Lima tahun silam, angka potensi sumber daya ikan tersebut baru 6,5 juta ton. Sekarang, sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017, angka itu meningkat hampir dua kali lipat jadi 12,5 juta ton. Ikannya semakin banyak, tetapi produksi perikanan tangkap masih tersandera di bawah 6,5 juta ton.
Refleksi
Kinerja ekspor perikanan juga mengalami stagnasi di bawah 4,6 miliar dollar AS. Akibatnya, Indonesia belum juga masuk ke dalam daftar sepuluh negara eksportir ikan di dunia (FAO, 2018). Kondisi ini berbeda dengan Vietnam dan Thailand.
Meskipun Indonesia telah menenggelamkan 276 kapal pencuri ikan asal Vietnam dan 50 kapal asal Thailand, kedua negara itu masih bertahan pada urutan ketiga dan keempat
teratas dalam daftar negara
eksportir ikan di dunia.
Inti dari pengelolaan perikanan adalah menuju pemanfaatan optimum atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Angka JTB yang biasa digunakan adalah 80 persen dari total potensi sumber daya ikan. Skenario kebijakannya ada dua. Jika pemanfaatan ikan telah melampaui JTB, pilihan kebijakannya adalah pengendalian penangkapan. Pun, berlaku sebaliknya.
Pada periode 2011 hingga 2015, misalnya, produksi perikanan secara nasional telah melampaui JTB. Maka, untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ikan, sudahlah tepat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (kala itu) mengambil langkah korektif dengan mengendalikan penangkapan ikan melalui analisis dan evaluasi terhadap kapal-kapal ikan eks asing, mengukur ulang tonase kapal ikan, mengetatkan skema perizinan kapal lama dan baru, termasuk memperbanyak bantuan untuk memperbarui kapal-kapal ikan kecil yang telah rusak.
Kondisinya berubah 180 derajat sejak 2016 lalu. Total tangkapan ikan di perairan Indonesia justru lebih rendah dari JTB, masing-masing lebih rendah 16 persen pada 2016 dan 28 persen pada 2017. Kondisi ini menjelaskan bahwa keberhasilan mengamankan dan menetapkan potensi ikan naik menjadi 9,9 juta ton pada 2016 dan 12,5 juta ton pada 2017 belum diikuti serangkaian strategi kebijakan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan armada perikanan nasional.
Terlambat merespons "banjir" ikan di laut Indonesia berakibat hilangnya kesempatan untuk memperbesar kapasitas produksi dan industri perikanan nasional dua tahun terakhir. Terlewatkannya peluang untuk memperluas kesempatan kerja di sektor perikanan. Bahkan gagal mengatasi ketertinggalan (berpuluh tahun) kinerja ekspor perikanan nasional.
Prioritas
Presiden Joko Widodo dalam banyak kesempatan menyampaikan, ekonomi Indonesia ke depan akan ditopang oleh dua sektor utama: perikanan dan pariwisata. Karena itu, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No 7/2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional. Intinya, Jokowi ingin segera ada ketersambungan antara pencapaian memberantas pencurian ikan dan prestasi ekonomi.
Secara operasional ada dua hal mendesak pada 2019. Pertama, meramaikan perairan Indonesia dengan kapal-kapal ikan Indonesia. Faktanya, jumlah armada perikanan nasional terus berkurang. Sebut saja, sebanyak 1.132 kapal eks asing sudah tak lagi beroperasi. Lalu, per 12 Desember 2018, lebih dari 1.000 kapal—yang dibuat, dimiliki, dan dioperasikan oleh Indonesia—juga masih terkendala proses perpanjangan izin.
Reformasi perizinan kapal ikan harus segera dituntaskan dengan prinsip memudahkan, bukan menggampangkan. Selama semua syarat formal terpenuhi, tidak menggunakan alat tangkap merusak, alokasi ruang dan potensi ikan tersedia, tak ada salahnya izin perpanjangan dan pembuatan kapal baru segera diterbitkan. Jika di belakang hari ada manipulasi dan pelanggaran, jangan ragu untuk memberikan sanksi (seberat-beratnya) sesuai ketentuan. Kedua, membangun citra positif terhadap laut dan nelayan Indonesia.
Masyarakat internasional perlu mengetahui bahwa laut Indonesia hari ini telah bebas dari praktik pencurian ikan. Nelayan Indonesia, baik kecil maupun besar, semakin berdaya dan bertanggung jawab dalam memanfaatkan sumber daya. Industri perikanan nasional juga semakin berkualitas dan memenuhi standar internasional. Hanya dengan ikhtiar itu, produk perikanan asal Indonesia berpeluang mendapatkan akses pasar ekspor lebih luas dan bea masuk lebih ringan daripada sebelumnya. Sekali lagi untuk Ibu Menteri, 2019 ubah prioritas atau kita (kembali) kalah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar