Penghancur Vs Pembangun
Setelah menyelesaikan pembacaan Kompas (31/1/2019), saya tertawa geli. Sungguh, kali ini berita koran ini bisa membuat saya tertawa. Ternyata Kompas bisa juga berguyon.
Lihatlah halaman pertama dengan berita utama "Cermati Rekam Jejak Caleg". Kompas menampilkan berita ke-49 pahlawan kebanggaan bangsa Indonesia yang telah menghabiskan waktu di penjara seperti pendiri-pendiri bangsa kita dulu: terus maju tak gentar, pantang malu, pantang ewuh pakewuh dengan memasang muka tebal, memakai uang yang sudah mereka korupsi, yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia zaman now untuk terus mencalonkan diri sebagai anggota legislatif peserta Pemilu 2019.
Sebaliknya, lihatlah pada halaman terakhir (hlm 24) di Rubrik Nama & Peristiwa ada berita berjudul "Tanda Kehormatan", yakni pemberian tanda kehormatan Bintang Bhayangkara Nararya kepada seorang tokoh.
Lantas, apa yang lucu?
Pertama, bangsa Indonesia zaman now telah memiliki komposisi manusia dengan perbandingan: 49 manusia penghancur berbanding 1 manusia pembangunan. Keadaannya seperti tecermin pada Kompas edisi tersebut.
Kedua, bangsa Indonesia zaman now lebih menghargai ke-49 manusia amoral untuk tetap menjadi calon anggota dewan yang terhormat karena tidak ada lagi manusia Indonesia yang lebih baik daripada mereka, ke-49 orang tersebut.
Ketiga, bangsa Indonesia zaman now lebih senang, lebih suka, lebih populer untuk mendapatkan informasi yang menghancurkan dibandingkan dengan informasi yang membangun. Seperti fakta di atas, bukan? Orang mendapat penghargaan diletakkan di halaman terakhir, tetapi para koruptor ditempatkan menjadi berita utama.
Keempat, ada 13 partai yang meloloskan caleg bekas narapidana korupsi pada Pemilu 2019, termasuk Partai Gerindra yang telah meluluskan enam mantan koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif peserta Pemilu 2019.
Itulah Indonesia zaman now. Lucu ha-ha-ha….
Djoko Madurianto Sunarto
Jl Pugeran Barat,Yogyakarta
Semrawut Menuju Halte Pinangranti
Jalur keluar masuk bus Transjakarta di Halte Pinangranti, Jakarta Timur, sudah saatnya dibenahi. Halte rute awal/akhir ini terletak di Jl Pondokgede Raya setelah Halte Tamini Square.
Jalur yang hanya bisa menampung dua arus kendaraan tanpa pemisah ini, pertama, menghadapi gangguan keluar masuk arus kendaraan warga di Jl Pinangranti II. Pertigaan ini selalu macet karena diatur warga yang sering disebut Pak Ogah. Sementara itu, kawasan di seputar Halte Tamini Square juga tak kalah semrawut, akibat penuh sesak kendaraan bermotor, termasuk adanya parkir puluhan sepeda motor daring yang mengokupasi sebagian lebar jalan.
Arus keluar masuk bus Transjakarta di Halte Pinangranti juga amat padat. Selain bus Transjakarta reguler keluar masuk halte, juga bus Transjakarta yang tak melayani penumpang antre mengisi bahan bakar gas di pompa BBG yang letaknya menyatu dengan areal halte.
Gangguan lain adalah banyaknya angkot yang ngetem, menunggu penumpang yang baru turun dari bus Transjakarta. Tempat ini memang terkadang diawasi beberapa petugas dari kepolisian.
Melihat kenyataan itu, saya amat khawatir: jika ada musibah di pompa BBG, misalnya, sulit bagi warga bisa lekas menghindar.
Jadi, tunggu apa lagi. Tolong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera membenahi kawasan kacau ini. Jangan sampai fatal.
A RISTANTO
Jatimakmur, Pondokgede,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar