KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Rommy meninggalkan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Sabtu (16/3/2019). Rommy ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan menerima suap terkait pengisian jabatan di Kementerian Agama.

 

Penangkapan Muhammad Romahurmuziy oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menambah panjang daftar politisi yang ditangkap KPK. Romy, demikian Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu dipanggil, adalah ketua umum partai politik kelima yang ditangkap KPK.

Sebelumnya, ada Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq tahun 2013, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum tahun 2013, Ketua Umum PPP Surya Dharma Ali yang juga Menteri Agama, dan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang juga Ketua DPR.

Adapun pemimpin lembaga negara yang pernah ditangkap KPK adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman.

Melalui persidangan terbuka, mereka dinyatakan terbukti korupsi dan dijatuhi hukuman penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sepanjang tahun 2018, juga ada 21 kepala daerah yang ditangkap KPK.

Hampir semua profesi—hakim, jaksa, polisi, advokat, gubernur, menteri, duta besar—dari hampir semua partai politik pernah terjerat dalam kasus korupsi, kecuali partai baru.

Situasi sekarang ini adalah darurat korupsi. Penangkapan ketua umum partai oleh KPK tidak boleh dianggap sebagai musibah atau sedang apes. Sikap demikian tidaklah menolong keadaan untuk membersihkan korupsi di negeri ini. Korupsi dengan segala derivasinya adalah musuh utama bangsa ini.

Korupsi telah ikut berkontribusi mengakibatkan kemiskinan dan terbukanya jurang kesenjangan. Perilaku korupsi telah memuakkan masyarakat.

Komitmen partai politik untuk memerangi korupsi sangat ditunggu. Kita menangkap sikap inkonsisten dari partai politik terhadap korupsi. Pada satu kasus ketika seseorang ditangkap KPK, muncul tuduhan KPK tebang pilih, penangkapan seseorang sebagai konspirasi.

Akan tetapi, pada satu waktu, partai yang sama justru mendukung KPK ketika orang yang tertangkap bukan dari kelompoknya. Sikap ambivalen ini juga tidak menolong keadaan.

Sejumlah pihak berpendapat, mahalnya biaya politik menjadikan korupsi terus merajalela. Sinyalemen itu bisa saja benar, tetapi belum tentu semua benar. Sebab, dalam banyak kasus, korupsi terjadi karena rakus, karena kemaruk, karena ingin cepat kaya.

Jadi, di tengah kontestasi politik, kita mendorong KPU mengadakan debat antarpartai politik untuk isu tunggal bagaimana memberantas korupsi di negeri ini dan menagih komitmen partai soal korupsi.

Apa strategi yang mereka tawarkan, upaya pencegahannya, dan bagaimana jika ada anggota partai politik terjerat korupsi. Komitmen partai politik penting karena salah satu masalah terbesar bangsa ini adalah korupsi oleh unsur partai politik.