Dalam perspektif teori perkembangan moral, ketiga persoalan bangsa tersebut berakar pada infantilitas moral warga bangsa. Infantilitas moral mengandaikan bahwa person yang seharusnya mengalami perkembangan moral dengan melewati tahap moralitas yang paling rendah (pada masa infantil), tetapi dengan sengaja atau tidak sengaja tidak mau atau tak mampu mengembangkan perilaku moral pada tahap yang lebih tinggi.
Fase kesadaran moral
Perilaku manusia dalam ranah moralitas telah diteorikan oleh Lawrence Kohlberg (1969) dalam skema fase perkembangan kesadaran moral. Kohlberg menyimpulkan, terdapat enam fase kesadaran moral yang berkembang dalam proses kehidupan manusia berhadapan dengan realitas kehidupan manusia dan relasi-relasinya dalam masyarakat.
Dua fase pertama disebut tahap prakonvensional, saat person memiliki kesadaran moral bahwa kehidupan ini butuh peraturan, tetapi persepsi tentang tindakan yang baik dan buruk dihubungkan dengan reaksi orang lain. Fase pertama adalah orientasi hukuman-kepatuhan, yakni tindakan moral berfokus pada kepentingan sendiri, tetapi takut akan akibat yang tidak menyenangkan. Fase kedua adalah fase orientasi relativis-instrumental, yakni bahwa perbuatan adalah instrumen untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hubungan antarmanusia dipahami sebagai hubungan transaksional.
Dua fase berikutnya disebut tahap konvensional di mana person menyadari bahwa perbuatan dinilai atas dasar norma-norma umum, pentingnya melakukan kewajiban, menyesuaikan perilaku dengan harapan masyarakat. Fase ketiga adalah fase orientasi menjadi anak manis, yakni tindakan moral dilakukan dengan mengarahkan diri pada keinginan dan perilaku yang menyenangkan orang lain. Fase keempat adalah orientasi hukum/ketertiban. Ketertiban dalam masyarakat hanya dapat dicapai dengan kepatuhan pada hukum.
Dua fase perkembangan moral yang tertinggi (tahap pascakonvensional) mengandaikan bahwa person melakukan tindakan-tindakan moral secara otonom, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menjalankan prinsip-prinsip moral. Fase kelima disebut orientasi sosial legalis dengan penekanan bahwa kehidupan bersama membutuhkan konsensus. Dimensi hukum ditekankan, tetapi tetap ada peluang untuk mengubahnya demi menjamin kebaikan bersama.
Fase tertinggi dalam perkembangan moral adalah fase orientasi prinsip etika universal. Pada fase ini person melakukan tindakan moralnya berdasarkan hati nurani, memegang teguh nilai- nilai keadilan, bersedia membantu orang lain tanpa melihat perbedaan, menjunjung tinggi persamaan hak, dan menghormati harkat martabat kemanusiaan.
Dilihat dari perspektif teori ini, perilaku korupsi, perilaku politis yang berfokus pada kepentingan elitis, serta perilaku kehidupan beragama yang menghasilkan konflik dan kekerasan dalam masyarakat adalah tindakan moral infantil.
Korupsi adalah tindakan mengambil keuntungan sendiri yang dilakukan dengan mengabaikan suara hati nurani, kebaikan umum, dan keadilan sosial. Tindakan koruptif dapat dikategorikan sebagai penghancur kehidupan berbangsa karena berbagai macam isu sosial lain yang bersifat destruktif (antara lain terorisme dan pemberantasan narkoba) menjadi sulit untuk diatasi.
Praktik politik dan berdemokrasi yang semakin bersifat transaksional juga menunjukkan perilaku moral infantil dari politikus-politikus. Dalam pemilihan umum dan pilkada, praktik transaksional antara calon anggota legislatif dan pemilihnya terus terjadi dengan intensitas yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Dalam pembuatan kebijakan, praktik transaksional yang menguntungkan elite politik menjadi pemberitaan setiap saat dalam pelbagai bentuk. Ketika kepentingan elite politik menjadi yang paling utama dan bukan persoalan rakyat banyak, maka praktik politik di Indonesia benar-benar tampil sebagai perilaku moral yang infantil.
Kehidupan beragama yang ditampakkan dalam ranah publik akhir-akhir ini bisa dikategorikan sebagai tindakan moral infantil. Pemeluk-pemeluk agama semakin menekankan pada keyakinan absolut agamanya masing-masing yang ketika terjalin dengan kekuasaan elitis menimbulkan konflik dan kekerasan dalam masyarakat.
Agama yang pada hakikatnya mengajarkan kebaikan, baik secara individual maupun sosial, dalam diri pemeluk yang infantil berubah menjadi kanopi suci (menurut istilah Peter Berger) yang menjamin hanya kenikmatan pribadi. Dalam perspektif teori perkembangan moral, kedewasaan beragama adalah ketika agama menjadi pengawal hati nurani, pengarah dimensi rasional, dan berpihak pada kemanusiaan.
Usulan
Berhadapan dengan infantilitas moral dalam kehidupan berbangsa, empat usulan solutif kiranya bisa membantu perkembangan moral warga negara Indonesia. Pertama, melakukan rekayasa edukasi yang berorientasi pada hati nurani dan rasionalitas yang mengedepankan nilai-nilai untuk kehidupan bersama.
Kedua, melakukan rekayasa perubahan budaya yang menekankan pada kebaikan bersama yang dicirikan oleh keadilan, kesejahteraan, kohesi sosial, identitas bersama, dan partisipasi masyarakat.
Ketiga, menyelenggarakan penegakan hukum yang adil dan jujur, yang didukung oleh penegak hukum yang dewasa dalam moralitas.
Keempat, melakukan perubahan dalam penghayatan kehidupan agama yang dilakukan secara dewasa, yakni penghayatan agama yang mendukung prinsip-prinsip etika universal.
YUSAK B SETYAWAN
DOSEN SENIOR PADA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA (UKSW) DAN KETUA PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI UKSW
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Infantilitas Moral Kehidupan Berbangsa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar