Yang dipersoalkan oleh Dinna Wisnu adalah AS, sebagai preponderant power, bisa mendiktekan kepentingan nasionalnya kepada semua negara. Kalau kita tidak ikut AS, bakal digebuk dengan sanksi atau hukuman lainnya. ASEAN juga dianggap lemah, tidak berdaya menghadapi kiprah negara-negara besar. Bahkan, menggagas suatu Indo-Pasifik yang sesuai dengan kepentingan Indonesia atau ASEAN juga dianggap naif.
Saya termasuk generasi milenial, memulai karier sebagai diplomat saat China telah menjadi kekuatan ekonomi global. Tahun 2015, GDP-PPP Tiongkok telah mencapai 19,7 triliun dollar AS. "Negeri Panda" itu mengungguli GDP-PPP Amerika Serikat (AS), kala itu 18,1 triliun dollar AS. Juga mengungguli Uni Eropa (UE) yang 19,5 triliun dollar AS. Dua tahun dari sekarang, GDP-PPP China akan menjadi 32,1 triliun dollar AS; mengungguli AS yang 23 triliun dollar AS atau UE 24,6 triliun dollar AS.
Sejatinya, pada abad Asia ini, tidak hanya China yang ekonominya meroket. India juga tumbuh pesat, tahun 2021 GDP-nya akan menjadi 13,8 triliun dollar AS. Indonesia menjadi 4,3 triliun dollar AS, dan ASEAN 10,5 triliun dollar AS. Belum lagi Jepang dan Korea Selatan. Perekonomian kawasan Asia Timur semakin terintegrasi, dan RCEP sehingga ekonomi kawasan semakin kukuh. Adalah arsitektur regional ASEAN yang menjadikan semua ini kenyataan.
Menjadikan kebijakan luar negeri AS atau China sebagai faktor penentu nasib kawasan tidak sepenuhnya benar. Pelaku hubungan internasional saat ini, terutama di Asia, tidak lagi didominasi oleh negara. Entitas bisnis berperan besar. Berdiplomasi dengan entitas, seperti Freeport, boleh jadi lebih rumit daripada bernegosiasi dengan AS.
Dari segi pendapatan (revenue), perusahaan seperti Wal-Mart Stores dengan 485 miliar dollar AS (data tahun 2014), jauh lebih besar daripada total pendapatan (bersumber dari pajak dan bea) dari negara Afrika Selatan, Polandia, Portugal, Kolombia, digabung jadi satu.
Banyak perusahaan multinasional AS yang kebijakan perusahaannya tidak sepaham dengan politik luar negeri Donald Trump. Ini wajar, banyak pula sekutu AS, misalnya Jepang dan Korea Selatan, yang menganggap Donald Trump cenderung membingungkan lawan, kawan, dan diri sendiri. Kebijakan Donald Trump mengenai Indo-Pasifik juga harus dilihat dari dinamika ini yang tidak selamanya manjur.
Indo-Pasifik, versi mana pun—AS, Australia, Jepang, India, ASEAN, Indonesia—dan inisiatif sebelumnya, seperti China, tidak akan lepas dari realitas ekonomi kawasan saat ini.
Kelompok bisnis besar ataupun UKM sekalipun jelas memiliki kepentingan. Kelompok bisnis menginginkan Indo-Pasifik yang damai sehingga mereka bisa berkompetisi (dan bekerja sama) untuk meraup untung dari Abad Asia yang tumbuh pesat. Indo-Pasifik versi Indonesia amat memperhatikan hal ini.
Harus lebih percaya diri
Tahun ini, ISEAS (Singapura) mengeluarkan hasil survei "The State of Southeast Asia: 2019" dengan responden berasal dari kawasan ASEAN. Sekitar 73 persen responden ternyata tidak memiliki kepercayaan atau hanya sedikit percaya, atau tidak yakin, bahwa AS "[will] do the right thing" untuk kawasan. Ketidakpercayaan kepada China sedikit lebih besar, sekitar 80 persen.
Sebaliknya, dengan segala kritik dan keterbatasannya, masyarakat ASEAN mulai tampak percaya diri, terutama di sektor ekonomi. Dalam situasi kevakuman kepemimpinan seperti ini, Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, mendorong terwujudnya ASEAN sentralitas, kesatuan, dan otonomi.
Konsep Indo-Pasifik yang dicanangkan oleh Indonesia dan yang sama-sama diperjuangkan oleh ASEAN adalah manifestasi dari meningkatnya kebutuhan terhadap otonomi ASEAN tersebut. Salah satu cara mengukur otonomi ASEAN adalah menilai pencapaian good governance.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri telah melakukan kajian kuantitatif mengenai peningkatan good governance di ASEAN. Analisisnya menggunakan data dari the Fund For Peace (FFP). Data tersebut bisa diakses dari laman http://fundforpeace.org.
Data FFP biasanya untuk menghitung Fragile State Index. Tolok ukur yang digunakan adalah kluster kohesi, ekonomi, politik, dan sosial (total melibatkan 9 parameter). Dapat disimpulkan, dari penghitungan data tahun 2008 hingga 2018 (medium term) terlihat kecenderungan bahwa overall score dari setiap negara ASEAN naik, terkadang cukup signifikan. Artinya, dari aspek kohesi, ekonomi, politik, dan sosial, good governance di ASEAN terus semakin kukuh dari waktu ke waktu.
BPPK lantas menggunakan data Bank Dunia, untuk uji silang hasil hitungan dengan data FFP tersebut. Dalam hal ini, dibandingkan dengan situasi di ASEAN 2006 dan 2017. Parameter yang digunakan dalam data Bank Dunia tersebut adalah (1) voice and accountability; (2) political stability and the absence of violence/terrorism; (3) government effectiveness; (4) regulatory quality; (5) rule of laws; dan (6) control of corruption. Semuanya merupakan elemen penting dalam good governance dan bisa diakses di http://info.worldbank.org/governance/wgi/#home.
Hasilnya, dalam kurun waktu sekitar 10 tahun, pada umumnya banyak kemajuan di ASEAN. Perlu dicatat, negara yang meningkat signifikan, dari aspek pemerintahan yang efektif (positive changes yang progresif) adalah Laos, Indonesia, dan Kamboja untuk government effectiveness; Vietnam, Brunei Darussalam dan Indonesia untuk rule of law; serta Myanmar, dan Indonesia untuk pemberantasan korupsi.
Karena itu, terlepas dari santernya kritik terhadap ASEAN, janganlah kita menafikan bukti-bukti adanya perbaikan di level good governance. Good governance yang semakin kukuh merupakan modal berharga untuk meningkatkan otonomi ASEAN. Artinya, ASEAN bisa lebih mandiri dan memiliki ketahanan nasional sebagai tumpuan ketahanan regional. Hal ini perlu dikapitalisasi.
Pengaruh Quad
Artikel Dinna Wisnu juga menyebut peran Singapura memperkuat pengaruh Quad di kawasan. Sebagai Ketua ASEAN seharusnya Singapura membuka peluang bagi pertemuan sideline Quad.
Sudah merupakan praktik internasional, termasuk di UN, negara-negara melalukan sideline meeting untuk berbagai hal atas pertimbangan efisiensi. Bukanlah hal yang aneh jika di tengah pertemuan ASEAN, beberapa negara juga melakukan sideline meeting.
Namun, Quad pun tidak sesolid yang dibayangkan. Quad pernah gagal menyepakati suatu rilis media mengenai demokrasi, karena India cenderung berhati-hati di soal ini. Jepang jelas menyebutkan bahwa Quad bukanlah bagian dari strategi Indo-Pasifiknya.
Bahkan, bisa dianekdotkan "Quad Barat" (Amerika dan Australia) dan "Quad Asia" (India dan Jepang). Mereka tidak selalu sepaham. "Quad Barat" hendak memindahkan kedutaannya ke Jerusalem. "Quad Asia" tidak melakukan. Dalam kasus Skripal (2018), "Quad Barat" kompak mengusir diplomat Rusia. "Quad Asia" tidak mengusir.
ASEAN tidak akan tergoda untuk ikut-ikutan dalam Quad. ASEAN berpegang teguh pada prinsip netralitas (Zone of Peace Freedom and Neutrality/ ZOPFAN). ASEAN juga aktif membangun kerja sama positif dengan semua Mitra Wicara, berdasarkan prinsip Treaty of Amity and Cooperation.
Dalam konteks inilah Indonesia dan ASEAN menawarkan konsep kerja sama Indo-Pasifik yang inklusif. Bagi Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika adalah prinsip hidup kebangsaan yang juga mengejawantah dalam politik luar negeri. Berbagai versi Indo-Pasifik yang ada dan juga skema BRI China, tidak perlu ditunggalkan menjadi satu konsep saja. Melainkan, masing-masing patut dihargai keberadaannya, namun dicari komonalitas sebagai dasar kerja sama yang sinergis. Itulah konsep Indo-Pasifik ala Indonesia dan ASEAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar