
Limas Sutanto
Sigmund Freud, yang dengan keras meyakini thanatos, naluri kematian (death instinct) dalam pengalaman manusia, banyak dikecam oleh sesama psikoanalis yang melihat sisi lain kemanusiaan sebagai angan-angan menjalani hidup.
Freud dianggap sebagai insan pesimistis yang terlalu menekankan sisi gelap pengalaman manusia. Tetapi dengan gagasannya itu, sang pelopor psikoanalisis telah mengetengahkan sebuah kenyataan bahwa aktivitas mental manusia banyak dilintasi oleh ihwal dirinya yang bakal pasti mati, dan ini menakutkannya. Ingatan tentang bakal mati adalah trauma eksistensial yang sangat mengerikan.
Melanie Klein menangkap ketakutan fundamental manusia adalah ansietas annihilasi, kekhawatiran yang sangat tentang peniadaan dirinya. Inilah belenggu hakiki yang meniadakan kemerdekaan manusia. Maka, proyek hidup adalah mengatasi ketakutan akan peniadaan, tak mungkin dengan menciptakan hidup yang abadi, tetapi dengan mengalami peniadaan bukan dalam kesendirian, melainkan dalam kebersamaan.
Kerja sama orang dan liyan adalah keniscayaan; kerja sama atau kooperasi—antitesis bagi peniadaan—oleh Christopher Bollas disebut kebutuhan filogenetik manusia, kebutuhan asali spesies manusia.
Tetapi ketakutan menjadi sumber defensi ego pula, yaitu perbuatan mengelabui, menipu dan mengkhianati demi selamatnya diri sendiri. Berbeda dengan kooperasi yang memampukan manusia menghadapi ketakutan akan peniadaan, dan dengan demikian memerdekakan, defensi ego menciutkan "cara menjalani hidup dan hubungan", semata menjadi jalan tunggal mencari selamat sendiri-sendiri. Jalan defensif adalah jalan yang memangkatduakan belenggu, dan tatkala jalan defensif mengalahkan jalan kooperatif, pembelengguan melampaui bahkan menghilangkan kemerdekaan.
Perpaduan defensi ego dan kesendirian menghadapi trauma dan ketakutan adalah akar-akar kuno (archaic)dari belenggu yang meniadakan kemerdekaan. Peristiwa menyejarah yang meresapkan ancaman peniadaan, semisal penjajahan, menjadi perantara ingar bingarnya hidup defensif dan soliter yang tak merdeka. Tatkala pelopor pengubah paradigma, semisal Pangeran Diponegoro, berjuang membongkar belenggu, ia digagalkan oleh banyak orang yang dalam ketakutan mereka menyelamatkan diri sendiri dengan mengelabui, menipu, dan mengkhianati.
Siasat penjajah yang "memecah belah dan menguasai" terus saja menghalangi penduduk bekerja sama dan tak henti menyemangati mereka untuk menempuh jalan defensif. Tak heran, mereka tak kunjung merdeka; siasat yang sesungguhnya lapuk itu pun seperti senantiasa mangkus ratusan tahun.
Kerja sama antarmanusia
Tetapi, mungkinkah manusia merdeka dari defensi ego dan trauma annihilasi, mengingat peniadaan adalah tanggungan yang terlalu besar? Apabila dihadapi dalam kesendirian, peniadaan memang merupakan perkara yang besar sekali, tak tertanggungkan. Maka, antitesis peniadaan adalah kooperasi atau kerja sama. Orang dan liyan bekerja sama dan mereka tidak sendirian lagi menghadapi peniadaan.
Memerdekakan diri paripurna dari defensi ego dan trauma terasa utopis. Tetapi kerja sama antarmanusia akan menguranginya, mungkin sekali sampai pada tingkat pengurangan bermakna.
Barangkali selama ini kurang disadari, betapa merdeka berada bersama-sama dengan kooperasi dan konsekuensi-konsekuensinya, yang meliputi kompromi, inklusi, dan toleransi.
Para pendiri bangsa Indonesia telah menggarisbawahi kebajikan-kebajikan itu dan mengejawantahkannya, untuk beradanya Indonesia merdeka. Tetapi kemudian, sebagian orang Indonesia sangat ingin menggantinya dengan "kebajikan" mereka, yang bertolak belakang sepenuhnya dengan kooperasi, inklusi, kompromi, dan toleransi. Pada titik ini, intoleransi, eksklusivisme, dan radikalisme mengemuka.
Jokowi bijak menginklusi mereka. Mungkin masih sebatas transaksi keberuntungan. Upaya masih perlu diperdalam dan kian dibermaknakan dalam banyak perjumpaan dialogis, lebih banyak dari yang pernah sang pemimpin laksanakan dengan para pedagang kaki lima di Solo, untuk bersama-sama menterjadikan semua kebajikan kemerdekaan: kooperasi, inklusi, kompromi serta toleransi. Dengan demikian, juga menterjadikan kemerdekaan yang sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar