Pada November 2018, laporan Google dan Temasek Holdings menemukan bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara (49 persen) dan diprediksi akan mencapai 100 miliar dollar AS di tahun 2025.
Salah satu faktor utama pertumbuhan pesat ini adalah ketersediaan telepon seluler pintar yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan berbagai layanan via internet, mulai dari online travel (pemesanan tiket pesawat daring), online media(periklanan), digital content (konten digital), ride hailing (transportasi), layanan on-demand (seperti tukang pijat, reparasi mobil, dan lain-lain), fintech (teknologi finansial), dan e-commerce (kios daring).
Tren ini sejalan dengan pandangan Tyler Cowen, yang mengatakan bahwa telepon seluler akan menggantikan pabrik sebagai mesin penggerak ekonomi sebuah negara. Daftar perusahaan terkaya di dunia yang dihimpun Fortune juga banyak ditempati oleh perusahaan yang bergerak di sektor digital, seperti Apple, Amazon, Microsoft, dan Alphabet.
Karakteristik ekonomi digital
Walau sektor digital berkontribusi besar pada perekonomian nasional, tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat hanya beberapa pemain besar yang mendominasi. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran regulator dan juga otoritas persaingan akan munculnya praktik monopoli atau kartel dalam struktur pasar oligopoli di sektor digital. Alhasil, mereka tergesa-gesa untuk mengeluarkan peraturan dengan menggunakan paradigma era revolusi industri di masa lampau yang justru malah dapat mengekang inovasi dan pertumbuhan sektor digital.
Untuk menghindari menyusutnya atau bahkan hilangnya kontribusi sektor digital terhadap perekonomian nasional, langkah pertama yang harus ditempuh oleh para regulator adalah mengadopsi paradigma baru dalam regulasi ekonomi digital dengan mempelajari karakteristik alamiah dari
ekonomi digital.
Pertama, di sektor digital tidak akan ada pasar persaingan sempurna atau kondisi di mana terdapat ratusan penjual dan pembeli yang menawarkan produk yang sama. Joseph Schumpeter, ekonom Austria, menyatakan bahwa inovasi teknologi selalu melahirkan perusahaan dominan yang memiliki kekuatan pasar.
Hal ini disebabkan perusahaan di sektor digital mempunyai biaya tetap (fixed cost) yang tinggi. Sebutlah seperti membangun infrastruktur digital berteknologi tinggi dan aman, dan tidak banyak perusahaan yang memiliki kapasitas untuk mengeluarkan biaya tetap di awal untuk mengeluarkan produk atau layanan yang sama. Alhasil, persaingan di sektor digital akan terjadi antara usaha yang sudah ada dengan pengusaha rintisan (start-up) yang menawarkan model bisnis baru, komoditas baru, teknologi baru, pemasok baru, dan organisasi bisnis yang baru.
Karakteristik kedua sektor digital adalah terjadinya konsentrasi pasar akibat ketiadaan pasar persaingan sempurna. Biasanya fenomena ini disebut sebagai pola the rule of three atau persaingan mengerucut pada tiga pemain besar di setiap jenis layanan. Misalnya permainan video daring didominasi oleh Nintendo, Microsoft, dan Sony.
Tingginya konsentrasi pasar ekonomi digital disebabkan oleh kuatnya peran network effect, yaitu kondisi di mana sebuah produk dapat semakin bermanfaat ketika semakin banyak orang yang menggunakan produk tersebut. Misalnya, media sosial mempunyai network effect karena semakin banyak pengguna di platform tersebut, semakin banyak informasi yang pengguna lain dapatkan, dan eksternalitas (efek samping) juga semakin meningkat dalam bentuk pemasangan iklan yang tinggi.
Oleh karena itu, di sektor ekonomi digital, para pemilik perusahaan lebih mementingkan meningkatkan valuasi pasar daripada meraup keuntungan. Mereka berlomba-lomba untuk membiasakan para pengguna di dalam ekosistem platform mereka agar pengguna sulit untuk berpindah ke platform lain. Ketika usaha atau biaya pengguna untuk berpindah ke platform lain semakin tinggi, platform tersebut mendominasi pasar atau dikenal dengan istilah "the winner takes all".
Adanya network effect dan fenomena the winner takes all membuat ekonomi digital didominasi oleh hanya sedikit pemain. Hal ini dapat diamati pada bisnis mesin pencarian daring yang dikuasai Google, sementara pembelian buku secara daring dikuasai oleh Amazon dan Apple, dan bisnis e-commerce ASEAN hanya dikuasai oleh Lazada, Shopee, dan Tokopedia. Sementara Go-Jek dan Grab berlomba-lomba untuk menjadi super-app di kawasan Asia Tenggara.
Implikasi atas kebijakan
Walaupun sektor ekonomi digital mempunyai karakteristik alamiah yang terkonsentrasi, bukan berarti sektor ini tidak dicirikan oleh kompetisi yang sengit.
Dengan bergantungnya sektor ini pada inovasi yang disruptif, ini memungkinkan para pemain baru untuk masuk ke dalam pasar dan menantang para pendahulunya dengan menghadirkan produk baru. Misalnya, dulu Friendster dan MySpace mendominasi pasar media sosial, tetapi hanya dalam hitungan tahun, Facebook dan Twitter sekarang mengambil alih posisi dominan.
Dengan adanya tekanan persaingan dari pendatang baru, perusahaan-perusahaan dominan juga tidak akan mempunyai insentif untuk mengeksploitasi pasar yang dapat membuat mereka kehilangan konsumen.
Dengan mengerti karakter alamiah dari sektor digital yang berbeda dengan sektor "brick and mortar", pemerintah dan otoritas persaingan, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dapat membuat kebijakan yang lebih tepat sasaran dan mendukung pertumbuhan ekonomi digital.
Sebaiknya pemerintah mempertimbangkan tiga prinsip berikut dalam pembuatan kebijakan. Pertama, menjaga agar kebijakan pemerintah tidak menciptakan hambatan masuk ke pasar ekonomi digital bagi pelaku usaha baru. Kedua, memastikan pemain dominan tak menyalahgunakan kekuasaan pasar yang dimiliki. Ketiga, mengawasi agar posisi dominan tidak dicapai dengan cara-cara bersaing yang tidak sehat.
Dalam praktiknya, ketiga prinsip ini dapat diterapkan dalam menelaah persaingan usaha antara Go-Jek dan Grab yang sedang marak dibicarakan. KPPU sebaiknya memperhatikan dampak dari perang harga yang dapat melahirkan satu pemain dominan. Adapun Kementerian Perhubungan sebaiknya menghindari pemberlakuan kuota yang rawan praktik kartel dan korupsi jual-beli kuota serta tidak menciptakan hambatan masuk pasar bagi usaha mikro, kecil dan menengah.
Regulator harus berpacu dengan perubahan inovasi bisnis dan teknologi yang pesat dengan mengerti redefinisi persaingan usaha dalam sektor digital yang unik. Semakin lama regulator menggunakan lensa persaingan usaha di era sebelum digital, semakin kecil potensi kontribusi ekonomi yang dapat diterima negara.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebut, regulator dapat mencapai keseimbangan antara melindungi publik sebagai konsumen, mendukung pertumbuhan ekonomi negara melalui pemasukan dari sektor digital, dan mendukung inovasi dari para pengusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar