Fenomena ini seakan meneguhkan dominasi asing dalam penguasaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Sebelumnya, seorang WNA dari Italia juga berani melarang rombongan DPRD Sumatera Barat ketika rombongan anggota Dewan tersebut akan melakukan kunjungan ke sebuah pulau yang secara administratif masuk dalam Provinsi Sumatera Barat.

Dua contoh tersebut terekspos oleh publik setelah rekaman penolakan untuk memasuki pulau tersebut beredar secara viral dan disiarkan oleh beberapa televisi nasional. Setelah itu publik baru benar-benar menyadari realitas penguasaan pulau oleh warga negara asing (WNA) meskipun sesungguhnya fenomena penguasaan pulau oleh orang asing di negeri ini sudah terdengar sejak beberapa tahun lalu.

Fenomena di atas seakan melukai harga diri bangsa Indonesia. Bukankah secara konstitusional pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana dijamin Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945?

Dalam perspektif kedaulatan negara, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tersebut harus dipahami bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Negara memiliki kedaulatan atas seluruh bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini termasuk penguasaan pulau-pulau kecil. Frasa "dikuasai oleh negara" artinya negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat bertindak selaku penguasa.

Negara bukan berarti memiliki, melainkan negara diberi wewenang sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaannya, termasuk mengatur hak-hak yang dapat dimiliki atas pulau-pulau kecil tersebut. Dalam konteks ini termasuk di dalamnya menentukan hubungan hukum dari pihak-pihak yang terkait.

Regulasi pemanfaatan pulau kecil 

Pemerintah Indonesia pada awalnya telah memiliki UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Keterlibatan pihak asing mulai diintrodusir ketika UU No 27/2007 ini diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Pasal 26 A Ayat (1) dalam UU hasil revisi ini mengizinkan asing untuk dapat menguasai pulau di Indonesia dengan mendapat perizinan dari menteri.

Saat ini UU No 1/2014 tersebut, terutama melalui Pasal 26 A Ayat (1), telah menjadi payung hukum bagi penguasaan asing atas kepemilikan pulau di Indonesia. Selanjutnya, UU No 1/2014 secara teknis ditindaklanjuti dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Peraturan Menteri Agraria No 17/ 2016 inilah yang menjadi dasar hukum pemberian hak bagi WNA dalam hal penguasaan pulau-pulau di Indonesia, khususnya aturan yang tercantum pada Pasal 10.

Peristiwa pelarangan warga negara Indonesia (WNI) memasuki pulau yang dikelola dan dikuasai oleh WNA sebenarnya bukan salah WNA sebagai investor yang menguasai pulau-pulau di Indonesia. Akar persoalan sesungguhnya adalah karena dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Agraria No 17/2016 terdapat pengaturan yang sifatnya kontradiktif antara Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2). Pasal 10 Ayat (1) mengatur bahwa penguasaan dan pemilikan tanah di pulau kecil tidak boleh menutup akses publik yang selanjutnya seolah dibatalkan melalui Pasal 10 Ayat (2) yang memberikan limitasi pada ayat (1).

WNA pengelola pulau tersebut secara yuridis tidak dapat disalahkan atas insiden pelarangan tersebut karena Pasal 10 Ayat (2) Peraturan Menteri Agraria No 17/2016 menyebutkan secara limitatif bahwa yang dimaksud sebagai akses publik dalam huruf (a) adalah akses perorangan atau kelompok orang untuk berlindung, berteduh, menyelamatkan diri serta mencari pertolongan dalam pelayaran ; huruf (b) akses perorangan atau kelompok orang dengan izin resmi untuk melakukan kegiatan terkait pendidikan, penelitian, konservasi, dan preservasi. Pasal 10 Ayat (2) inilah yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 sehingga mendesak perlu dilakukan deregulasi kebijakan hukum demi menegakkan kedaulatan negara.

Investasi asing dan kedaulatan bangsa

Pulau-pulau kecil yang dapat dikelola dan dikuasai orang asing melalui hak yang diberikan Peraturan Menteri Agraria No 17/2016 adalah pulau dengan luas atau lebih kecil dari 2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya.

Sejarah diundangkannya UU No 1/2014 adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang menyatakan beberapa pasal krusial UU No 27/2007 bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 sehingga harus dilakukan perubahan. Namun, perubahan yang dilakukan melalui UU No 1/2014  tetap tidak sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.

Dapat dipahami semangat pemberian hak untuk menguasai pulau kecil pada WNA melalui jalan investasi memang dapat dipandang sebagai upaya pemerataan ekonomi dengan mengurangi beban keuangan pemerintah dalam pengelolaan pulau-pulau tersebut.

Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015-2019, pemerintah memang menawarkan pulau-pulau yang potensial kepada investor termasuk investor asing. Keberadaan RPJMN tersebut dapat dipahami mengingat biaya pemeliharaan pulau tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Dengan jalan investasi, selain pemerintah dapat memangkas anggaran pemeliharaan, para investor yang masuk diharapkan dapat mengembangkan perekonomian dengan tujuan akhir berupa pemerataan ekonomi masyarakat lokal.

Sebenarnya pemerintah menyadari perlunya deregulasi pengaturan pulau-pulau untuk menyeimbangkan kepentingan investasi asing dan perlindungan terhadap kepentingan WNI sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945. Pemerintah telah mengajukan upaya revisi terhadap UU No 1/2014  sebagai payung dari Peraturan Menteri Agraria No 17/2016 dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2016. Namun, hingga kini upaya revisi tersebut belum dibahas oleh DPR sehingga momentum kejadian pelarangan rombongan DPRD Sumatera Barat oleh WNA (Italia) tersebut seharusnya menjadi momentum reflektif legislasi.

Deregulasi untuk menyeimbangkan kepentingan investasi dan aspek kedaulatan suatu negara mendesak untuk dilakukan. Mengacu pada Konvensi Montevideo 1933, kedaulatan akan wilayah adalah salah satu parameter sebuah negara merdeka. Dalam konvensi tersebut disebutkan bahwa wilayah yang berdaulat adalah jalan untuk menyejahterakan rakyat. Hal ini sejalan dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 dan Putusan MK Nomor 3 /PUU-VIII/2010.

Di lain pihak, jika terdapat regulasi yang memadai, juga memberi kenyamanan bagi investor asing sesuai semangat dibukanya peluang investasi pengelolaan pulau-pulau kecil. Sebaliknya, jika investor selalu dibenturkan dengan kepentingan rakyat, rencana mendatangkan investor untuk pengembangan perekonomian dan pemerataan ekonomi masyarakat lokal akan tidak tercapai.