Kini DPR sedang menggodok penyusunan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan?

Data Kementerian BUMN menunjukkan jumlah BUMN berkurang dari 118 menjadi 115 sehubungan dengan lahirnya holding BUMN Pertambangan pada 29 November 2017. Waktu itu terjadi pengalihan saham negara pada PT Antam (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk ke PT Inalum (Persero). Bagaimana kinerja BUMN?

Menurut data yang sama, total aset BUMN terus melaju dari Rp 3.467 triliun pada 2012 menjadi Rp 4.216 triliun (naik 21,60 persen) dan Rp 4.580 triliun (naik 8,63 persen) pada 2013 dan 2014. Rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) berangsur-angsur membaik dari 326,27 persen pada 2012 menjadi 350,01 persen pada 2013 dan 319,80 persen pada 2014. Untuk memperluas bisnis, perusahaan butuh utang sebagai modal tambahan, tetapi tetap harus menjaga supaya utang tidak terlalu jauh melebihi ekuitas sehingga menimbulkan potensi risiko likuiditas (liquidity risk).

Pendapatan (revenue) BUMN juga makin gendut, dari Rp 1.594 triliun pada 2012 menjadi Rp 1.792 triliun (naik 12,42 persen) pada 2013 dan Rp 1.997 triliun (naik 11,44 persen) pada 2014. Pendapatan bersih (net income) juga naik dari Rp 139 triliun pada 2012 menjadi Rp 152 triliun (naik 9,32 persen) pada 2013 dan Rp 154 triliun (naik 1,32 persen) pada 2014. Sementara itu, imbal hasil aset (return on assets/ROA) menipis dari 3,76 persen pada 2012 menjadi 2,67 persen pada 2013, tetapi kembali menebal menjadi 3,36 persen pada 2014. Pada umumnya, ambang batas ROA berkisar 1,5 persen. Hal itu berarti BUMN memiliki kualitas aset yang baik mengingat ROA mencapai lebih dari dua kali ambang batas.

Aneka butir revisi

Terkait dengan RUU BUMN, DPR telah mengajukan beberapa butir revisi. Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan? Pertama, pengangkatan direksi BUMN mesti melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR. Apa itu BUMN? UU No 19 Tahun 2003 menitahkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada perusahaan persero (persero) dan/atau perusahaan umum (perum) serta perseroan terbatas lainnya (Pasal 1).

Selama ini pengangkatan dan pemberhentian direksi dilakukan lewat rapat umum pemegang saham (RUPS). Dalam hal ini menteri bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian direksi ditetapkan oleh menteri (Pasal 15). Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa pengangkatan anggota direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan. Usul agar uji kelayakan dan kepatutan dilakukan oleh DPR tentu tidak pada tempatnya.

DPR sudah terlalu jauh mencampuri urusan pemerintah yang bisa melahirkan intervensi politis terlalu kental dengan masuknya orang partai ke dalam BUMN. Sekarang pun kemungkinan besar masih terdapat orang partai yang duduk di kursi komisaris BUMN. Padahal, BUMN justru terus didorong untuk lebih profesional.

Adalah benar bahwa sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki wewenang untuk mengawasi lembaga eksekutif. Namun, pengawasan itu cukup dilakukan DPR kepada lembaga eksekutif dengan memanggil menteri atau direksi BUMN pada acara dengar pendapat.

Namun, pengangkatan dan pemberhentian direksi BUMN perlu lebih transparan. Simak saja, beberapa kali pergantian direktur utama (dirut) secara mendadak seperti dirut Pertamina pada 29 Agustus 2018, Garuda Indonesia pada 12 September 2018, dan Asuransi Jiwasraya pada 5 November 2018, masing-masing hanya menduduki posisi tersebut selama 13, 17, dan 5 bulan saja.

Agar lebih transparan, perlu dibentuk Tim Pengangkatan dan Pemberhentian Direksi BUMN yang meliputi Kementerian BUMN (representasi RUPS), Kementerian Keuangan (pemegang saham), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK, pengawas) dan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP, pengawas). Komposisi itu diharapkan dapat memilih direksi yang memiliki integritas tinggi, pengalaman, visi jauh ke depan dan profesional.

Kedua, selama ini jabatan direksi dan komisaris banyak dijabat oleh pejabat pemerintah sehingga terjadi rangkap jabatan. Maka, DPR akan melarang rangkap jabatan untuk mencegah konflik kepentingan oleh oknum pemerintah.

Gagasan tersebut baik adanya. Selama ini harus diakui terdapat pejabat pemerintah yang menjabat komisaris di beberapa BUMN. Pertanyaannya, apakah pejabat itu mampu sepenuhnya untuk melaksanakan tugas dalam dua jabatan sekaligus secara profesional? Pertanyaan itu sulit dijawab. Padahal, UU BUMN menitahkan bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya, mengejar keuntungan dan menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.

Selain itu, BUMN hendaknya menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan sektor swasta dan koperasi dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat (Pasal 2). Dengan demikian, rangkap jabatan di BUMN sepatutnya tak terjadi lagi.

Urgensi persetujuan DPR

Ketiga, DPR juga mengusulkan agar holding, akuisisi, merger, dan divestasi harus mendapat persetujuan DPR. Mengapa? Karena isu itu dapat menimbulkan implikasi terhadap pembubaran perusahaan tertentu dan nasib karyawan. Usul itu masuk akal terutama dikaitkan dengan rencana pembentukan holding BUMN sektor keuangan. Pada 2014, Kementerian BUMN berusaha keras untuk menggabungkan empat bank pemerintah menjadi satu bank.

Awalnya, peta jalan konsolidasi bank persero meliputi tiga tahap. Tahap pertama, Bank Mandiri mengakuisisi Bank Tabungan Negara (BTN) sehingga total aset Bank Mandiri mendekati Rp 1.000 triliun. Tahap kedua, konsolidasi BUMN keuangan nonbank ke tubuh bank BUMN yang fokus pada pembiayaan mikro. Bank Rakyat Indonesia (BRI) menjadi induk usaha Pegadaian, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), dan Permodalan Nasional Madani (PNM). Tahap ketiga, kelanjutan dari konsolidasi bank BUMN tahap pertama, Bank Mandiri mengakuisisi Bank Negara Indonesia (BNI).

Namun, setelah muncul banyak retensi kemudian berubah total. Semua bank pemerintah tetap berdiri kokoh. Intinya, Bank Mandiri tidak jadi mengakuisisi BTN dan BNI. Bahkan BTN dirancang untuk mengakuisisi PT Danareksa Investment Management dan PT Danareksa Finance, sedangkan BRI akan mengakuisisi PT Bahana Sekuritas dan PT Bahana Artha Ventura.

Akuisisi BTN oleh Bank Mandiri merupakan tahap awal pemerintah dalam melakukan konsolidasi. Tahap kedua adalah konsolidasi BUMN Keuangan nonbank ke bank BUMN yang fokus pada microfinance. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan penetrasi perbankan dan inklusi finansial di Indonesia. Tahap ketiga (terakhir), pengalihan kepemilikan pemerintah di bank BUMN ke bank BUMN anchor.

Hal itu berubah lagi dengan lahirnya rencana pembentukan induk perusahaan (holding company) bank pemerintah yang tampaknya sepi resistensi. Mengapa? Karena semua bank pemerintah akan tetap ada. Namun, sampai hari ini rencana itu belum terlaksana. Perlu ditegaskan bahwa merger BUMN sektor perbankan memang lebih makan waktu mengingat banyak resistensi dibandingkan dengan BUMN sektor lainnya, seperti sektor pertambangan (Paul Sutaryono, Infobank, November 2018).

Penggabungan BUMN sektor keuangan terutama perbankan memang membutuhkan upaya dan energi tinggi. Mengapa? Karena setiap bank BUMN memiliki ribuan karyawan dan jutaan nasabah. Jangan sampai pembentukan holding company yang fokus untuk mampu menembus pasar regional justru tidak tercapai. Ingat bahwa potensi bisnis lokal masih begitu luas terlebih dengan penduduk 260 juta orang yang merupakan pasar megabesar. Apa buktinya? Dewasa ini bank dan investor asing terus menyerbu Nusantara untuk ikut menikmati gurihnya kue industri perbankan nasional.

Keempat, DPR pun menghendaki agar BUMN fokus membina dan mengarahkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan mengalokasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dana CSR diusulkan 5 persen dari total keuntungan bersih sebelum dipotong pajak.

Apakah usul penetapan alokasi dana CSR sebesar 5 persen itu memadai? UU Perseroan Terbatas (PT) No 40 Tahun 2007 menitahkan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran (Pasal 74). Sarinya, UU PT tidak menetapkan besaran dana secara khusus.

Lebih dari itu, TJSL merupakan kewajiban bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. "Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam" adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.

Dengan bahasa lebih bening, tidak semua PT mempunyai kewajiban untuk melakukan TJSL. Karena itu, RUU BUMN hendaknya tidak berbenturan dengan UU PT. Berbekal ragam pertimbangan tersebut, revisi UU BUMN diharapkan dapat berjalan lebih proporsional untuk mengembangkan BUMN supaya lebih maju, terkemuka, dan profesional.