Mereka terkadang terpaksa bereaksi tanpa pengertian yang memadai untuk melindungi kepentingan negara mereka sendiri. Misalnya, baru-baru ini Pemerintah India dikejutkan dengan berita bahwa Amerika Serikat (AS) akan mengakhiri status preferensi perdagangannya dengan negara itu.

Dari seratus negara yang menikmati preferensi itu, India termasuk yang paling banyak memanfaatkan, dengan nilai impor bebas bea mencapai 5,7 miliar dollar AS pada 2017. Apakah Indonesia, yang juga sudah lama mengalami defisit perdagangan besar dengan AS, akan ikut terpukul?

Saya tentu tidak punya bola kristal yang bisa meramalkan kejadian yang sejitu itu. Namun, saya merasa diberi kunci baru di sebuah konferensi yang baru saya hadiri di pusat penelitian tempat saya berkantor, Mershon Center for International Security Studies di Universitas Ohio State. Topik konferensi: "Apa Itu Kebijakan Luar Negeri Realis?"  Penyelenggaranya, rekan saya, Profesor Randall Schweller, yang terkenal luas selaku pencipta mutakhir teori realisme dalam ilmu hubungan internasional.

Sebelum konferensi, Schweller sudah menerbitkan artikel di majalah terkemuka Foreign Affairs (September/Oktober 2018) yang berjudul "Three Cheers for Trump's Foreign Policy: What the Establishment Misses" [Tiga Sorakan bagi Kebijakan Luar Negeri Trump: Apa yang Terlupakan oleh Penganut Kemapanan].

Schweller menulis: Berbeda dengan pendahulu-pendahulunya, Trump "melihat kenyataan politik internasional yang sebenarnya, baik kini maupun dulu: dunia yang sangat kompetitif, tempat bertikainya self-interested states, negara-negara yang memperjuangkan kepentingannya sendiri, terutama terhadap masalah-masalah keamanan nasional dan kesejahteraan ekonomi."

Perihal tiga sorakannya: pertama, terciptanya kebijakan perdagangan proteksionis, khususnya terhadap China; kedua, tercabutnya AS dari sejumlah persetujuan multilateral, termasuk Kemitraan Trans-Pasifik; serta ketiga, desakannya pada sekutu-sekutu di NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) untuk membayar porsi lebih besar dari ongkos pertahanan mereka.

Semrawut

Analisis Schweller cukup berbobot untuk direnungkan dan dipertimbangkan. Namun, kunci baru yang saya maksudkan saya peroleh bukan dari Schweller, melainkan dari komentar Robert Jervis, profesor kawakan dari Universitas Columbia di New York. Jervis menjadi keynote speaker, yang bertugas membuat kerangka intelektual untuk semua pembicara lanjutnya.

Jervis merupakan salah satu bintang cemerlang di ilmu hubungan internasional. Buku-bukunya yang paling terkenal menguraikan peran persepsi dalam keputusan pejabat pemerintah perihal kebijakan luar negeri. Ia pernah diangkat selaku Presiden American Political Science Association, asosiasi ilmuwan politik di Amerika. Muridnya banyak, termasuk penyelenggara konferensi Randall Schweller.

Hubungan pribadi mereka kelihatan akrab meski sudah lama mereka berbeda pandangan secara fundamental tentang arah dan tujuan kebijakan luar negeri Amerika.

Dalam pidato pembukaannya, tanpa tedeng aling-aling Jervis langsung menampik kesimpulan Schweller di Foreign Affairs bahwa Trump wajar dianggap negarawan realis. Alasannya empat. Pertama, keputusan-keputusannya erratic, semrawut, tak teratur. Dari awal, Trump suka mengumumkan keputusan lewat Twitter tanpa masukan dari departemen yang bersangkutan.

Menjelang pemilu paruh waktu 2018, pasukan dikirim ke perbatasan AS-Meksiko meski "ancamannya" hanya kenaikan jumlah keluarga yang melarikan diri dari teror di negara-negara Amerika Tengah dan mencari suaka di AS. Pada Desember 2018, keputusan mendadak Trump untuk menarik semua pasukan AS dari Suriah memaksa Menteri Pertahanan James Mattis (yang sudah lama putus asa dengan bosnya) menarik diri dari jabatannya.

Kedua, Trump terlalu membesarkan pentingnya hubungan pribadi di antara para aktor untuk memecahkan suatu masalah ketimbang kepentingan nasional sebagai faktor obyektif yang mendasari sikap setiap aktor. Contohnya banyak sekali, termasuk interaksinya dengan Vladimir Putin dari Rusia, Xi Jinping dari China, dan Kim Jong Un dari Korea Utara.

Dalam kasus terakhir, kita baru saja menyaksikan kegagalan pertemuan puncak Kim dan Trump di Hanoi, Vietnam. Ternyata Kim tak mudah digeser dari posisi lamanya oleh rayuan pribadi Trump. Jelas Kim akan memegang terus senjata nuklir dan rudal yang dikembangkan dengan susah payah oleh ayah dan kakeknya sebagai penjamin kelestarian takhtanya.

Kepentingan pribadi

Ketiga, keputusan-keputusan Trump didorong secara sadar oleh kepentingan pribadinya, bukan konsepsi tentang kepentingan nasional yang ia layani. Hal itu menjadi sangat nyata setiap kali Trump bertemu dengan Putin dan menyatakan bahwa dirinya lebih percaya kepada berbagai pembelaan Presiden Rusia itu ketimbang analisis direktur intelijennya sendiri. Lagi pula, telah menjadi pengetahuan umum bahwa sampai hari Pilpres 2016, Trump tidak percaya bahwa ia akan menang. Tujuan kampanyenya bukan untuk memimpin bangsa, melainkan untuk menambah kekayaannya, antara lain dengan membangun Menara Trump di Moskwa.

Keempat, money is every thing. Semua hal yang berharga bisa diukur dengan uang, baik kepentingan pribadi Trump maupun perhitungannya tentang kemauan aktor lain. Di Singapura dan di Hanoi, Trump berusaha keras untuk meyakinkan Kim bahwa kalau Korea Utara bersedia mengadopsi kebijakan pembangunan ekonomi dua negara itu, Korea Utara pasti menjadi makmur juga. Trump lupa atau tak menyadari betapa pentingnya alat-alat represi yang kini menjamin kekuasaan pribadi Kim.

Alat-alat itu justru terancam kalau ia mengikuti strategi pembangunan ala Singapura atau Vietnam.

Wawasan yang keempat ini yang mungkin paling berkesan bagi saya sebagai kunci utama untuk mengerti kebijakan luar negeri Trump ke depan, dan yang paling perlu diresapi oleh pengamat dan pejabat yang berkepentingan di Indonesia.

Semoga berguna.