius.
Mangkirnya anggota DPR dalam rapat paripurna tidak cukup dijawab dengan dalih sudah memenuhi kuorum. Sesuai undang-undang, dari 558 anggota, rapat dianggap kuorum dengan minimal 279 anggota. Dengan 322 hadirin (yang menandatangani), persyaratan tidak jadi masalah.
Berbagai alasan yang dimajukan hanya menunjukkan ketidakpedulian, baik dari segi individu maupun institusional. DPR memiliki beragam hak dan fasilitas agar bisa bekerja maksimal, mengabaikan tugas pokoknya membicarakan (parle)persoalan masyarakat.
Menjadi anggota DPR "yang terhormat" adalah profesi. Satu pokok yang sangat penting dalam setiap profesi, termasuk anggota DPR, adalah komitmen. Eksistensinya sebagai wakil rakyat didasarkan atas kepercayaan yang diberikan oleh konstituen karena itu komitmen utama adalah apa yang diharapkan oleh konstituen. Secara institusional DPR, komitmennya meluas terhadap rakyat.
Prinsip etika yang dikembangkan adalah etika publik, mengedepankan kepentingan umum, dalam hal ini kepentingan rakyat. Dalih "ada tugas lain" atau "ada tugas partai", apalagi mengibaratkan DPR bukan sekolah dasar yang mengharuskan semua harus hadir, hanyalah mengecilkan makna profesi dan komitmen profesional DPR.
Komitmen profesional anggota DPR adalah wakil rakyat karena itu nomor satu dan terpenting adalah memperjuangkan kepentingan rakyat. Bias kepentingan pun ditempatkan sebagai dinamika perjuangan dengan muara kepentingan umum.
Karena eksistensial anggota DPR adalah mewakili kepentingan umum, wajar dan seharusnya mereka mendengarkan kritik rakyat yang disuarakan secara publik. Tak hanya mendengarkan, mempersoalkan, dan menemukan solusi permasalahan rakyat, tetapi juga mendengarkan kritik perilaku wakil-wakil rakyat bereksistensi.
Bisa dan harus mendengarkan kritik publik adalah keharusan eksistensial DPR sifatnya etis sekaligus moral. Adanya regulasi internal yang lebih tegas-lantas diterapkan tanpa kecuali-menjadi sia-sia ketika tidak dilandasi kesadaran intrinsik setiap pribadi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Anggota DPR Mangkir".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar