Terhitung sejak 1998, Indonesia sudah berada dalam sistem politik demokratis selama 21 tahun lamanya. Arend Lijphard dalam Patterns of Democracy (1999) menyatakan bahwa negara yang mengalami sistem demokrasi selama minimal 19 tahun tanpa interupsi bisa dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi yang stabil.

Pada demokrasi yang stabil, demokrasi tidak lagi dipertanyakan sebagai sistem politik. Tidak ada lagi gerakan yang secara serius dan signifikan yang bisa menghancurkan demokrasi. Tak ada gelombang gerakan publik yang ingin mengganti sistem. Juan J Linz dan Alfred Stepan dalam Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996) menyebutnya sebagai "the only game in town".

Jika ditarik dari 1998 sampai hari ini, demokrasi Indonesia terus berjalan tanpa interupsi berarti. Gerakan serius yang ingin mengganti sistem politik demokrasi memang muncul, tapi tak berkembang, bahkan mengerdil dari hari ke hari.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan dukungan publik pada sistem demokrasi juga stabil sekitar 76 persen dan 83 persen (survei 2017 dan 2018). Sistem politik demokratis juga mengalami perbaikan dari pemilu ke pemilu.

Legitimasi lawan dan penyelenggara
Namun, sejak 2014, mulai muncul isu yang relatif baru di kalangan elite. Isu ini terkait validitas keikutsertaan lawan politik dalam pemilu. Ada upaya menjatuhkan lawan dengan mempertanyakan kewarganegaraan atau keterlibatan lawan politik dalam organisasi terlarang. Jokowi, misalnya, sejak 2014 sudah diserang dengan isu kewarganegaraan dan keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai-partai pengusung Jokowi, seperti Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sekarang juga mendapat stigma serupa. Serangan semacam ini merupakan upaya untuk mendelegitimasi hak lawan untuk ikut serta dalam kompetisi demokratis.

Seturut dengan itu, muncul pula isu integritas penyelenggara pemilihan umum, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemerintah dianggap mengintervensi panitia penyelenggara pemilu sehingga posisinya menjadi tidak netral. Bahkan muncul berita tentang adanya penerbitan surat suara tujuh kontainer yang sudah tercoblos.

Juga beredar gosip tentang masuknya jutaan warga negara asing yang akan berpartisipasi dalam Pemilu 2019. Tidak tanggung-tanggung, mantan Ketua MPR Amien Rais meminta diadakan audit forensik terhadap teknologi informasi (IT) KPU awal April 2019. Ketua Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu bahkan sudah menyambangi gedung KPU bersama massa Forum Umat Islam (FUI), 1 Maret 2019.

Tentu saja semua berita terkait ketidaknetralan dan kecurangan itu dusta belaka. Belum ada fakta yang mengonfirmasi dugaan kecurangan itu. Isu mengenai tujuh kontainer surat suara, misalnya, sejak hari pertama sudah terbukti bohong.

Namun, yang relevan dengan tulisan ini lebih dari sekadar apakah itu benar atau dusta, tetapi bahwa isu itu muncul menandakan adanya suatu gerakan untuk mendelegitimasi pemilu bahkan demokrasi dari pokok pangkalnya, yakni netralitas penyelenggara.

Ini berbahaya, sebab jika integritas penyelenggara pemilu dipertanyakan, hasil dari pesta demokrasi ini juga akan mendapat imbas legitimasi. Jika hasil pemilu tidak legitimate di mata publik, fondasi penyelenggaraan negara akan rapuh dan mudah runtuh.

Aparatus negara tak akan cukup punya alasan untuk patuh dan tunduk. Akibatnya, pelayanan publik akan terganggu. Rakyat punya alasan untuk bergolak. Instabilitas terjadi. Bahaya intervensi militer menjadi besar. Dan seterusnya.

Opini publik
Survei mutakhir Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa isu kecurangan penyelenggara pemilu tak memiliki resonansi cukup signifikan di kalangan pemilih. Sebanyak 79 persen publik Indonesia cukup dan sangat yakin KPU mampu menyelenggarakan pemilu sesuai UU dan aturan yang berlaku.

Hanya 12 persen yang mengaku kurang dan tak yakin sama sekali pada kemampuan KPU. Hasil yang kurang lebih sama juga terjadi pada persepsi publik mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Tentang isu tujuh kontainer surat suara tercoblos, 61 persen warga tak percaya, hanya 4 persen yang percaya, sisanya (35 persen) tidak jawab atau tidak tahu. Secara keseluruhan, 56 persen publik Tanah Air tak percaya jika dikatakan KPU tidak netral. Hanya 13 persen publik yang termakan isu itu.

Meski demikian, survei SMRC ini juga menemukan bahwa publik terbelah menanggapi persoalan kotak suara yang terbuat dari kardus. Sebanyak 34 persen publik percaya bahwa kotak suara kardus itu akan mempermudah kecurangan dalam Pemilu 2019. Sementara mereka yang tidak percaya dengan anggapan itu sebesar 36 persen. Sebanyak 30 persen lainnya tak menjawab atau tidak tahu.

Kesimpulannya, survei SMRC ini memotret kecenderungan warga Indonesia yang memandang bahwa pemilu masih berjalan sebagaimana mestinya. Berdasarkan kompetensi dan integritas, penyelenggara pemilu cukup bisa diandalkan. Dari sisi publik, penyelenggaraan pemilu kali ini sangat legitimate.

Mobilisasi isu
Jika dibandingkan dengan keriuhan publik yang terekam dalam media arus utama (mainstream) dan media sosial, survei SMRC ini menunjukkan bahwa ada jurang antara keriuhan di media dan realitas yang terjadi pada masyarakat luas.

Apa yang terjadi? Salah satu kemungkinan jawaban adalah bahwa isu kecurangan ini bukan concern publik, melainkan hasil mobilisasi kekuatan politik tertentu. Dia adalah sesuatu yang secara sengaja dibangun untuk memengaruhi opini publik.

Dalam survei yang sama ditemukan bahwa sekalipun mayoritas massa pemilih kedua pasangan capres-cawapres sama-sama yakin dengan kompetensi dan integritas penyelenggara pemilu, proporsi dukungan mereka berbeda. Pada massa pemilih Jokowi-Ma'ruf Amin, sebanyak 89 persen menyatakan yakin pada KPU dan hanya 5 persen yang tidak yakin.

Sementara pada massa pemilih Prabowo-Sandi, 64 persen yakin pada penyelenggara pemilu dan 25,3 persen tidak atau sangat tidak yakin KPU bisa menyenggarakan pemilu sesuai undang-undang dan aturan yang berlaku.

Ada pola di mana pendukung pasangan nomor 02 lebih kritis pada penyelenggara pemilu. Terlihat bahwa dukungan dan kritisisme pada penyelenggara pemilu tidak muncul secara wajar, tapi bias pada pasangan calon tertentu.

Di atas segalanya, pemilu kali ini terus berjalan mendekati hari-H pencoblosan. Upaya delegitimasi pemilu melalui sejumlah isu yang dilemparkan ternyata tidak memiliki dampak yang serius pada persepsi publik. Publik tetap menaruh kepercayaan pada penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu.

Dengan sejumlah kekurangan yang tersisa, peningkatan akuntabilitas pemilu terjadi. Semua orang punya kesempatan untuk mengakses hasil pemilu. Lembaga-lembaga dan organisasi independen bermunculan ikut mengawasi pesta demokrasi ini. Perhitungan paralel (quick count) sudah sejak lama dilakukan oleh lembaga-lembaga survei kredibel.

Kecurangan, sekecil apa pun, akan semakin mudah dideteksi karena semua pihak bisa terlibat mengawasi. Dalam kondisi yang sedemikian transparan ini, upaya mendelegitimasi pemilu dengan melemparkan isu ketidaknetralan penyelenggara pemilu sudah kehilangan relevansi, terutama di hadapan publik yang kian cerdas.