Gula dan Kita
Berikut tanggapan saya atas Arsip Kompas (28/12/2018), "350 Ahli Gula Lulusan Akademi Gula Negara", yang dimuat Kompas (28/12/1965).
Saya memikul tanggung jawab atas industri gula dari 1982 sampai 1988 dan pernah menjabat Ketua ISSCT (International Society of Sugar Cane Technologists). Sering pula saya hadir pada rapat yang diselenggarakan ISO (International Sugar Organization) di Geneva.
Dulu profesionalisme di industri gula sangat diutamakan, sekarang justru sebaliknya. Industri gula, khususnya di lingkungan BUMN, kelihatannya tidak mengutamakan profesionalisme lagi. Hal ini terbukti dari pernyataan bahwa salah satu penyebab kemunduran industri gula kita ialah pabrik-pabriknya sudah tua, dengan mesin-mesin yang sudah tua pula.
Saya ingin koreksi karena kenyataan sesungguhnya berbeda. Dari 1982 sampai 1985, sebanyak 42 pabrik gula direhabilitasi dengan dukungan para ahli tingkat nasional ataupun internasional yang dibiayai Bank Dunia.
Dari 1982 sampai 1986 dibangun sembilan pabrik gula baru di sejumlah lokasi di Indonesia di bawah supervisi ahli-ahli Indonesia ataupun ahli-ahli dari luar negeri yang dibiayai Bank Dunia.
Sangat memprihatinkan bahwa sebagian dari pabrik-pabrik gula itu sudah ditutup dan, kalau ada yang masih beroperasi, kelihatannya hanya menunggu waktu untuk ditutup dengan berbagai alasan.
Pada sisi lain, pabrik-pabrik milik swasta, seperti PG Gunung Madu dan Sugar Group di Lampung, kemudian PG Kebon Agung di Jawa Timur, justru menunjukkan kinerja yang bagus dan sesuai dengan norma-norma bisnis yang berlaku.
Bidang penelitian kurang mendapat perhatian. Padahal, di masa lalu, Pusat Penelitian Gula di Pasuruan menjadi acuan dunia sampai-sampai Kongres ISSCT pertama menjelang 1930 diadakan di Pasuruan.
Simpulan dari ini semua tidak lain bahwa seandainya tak ada perubahan dan tak ada kemauan politik dari pemerintah, negara kita sulit mewujudkan mimpi swasembada gula di masa depan.
Soedjai Kartasasmita
Jalan Iskandarsyah, Jakarta Selatan
Menabur Hoaks Menuai Pidana
Dari hasil identifikasi dan temuan analisis mesin AIS Subdirektorat Pengendalian Konten Internet Kementerian Komunikasi dan Informatika, ditemukan 10 isu hoaks terbaru yang dinilai meresahkan masyarakat. Salah satu yang paling menggegerkan adalah tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos.
Menjelang pemilu 17 April 2019, hoaks lewat media sosial semakin liar menyebar. Hoaks sudah seperti industri: dirancang, difabrikasi, dan didistribusikan kelompok tertentu, yang dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis untuk memecah belah dan mengadu domba.
Hoaks menjadi satu cara mengalahkan lawan demi satu atau beberapa kepentingan melalui cara yang tuna-adab. Tingkat kecerdasan literasi digital masyarakat dianggap sebagai salah satu penyebab maraknya berita dan informasi bohong. Namun, jangan lupa, perilaku iseng dan latah menjadi hal lain yang tak boleh dianggap remeh. Orang dengan begitu gampang mengirim dan membagi informasi yang tak jelas sumber dan kebenarannya tanpa berpikir panjang bahwa itu berkonsekuensi hukum pidana.
Menebar hoaks ibarat menabur pupuk di hamparan tanaman luas: hanya menyuburkan benih tanaman permusuhan dan kebencian yang mengancam kelangsungan hidup berbangsa bernegara. Hoaks dalam pemilu harus segera dihentikan karena korbannya bukan kalangan elite politik, tetapi justru kalangan bawah.
Budi Sartono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar